Dua hari setelah keberangkatan Tante Sonya ke Jepang, hidupku terasa agak hampa. Selain karena di kostan tinggal sendirian, ibu kost pun menjenguk cucunya entah untuk berapa lama. Bisasanya tak kurang dari satu minggu. Aku pun mulai sedikit bingung dengan keadaanku saat ini. Selama ini aku selalu kekuarangan dalam bidang keuangan. Terlalu lama hidup dalam keprihatinan, namun sejak bertemu dengan Tante Sonya, aku merasa kehidupan ekonomiku berubah, terlebih lagi setelah bertemu dengan Umi Yani dan keluarganya yang juga sangat baik. Selain aku memiliki pinjaman motor dari Umi Yani, aku pun memiliki tabungan uang tak kurang dari 30 juta. Jumlah yang bahkan tidak pernah aku impikan sebelumnya. Berasa mendadak jadi sultan. Uang tersebut memang sudah aku alokasikan untuk membantu modal warung ibuku di kampung, namun…. Saat ini ibuku memang sedang sangat membutuhkan sejumlah uang untuk menambah modal usahanya, namun dia tidak pernah memintaku untuk mencari uang. Dia hanya memintaku untuk b
[Lagi tegang ya, Say? Keliatan banget gede dan panjangnya] Begitu chat yang dia kirim padaku. [Iya nih, Bu, saya terangsang banget lihat Ibu. Ya, beginilah akhirnya rudal saya tegang banget. Semua gara-gara ibu] Oh my God. Pendidikan sesat dari sahabatku ternyata benar-benar sudah aku kuasai. [Sayang, ah, vagina aku juga mulai gatel, ini.] Aku membaca chat tersebut dengan penuh hayal dan syahwat. Lalu aku memandang lagi ke arah Tante Intan dari jauh. [Bu Intan...?] Aku mengirim chat tanpa kelanjutan, sengaja aku lakukan itu untuk membuatnya semakin penasaran. [Apa gantengku yang rudalnya gede panjang?] balas Tante Intan dengan emosi love dan kiss. Setelah membaca pesan tersebut, kami saling pandang kembali dari kejauhan. [Boleh nggak, Bu?] Aku mengirim chat pertanyaan. [Boleh apa, gantengku?] balas Tante Intan. [Lantai dua sepi loh Bu, saya mau istrirahat dulu di sana ya] Begitulah chat di anatara kami di tengah-tengah acara ulang tahun pernikahan orang tua Dito. Dari kejauha
Acara di rumah Dito berkahir sekitar pukul tiga sore. Aku pun langsung kembali ke kosta. Sesuai arahan Tante Intan aku pun menunggu pekerjaan apa yang akan dia berikan nanti. Malam ini batal karena suaminya mengajak Tante Intan ke Jakarta. Namun demikian dia tetap memberikan uang tips yang lumayan besar. Sebenarnya aku juga sudah tak sabar ingin segera pulang untuk memberikan uang pada ibuku. Namun Dito belum siap karena masih banyak kegiatan keluarganya. Aku sendiri tidak berani memberikan uang itu jika bukan dengan Dito yang omongannya pasti dipercaya ibu walau bohong. Bolehkah aku berbohong pada ibu walau untuk kebaikan? Entahlah. Hari-hari berlalu seperti biasanya. Kuliahku berjalan sesuai dengan jadwal. Interkasiku dengan tetangga pun sangat baik. Sesuai pesan Umi Yani, aku pun berusaha menjauh dari Umi Anisa. Untung saja Pak Ustad belum memintaku untuk membenatu pekerjaannya. Umi Yani pun beberapa kali kirim chat menyatakan rindunya padaku, namun dia punya kesempatan untung p
Pemandangan yang ada dalam gubug itu benar-benar membuatku serasa jantungku hampir copot. Mas Sugeng dan Mbak Wulan bukan hanya sedang ngobrol berbisik-bisik namun Mbak Wulan mulai menggelinjang pelan dalam dekapan Mas Sugeng. Sementara itu Mas Sugeng yang tubuhnya kekar sedang mencumbu payudara dan leher Mbak Wulan dengan penuh nafsu. Posisi mereka saling berhadapan duduk di atas tikar. Tangan Mas Sugeng sibuk bergerilya di payudara dan selangkangan Mbak Wulan bergantian. Setelah puas, gantian Mbak Wulan yang ambil kendali, dia membuka baju yang dipakai Mas Sugeng, hingga menampakkan dadanya yang bidang dan berbulu tebal. Lalu Mas Sugeng berlutut di depan Mbak Wulan yang mengelus-elus dadanya yang bidang itu. Kemudian Mbak Wulan menjilati puting susu Mas Sugeng dengan pelan. Mas Sugeng pun terlihat merem-melek menikmati cumbuan istri tetangganya itu di dadanya. Tak lama kemudian, tangan Mbak Wulan mulai bergerilya di sekitar selangkangan Mas Sugeng yang cuma memakai kain sarung. M
Tak terasa seminggu sudah berlalu. Dito masih sibuk dengan urusan keluarganya. Tante Intan pun tidak ada kejelasannya. Apalagi Tante Sonya yang ada di Jepang. Sepertinya mereka memang sudah melupakan aku. Ketika Ibu kost sudah kembali, maka aku pun memutuskan untuk pulang kampung. Bukan ingin segera memberikan uang, namun sudah kangen sama suasana kampung juga ibu, nenek dan kedua adikku. Urusan uang mungkin aku harus lihat-lihat dulu situasinya. Saat ini aku sedang beristirahat ngopi di warkop, sebelum melanjutkan perjalanan pulang yang akan melintasi hutan larangan. Langit masih terang benderang jadi masih bisa bersantai. “Hai Ger. Wah makin keren aja, nih!” Seseorang menepuk pundakku dengan sangat keras. “Eh, Zal, ngopi-ngopi, Bro!” balasku sambil menggeser duduk memberikan tempat buat Rizal, sahabat lamaku yang tiba-tiba muncul laksana jailangkung. “Mau pulang kampung?” tanyanya basa-basi setelah memesan kopi pada sang pelayan warkop. “Yoi, biasalah. Lu sendiri ngapain ada d
Sebenarnya sampai hari ini pun, aku masih belum percaya dengan kejadian waktu kelas tiga SMA itu. Bu Nina, guru agama kami yang bena-benar sangat alim dan bahkan suaminya juga sama alimnya, ternyata mempunyai sisi liar bersama Rizal. Harus aku akui, ketika dulu Rizal memang bintangnya di sekolah. Ganteng, lumayan cerdas, tajir dan isi kepalanya super mesum. Selalu punya cara untuk menaklukan wanita manapaun yang dia incar. Tidak terkecuali Bu Nina, si istri sholehah itu. Nanti biar Rizal yang cerita sendiri keseruannya. Tak berselang lama aku dan Rizal pun bersiap untuk berpisah. Rizal mendapat telpon dari seseorang yang diminta untuk memeriksakan motornya yang mogok. Aku juga harus segera berangkat sebelum hari menjadi gelap, karena membonceng istrinya Pak Endang. “Gini aja, Zal. Gua mungkin semingguan di kampung. Gimana kalau subuh minggu depan lu tunggu gua di sini. Terus kita bareng ke kota. Sambil nyari atau nunggu kerjaan buat lu kan bisa bantu-bantu dulu di rumah teman gua.
“Gerald, ja..ja.jangan pergi dulu, d..dan ja..jang dimatiin hapenya, ib..ibu takut…, serem banget ini tempatnya,” ucap Bu Endang saat aku membalikan badan membelakanginya yang akan membuka celana panjangnya. “Iya Bu, tenang aja,” jawabku kalem. Pikiran isengku tiba-tiba timbul. Ingin merekam suasana sekitar. Siapa tahu ada penampakan makhluk astral yang tertangkap kamera. Ini sangat menarik dan sudah pasti akan viral jika diposting di medsos. Maka aku pun menggerahkan camera hape dalam mode merekan ke beberapa sudut ruangan yang sangat gelap dan mencekam. Tentu saja membelakangi Bu Endang yang sedang pipis. Nanti aku malah digampar kalau sampai merekam aksinya. BRUG! BRUG! “Geraaaaaald!!!!” teriak Bu Endang keras. Baru saja beberapa detik merekam, tiba-tiba dia berteriak keras mengiringi suara gedebug di atas genting. Aku menduga itu suara ranting pohon yang patah, karena kaget, refeks membalikan badan, langsung mengarahkan camera hape ke pojokkan. Deg! Jantungku seketika teras
“Asiik A Gerald pulang!” seru Hendi saat baru saja masuk ke rumah nenek dan mencium tanganku seperti santri pada ustadnya. “Hehe, senang amat, kenapa?” tanyaku sambil mengelus kepalanya. “Hendi bentar lagi ulangan A, mau ikut bimbel sama Aa, boleh?” “Boleh banget, yang penting ranking satu.” “Siaap A. mulai malam ini ya?” “Boleh.” Seperti biasa setiap berada di kampung aku kumpul bersama teman-teman yang masih ada. Kebanyakan teman seangkatanku sudah bekerja dan merantau ke kota. Hendi adalah anaknya almarhum Mang Adin, adik ibuku, alias anak bungsunya nenek. Mang Adin sudah meninggal dua setahun yang lalu. Namun hubungan kekeluargaan kami dengan mantan istinya juga Hendi anaknya tetap baik. Mamanya Hendi bernama Nara, kami biasa memanggilnya Bi Ara. Usia 30 tahun dan Hendi yang baru kelas satu SMP merupakan anak tunggalnya. Sudah dua tahun Bi Ara menjanda namun sepertinya belum berniat menikah lagi. Menurut cerita nenek dan aku juga tahu, banyak yang ingin menjadikan Bi Ara i