Gerald Mahardika, pada awalnya hanya seseorang yang dipandang sebelah mata. Kelahirannya tidak dikehendaki oleh siapapun, termasuk ayah dan ibunya. Beruntung ada kakek, nenek dan pamannya yang masih memiliki nurani untuk merawatnya dalam segala ketebatasan. Gerald tak pernah menuntut diistimewakan. Dia hanya ingin dianggap sebagai manusia biasa yang selama ini dirasakan sangat mustahil dan mahal. Dia hanya tidak ingin dicap sebagai anak haram yang selama bertahun-tahun telah memasung dan menempatkan dirinya dalam dititik kasta yang paling hinda dan rendah. Dalam segala keputus-asaan, Gerald terus berdoa dan berusaha agar segala stigma buruk tentang dirinya terhapus dan tergantikan. Dia ingin menujukan pada dunia jika siapapun berhadap untuk menjadi yang terbaik. Doa-doa Gerald dikabulkan Tuhan. Yang Maha Kuasa mengirimkan banyak malaikat tak bersayap dalam berbagai situasi yang tak terduga dan teramat mengejutkan. Tuhan pun mengirimkan banyak bidadari yang senantiasa mengelilingingnya dalam segala keindahan dan kenikmatan dunia. Gerald bukan hanya mengubah dirinya tapi dia telah menyulap ratusan bahkan ribuan orang di belakangnya. Termasuk orang-orang yang dulu pernah mencaci dan merendahkannya. Gerald Mahardika telah menjadi Pria Terdahsyat dengan perjuangan dan romantikanya yang sangat mendebarkan. Kini sosoknya sangat dikagumi dan ditakuti oleh semua kawan maupun lawan. Tak satu kemewehan pun yang tak bisa dinikmatinya dan tak satu wanita pun yang tak bisa ditaklukannya. Inilah Gerald Sang Penakluk
View More視界が、ぐらりと揺れた。
何かが砕ける音。誰かの叫び声。
身体が宙を舞い、叩きつけられた。
途端に身体を引き裂かれるような痛みが全身を走る。
耳鳴りが酷くて、周りの音が何も聞き取れない。
空気が薄くなったかのように、息が苦しく呼吸ができない。
頭がズキズキと割れるような痛み。
一体何が起きたのか分からない。その時、自分のスマホが転がっているのが目に留まった。
「う……」
朦朧とする意識の中で沙月は夫――天野司の電話番号を振るえる指先でタップした。
トゥルルルル……
耳元で聞こえる呼び出し音が続く。
(お……願い……出て……)
しかし……。
プツッ!
通話が切れた……いや、切られてしまった。
「フ……」
沙月は小さく笑った。
馬鹿な話だ。彼は一度だって、沙月の電話に出たことは無い。いつも無情に切られてしまうのは分かり切っていたはずなのに。
急激に自分の意識が遠くなっていく。
(ひょっとして……これが死ぬということなのかも……)
もしこのまま死んだら、自分の遺体を引き取ってくれる人は、いるのだろうか?
誰か、泣いてくれるだろうか?
それとも身元不明の遺体として荼毘に付されてしまうのだろうか……?
そんなことを考えながら、沙月の意識は闇に沈んでいった――
****
沙月が次に目覚めた場所はベッドの上だった。
辺りには消毒液の匂いが漂い、廊下は騒がしく看護師の声が聞こえてきた。
「交通事故です。数十人の負傷者が出ています」
看護師の声が飛び交い、ストレッチャーが廊下を走る音が聞こえている。
「また……病院……?」
天井の白さが眩しく思わず目を細めたとき、看護師が現れて急ぎ足でベッドに近づいてきた。
「天野さん? 目が覚めたのですね? 良かった……あなたは交通事故に遭って病院に運ばれてきました。事故のことは覚えていらっしゃいますか?」
「……はい」
沙月の脳裏に事故に遭った瞬間の出来事が蘇る。
「天野さんは事故で脳震盪を起したので経過観察が必要です。原則としてご家族の付き添いをお願いしているのですが、連絡の取れるご親族はいらっしゃいますか?」
「家族……」
沙月には付き添ってくれるような家族はいなかった。
2年前――
あの強引な契約結婚以来、彼女は天野家から「家族の体面を守るため」、外部との連絡を絶たれていたのだ。
友人に連絡することも、実家に頼ることも許されなかった。
今、頼れるのは天野家だけ。
けれど、そこでも彼女の立場は弱かった。
仕事もなく、社会からも孤立している。彼女は、ただ「妻」という肩書きだけで天野家に縛られていた。
「では……連絡を入れてみます……廊下で……電話しても……いいでしょうか……」
看護師の前では司に電話をかけたくはなかった。彼が電話に出ることも無く一方的に切ることは分かり切っていたからだ。その姿を見られたくなかった。
「……ですが、脳震盪を起しているのに起き上がるのは無理です。もし、私がいることで電話をかけにくいなら席を外しますから、こちらでかけてください」
看護師は沙月の枕元にスマホを置くと、病室から去って行った。
「……」
繋がるはずのないスマホを握りしめたとき、廊下から会話が聞こえてきた。
「聞いた? 13号室の患者さん、朝霧澪さんらしいよ!」
(朝霧……澪?)
その名前に沙月は反応した。視線を動かすと、2人の看護師が沙月の部屋の前で立ち話をしている。
「え? 朝霧澪? 最近ネットで話題のニュースキャスターでしょ? どうして入院してるの?」
「多重事故で、腕を怪我したのよ。大した怪我でもないのだけど、顔で食べてる人だから、やっぱり普通の人よりデリケートね。それに若い男性もいたのよ! 以前財経雑誌で見た天野グループの超イケメン御曹司にそっくりだったの! 絶対あの雰囲気だと恋人同士に違いないわよ」
興奮しているのか、看護師の声が大きくなる。
「その話、本当なの? だって噂じゃ、数年前に極秘結婚したって騒がれていたじゃない。……もしかして朝霧さんが相手だったの?」
(結婚相手……)
沙月の心臓の鼓動がドクドクと早まる。
その時。
「あなたたち! こんなところで患者さんの噂話をしているんじゃないの! 早く持ち場に戻りなさい!」
突如、2人を叱責する声が聞こえた。
「は、はい!」
「すみません! 師長!」
慌てた様子で謝罪し、足音が遠ざかっていった。
「朝霧……澪」
天井を見つめていた沙月はポツリと呟いた。
朝霧澪――天野司の初恋の相手。
彼女は海外にいるはずではなかっただろうか? しかも……司が一緒にいる?
沙月は痛む身体を何とか起こし、ベッドから降りた。
壁に手をつき、ふらつきながら廊下を歩き……気づけば13号室の前に立っていた。
扉は少し開いており、隙間から見えたのは――
司が病床のそばに座り、澪の手をそっと握る姿。沙月が今まで見たことのない優しい笑みを浮かべていた。
「!」
その瞬間、沙月は息が詰まりそうになった。
胸の中の感情を必死に押さえようとするが、澪の声が耳に飛び込んできた。
「良かったわ……子供は無事で」
澪が自分のお腹にそっと手を当てる様子を見てしまう。
ドクンッ!
世界が一瞬静まり返った。
(子供……? まさか……もう2人に子供がいた……?)
沙月の全身から血の気が引いていった――
Sore harinya Bu Nina memintaku untuk mengantarnya pulang. Tentu saja dia bukan benar-benar ingin pulang. Sepanjang perjalanan otakku tak pernah bisa diam, dipenuhi dengan berbagai obsesi liar. Bahkan beberapa kali aku sengaja memancing Bu Nina dengan obrolan yang sedikit panas dan menjurus mesum. Namun beliau sepertinya selalu mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia masih jengah dengan peristiwa tadi pagi, namun aku sendiri menduga jika dia sengaja mengajakku pulang duluan karena ingin mengulanginya. “Ke Duta Permata aja, Ger.” Tiba-tiba Bu Nina bicara tegas setelah mobil melaju di jalan raya. “Kita mau Ke hotel, Bu?” tanyaku memastikan. “Ya,” balas Bu Nina pelan, dan dengan santainya menganggukkan kepala seraya tersenyum. Dengan semangat 45 aku melajukan mobil Bu Nina menuju hotel yang dia sebutkan. Tak sampai setengah jam kemudian kami pun tiba di depan hotel yang berlokasi dekat dengan salah kampus negeri ternama. Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di
Wajah Bu Nina semakin tampak merah merona namun matanya seolah sudah terpatri di selangkanganku. Batang zakarku pun sepertinya merasakan itu, dia bergerak-gerak sendiri seolah mengangguk-angguk memberikan penghormtan pada Bu Nina. Bu Nina pun melangkah menuju ke arah jam tangannya yang tertinggal. Pikiran mesumku semakin menjadi-jadi maka dengan cepat aku tutup pintu jamban. “Gerald kamu apa…ap…apaaan?” Bu Nina bertanya dengan suara yang sedikit gelagapan. "Maaf Bu, ta.. pi.. Ibu benar-benar sangat menggoda dan menggairahkan saya." Entah siapa yang mengajariku untuk bicara frontal dan kurang ajar pada mantan Kepala sekolahku. Aku bahkan tidak memikirkan apa akibat dari permainan dan perkataan gilaku ini. “Kamu.. sudah gila apa, Gerald!" sentak Bu Nina. Namun belum sempat kujawab pertanyaannya dia kembali menyahut. "Ibu sudah menduga kamu dari kejadian tadi malam, tapi kamu harus tahu bahwa Ibu sudah bersuami dan lagian ibu kan sudah tua, Gerald!" Dia mencoba menyadarkan aku. "Tap
Aku bertanya dalam hati mimpi apa semalam sehingga memperoleh keuntungan dobel. Pertama memegang buah dada indahnya, yang kedua bisa melihat bokong dan pahanya walaupun agak sedikit samar. Tak terasa celanaku semakin sempit karena senjata kesayanganku pun ikut-ikutan menggeliat. Tanganku meraba rudalku dan membuat remasan-remasan kecil. Tak puas dengan itu aku mengeluarkan batang rudalku sehingga dapat berdiri bebas mengacung. Aku yakin Bu Nina tidak akan melihat polahku yang super gila ini. Sepertinya Bu Nina sudah selesai buang air kecilnya. Dan ketika akan naik ke atas, aku ulurkan tanganku dan menariknya. Aku minta Bu Nina berjalan di depanku dengan alasan aku mengawal kalau ada apa-apa. Namun yang sebenarnya bukan karena itu, tapi aku bisa bebas membuat rudalku terjulur keluar dari seleting celanaku. Sensasi ini aku nikmati sampai ke dekat tenda pembina. Kami melanjutkan ngobrol sampai akhirnya acara jurit malam selesai. Malam sudah larut bahkan menjelang dini hari, kami pembi
“Geer, udah dulu bersih-bersihnya!” Teriakan ibuku mengagetkan. Saat ini aku sedang berada di rumah ibuku dan membantu membersihkan kebun belakang. Kedua adikku pun ikut membantu. Kami semua pun sontak menghentikan segala aktifitas, walau hanya sekedar menyiangi rumpat pada sayuran yang rencananya beberapa hari lagi akan dipanen oleh tengkulak yang sudah mondar-mondir kebelet pengen membelinya. “Ada apa, Ma?” tanya Gayatri, adikku yang baru berusia empat belas tahun kebetulan berdiri tak jauh dariku. “Ada Pak Budi, mau ketemu sama A Gerald,” jawab Ibu sambil menyodorkan handuk kepadku. Perintah halus agar aku segera mandi atau setidaknya mencuci anggota tubuhku yang kotor. “Pak Budi mana?” Aku balik bertanya sambil mengernyitkan dahi, banyak sekali nama Budi di kampung ini, terutama yang sudah dewasa. Kalau anak-anak muda rasanya sudah jarang sekali yang bernama ‘Budi.’ Kata ibu, dulu nama Budi dan Wati adalah nama pavorit di seluruh Indonesia. Gak tahu mengapa bisa demikian. “Pa
Aku hanya mengganguk dan tersenyum seraya sedikit menunduk, lalu dengan pelan berjalan mendekati Bu Ardy yang kini sudah kembali tengkurep di atas kasurnya. Dengan jantung yang semakin tak karu-karuan dan dalam intimidasi tatapan nenekku, aku memulai kerjaku dengan memijat pelan-pelan pergelangan kaki Bu Ardy, seperti biasa saat aku memijat teman-temanku atau tetangga lelakiku yang kadang iseng meminta dipijat. Titik titik pergelangan kedua kaki Bu Ardy kupijat dengan tekanan cukup kuat tapi tidak sampai membuatnya kesakitan. Setelah pergelangan kaki, aku pun mulai memijat betisnya, tak lama naik ke paha, pantat lalu punggung. Itu hanya pijatan adaptasi atau perkenalan awal dengan tanpa menggunakan lotion. Pelan tapi penuh tekanan, aku memijat telapak kaki Bu Ardy. Sesekali aku melirik pada nenekku, takut kalau pijatanku salah. Namun nenekku sama sekali tidak memberikan respon, tampaknya memang pijatanku masih sesuai dengan prosedur yang selama ini dia terapkan. "Enak loh pijatan
Kurang lebih jam setengah tujuh malam, aku sudah bersiap mengantar nenek ke emplasemen dengan motor Umi Yani. Emplasemen adalah sebutan untuk kompleks perumahan yang dihuni oleh para petinggi atau pejabat perkebunan yang lokasinya bersebelahan dengan kampung tempat tinggalku. Jaraknya kurang lebih tiga kilo meteran. Untuk ukuran kampung masih terasa dekat, karena biasanya ditempuh dengan jalan kaki. Sejak kakek meninggal dunia, aku yang selalu mengantar nenek jika ada panggilan memijat ke tempat yang jauh. Aku tidak mengizinkan beliau naik ojek karena sebagain besar tukang ojek di kampungku bermata keranjang. Dan sebagaimana janda yang lainnya, nenek pun terkadang masih suka digodain. Sungguh edan memang mereka itu, hehehe. "Parkir dulu motornya, Ger, jangan lupa kunci stangnya juga," ucap nenek saat kami sudah tiba di depan rumah keluarga Pak Ardy yang akan dipjatnya. Menurut nenek, Pak Ardy adalah salah seorang pejabat di perkebunan itu. Tidak berapa lama pintu rumah Pak Ardy
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments