Gerald sedang dirundung malang. Pikirannya suntuk karena kuliahnya terancam droup out akibat orang tuanya benar-benar mengalami kesulitan ekonomi yang sangat dahsyat.
Gerald sebannya tidak tinggal diam. Setiap hari mendatangi banyak restaurant, kantin, kios, bengkel hingga warung-warung kecil yang mungkin sedang membutuhkan karyawan lepas. Gerald mau bekerja apa saja asal tetap bisa melanjutkan kuliahnya yang tinggal dua tahun lagi. Namun semua nihil.
Ketika itu sudah hampir empat Gerald tinggal di kostan Bu Ana. Tinggal di sana awalnya secara tidak sengaja dia dipertemukan dengan Bu Ana di pasar.
Waktu itu Bu Ana yang sedang berbelanja kecopetan tas tangannya yang berisi uang dan perhiasan yang akan dijualnya, atas tukar tambah yang lebih besar. Bu Ana berteriak minta tolong. Banyak yang mengejak copet itu, namun Gerald yang kebetulan ada di sana yang bisa menangkap copet itu sekaligus mengambil tas Bu Ana.
Sang copet babak belur dihamili masa, sementara Gerald mengembalikan tas tangan itu kepada pemiliknya. Sebagai ucapan terima kasih Bu Ana memberikan sjumlah uang pada Gerald. Mereka pun lantas ngobrol basa basi berkenalan. Bu Ana juga mengajak Gerald makan bakso yang tak jauh dari sana. Di kedai bakso itulah Gerald bercerita jika dia sedang mencari tempat kost yang baru, karena ada masalah di tempat kost yang lama.
Bagai sebuah jodoh dan pertemuan yang telah diatur, ternyata Bu Ana adalah seorang pemilik kost yang kebetulan ada dua kamar yang sedang kosong, karena baru dua minggu yang lalu kedua penghuninya lulus kuliah dan pulang kampung ke Jambi.
Gayung bersambut, Gerald pun pindah kost ke tempat Bu Ana. Sungguh dia merasa sangat beruntung karena walau tempatnya sedehana namun lingkungannya sangat baik. Dengan harga yang lebih murah dari tempat kost sebelumnya, justru Gerald mendapat fasilitas lebih baik, bahkan juga lebih dekat ke kampusnya.
Bu Ana seorang ibu rumah tangga yang sangat baik pada semua orang, terlebih pada semua anak kostnya. Bahkan Gerald mendapatkan perhatian lebih. Ketika dia terlambat membayar uang ksot pun Bu Ana tetap adem ayem. Mungkin dia masih teringat jasa Gerald yang telah menyelamatkan perhiasan dan uangnya dari upaya penopotean itu.
Gerald justru merasa tidak enak hati. Kebaikan Bu Ana dan suaminya seolah dia manfaatkan dengan melalaikan kewajiban. Namun mau bagaimana lagi, orang tua Gerald benar-benar sedang mengalami krisis keuangan. Mereka pasarah dan menyerahkan sepenuhnya pada Gerald mau melanjutkan kuliah atau mau kerja.
Gerald pun akhirnya sering berada di luar kost untuk mencari pekerjaan walau belum ada hasil yang menggembirakan. Selain itu juga, dia memang masih berusaha menghindar agar tidak bertemu dengan Bu Ana karena sudah sangat malu, walau tidak pernah ditagih.
Siang itu, sepulang kuliah, Gerald tidak mencari pekerjaanan karena sudah mulai lelah. Dia langsung pulang dan rebahan di kamar kostnya sambil berpikir keras untuk menentukan langkah selanjutnya. Dia sengaja datang dengan cara agak sembunyi-sembunyi.
Tok tok tok..
”Ger, Gerald ada di kamar gak?” Terdengar pintu diketok, lalu suara Bu Ana manggilnya.
Gerald yang sudah agak lama rebahan, sontak terbangun, lalu dengan sigap memakai kembali pakaiannya dengan lengkap, seperti saat baru pulang kuliah. Saat rebahan Gerald hanya mengenakan celana dalam, karena cuaca siang itu sedang panas dan di kamarnya tidak ada kipas angin.
“Iya, Bu, saya sedang ganti pakaian sebentar,” sahut Gerald dari dalam kamar, setelah dia selelasi berpakaian dan masih beberapa kali Bu Ana mengentuk pintu dan memanggil-manggilnya.
”Cepetan ya pake bajunya, ibu sedang ada perlu mau bicara penting dengan kamu, Gerald,” sahut Bu Ana.
Gerald benar-benar tahu maksud ucapan ibu kostnya. Dia hanya bisa pasrah dan sama sekali tidak kaget. Sadar sesadar-sadanya cepat atau lambat Bu Ana akan mengusirnya. Kamar kost ini disewa dengan uang bukan dengan janji dan janji.
“Iya Bu, maaf agak telay, ini saya udah beres, kok.” Gerald berucap sambil membukakan pintu kamarnya dan tak diduga Bu Ana justru masuk ke kamarnya.
Gerald sedikit tersentak karena baru kali ini Bu Ana masuk ke kamarnya, saat dia sedang ada di kamar. Untung saja dia sudah berpakaian sopan. Bu Ana berdiri tepat di depan Gerald. Dia bahkan harus tengadah karena tinggi badannya hanya sebatas dada Gerald.
“Ibu cuma mau ngingetin aja, uang sewa kamarmu udah telat tiga bulan, Ger.” Bu Ana berucap kalem.
“I…iya Bu sa..saya ngerti, ma.. maaf saya belum bisa bayar.” Gerald menjawab sambil menunduk menatap Bu Ana yang justru malah tersenyum.
“Tenang aja, ibu gak nagih sekarang, kok. Ibu pengen ngobrol aja sama kamu, kan udah lama gak ngobrol. Ibu lagi kesepian, kan Heru sama Bimbim gak ada. Udah lima hari melaksanakan KKN. Terus Gerald juga tiap hari pergi-pergian terus,” ucap Bu Ana.
“I…iya maaf, Bu. Saya pergi-pergian karena sedang cari kerjaan, soalnya….”
“Iya, ibu udah tahu dari Heru dan Bimbim. Duduk sini, Ger!” ucap Bu Ana sambil mengajak Gerald duduk di pinggir ranjang.
Gerald merasa sedikit bingung dan canggung. Baru kali ini dia berdua dalam kamar tertutup bersama ibu kostnya. Terlebih lagi keadaan kost sedang sepi karena dua temannya yang sudah tingkat tiga sedang melaksanakan KKN. Gerald bhkan tidak tahu dimana mereka KKN, karena jarang komunikasi.
”Maaf Bu, kalau uang sewanya saya cicil, boleh? Soalnya orang tua saya sudah menyerah. Sepertinya mereka tdak bisa membiayai lagi kuliah saya,” ucap Gerald sedikit memohon, setelah dia duduk di pinggir ranjang berdampingan dengan ibu kostnya.
Bu Ana terlihat sedikit berpikir, lalu kembali tersenyum sambil menatap Gerald, “Hmmmm, boleh aja sih. Tapi nyicilnya jangan terlalu lama, ya. Beneran kamu gak dikirimi uang lagi sama orang tuamu? Apa jangan-jangan dipake pacaran?” Bu Ana sedikit menyelidik.
“Ah, boro-boro pacaran, Bu. Demi Allah, orang tua saya sudah tidak sanggup lagi membiayai saya. Mungkin bulan ini, terakhir saya tinggal di sini. Tapi Insya Allah utang uang kost pasti saya cicil. Doakan saja, saya segera dapat pekerjaan,” jawab Gerald hati-hati karena melihat raut wajah Bu Ana yang tampak berbeda.
“Huh, laki-laki sama aja, suka banyak alasan. Kalau lagi ada maunya, semua dia berikan pada perempuan yang diinginkannya. Kalau udah bosen aja, dilepehin kaya ampas. Semua laki-laki itu sama aja kaya Pak Sukardi!” keluh Bu Ana dengan nada yang ketus karena kesal.
Untuk beberapa saat Gerald melongo dan tertegun. Heran campur bingung dengan ucapan Bu Ana yang dipikirnya tidak nyambung. Namun demikian dia berusaha memahami kejiwaan ibu kostnya.
Mungkin Bu Ana sedang marah pada suaminya yang baru beberapa bulan punya istri baru. Selama Gerald tinggal di sana, dia nyaris belum pernah bertemu dengan suaminya Bu Ana, karena tinggal dengan istri mudanya. Wajar ketika semua anak kostnya pergi, Bu Ana merasa kesepian.
“Maaf ya Ger, ibu keceplosan, soalnya sedang kesal sama suami ibu. Dia cuma perhatian sama si Marni. Mentang-mentang masih muda. Jujur aja ibu itu sudang ngerasa seperti istri yang gak dianggap. Kalau nafkah lahir memang tidak dikurangi, tapi kan istri itu bukan hanya butuh nafkah lahir, Ger!”
“Wah kalau masalah keluarga, saya sama sekali belum paham, Bu,“ jawab Gerald makin merasa canggung dan rikuh.
“Gak apa-apa, ibu hanya mau curhat aja sama kamu, boleh kan?” Bu Ana kembali berucap lirih dan sendu.
Gerald tidak bisa menjawab. Benar-benar bingung dan tidak mengerti dengan urusan rumah tangga. Andai pun memahami, tentu tidak layak jika harus ikut campur urusan rumah tangga orang. Walau Bu Ana induk semangnya.
“Aduh, ma..maaf Bu, saya sekarang harus ke rumah teman. Udah janjian dari tadi, gak enak dia udah nunggu-nunggu. Saya mohon pamit dulu, Bu.”
Setelah berpikir keras bagaimana cara bisa keluar dari keadaa yang sangat rikuh dan tidak mengenakan itu, Gerald akhirnya mencoba mengusir Bu Ana dari kamarnya dengan sangat halus.
“Oh ya udah, nanti kapan-kapan, ibu mau curhat ya sama kamu, Ger!”
“Siaap Bu, tapi maaf, saya belum paham urusan rumah tangga, paling hanya bisa jadi pendengar setia aja.”
“Gak papa. Ibu juga cuma mau curhat aja kok, bukan diskusi,” ucap Bu Ana sebelum dia keluar dari kamar Gerald. Raut wajahnya tampak kecewa.
Gerald terpaksa berbohong karena tidak ingin ada fitnah di antara mereka. Berduaan di kamar kost yang dalam keadaan sepi, tentu akan mudah hadirnya pihak ketiga, ialah Syaiton Nirozim.
^*^
Alasan yang dibuat-buat pada Bu Ana, akhirnya membuat Gerald bingung sendiri. Sejatinya dia sama sekali tidak punya janji dengan siapapun. Gerald belum banyak punya teman, dan hampir semua temannya tidak tinggal di kost. Mereka bersama orang tuanya dan cukup jauh. Sebagai lelaki yang sudah mengenal dunia esek-esek dan bahkan sudah pernah beberapa kali melakukan hubungan badan, Gerald bukan tidak tahu gelagat Bu Ana yang sepertinya akan membawa dia menuju sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan. Gerald sangat paham, namun dia juga masih menjaga menocba menjaga kewarasannya dan berusaha menjunjung tinggi moral dan etika. Biar bagaimana pun Bu Ana adalah wanita yang sangat dihormatinya. Dan walau tidak terlalu kenal dengan suaminya, namun Gerald yakin Pak Sukardi orang baik. Sebenarnya Gerald tadi sempat berpikir untuk memanfaatkan kesepian Bu Ana. Kalau boleh jujur, Gerald selama ini pun sangat memahami kebaikan Bu Ana pada dirinya yang relatif agak berlebihan dan berbeda, bukan
‘Semoga saja Tante Sonya seorang pengusaha dan mau mengajak aku bekerja di perusahaannya. Kalau dilihat dari penampilannya sepertinya dia memang seorang pengusaha. Semoga saja ini adalah jawaban atas semua doa-doaku dan ibuku. Semoga ada rizki buatku dan kedua adikku, Amiin,’ ucap Gerald dalam hati. Dengan dada yang terasa lega dan disorong sebuah harapan baru dan semangat membara, Gerald mencari barang yang sedang dicari Tante Sonya. Dan sama sekali tidak ada kendala karena memang barang tersebut sangat mudah dicari hampir di semua toko yang menjual aksesotis kendaraan. Ketika akan balik kanan kembali dari toko hendak menemui kembali Tante Sonya, Gerald menghentikan langkahnya karena posnsel yang disimpan di saku celananya bergetar pertanda ada panggilan masuk. “Assalamulaikum Bu,” Gerald pun langsung membuka percakapan telpon dengan ibu kostanya. “Waalaikumsalam, Gerald sekarang sedang di mana?” tanya Bu Ana dengan nada yang terdengar sedikit cemas. “Saya sedang di rumah teman
[Ger, kalau ada waktu, besok tante tunggu di tempat yang nanti tante infokan, kira-kira jam makan siang. Bisa gak] Gerald membaca pesan singkat dari Tante Sonya dengan wajah yang berbinar-binar. Kala itu dia baru saja naik angkot hendak pulang ke kostannya. [Siap Tante] Dengan sigap Gerald segera membalasnya. [Oke, nanti tante infokan lagi ya] balasan dari Tante Sonya kembali masuk dan Gerald membalasnya dengan emot kepalan tangan siap!. Walau tidak tahu apa maksudnya Tante Sonya mengajak kembali bertemu, namun Geralad langsung menyetujuinya karena sangat yakin akan banyak kebaikan setelahnya. Bukan hanya sekedar materi, namun Tante Sonya memang sanggup membuat Gerald nyaman dan percaya diri saat bersamanya. Hampir saja Gerald melanjutkan chatnya itu dengan menanyakan kebernaran jumlah uang yang diberikan Tante Sonya padanya, takutnya salah hitunga atau salah ngasih. Namun dia pikir lebih baik besok ditanyakan langung saat bertemu. Dan Gerald berusaha untuk tidak dulu memakainya, s
Sore sampai malam di hari pertama itu, tugas Gerald benar-benar hanya menemani Umi Yani. Walau pada awalnya tidak terlalu saing kenal, namun lama kelamaan mereka pun menjadi sangat akrab. Terlebih lagi Umi Yani tipe orang yang mudah terbuka kepada orang yang bisa dipercaya. Selama ini Umi Yani memang tidak kenal terlalu dekat dengan Gerald, namun nama Gerald bukanlah sesuatu yang baru baginya. Ustad Umar, Umi Anisa dan tetangga lainnya beberapa kali menceritakan kebaikan seorang Gerald. Umi Yani juga sangat yakin, tidak mungkin adik iparnya meminta Gerald menemaninya, jika pemuda itu tdak bisa dipercaya. Umi Yani justru akan menolak mentah-mentah jika Bang Andre yang menemaninya. Dia sudah tahu siapa Andre yang sebenarnya. Gerald juga mulai mengetahui jika Umi Yani aslinya berasal dari Kuningan. Sementara Ustad Buyamin, berasal dari Bandung sama seperti Ustad Umar. Umi Yani telah dikaruniai tiga anak yang sudah dewasa. Dua laki-laki, satu perempuan. Semua sudah menikah dan tinggal b
Adegan yang sangat panjang dan panas namun tidak terlalu mengesankan. Gerald merasa tak sabar ingin segera merasakan nikmatnya bercinta dengan wanita itu. Khayal dan angannya dipenuhi dengan berjuta kenikmatan yang akan dia dapatkan dibanding dengan percintaan-percintaan sebelumnya. Bibir basah Tante Sonya yang merekah pasrah saat berbicara, tergambar jelas di mata Gerald. Harum tubuh Tante Sonya yang menggairahkan, kembali tercium jelas di hidung Gerald. Kelembutan kulit tangan Tante Sonya dan kenyalnya buat dadanya saat menyentuh lengannya, kemballi semua terasa seperti nyata. Bahkan sang jantan merasakannya teramat nyata. Gerald menelan ludah berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang, seperti ketika waktu dia membayangkan bisa melumat bibir Tante Sonya saat sedang bersama tadi. ‘Sedang apa Tante Sonya sekarang? Apakah dia sedang dicumbu suaminya?’ Pertanyaan terakhir Gerald tiba-tiba dia rasa sangat mengganggu dan membuatnya terbakar cemburu dalam birahi. Sungguh sangat mengge
Tangan yang satu lagi beralih ke bawah. Tante Sonya memerlukan kedua tangannya untuk mendaki puncak dahsyat birahinya. Satu tangan untuk menekan kedua jarinya masuk lebih dalam lagi pada lobang surgawi yang menimbulkan rasa nikmat itu, sementara tangan yang lain mengusap-menekan-memilin klitorisnya yang merah dan berdenyut-denyut. Tante Sonya mengangkat pinggulnya, memberikan tekanan ekstra ke seluruh daerah kewanitaannya, menggosok-gosoknya dengan sangat keras dengan kedua tangannya. “Geraaaaald oooh gantengku oooh…” Gerald di kamar kostnya, terus menggosok-gosok dan mengurut batangnya dengan sangat keras. Naik turun tangannya semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Napasnya terengah-engah. Kakinya terasa melayang, padahal keduanya menjejak kasur dengan keras. Satu tangannya yang bebas kini mencengkram seprai, seakan mencegah tubuhnya melambung ke langit-langit. Gerald tak tahan lagi, tubuhnya merinding merasakan tubuhnya yang seperti akan meledak. “Tante Sonyaaaa aaaaah
Feeling Tante Sonya mengatakan jika sebenarnya keadaan Gerald kemarin itu sedang tidak baik-baik saja. Itu bisa dia bandingkan dengan raut wajah Gerald antara saat ini yang tampak jauh lebih cerah dan semringah. "Gak rahasia sih, Tan. Hanya memang kurang enak didengarnya.” Gerald akirnya menjawab pelan dalam keragu-raguan. Hatinya terus bertanya-tanya apakah pantas dia menceritakan keadaan dirinya yang sejujurnya. “Apa tuh yang kurang enak didengar? Bicara jujur aja Ger, gak usah ragu, siapa tahu tante bisa bantu solusinya kalau memang itu sesuatu yang kamu butuhkan.” Tante Sonya sengaja melontarkan kalimat itu agar Gerald tidka merasa sendirian dalam mengatasi kesulitannya. “Hmm memangnya beneran Tante mau tahu?" tanya Gerald seraya menebak-nebak isi kepala lawan bicaranya. "Iya lah, Ger. Kalau gak mau tahu, ngapain juga tanya-tanya kamu terus. Dari kemarin, tante merasa sebenarnya ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Ada apa sih Ger?" Tante Sonya bicara semakin lembut, tak uba
Umi Anisa bergelinjang manja dan menggoda. Dia meramas-remas kedua payudaranya sendiri sambil mendesah-desah lembut mengiringi setiap gerakan tangannya. Wanita yang kesehariannya terkesan sangat alim dan setia itu benar-benar telah terbakar libido dan gairah seksualnya. Bang Andre yang bertubuh tinggi besar dan bekulit agak gelap itu pun berdiri gagah. Tangan kanannya memegangi dan memainkan batang kejantanannya. Sinar matanya nanar menatap sayu Umi Anisa yang menggelinjang di atas kasur. Mereka saling bertatapan dan saling beradu senyum mesum yang tersungging dari keduanya. Dengan gerakan perlahan, layaknya binatang berkaki empat, Bang Andre naik ke atas ranjang mendekati tubuh bugil Umi Anisa. Kedua tangan Bang Andre memegangi kedua paha istri Ustad Umar itu dengan lembutnya, lalu melebarkannya. Tak lama kemudian Bang Andre menunduk lalu membenamkan wajahnya di selangkangan Umi Anisa. “Oooowhsss, Andreee ssssst…” Umi Anisa melenguh panjang dengan kepala menghentak. Sementara kedua