Kabut pagi menggantung di atas Desa Terungkam, seperti selimut roh yang enggan beranjak. Udara dingin menggigit, meski matahari sudah mulai naik. Namun sinarnya tak mampu menembus awan kelabu yang menyesakkan langit.
Di depan batas hutan yang membentang menuju Gunung Watuwesi, Raka berdiri diam. Ia mengenakan jaket tua, sepatu bot bekas, dan membawa ransel ringan. Di tangannya tergenggam selembar sobekan kain mantra berlumur darah ayam hitam, pemberian Nyai Lara. Dari belakang, suara Naya memecah kesunyian. “Kau yakin mau ke sana sendiri?” Raka tak menoleh. “Tama satu-satunya orang yang pernah kembali dari sana. Kalau ada satu jiwa yang bisa jelaskan apa ini semua, itu dia.” Naya mendekat. “Kau tahu, banyak orang masuk ke sana. Tapi cuma satu yang keluar. Dan dia pun… bukan lagi manusia sepenuhnya.” Raka menarik napas dalam, laluDesa Tunggala kini terjebak dalam senyap yang tidak wajar. Suara jangkrik pun enggan bersuara. Angin yang biasa menyapa dedaunan, malam ini berhembus seperti bisikan maut. Sejak gerbang kedua terbuka, batas antara dunia manusia dan neraka menjadi keruh. Tidak terlihat jelas mana yang masih nyata, dan mana yang mulai terinfeksi kegelapan. --- Di ujung utara desa, rumah Mak Ciah berdiri sunyi. Lampunya berkedip lemah, seperti napas terakhir seseorang yang akan mati. Saat jarum jam menunjukkan pukul 03.33 dini hari, terdengar ketukan lembut di pintu kayunya. Tok. Tok. Tok. Mak Ciah yang sudah renta bangun dari pembaringan. Ia menyalakan pelita dan berjalan pelan ke pintu. Di luar, kabut tebal menggulung seperti kain kafan raksasa. Ia ragu. Siapa yang datang sepagi ini? “Siapa di sana?” suaranya lirih. Tak ada jawaban.
Langit tak pernah cerah lagi di Desa Tunggala. Sejak malam ketika Raka dirasuki dalam mimpinya, bayangan kelam menutup seluruh desa. Matahari tak muncul, embun tak turun, dan kabut tebal menggulung seperti nafas iblis yang tak henti-hentinya membisikkan kehancuran. Air sumur berubah warna. Awalnya keruh, lalu memerah, dan sekarang… menghitam pekat seperti arang cair. --- Di tengah keheningan itu, Raka duduk terpaku di depan cermin yang tergantung di ruang tamu. Cermin tua warisan ibunya, biasa dipakai untuk menyisir rambut dan berdandan, kini memantulkan sosok asing. Sosok itu mirip dirinya, tapi lebih kurus, matanya merah, dan senyum di wajahnya tak manusiawi. “Siapa kau?” tanya Raka, suaranya gemetar. Sosok di cermin membalas, “Aku adalah kamu… setelah gerbang kedua dibuka.” Tiba-tiba cermin retak
Pulang dari Tanah Buta, Raka tak berbicara sepanjang jalan. Langkah kakinya lambat, pandangannya kosong, dan tubuhnya dingin seperti mayat. Bahkan Tama yang tangguh mulai merasa takut. Bukan karena apa yang mereka lihat… tapi karena apa yang kini berada di dalam Raka. Penduduk desa tak menyadari apa yang baru saja mereka bawa pulang. Mereka hanya melihat seorang pemuda dengan luka tipis di dada, tertutup kain hitam. Namun malam hari pertama sejak kepulangan Raka segalanya berubah. Anjing-anjing menggonggong ke arah rumah Raka tanpa henti. Angin berhembus dari arah berlawanan. Dan bulan yang biasanya terang, tertutup oleh awan merah kehitaman warna yang tak dikenal di langit manusia. --- Tama tidur di depan pintu rumah Raka malam itu, berjaga. Tapi di tengah malam, ia mendengar bisikan lirih yang datang dari balik dinding:
Setelah kejadian di kuil tua itu, suasana Desa Terungkam tak pernah kembali seperti semula. Warga yang ikut dalam pemujaan malam itu ditemukan pagi harinya di tengah sawah, dalam kondisi linglung, tak mengenali keluarga mereka, dan sebagian bahkan kehilangan lidahnya. Tama membawa Raka ke tempat yang disebut "Tanah Buta" daerah di balik bukit kelam, tempat tak ada satupun tumbuhan tumbuh. Di sanalah ia berniat menemui satu-satunya orang yang bisa menjelaskan lebih jauh tentang kekuatan dalam tubuh Raka. “Namanya Pendeta Jatri, dulu ia penjaga ilmu hitam kerajaan terakhir yang mengunci gerbang pertama. Tapi sejak desa ini dikutuk, ia hilang. Orang-orang bilang dia sudah mati. Tapi aku tahu... dia hanya menghapus dirinya dari ingatan penduduk.” Raka mengernyit. “Bagaimana mungkin seseorang bisa menghapus dirinya dari ingatan?” Tama menatapnya, serius. “Kalau kau bisa menutup gerbang
Pagi di Desa Terungkam tak lagi terasa seperti pagi. Matahari muncul tanpa cahaya, seolah tertutup tirai halus tak kasat mata. Kabut menebal, tak hanya di kaki gunung namun menyelimuti rumah-rumah, sawah, dan bahkan ladang kuburan tua di sisi barat desa. Raka kembali bersama Tama dari gua, menyusuri jalan tanah dengan langkah berat. Tubuhnya masih terasa gemetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena kata-kata terakhir makhluk penjaga itu terus terngiang: “Tuan kami… penutup terakhir… atau pembuka keempat…” Sejak tiba di rumah, Raka tak bicara. Ia hanya duduk di ambang jendela, menatap langit yang tak lagi biru, dan burung-burung yang tak kembali dari hutan. --- Malamnya, suara lonceng kecil terdengar dari arah balai desa. Raka keluar dan melihat beberapa warga berjalan pelan ke satu arah, wajah mereka kosong, mata mereka lurus, dan kaki mereka
Raka terbangun dari tidur mimpinya seperti ditarik dari lubang air yang dalam. Napasnya memburu, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Api biru di tengah gua telah meredup, menyisakan bara-bara kecil yang masih berkedip pelan, seakan bernapas. Ia menggenggam dadanya tanda melingkar itu kini tampak menyala samar. Kulit di sekitarnya memerah dan berdenyut, seolah di bawahnya ada sesuatu yang mencoba keluar. Sejak mimpinya di dalam api, ia tak lagi merasa sebagai manusia sepenuhnya. Ada bisikan-bisikan kecil di kepalanya. Berbisik dalam bahasa yang belum pernah ia dengar, tapi anehnya… ia mengerti. Suara Tama memecah ketegangan. “Dia bicara padamu, bukan?” Raka mendongak. Tama duduk membelakanginya, di ujung gua, menatap dinding penuh simbol yang tergurat seperti luka purba. Ia tidak menoleh. Suaranya datar, tapi penuh beban. “Makhluk besar itu,” lanjutnya, “