Home / Horor / Gerbang Neraka: Desa Terakhir / Bab 50 : Lorong Takdir yang Patah

Share

Bab 50 : Lorong Takdir yang Patah

Author: Rafi Aditya
last update Last Updated: 2025-07-06 19:19:32

Tangga batu menurun tanpa ujung, memakan cahaya lentera satu demi satu. Di belakang mereka, gerbang batu perlahan menutup dengan suara retakan keras, seolah memutus mereka dari dunia di atas. Raka, Ayuna, Yunaka, Darma, dan si gadis kecil Luri melangkah hati-hati, hanya ditemani suara detak jantung masing-masing dan napas berat yang berembun.

“Lorong ini bukan hanya tempat,” kata Darma dengan suara serak. “Ini... semacam ruang waktu yang patah. Diciptakan oleh Ereth untuk menjebak roh yang terlalu tahu banyak.”

Luri, yang berada paling depan, mengangguk pelan. “Ini disebut Koridor Takdir. Di sini... kalian tidak melihat masa lalu. Kalian akan melihat masa depan yang mungkin, atau yang kalian takutkan akan menjadi nyata.”

Mereka terdiam. Ayuna menggenggam liontin ibunya erat, Yunaka mencengkeram gagang pedangnya, dan Raka mengatur napasnya. Mereka terus berjalan, lalu mendadak...

“Raka…”

Suara itu datang dari depan lorong. Bukan Luri. Bukan Darma. Bukan siapa-siapa yang bersa
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 76 : Tanda dari Langit Terbelah

    Langit di atas Desa Terakhir tampak terbelah dua. Sebelah barat tampak kelabu seperti jelaga, dan sebelah timur memancarkan warna merah keunguan yang menyilaukan. Burung-burung tak lagi berkicau, dan suara angin seolah ditelan kehampaan. Segala sesuatu terasa salah seolah dunia itu sendiri lupa bagaimana cara bernapas. Raka berdiri di atas tanah yang mulai merekah. Di sekelilingnya, akar-akar hitam merambat dari retakan tanah, seperti jemari raksasa yang ingin mencengkeram permukaan dunia. Malini berdiri di belakangnya, tubuhnya masih lemas namun sorot matanya tajam. Mereka tahu, ini bukan sekadar pertanda. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. “Kau dengar itu?” tanya Raka pelan. Malini mengangguk. “Teriakan dari bawah tanah. Mereka belum puas.” Dari kejauhan, terdengar dentuman. Bukan suara ledakan, melainkan seperti detak jantung raksasa dari dalam perut bumi. Suara itu datang berulang, teratur, dan semakin keras. Setiap dentuman membuat udara bergetar, membuat bulu

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 75 : Kelam Setelah Cahaya

    Ketika cahaya itu mereda, Raka terbaring di tengah pusaran debu. Tubuhnya terasa ringan, hampir tak berbobot. Ia membuka mata dengan susah payah, menyesuaikan pandangan yang dipenuhi siluet-siluet kabur. Di sampingnya, Malini tergeletak dengan napas terengah, darah mengucur dari pelipisnya. “Malini... kau... masih hidup?” gumam Raka. Perempuan itu mengangguk lemah. “Tapi... bukan seperti sebelumnya. Kita telah mengikat sesuatu yang seharusnya tetap terpisah.” Raka bangkit pelan. Ruangan bawah tanah itu kini telah berubah bentuk. Dinding-dinding batu runtuh, dan tanah di sekitarnya menghitam seperti arang terbakar. Tak ada tanda-tanda Pak Lurah. Tak ada tanda-tanda hati kristal. Hanya keheningan yang menindih segalanya. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Dari balik puing-puing reruntuhan, terdengar suara langkah. Raka segera menegakkan tubuhnya, bersiap jika iblis atau entitas lain muncul. Tapi sosok yang muncul kali ini berbeda. Tubuhnya tinggi, berjubah kain comp

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 74 : Jiwa yang Terbelah

    Ketika Raka membuka matanya, dunia seolah bergetar. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar, dan bau darah masih menusuk hidung. Ia terbaring di lantai batu, di ruang bawah tanah yang kini hening. Lilin-lilin padam, dan udara begitu dingin seperti menjelang kematian. Tak ada suara. Tak ada Dinda. Tak ada Pak Lurah. Raka merangkak perlahan, tubuhnya remuk seolah habis dihantam gunung. Tapi ia harus bangun. Ia harus tahu apa yang baru saja terjadi. Di sudut ruangan, ia melihat sesuatu: cermin besar yang sebelumnya tergantung di dinding kini tergeletak pecah. Namun, dari potongan kaca yang berserakan, Raka melihat bayangannya... dan juga bayangan lain. Sosok perempuan berambut panjang, berdiri di belakangnya, hanya di pantulan. “Dinda?” bisik Raka. “Bukan.” Suara itu dingin, tegas, dan asing. “Aku... adalah bagian dari dirimu sekarang.” Raka menoleh, tapi di dunia nyata tidak ada siapa-siapa. Ia menyentuh kaca, dan dalam sepersekian detik, ia melihat wajah Pak Lurah terdistorsi di

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 73 : Cermin Berdarah di Dinding Selatan

    Hujan tak kunjung reda sejak Raka kembali dari Gerbang Kedua. Desa itu masih dingin, sunyi, dan seperti mati perlahan. Namun, malam ini berbeda. Angin membawa bisikan yang tidak berasal dari dunia manusia. Dan di rumah kosong tua dekat hutan selatan sebuah cahaya merah tampak berdenyut pelan dari balik jendela yang tak pernah terbuka. Raka, yang tak bisa tidur sejak pertemuannya dengan jiwa ayahnya, terus merasakan ketegangan di dadanya. Ada sesuatu yang salah. Sangat salah. Dan ketika seekor gagak mati terjatuh di depan rumahnya, mata terbuka lebar dengan darah menetes dari paruhnya ia tahu, panggilan berikutnya telah datang. Ia tidak menunggu. Dibalut mantel hitam dan membawa cincin gerbang yang kini berdenyut hangat, Raka berjalan menyusuri jalanan berlumpur menuju sisi selatan desa tempat yang bahkan para tetua hindari sejak tahun-tahun kelam setelah Pembantaian Ketiga. Di depan rumah kosong itu, jendela berembun merah. Pintu kayu lapuknya sedikit terbuka, dan angin dari dal

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 72 : Sisa Jiwa yang Terpenjara

    Langkah Raka terhenti saat suara itu menyapa telinganya suara ayahnya, begitu nyata, begitu dekat, seolah berbisik dari balik tirai gelap yang menyelimutinya. Jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan, tapi karena kerinduan yang telah lama dikubur. “...Ayah?” gumamnya lirih, matanya mencoba menangkap apapun di sekitar, namun dunia dalam Gerbang Kedua hanya dipenuhi kabut kelabu dan suara-suara samar. Dari sela kabut, sesosok bayangan muncul. Tinggi, ramping, berselimutkan jubah hitam yang robek-robek. Wajahnya samar, namun cahaya redup dari sorot matanya tak bisa dilupakan oleh darahnya sendiri. Mata itu… pernah menatapnya hangat ketika ia masih kecil, sebelum semuanya hancur. “Anakku… Raka.” Suara itu berat, bergema dari dalam dada. “Kau datang… kau telah memenuhi takdirmu.” Raka melangkah maju, setengah ragu, setengah terhisap oleh kekuatan yang mengikatnya. “Apa ini benar-benar kau, Ayah? Atau hanya ilusi yang dipakai iblis untuk memanipulasiku?” Bayangan itu mengangkat

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 71 : Darah Perjanjian

    Angin berhenti berhembus saat nama “Nira” diucapkan. Hutan yang tadinya menderu oleh jeritan tak kasatmata kini membisu, seakan bumi pun menahan napas. Raka memandangi wanita berjubah putih itu, yang mengaku sebagai kakak dari ayahnya. “Kau bilang... kau kakak ayahku? Tapi mengapa tak ada yang pernah menyebutkan namamu?” Nira tidak menjawab langsung. Ia memutar badannya, menatap gerbang kedua yang kini menganga lebar, semburan api biru keluar dari celah-celahnya. “Karena aku telah dihapus dari sejarah desa. Dari ingatan para leluhur. Dituduh sebagai pengkhianat... karena satu pilihan yang kuambil lebih dari dua dekade lalu.” Ayuna melangkah ke samping Raka. “Apa yang terjadi?” “Perjanjian darah,” ucap Nira. “Itulah awal semuanya. Sebuah ritual tua, lebih tua dari desa ini. Leluhur kita dulu bukan hanya petani atau pemuja roh hutan. Mereka adalah pemanggil. Mereka membuka celah antara dunia ini dan dunia yang tak bernama.” Ravas mencibir. “Dan kalian mengira itu ide yang bagu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status