Share

Bab 2 Lelaki Huruf I

“Ayolah Nuuuu, kenalan sama calonnya Ibu! Hem?”

Rayuan yang mampir ke telinga lelaki bertinggi 180 sentimeter itu hanya sekedar angin lalu. Di hari semendung ini, lelaki itu tengah diselimuti kelelahan setelah bekerja sepanjang hari. Sehingga lelaki berwajah tampan yang masih berseragam loreng dengan wajah penuh coretan samaran itu hanya melengos meski yang merayu adalah ibu kandungnya.

Dia tak peduli, cuek selangit. Bahkan, tubuh tegapnya berhasil menepis tangan sang ibu yang hendak bersandar di bahunya. Membuat sang ibu mencibirnya gemas. Ibu berparas ayu itu sudah biasa dicuekin si bungsu yang seorang tentara itu.

Lelaki bernama Inu itu menatap ibunya dengan pandangan yang sama, enggan dan frustrasi. “Ibu nggak tahu kalau Inu udah punya pacar?” omelnya dengan kesal sambil menghapus tinta samaran dengan tisu basah.

Sang Ibu melengos dan terus merepet pada si bungsu yang tampak makin enggan. Tentu karena kalimat selanjutnya adalah kalimat klasik yang diulang-ulang pun tetap sama. “Keluarga kita nggak suka pacarmu. Paham, ‘kan?” Begitulah.

Inu mulai meradang. Kelelahan yang bercampur emosi seperti api yang menyulut bensin. “Bu, please! Apa salahnya Belva hingga nggak disukai kalian?” katanya dengan suara berat, emosi dan berusaha sabar.

Sang ibu kembali memasang wajah polos tanpa dosa sembari berkata, “dia terlalu cantik, Nu. Gaya hidupnya mewah. Emang bisa menyesuaikan sama dunia tentara? Bukankah istri tentara itu harusnya sederhana?” tanya sang ibu yang membuat Inu tergugah.

Inu hanya menghela napasnya yang sesak. Saat sang ibu duduk pelan di sebelahnya, Inu mulai melamun. Banyak benang kusut di otak seorang Inu.

Lengkapnya, Btara Wisnu Adikara, 27 tahun. Lelaki yang kini hanya bisa terdiam, tenggelam dalam lamunan. Dia yang akrab dipanggil Inu itu tak bisa menjawab lagi saat membahas masalah Belvara, sang kekasih.

Belvara yang menjadi kesayangannya sekarang malah menjadi sumber masalah. Kepelikan itu terjadi karena keluarganya tidak suka dengan Belva. Pertama, karena penampilannya. Kedua, karena gaya hidupnya yang wow.

Entah kenapa, dari Romo sampai Ibu, Pakdhe dan Budhe, hingga kakek sepuhnya tak suka pada Belva. Padahal Belva cantik, modis, seorang calon dokter yang pandai. Sikapnya tertata dan cukup sopan.

Memang benar, penampilannya glamor. Mungkin karena latar belakang keluarga Belva yang mapan. Papa seorang jenderal bintang dua, mama seorang dokter pula. Belum lagi karena Belva tinggal di ibu kota yang ramai dan maju.

Namun, Inu tetap mempertahankan Belva karena wanita itu sudah menemaninya sejak pendidikan tentara hingga lulus dari masa pendidikan di kawah Candradimuka Lembah Tidar selama 4 tahun. Sederhananya, Belva menemani Inu dari nol hingga menjadi perwira muda seperti sekarang.

Belvara bahkan sudah menemani Inu sejak pangkat di pundaknya balok satu hingga balok dua. Belva loyal dan tampak setia. Hubungan mereka tak sesederhana itu.

Namun, tak menjamin keluarga besar Inu menyukainya. Justru Belva yang jelita itu tak mendapat respon antusias saat dibawa ke rumah dan diperkenalkan sebagai kekasih yang ingin Inu nikahi. Diabaikan bak rumput di tepi jalan adalah perlakuan yang diterima Belva saban berkunjung.

Setelah gusar karena ulah sang ibu, kali ini sang budhe atau kakak dari sang romo, kembali mengacaukan pikiran kusut Inu. Lelaki yang hendak merem setelah pulang latihan itu mendadak tak ngantuk lagi setelah sang budhe memasang wajah kepo maksimal.

“Dia cantik banget lho, Nuuu! Budhe udah lihat fotonya!” Budhe Isma, istri Kolonel Dipraja, tak mau kalah mengompori Inu. Celotehan riangnya membuat telinga Inu super gatal.

Inu menatap sang budhe dengan wajah datar. “Ya udah buat Mas Romi aja, Budhe. ‘Kan lajang tuh. Saya udah punya Belva!” Inu nyengir sambil menutup pintu kamarnya keras-keras.

Budhe Isma mesem kecut. Dia maklum kalau keponakan satu ini cukup galak. Apalagi semenjak pakai baju tentara, makin judes saja. Kebawa nuansa loreng yang tegas, walau hatinya sedang merah muda.

Dalam artian, Inu sedang mencintai seorang wanita. Untuk Inu, cuma Belva seorang. Tak ada yang lain, apalagi keinginan berkenalan dengan wanita lain.

Kurang kerjaan, pikir Inu. Benar juga, lelaki memang dinilai dari kesetiaannya, bukan?

Inu melepas dan meletakkan seragamnya ke keranjang baju kotor di sudut kamar. Setelah cuci kaki tangan, dia menghapus sisa samaran dan limbung ke kasur. Kamarnya yang bernuansa abu-abu ini terlihat adem walaupun hatinya membara.

Letih saja kalau Inu bayangkan. Baru saja selesai latihan nembak yang panjang dan melibatkan banyak konsentrasi, dia masih harus menghadapi ibu dan budhenya yang ceriwis itu. Menyebalkan.

Makin menyebalkan saat suara cempreng mampir dari luar kamar. “Kamu bersiap, ya, Nu! Nanti calonmu datang jam delapan malam!” teriak sang ibu dengan nada bahagia.

Inu bangun dari posisi tidur dengan wajah curam judes. “Apalagi sih, Bu! Inu nggak mau!” balasnya tanpa ampun dengan napas tersengal-sengal.

Dia kesal karena diatur seperti anak TK yang hendak baris. Memangnya jodoh dan pasangan itu bisa diatur seperti syuting iklan. Nggaklah, pikir Inu.

“Terserah, pokoknya kamu kenalan aja!” paksa sang ibu alot masih di balik pintu. “Masalah suka atau nggak pikir nanti! Jalani aja dulu!” imbuhnya tetap ngeyel.

“Apaan sih!” gumam Inu tak habis pikir sambil geleng-geleng kepala.

Kekesalannya buyar karena sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari nama yang mungkin bisa mendinginkan amarahnya. Tentu saja, Belva. Dengan semangat Inu membuka dan membaca untaian kata manis itu.

Belvara Angelica

Inu, aku mau ketemu dong! Sore ini, mau nyalon! Bisa nganter, ‘kan?

Inu menghela napasnya, berusaha menarik kesabarannya sedikit. Dia pikir Belva akan menanyakan kabarnya? Atau mungkin sekedar basa-basi sedang apa? Ternyata tidak, malah minta diantar ke salon, yang berarti menambah kelelahan Inu.

Bisa apa. Dia sedang gulana. Inu banyak melamun dan berpikir. Bagaimana jika Belva tahu rencana kedua orang tuanya? Apa yang akan Belva lakukan jika tahu Inu akan dikenalkan pada wanita lain? Di tengah keletihannya, haruskah menambah masalah lagi dengan membicarakan hal aneh ini dengan Belva?

Lelaki tampan berkulit kuning itu mulai gamang.

“Duuh, kenapa lagi sih idup gue? Nggak pernah ada tenangnya!” Inu bergumam sendiri sambil mengacak-acak rambut tipisnya.

Jadi tentara lemah amat malu ama seragam, pikirnya kacau lagi. Ya benar, seharusnya dia setegas dan seangker seragamnya. Dia bisa menghalau musuh negara, tapi lemah di hadapan wanita. Setegas apa pun Inu saat berseragam kodratnya sama, tunduk pada wanita apalagi yang dicintainya.

Inu Adikara

Oke, Cinta. Nanti aku jemput, jam berapa?

Belvara Angelica

Jam 4, oke Cinta?

“Jam empat? Setengah jam lagi! Aduh perempuan!” Inu mengeluh hingga menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mau mengeluh lagi tentang sifat perempuan, tapi terlalu sangsi. Inu terlahir dari seorang perempuan. Serba salah, bukan? Hingga akhirnya dia pasrah. Mengirim persetujuan diakhiri dengan gambar smiley memberi ciuman.

Inu Adikara

Ok 😘

---

Bridgia Gantari POV

“Mbak, boleh minjem mobilnya nggak?”

Di siang yang mendung, aku mengganggu kenyamanan Mbak Rania. Kulongok ke dalam kamarnya yang rapi, kemudian kupandangi lajang berusia 32 tahun itu sedang gegoleran santai di atas sofa kamar. Wajahnya yang cantik mirip Raline Shah itu mendadak berubah saat melihatku. Bukan kepada antusias, melainkan ke malas.

Iyalah malas, aku dianggap akan melangkahinya duluan. Ya, karena rencana konyol bin aneh buatan papi mami it uterus bergulir ke permukaan.

Please, Mbak, nggak usah lihatin aku kek gitu!” tepisku sambil melangkah masuk ke kamarnya.

Dia bangkit dengan malas dan menunjuk dengan dagunya. “Ambil aja di atas nakas!” ucapnya pelan.

“Mau nyalon, ya? Ketemuan sama keluarga calonmu, ‘kan?” celotehnya kemudian.

Sudah kuduga dia pasti membahas itu.

Aku menatapnya tak enak. “Nggak Mbak. Mau rapikan rambut aja. Udah terlalu panjang, ribet kalau mau terbang,” ujarku beralasan.

“Nyalon juga nggak apa-apa, Dek. Biar cantik ‘kan mau ketemu calonnya,” ucapnya setengah menyindir.

Aku menatapnya serius. “Mbak, jangan kepengaruh sama papi mamilah. Rencana itu cuma bualan, omong kosong. Brie masih mau kerja.” Seperti biasa, kutegaskan kalau aku seorang wanita independen.

Mbak Rania mendekatiku kemudian berbisik dengan emosinya, “Brie, papi mami nggak pernah menghayal soal itu. Mereka sangat serius pada nasib percintaan anak-anaknya.”

Aku menjauhkan wajah dan menatapnya tajam. “Ya udah, yang penting Brie nggak mau,” tolakku tetep kukuh.

Perdebatan kami dipotong oleh kedatangan Mami yang tanpa permisi. Beliau masuk dan menambah runyam suasana. Wajah Mbak Rania bagaikan kobokan warteg yang nggak pernah diganti, butek.

“Brie, Mami ikut, ya? Mau ketemu calon besan kudu cantik kinclong. Apalagi calon besan ini pejabat besar di TNI AD.” Mami bercerocos sambil membenarkan kerudungnya.

Aku gantian menatap Mami. “Mi, please, nggak usah makin aneh deh. Brie tetep nggak mau nikah, titik! Kalau mau mantu, mendingan nikahin Mbak Rania aja!” Aku menunjuk Mbak Rania yang manyun.

“Dek, kamu tahu ‘kan kalau semua calon yang Mami kenalkan ke Mbak Rania nggak ada yang cocok. Nggak tahu diajak ngomong apaan sama Mbakmu itu.” Mami kembali menyindir Mbak Rania.

Mbak Rania yang emosi mulai angkat bicara. Dengan tegasnya dia siap melibas Mami, tentu dengan sedikit teorinya yang nggak masuk akal. “Abisnya Mami carikan Rania jodoh yang nggak berkelas. Masa tentara yang kaku dan membosankan kayak gitu. Makin garing dong suasana! Nggak nyambung sama teori Kimia kesukaan Rania!” bela Mbak Rania sengit.

“Makanya kamu jadi wanita jangan terlalu pandai bicara. Lelaki nggak suka kalau kamu terlalu menunjukkan kepandaian. Sesekali turunkanlah egomu, Ran. Jangan kaku macam besi!” eyel Mami alot, “mana ada cowok yang suka diajak ngomongin materi berat saat sedang berduaan. Dia kira lagi kuliah dadakan apa,” cibir Mami tanpa ampun.

Berasa déjà vu, ya? Berada di tengah-tengah perdebatan macam ini seperti adegan di penerbangan redeye tempo lalu. Astaga aku harus gimana?

God, serius? Aku cuma mau minjem mobil bukan mau mantik perang dunia lagi! Mami dan Mbak Rania sudah berhadap-hadapan seperti hendak adu gulat, panco, dan sejenisnya.

Aku menengadahkan tangan ke angkasa, “Setop! Mami dan Mbak Rania, kalau mau berantem Brie nggak ikutan, ya!” larangku tegas.

Mami kemudian mengendurkan tensi dengan napas sesak. Kemudian tangannya yang halus itu merantai tanganku. “Mami ikut Brie ke salon aja!” putus Mami yang membuatku makin pusing.

“Miii serius, biarin Brie sendiri kenapa! Cuma mau rapikan rambut, bukan perawatan!” tolakku enggan. Kutatap beliau dengan depresi.

“Nggak!” putus Mami otoriter. “Pokoknya Mami ikut!” Mami menarikku keluar kamar Mbak Rania yang penuh buku itu.

Menyisakan Mbak Rania yang menghempaskan diri ke kasur dengan wajah merah menahan tangis. Sudah biasalah drama keluarga macam ini. Aku nggak kaget lagi karena sifat mami dan mbak Rania itu sama, alot dan keras kepala.

Tersisalah aku yang harus disiksa mami sepanjang hari ini. Hufttt, situasi macam apa ini? Mendingan ngadepi 10 penumpang daripada satu mami. Mendadak mual dan mulas melanda badan. Nyesel tahu liburan di rumah.

Tahu gitu mendingan aku ikut Icha ke Labuhan Bajo. Di rumah bukannya istirahat, malah harus diperlelah oleh mami dan kawanannya.

“Pakai mobil Papi aja!” putus Mami lagi yang membuatku makin puyeng.

Serius, mobil Papi yang bongsor itu? Malas gila! Alasan kenapa aku mau minjem mobil Mbak Rania adalah karena aku nggak mau pakai mobil Papi. Namun, situasi aneh ini terjadi lagi dan lagi. Mami dan Mbak Rania terlibat debat kusir melelahkan yang tak kunjung hilang.

Membuat sore hariku makin ambyar, aneh. Sumprit, nyesel aku liburan di rumah. Mendingan terbang tiga hari nonstop daripada libur sehari. Terbang dapat uang, libur dapat emosi.

---

Jam empat sore, Pajero Sport papi yang kusetiri sampai di salon langganan Mami di kawasan Jakarta Selatan. Padahal aku nggak suka di sini, wajahku suka dijadikan objek foto. Katanya cantik dan menarik setelah perawatan di sini.

Ya padahal aku perawatan pakai skincare pribadi, bukan karena perawatan di sini. Dasar yang punya temennya Mami. Agaknya aku mulai nggak waras berada di antara manusia-manusia macam ini. Duh, kapan aku punya kehidupan pribadi yang bebas dan menyenangkan?

Capek tahu semua serba diatur mami.

Namun, aku cuma bisa diam dan sabar. Dikarenakan tuntutan pekerjaan yang mendidikku untuk kalem dan ramah pada setiap orang. Terbiasa tersenyum ramah di situasi tersulit sekalipun.

Pembawaan itu tentu ada baik dan buruknya juga. Baiknya disukai banyak orang karena kehadiranku bikin nyaman suasana. Buruknya tersiksa dengan konsekuensi pekerjaan itu. Aku nggak bebas mau berpendapat apa. Semua seperti seenaknya saat memperlakukanku.

“Haiii Jeng! Ini anak bungsuku tolong dikasih perawatan terbaik, ya,” ucap Mami heboh pada Tante Tata, pemilik salon.

“Sore ini dia ketemu calon suaminya,” bisik Mami kemudian yang membuat kepalaku pening.

“Wah, serius, Jeng? Sama siapa?” tanggap Tante Tata nggak kalah heboh.

Mami mengerling matanya sambil membentuk gesture menelepon dengan jemarinya. “Nanti aku kabar-kabar, Jeng. Pokoknya tak serahin anakku ke kamu!” Mami mendorong tubuh kurusku kea rah Tante Tata.

Kemudian tersenyum malu-malu seribu arti. Duh, Mami kursus akting di mana, sih? Jago amat!

“Siap Jeng!” Tante Tata menyeretku ke ruang perawatan, “yuk, Cantik!”

“I – iya, Tante ….” Aku terbata dan pasrah.

Nggak tahu bakalan dimodel apalagi aku ini! Semoga wajahku nggak dirusak sama dia. Gimana nggak, wajah adalah modal utama dalam pekerjaanku. Aku nggak mau modalku sampai kenapa-napa.

Lagian kenapa sih mami harus ketemu sama tante Tata yang ‘unik’ ini? Mungkin ini risiko karena punya mami mantan Putri Indonesia era 80-an. Jadi koneksinya ya gitu, ajaib semua. Belum lagi papiku pengusaha properti sukses di Jakarta, koneksinya sama aja, ajaib juga.

Circle pertemanan mereka aneh-aneh, sampai aku kena getahnya. Dijodohkan dengan putra salah satu rekannya. Bulan Desember ini kenapa sih jahat amat sama aku? Nggak tahu lagi gimana jalan hidupku setelah ini.

Sembari merenungi nasib, sembari merasakan wajahku dipijat lembut. Dikasih cream perawatan yang aromanya mirip bunga lavender. Mungkin supaya aku nggak gampang digigit nyamuk. Lalu rambut sebahuku digulung-gulung, setelah di-creambath. Enak sih, tapi takut kenapa-napa juga.

Sudah kubilang, aku sering jadi sapi percobaan di sini. Pernah dulu habis di-facial, wajahku jadi banyak jerawatnya. Mana penerbangan lagi crowded. Super menyebalkan!

“Cinta, makasih udah nganterin aku, ya? Kamu capek gitu masih disempetin juga.”

Sebuah kalimat bernada genit dan manja membuatku tergoda untuk menoleh. Ternyata ada seorang wanita seumuranku sedang bergelayut manja di bahu tegap pacarnya. Rambutnya yang sedang di-roll tampak berguncang-guncang karena sikap badannya yang merepet minta dibelai manja.

Asoy geboy. Terusin aja sono nyari kamar sekalian!

Menggelikan aja mendengar ucapan muda-mudi yang lagi kasmaran. Berasa kayak mereka sendiri yang mesra. Makhluk lain disuruh nonton doang. Tolong deh, aku juga pemudi 22 tahun, tapi nggak senorak itu. Menurutku, manggil pasangannya “Cinta” itu cukup norak.

Oke, katakan aku iri karena aku lajang. Weits, nggak! Aku nggak iri sama sekali.

Si lelaki yang tampaknya menikmati sentuhan itu membalasnya dengan senyum girang. “Iya sama-sama, Cinta. Kamu senang perawatan di sini, ya?” balas si lelaki nggak kalah mesra sambil memainkan anak rambut si wanita.

Berbekal kekepoan akut, akhirnya aku melirik lelaki si pemilik suara. Dia berada di sisi kiri berjarak dua sofa dariku. Dia punya yang fisik yang oke.

 Badannya tinggi tegap dengan potongan cepak. Roman-romannya dia seperti potongan aparat macam polisi atau tentara. Namun, kok aneh ya nongkrong di salon cewek? Ditambah lagi dengan adegan itu, ya, dengan senang hatinya memegangi tas tangan si cewek. Wajahnya enteng santai bahagia tanpa dosa gitulah. Semacam nggak ada beban meski sedang memegang barang perempuan.

Lelaki takut perempuankah itu? Aduh, nggak bangetlah!

Tuhan, tolong! Ngapain sih aku usil amat! Apa saking bosennya aku? Saking galaunya aku sama acara malam nanti, sampai aku ngurusin hidup orang lain? Itu bukan Bridgia banget.

Aku orangnya nggak pernah ngurusi hidup orang. Mau nungging kek, merayap kek, kayang sekalian, aku cuek sama hidup orang. Mungkin saking gabutnya, ya?

Serius, aku pengen flight aja ke mana gitu. Namun, nggak ada jadwal gini!

“Ck, gerimis!”

Dercakan si lelaki tegap yang sedang memangku tas pacarnya itu membuatku sadar dengan situasi. Oh, apakah sedang gerimis? Sejak kapan kesukaanku itu datang? Kuputuskan saja melongok ke jendela lebar di belakangku. Benar saja, rintik hujan mulai membasahi kaca.

Indah dan melankolis seperti biasa. Namun, kenapa si lelaki merah jambu ini malah merutukinya?

Gerimis nggak bersalah, kenapa harus dikasih keluhan sih? Percayalah Mas, siapapun Anda, aku yang di samping Anda ini seneng banget gerimis turun. Seenggaknya gerimis meredakan gemuruh di hatiku karena peristiwa aneh yang akan terjadi malam ini.

“Kamu memang selalu seindah ini, ya?” gumamku pelan. Jemariku mulai menelusuri rinai air di kaca. Tak peduli dengan pandangan aneh para manusia itu.

Kemudian kepalaku mendongak. Kutatap langit dengan mata buram. Langit kelabu yang indah dan sendu, rupanya dia sedang menangis.

Kenapa harus bersedih, Duhai Langit? Apa manusia di bumi menjahatimu, mengutukmu? Tenang, ada aku sang pengagummu. Aku yang selalu menikmati awan hujan di ketinggian, selalu menantimu di bumi ini. Ah, gerimis tak pernah mengecewakanku.

Semoga malam ini tak gerimis, agar acara aneh itu tak perlu terkait dengan kesukaanku ini. Sebab jika malam ini aku kecewa, maka gerimis akan membuatku selalu ingat. Jengah, ‘kan?

“Lama banget sih!” Lelaki kurang syukur di sampingku ini kembali berdecak kesal sambil memandangi arloji di pergelangan tangannya.

Aku meliriknya makin intens. Ada masalah apa sih sama hidupnya? Keluhan semua gitu! Udah tahu kalau cewek nyalon itu pasti lama, kenapa harus dianterin segala? Bikin aku usil pengen ghibah aja nih cowok!

Namun, tunggu sebentar deh, kalau diperhatikan penampilannya dari samping keren juga! Jawline alias rahang yang tegas, pipi tirus, hidung mancung utuh, bibir penuh dan agak tebal, mata tajam dengan bulu mata panjang, dan alis yang tak terlalu tebal sangat menarik untuk ukuran pria idaman. Oh iya, rambutnya tipis rapi, pendek dan sedikit berjambul di depan, mengingatkanku pada potongan aparat gitu.

Ganteng juga, batinku usil bin kurang ajar.

Tolong Brie, jiwa lajangmu jangan liar! Ngapain ngelirik cowok yang udah sold-out! Mau jadi perebut? Amit-amit, ogah!

Untung saja suara genit si cewek kembali datang dan membuyarkan lamunan liarku. Terselamatkan oleh kenyataan kalau aku nggak suka sama dunia pacaran dan sejenisnya.

“Cintaaa, maaf lama, ya?” ucap si pacar dengan suara manja plus belaian lembut di paha si cowok kurang syukur.

Ya ampun, horny-an amat sih sesembak ini! Malah aku yang malu ngelihatnya. Urat malunya udah diblender jadi bakso urat kali, ya? Nggak nyadar tempat banget.

“Nggak apa-apa, Cinta!” ucap si cowok yang jelas berbohong sambil menepis tangan runcing si cewek.

Rupa-rupanya dia masih punya adab dengan tidak bermesraan di depan umum. Ya meskipun aku juga nggak tahu sih dia ganas apa nggak kalau di belakang umum. Shit, mikirin apaan sih aku? Sialan!

Ngapain coba aku mikirin pasangan mesum satu ini? Satunya kayak lintah kepanasan. Satunya emang ganteng, tapi sayang takut pacarnya. Nggak jadi kerenlah, menurutku. Bodi Kopassus, hati telenovela. Sungguh menggelikan!

Kegelianku berakhir dengan suara rempong yang kembali membuatku mules. Mami muncul entah dari mana sambil menenteng segelas minuman kuning nan asing. Entah ramuan apa pula yang akan dicekokan padaku kali ini.

“Bridgia, minum, ya!” panggil Mami sambil memaksaku minum cairan aneh itu.

Dan cairan aneh itu masuk tanpa permisi, nyelonong dan hamper membuatku kesedak.

“Apaan sih!” tolakku tak berdaya sambil menahan rasa mual di mulut.

Astaga tampaknya barusan racun tikus masuk ke lambungku. Mami tega amat sih! “Nggak enak, Mami!” keluhku menahan gejolak dari perut.

Mami menatapku puas sekali. “Ini jamu, supaya bau mulutmu segar!” bisik Mami heboh.

“Mi!” tekanku tak suka. “Tolong deh, Brie nggak bau mulut. Mana ada pramugari bau, Mi!” ujarku malah ribut sendiri.

“Udah nggak apa-apa. Mami nggak mau kamu malu-maluin nanti,” celoteh Mami bak petasan banting.

“Ngeselin sumpah,” desahku sambil menggosok-gosok lidah.

Mami menelisik wajahku. “Ap – apa?”

“Ng – nggak, nggak ada apa-apa, Mi.” Aku menggeleng enggan. Malas ribut.

Kalau nggak suka maksa, bukan mami namanya. Mbak Rania dan Mas Abi udah sering jadi korbannya mami. Sejujurnya, aku lelah berada di antara mereka. Keluargaku lebih aneh dari yang terlihat.

Mbak Rania aslinya memang cerdas sejak bayi sampai sekarang umurnya 32. Saking cerdasnya, nggak ada satu cowok pun yang mau deketan sama dia. Kekurangannya cuma satu, mendadak aneh kalau berurusan sama cinta dan dunianya. Masalah perjodohan, dia udah 10 kali terlibat. Namun, nggak satupun yang nyantol. Cowok-cowok pada kabur karena diajak bicara teori Kimia olehnya. Mentang-mentang mbak Rania dosen Kimia di kampus ternama.

Beda cerita dengan mas Abi, 29 tahun, yang pemain wanita sejak SD. Dia memang dianugerahi fisik yang mumpuni. Ganteng dan berkharisma. Apalagi sekarang kerja jadi pilot, supir pesawat, makin gampang dia gaet cewek. Berpuluh cewek diajaknya ke rumah, tapi nggak ada yang diseriusi.

Mungkin aku yang beda sendiri. Wajah cantik tapi malas merenda cinta sama cowok manapun karena pernah kecewa sama cinta pertama. Nggak tertarik sama cinta-cintaan di umur 22 tahun bahkan, bikin ribet.

Ini terjadi akibat saat kelas 1 SMP aku pernah pacaran dan dimanfaatkan doang sama pacarku. Ya iyalah, aku pacaran sama anak SMA kelas 3, beda usia 5 tahun.

Dia anak yang badung, nakal, malas, suka tawuran, dan nggak suka belajar. Dia lebih suka manfaatin otak anak SMP kelas 1 alias aku buat ngerjain PR dan tugas-tugasnya. Gila, ‘kan, aku? Oke, anggap saja aku anak SMP yang puber sebelum waktunya. Karbitan, makanya cintanya gagal gitu aja.

Ya udah, nggak penting bahas masa laluku. Yang penting bukan ini, tapi acara malam nanti! Bakalan jadi apa aku? Mendadak mules gara-gara minuman mami dan mengingat acara nanti malam.

“Semoga acara malam ini sukses! Supaya kamu beneran nikah, Dek. Mami udah bosen nimang perkutut di rumah. Nggak ada seninya, enakan gendong bayi manusia,” ceplos Mami yang membuatku ngenes.

“Harus Brie, ya, yang jadi hewan kurban?” desahku putus asa.

Mami mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Hush, apa sih kamu Dek! Mami jamin kamu nggak bakalan nyesel. Mereka keluarga berada. Yang beneran mau cari calon istri. Kamu pasti suka sama calonmu!” ucap Mami yakin.

“Emang Mami udah ketemu sama dia?” pancingku asal.

Mami tercenung sebentar lantas menjentikkan jemarinya. “Belum sih! Namun, Mami pernah lihat foto calonmu. Nggak bakal Mami tunjukin sekarang, biar kejutan!” Mami tampak mengiming-imingi aku.

Jujur, aku nggak tertarik. “Oke, terserah Mami!” ucapku pasrah demi menyenangkan beliau yang sudah sepuh.

Manut aja sama orang tua. Nggak baik ngelawan omongan orang tua yang udah sepuh. Ya walaupun papi mamiku belum sepuh amat, keliling mal 10 kali aja masih kuat kok.

“Tapi Brie nggak mau ngelepas pekerjaan lho, Mi,” tahanku saat Mami hendak beranjak.

Mami menoleh dan bibirnya menggantung bingung. “Kalau calon suamimu nyuruh resign gimana, Dek?” bahasnya agak lama.

Emosiku langsung naik. “Mendingan Brie nggak jadi nikah, Mi!” tolakku

mutlak. Mami mingkem, nggak tahu mau balas apalagi.

Harus punya prinsip dong! Meski aku masih muda, tapi nggak mau diakali sama orang tua atau pihak lain. Iya, aku tetap memegang teguh prinsip sebagai wanita mandiri, dewasa, dan independen. Mungkin ini bisa jadi alasan supaya rencana konyol bin aneh ini gagal total tanpa perlawanan berarti, aamiin.

Sumpah, aku nggak siap nikah sekarang.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nayla Salmonella
brie emang agak ngawur Kakak
goodnovel comment avatar
Eirena Pandanan
Ngakak waktu brie blg 'Body kopasus, hari telenovela.. 🤣🤣🤣🤣
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status