Share

Bab 3 Piring Terbelah

Malam ini, gerimis masih melanda Kota Jakarta. Jam menunjukkan pukul tujuh, tapi terasa lebih malam. Mungkin benar kata pujangga, gerimis mempercepat kelam. Sama seperti hatiku yang mulai merambat pada rasa tak keruan.

Malam ini mobil papi disetiri Mas Abi. Yaps, seluruh elemen keluarga aneh ini diajak untuk bertemu dengan keluarga aneh yang lain itu. Sebut saja keluarga calon suamiku, huh! Tunggu, ini serius?

Hatiku mulai berdebar aneh. Sepertinya aku mulai penasaran dengan rupa manusia itu. Penasaran saja sih, bukannya minat sama perjodohan itu, ya! Sekali lagi aku nggak mau nikah cepet di usia semuda ini.

Namun, aku juga penasaran. Apa dia masih muda, seumuranku, atau malah lebih muda? Jangan-jangan dia pria paruh baya seumuran papi. Mereka terlibat perjanjian lama demi harta gitu? Terus untuk menebus utang, papi nikahin aku sama orang itu.

Duh, serius nih papi jodohin aku demi harta atau sebongkah saham? Aduh, semoga nggak! Masa hargaku sebanding sama saham dan uang?

Jangan-jangan lagi, dia kakek-kakek sepuh yang pernah dijanjikan sesuatu sama papi. Iya, serius papi dan mamilah pemegang kunci jawaban semua pertanyaanku ini. Sayangnya, mereka nggak komentar sama sekali dan memilih menunggu nanti. Padahal jantungku udah mau copot.

Sebuah senggolan membuatku tersentak. Ada Mbak Rania dan dagu runcingnya yang sudah manggut-manggut memandangiku. “Deg-degan, ya, Dek? Mau Mbak jelasin nggak reaksi Kimia yang timbul saat manusia gusar?” pecahnya dengan kalimat nggak jelas.

Aku menoleh lesu sedikit manyun. “Nggak, makasih!” tolakku getol.

Ngapain sih nih Mbak? Kenapa keanehan makin merasuk dalam benaknya? Sekarang aku paham kenapa perjodohannya selalu gagal. Dia selalu berhasil mengacaukan suasana makin runyam. Dia perusak suasana terhebat parah. Kacau, ‘kan?

“Adek pasti seneng dong!” ganggu usil Mas Abi sambil melirikku dari kaca spion kecil. “Captain Daniar pasti nggak berani godain lagi, karena kamu mau nikah!” lanjutnya yang membuatku makin masam.

Duh, punya kakak dua nggak ada yang bener.

“Captain Daniar siapa, Mas?” sambar Papi penasaran.

Mas Abi tampak santai sambil memutar kemudi dan melirik papi. “Ada Pi, pilot GA. Sering lho ngajak Adek dinner. Ditolak terus, tapi!” ceplos Mas Abi yang membuatku ingin melepas muka ini.

“Bisa diem nggak, Mas? Aku nggak mau ya denger curhatanmu lagi,” ancamku pelan.

“Ups,” ceplos Mas Abi sambil mesem usil dan konsentrasi menyetir lagi.

Saatnya pembalasan. “Kabar koki itu gimana?” celetukku penuh dendam, tak mau kalahlah.

Mas Abi langsung mati kutu. Jelaslah itu bikin Papi naik darah. “Kamu ganti pacar lagi, Mas!” bentak Papi naik pitam.

“Eng – enggak, Pi. Cuma kenal biasa aja kok!” jawabnya gelagapan.

“Kamu itu masih suka perempuan, ‘kan?” sindir Papi tanpa ampun.

“Sukalah, Pi!” jawab Mas Abi cepat sambil melengos.

Papi mencubit pipi Mas Abi. “Ya udah, setia sama satu orang aja! Aneh banget gonta-ganti, coba-coba kok terus. Jangan-jangan udah berubah haluan kamu!” tuduh Papi kesal.

Mami menyambar dari kursi belakang. “Papi! Enak aja bilang anak Mami belok! Sembarangan aja! Abi tuh cuma cari yang terbaik, iya, ‘kan?” belanya sengit.

“Aduh bisa nggak bahas bahas yang mutu dikit? Bahas seminarnya Rania aja, gimana? Rania mau jadi pembicara seminar di Singapura lho!” pecah Mbak Rania yang membuatku makin puyeng.

Suasana makin resek dan itu nggak asyik asli.

“Ya ampun harus, ya, ngomongin masalah akademik di perjalanan mobil!” ceplos Papi pusing.

“Emang harus ya bicarakan tentang ketidaksetiaan cinta Abi di perjalanan mobil, Pi?” sambung Mbak Rania yang membuat suasana makin kalut.

“Papi, anak Mami tuh normal tahu!” Mami makin mengaduk suasana.

Oke, terima kenyataan ini! Bahwa debat kusir anytime anywhere adalah hobi keluargaku. Seperti biasa, aku bagaikan kambing congek di antara keanehan ini. Kalau bisa aku ingin turun dari benda ini dan naik permadani terbang aja.

Pusing!

---

            Akhirnya, setelah terlibat percakapan mobil yang aneh tadi, kami sampai di sebuah rumah yang megah bernuansa minimalis di Jakarta Pusat ini. Perumahan elite yang depannya terparkir banyak mobil mewah dan mobil berpelat militer. Oh iya, memang katanya mereka keluarga TNI AD yang terpandang. Anggota keluarganya juga banyak yang TNI.

Ya udah, mari kita lihat saja! Lagipula aku tak tertarik dengan kualifikasi mereka. Emang apa pentingnya sih punya keluarga TNI? Kecuali keluarganya punya pabrik pesawat gitu bisa berpengaruhlah sama pekerjaanku.

Aku turun duluan dari lambung tengah mobil Papi. Disusul papi dan mami. Mbak Rania dan Mas Abi belakangan. Mungkin masih parkir dan sejenisnya.

Kemudian, tanganku cekatan merapikan gaun brokat selutut warna hitam yang kontras dengan warna kulitku. Gaun ini senada dengan Mbak Rania dan Mami, cuma beda model dan ukuran aja. Kutatap heels lima senti warna salem yang melekat sempurna di kaki kecil ini. Pun dengan rambut sebahuku yang wangi setelah perawatan. Ya, aku cukup sempurna untuk dipajang dan diperkenalkan sebentar lagi.

“Kamu sangat cantik, Dek!” puji Mami puas.

Mengibaskan rambut bangga, emang kapan aku pernah kucel?  Bangun tidur aja aku nggak belekan dan masih bau wangi. Perasaan, aku selalu hidup dalam kecantikan dan kekinclongan deh.

Mau gimana, tuntutan pekerjaan! Mau dicela atau dinista, silakan! Lha emang aku pramugari udah akrab sama make-up, bisa apa! Perawatan diri dan badan itu penting banget menurutku.

Papi membuyarkan suasana dengan wajah tak sabarnya. “Yuk langsung masuk saja!” ajak Papi senang kemudian menatapku, Mas Abi, dan Mbak Rania satu persatu. “Ingat kalian terlihatlah normal!” pesan beliau.

Mungkin itu buat Mbak Rania dan Mas Abi yang sering berlaku aneh. Lha aku, aku cukup normal dengan nggak pernah bikin ulah di keluarga ini, sumpah.

“Selamat datang, Mas Pram!” sambut sang tuan rumah dengan suara ceria dan wajah cerah.

Keluarlah seorang bapak yang seumuran papi. Tubuhnya tinggi dan tegap dengan potongan rambut cepak dan rapi. Oh, mungkin ini pejabat militer yang diceritakan dari tadi itu. Penampilan beliau memang kharismatik khas aparat negara gitulah.

Tampaknya, keluarga kami disambut baik di sini. Buktinya, beliau sangat bahagia menjabat tangan papi. Tawa riangnya meledak. Baik, cukup normal. Semua masih normal dan wajar.

Dari belakang menyusul sebuah suara riang nan bahagia. Keluarlah seorang ibu yang seumuran mami. “Selamat datang, Mbak Syahnaz!” sambut nyonya rumah dengan wajah semringah.

“Mbak Nanda, apa kabar?” sambut Mami tak kalah girang.

Beliau ini cantik sekali. Pembawaannya anggun dengan gaun batik warna mint. Dipadu dengan sandal santai warna coklat hak rendah yang pas membalut kaki kecilnya. Ibu ini juga wangi dan tampak sangat bersahabat sekali.

Kalau si nyonya rumah bernama Bu Nanda ini tandanya beliau adalah istri bapak pejabat yang bersalaman dengan papi. Tandanya beliau adalah calon ibu mertuaku? Eh, iya, ‘kan? Semoga ya! Karena kalau pasangan di depan masih seumuran papi mami, otomatis calon suamiku, masih muda juga dong.

Seketika bayangan aki-aki sepuh tereliminasi dari benakku.

“Ini anak bungsu kami, Bridgia!” Papi menyodorkanku pada mereka.

Aku disodorkan saat wajahku melongo seperti kebo di sawah. Sepertinya aku salah pasang ekspresi saat seharusnya aku hendak disembelih sehabis ini. Ya, aku akan dijadikan hewan kurban setelah ini.

“Waah, ini yang pramugari Garuda itu, ‘kan?” sambut Bu Nanda dengan wajah bahagia bak bertemu kawan lama.

Beliau tampaknya cukup ramah, dan heboh seperti Mami. Buktinya, beliau langsung mengajakku cipika-cipiki dengan bahagianya. Bahkan, aku sudah ditimang selayaknya anak sendiri. Bukan kayak hewan kurban sih, tapi kayak manusia yang berharga gitu.

Bukannya hewan kurban kalau mau disembelih juga dikasih makan yang banyak biar gemuk dan bahagia? Ending-nya sama, ‘kan? Mati juga.

Tuan rumah yang memperkenalkan diri sebagai Bapak Prasetya Adikara ini terlihat tak kalah bahagia. Beliau menyalami tanganku dengan lembut seraya berkata, “biasanya cuma lihat di pesawat, sekarang bisa jarak dekat.”

Bu Nanda mendekat lagi sambil mencium aroma dari pipiku. “Ternyata pramugari sewangi ini, ya?” sambung Bu Nanda yang membuat pipiku terbakar.

Sumpah, mungkin pujian itu cukup aneh di telingaku. Mereka seperti terobsesi denganku. Ah, tidak mungkin!

“Kok Kakek ditinggal?” pecah sebuah suara tegas dari arah belakang.

Seorang kakek sepuh mendekat dengan tergesa-gesa sambil membawa tongkat. Wajah beliau tak kalah kharismatik. Sama seperti si tuan rumah dan istrinya, wajah beliau sangat semringah dan ramah. Seperti sudah menantiku untuk sekian abad.

Bentar, aku garuk kepala dulu! Apakah ini lelaki yang akan dijodohkan denganku? Kakek-kakek yang pernah dijanjikan sesuatu sama papi? Seriusan ini teh? Tolong, nggak mau! Bukannya tadi udah dieliminasi, kok sekarang muncul spekulasi baru sih?

“Masayu!” sapa kakek itu dengan riangnya.

Masayu? Siapapula itu! Sumpah, nggak ngerti sama semua ini! Situasi macam apa ini?

“Ehehe,” Bu Nanda meringis, “maaf, ya, Bridgia. Masayu nama mendiang istri Kakek. Ini calon kakeknya Bridgia. Kakek Djoko namanya,” jelas Bu Nanda sambil memperkenalkan kakek sepuh itu tadi.

Ya Tuhan, legaaa! Bukan beliau ini yang mau dijodohin sama aku! Batinku lega melompong.

“Saya Bridgia, Kakek!” Aku salim pada beliau.

Kakek Djoko menyambut tanganku dengan bahagia. Rambutku dibelai dengan tangannya yang beraroma khas orang tua, minyak gosok kuno. Beliau rupanya adalah veteran perang. Beliau sudah sepuh, tapi masih jiwa muda. Pendengaran masih tajam, walau sedikit pikun. Sikapnya penuh semangat dengan sorot mata berapi-api.

Bu Nanda menggandeng lenganku dengan lembut seraya aku ditarik ke sofa. “Bridgia, duduk di dekat Ibu, ya? Masih takjub sama pramugari dari jarak dekat. Ternyata secantik dan sewangi ini. Ya ampun dulu Ibu pengen banget jadi kayak kamu. Apa daya jadinya malah Persit,” celotehnya tiada henti.

Bu Nanda ini lumayan ramah ya, sangat malah! Aku jadi merasa tambah salah tingkah nih. Mana Mami kayak bahagia betul melihat keanehan ekspresiku. Kayaknya girang banget lihat anaknya susah.

By the way, beliau ini membahasakan diri sendiri bukan “tante”, melainkan “ibu”. Seperti aku sudah jadi anak mantunya gitu. Seolah besok aku akan menikahi anaknya gitu. Alamak, padahal besok aku mau terbang pagi. Jangan bilang nikahnya besok, please jangan!

“Panggil Brie aja, Ibu,” ucapku pelan bin sungkan.

“Oh, namanya bagus sekali. Suaranya lembut pula. Aduh, anaknya Mbak Syahnaz beneran perfect!” puji beliau lagi.

Bisa tumbang ini kepala dipuji terus-terusan. Bisa kering kebakar aku nih. Apalagi lihat ekspresi Mbak Rania yang kusut itu. Seolah dia cuma jadi Baygon aja di sini. Gimana nggak, yang harusnya nikah dia dulu, bukannya aku. Kasihan sih dia berasa jadi kacang goreng.

“Ehem, ngomong-ngomong calonnya Brie, Mas?” sela Papi yang tampak tidak sabar sedari tadi.

“Oh iya, mungkin si Wisnu masih bersiap.” Jawaban Pak Prasetya terdengar beradu dengan gerimis yang menderas.

Siapa tadi, Wisnu? Jadi, nama lelaki misterius itu Wisnu? Kayak nama dewa, ya? Dan kayaknya aku nggak asing sama nama itu. Yaps, nggak asinglah karena mantan pertama sekaligus mantan terakhirku namanya Wisnu juga! Dari jutaan nama di dunia ini, kenapa sih harus nama Wisnu?

“Inu pasti grogi mau ketemu sama pramugari,” timpal Bu Nanda.

Gosh, kenapa nama panggilannya harus Inu pulak! Sama banget kayak mantanku dulu. Ya ampun udah sembilan tahun dan aku masih ingat aja! Separah itukah ingatanku, tajamnya kebangeten! Mengingat hal yang nggak penting dari usia 13 tahunku.

Tap! Tap!

Terdengar derap langkah dari arah ruang tengah rumah megah ini. Senada dengan jantungku yang berdebar membayangkan siapa yang akan keluar. Gantengkah dia? Sebagus namanya nggak? Apa ada kaitannya dengan masa laluku dulu? Semoga nggak mengecewakan, sebab pertemuan ini terjadi di gerimis yang deras.

Kalau aku kecewa di gerimis ini, kupastikan rasa kecewa selalu datang setiap gerimis melanda. Aku nggak mau!

Jeng-jeng-jeng tibalah saat mendebarkan itu. Lelaki misterius yang selalu jadi perbincangan sedari tadi sampai juga di ambang ruang tamu. Dia menyebarkan aroma parfumnya yang lembut maskulin ke seluruh penjuru ruang ini.

Membuatku langsung memandangnya dari bawah ke atas, sama saat memindai penumpang yang masuk ke dalam pesawat. Oke, kakinya jenjang, dia cukup tinggi. Langkah kakinya tegap, tegas seperti seorang gentleman. Dia memakai celana jins biru dongker dan kemeja kotak warna biru. Satu lagi, aromanya wangi. Aku suka cowok wangi.

Saat melihat wajahnya bak ada sebuah kabel putus di otakku, tak! Visual ini! Wajah ini! Wajah yang tadi kulirik di … salon! Ini sih mas-mas budak cinta yang di salon tadi. Iya, mas-mas norak yang pura-pura bahagia nganterin pacarnya nyalon, apalagi bela-belain bawain tas cewek! Ya ampun, kenapa harus dia sih?

Wait, kalau dari depan kayaknya aku nggak asing sama wajah ini. Hidung mancungnya, dan dagu belahnya. Saat dia tersenyum atau melipat bibirnya, ada dua lesung pipit di pipinya. Demi Tuhan, aku kenal dia! Dia … dia, fyuh!

“Elo!” sahutnya kurang ajar tanpa tedeng aling-aling.

Dia adalah Wisnu alias Inu, mantanku saat kelas 1 SMP. Iya itu, anak SMA badung yang nggak suka belajar dan nyuruh pacarnya yang ngerjain tugas dan PR, padahal pacarnya masih anak SMP. Pacar bodohnya itu adalah aku dan dia Inu si badung.

Seriusan dia masih hidup, dan makin keren sekarang? Serius dia bakalan jadi calon suamiku? Takdir macam apa ini?

“Ngapain lo di sini!” sahutku tak mau kalah kaget.

Aslinya nggak kaget amat, lebih kepada nggak nyangka. Nggak nyangka dia kembali datang dan muncul di depan hidungku, eh, dalam hidupku.

“Nah lo ngapain?” balasnya sengit.

“Kalian udah kenal?” potong Pak Prasetya dengan wajah penasaran.

“Kenal banget, Romo!” jawab Inu sengit sambil menahan geram tanpa memandang wajah sang romo yang sudah penasaran akut.

Aku menoleh pada Papi, “Pi, kalau calonnya dia mending nggak usah,” tolakku tanpa pikir matang-matang.

“Wah, ada apa ini? Apa kalian sebenarnya udah kenal lama? Jangan-jangan …,” sela Bu Nanda ingin tahu.

Inu memotong kalimat itu. “Saya udah kenalan. Cukup, ‘kan? Saya undur diri, mau ambil apel bujangan di satuan!” ucapnya sambil membalik badan.

Suasana yang bingung itu mendadak jadi riuh. Semua bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi. Semua ingin tahu ada apa antara aku dan lelaki di depan ini. Nggak tahu kekacauan macam apa ini. Situasi aneh apa yang akan terjadi setelah ini? Aku pun bingung.

Bu Nanda menahan tangan Inu dengan cepat. Membuat lelaki itu berbalik dan memasang wajah curam. “Inu jangan galak-galak dong, salaman dulu yuk?” suruh Bu Nanda berusaha mengatasi situasi.

“Urusan apel bisa Romo handle. Di sini dulu, Nu!” paksa Pak Prasetya.

Aku jangan ditanya. Kalau bisa, mendingan aku gelantungan di sayap Airbus 330. Malas sekali di sini, sumpah nggak suka sama situasi ini! Aku benci dia berawal dari rasa kecewa. Sampai memandang wajahnya saja bikin aku trauma.

Mana sok keren pakai jurus menghindar segala. Apaan tadi, apel bujangan? Dia mau ngapelin bujangan gitu maksudnya? Sumpah nggak paham sama istilah dia. Aneh banget sih.

Ketemu lagi dia udah jadi tentara. Sayangnya, dia punya pacar kayak gitu. Eh bentar, dia udah punya pacar, ya? Lalu kok dijodohin sama aku? Jadi ….

Sang Romo kembali menengahi situasi. Kali ini dia mendorong Inu untuk menjabat tanganku. “Ayo dong, Nu, yang bener kenalannya!” suruh Pak Prasetya tegas.

Inu terlihat menghela napas berusaha sabar. Dia kemudian mengulurkan tangannya untuk kujabat. “Lettu Inf. Btara Wisnu Adikara,” ucapnya malas sambil melengos.

Hah, dia lettu? Maksudnya, tentara gitu apa gimana sih? Batinku makin meronta disiksa kepo.

Maklum, dunia kami pasti beda, ‘kan? Aku aviasi, entah dia apa. Mungkin aku yang kudet atau kurang info? Namun, seriusan aku gagal paham sama sosok manusia di depanku ini. Kalau dia tentara kok lembek amat sama cewek, sebut pacar genitnya itu.

“Mas Inu ini seorang tentara. Jadi, maklum kalau sibuk,” imbuh Bu Nanda yang akhirnya membuatku ngeh.

Jadi, mantan badungku itu beneran jadi tentara? Bisa juga dia, ya? Tentara ‘kan disiplin, tegas, lhaa dia bisa apa? PR aja nggak mau ngerjain! Ini seriusan? Pasti masuk dulu pakai nyogok, apalagi bapaknya pejabat tentara gitu.

Pada akhirnya, aku menyodorkan tangan jenjang berhias gelang emas dengan pura-pura ramah, aslinya ogah. “Bridgia …,” ucapku tak tuntas.

“Bridgia Gantari Hyacinta!” imbuhnya dengan alis naik satu dan wajah judes. Suaranya terlihat diseram-seramkan.

Kontan dua pasang orang tua itu makin bingung. Pun dengan kakek Djoko yang ikutan linglung. Sedari tadi perilaku kami tak ada yang jelas. Akhirnya, Inu menuntaskan kalimatnya untuk memperjelas situasi pelik ini.

“Usianya 22 tahun sekarang. Saya udah kenal dia. Jadi, kami nggak perlu basa-basi lagi,” ucap Inu dingin.

Wah, Inu curi start!”

“Kok bisa sih mereka kenal?”

“Ada apa, ya?”

Kemudian bisik-bisik itu makin seru. Dan aku nggak tahu harus berperilaku macam apalagi. Pura-pura gila juga nggak masuk akal. Ingin kabur juga ke mana dan apa dalihnya? Semua sungguh membingungkan.

Dijodohkan dengan mantan brengsek itu menyebalkan!

---

Hujan gerimis masih melanda tanah Jakarta. Menambah suasana dingin di rumah ini. Kalau para orang tua terlihat berbincang mesra setelah dilanda bingung yang panjang, beda denganku dan dia. Tak ada pembicaraan apapun antara aku dan Inu.

Memang kami memutuskan menepi berdua di kolam belakang. Entahlah sekedar menyenangkan kedua orang tua yang berharap besar pada pertemuan ini. Atau sekedar basa-basi saja. Namun, kami malah banyak terdiam. Dia tak melempar pandangan apapun padaku.

Aku juga tadi tak ingin makan apa pun. Padahal di depan mataku tersaji hidangan makan malam aneka seafood yang lezat. Namun, selera makanku sudah kandas, lenyap bersama gerimis mengecewakan. Udah kenyang karena tahu kenyataan kalau lelaki yang dijodohkan, dikenalkan denganku ini adalah Inu Adikara!

Sekali lagi kutegaskan, Inu adalah calon suami yang digadangkan oleh papi mami. Cowok aneh yang terpaksa nganterin pacarnya ke salon. Cowok yang rela bohong demi pacarnya itu, dan memang menggelikan kalau faktanya dia benar anggota TNI. Jadi, Inu adalah tentara yang rela jadi hamba cinta demi pacar.

Nggak masuk ke logikaku sebagai perempuan mandiri dan dewasa. Haree gene masih ngandelin cowok di saat kita bisa sendiri! Ohhaloo, dunia nggak seklise itu! Cewek nggak selemah dan semanja itu sampai tas pun harus dibawain sama cowok.

Emang bagus, ya, mesra-mesraan sama orang yang belum tentu jadi pasangan hidup?

Mungkin Brie sedang iri. Nggak, aku nggak iri. 

Justru aku geli kalau sampai dimanjain cowok! Ogah banget nerima kasih sayang gombal yang ujungnya putus. Yaps, mungkin karena aku kadung trauma sama pacaran pertama. Dan Inu pelakunya!

Lagi, aku melirik hujan gerimis dari langit di atas sana. Masih tanpa perbincangan karena Inu memilih bungkam sambil main ponsel dan memeluk kedua tangan. Aku pun sama, tak ingin memulai percakapan apa pun dengannya.

Serius, aku nggak suka ini terjadi saat gerimis. Karena mulai sekarang setiap gerimis, aku harus teringat pada si Inu ini. Sungguh ogah!

Gimana nggak ogah, calon suamiku ini bukan lajang! Dia punya pacar, yang manja dan genit itu. Jadi, aku bakalan jadi perebut pacar orang? Situasi kompleks macam apalagi ini? Mendadak hidupku makin runyam!

            “Kalau nggak ada yang diomongin mendingan aku masuk,” putusku pada akhirnya karena tak nyaman lagi.

            Aku beranjak dari sisinya, tapi sebuah tarikan menahan badanku. Kutoleh dan ternyata dia sudah memandangku tajam. “Banyak yang harus kita bicarakan, ‘kan?” ucapnya dingin.

“Nggak perlu!” tolakku tak kalah dingin.

“Sangat teramat perlu!” tekannya tegas.

Aku kembali ditarik hingga terduduk di gazebo di tepi kolam dengan kelopak bunga kamboja kuning yang berserakan itu. Dia menghela napasnya berat dan masih enggan melirikku. Dengan begitu, aku bisa meliriknya sedikit saja. Lumayan sih, menuntaskan ada perubahan apa di wajahnya.

“Pa kabar lo?” tanyanya cuek yang membuatku menghela napas. Aku sudah tak berani melirik wajahnya.

“Perlu basa basi, ya, Kak?” sindirku pelan.

“Bisa, ya, jadi pramugari? Kirain cita-citamu dokter, ingat dulu getol banget ngerjain tugas,” sindirnya sok tahu.

“Iya, tugasnya anak SMA kelas 3!” imbuhku yang membuatnya terbahak kosong.

“Dendam amat sih! Itung-itung asah otakmu, ‘kan?” elaknya masih cuek.

Cih, masih kasar aja nih orang.

“Kamu!” aku meliriknya tajam sambil memeluk kedua tangan. “Bisa juga jadi tentara? Anak badung nggak taat aturan macam itu emang bisa disiplin?” Sindiran terus meletus dari mulutku.

“Buktinya, aku balok dua sekarang!” ujarnya sombong.

“Buat apa bangun imej tentara serem-serem kalau ujungnya megangin tas pacar di salon!” sindirku tajam.

Tawanya sirna, berganti wajah mencuram. Dia memandangku tajam. “Tahu dari mana kamu?” tanyanya cepat.

Aku tergelak. “Kamu nih! Polos amat sih!” sindirku tak ada henti.

“Kamu mata-matai aku, ya?” tebaknya nggak masuk akal.

Tentu saja tawaku makin meledak. “Udahlah, nggak penting juga. Memalukan kalau dibahas!” elakku membuang muka.

Dari dulu kami juga begini, nggak pernah ada manis-manisnya. Debat dan berantem nggak jelas. Pacaran cuma beberapa bulan tapi ending-nya nyakitin karena sikapnya nyebelin. Dia itu cuma manfaatin wajahnya buat menarikku. Setelah aku tertarik, aku cuma dimanfaatkan doang buat disuruh ngerjain PR. Padahal aku masih anak kecil lho, 13 vs 18 tahun, edan!

Aku memandangnya dengan remeh sembari berdecak aneh. “Kamu masih aja, ya, wajah kelihatan kalem aslinya zonk. Cowok baik-baik, tapi tetep aneh! Judes, galak, sombong. Bedanya sekarang lemah di depan cewek cuma karena cinta,” ejekku tanpa ampun.

Inu tersenyum sinis. “Kayaknya aku perlu rekam tingkah lakumu. Lumayan buat dilaporin ke maskapaimu, biar dapat teguran. Pramugari kok tingkahnya nggak sopan sama orang lain,” putusnya sambil menyalakan ponsel di genggamannya.

Tentu saja aku mendelik. “Nggak usah ngaco!”

Kurang ajar dia, tahu aja kelemahanku!

Gantian dia yang terbahak keras. “Jadi kamu masih Brie yang dulu itu! Penakut!” cibirnya puas.

Sial, dia masih menangkap kelemahan lamaku. Takut sama aturan, takut teguran.

Aku menghela napas yang ngos-ngosan karena harus debat kusir dengannya. Sambil berkacak pinggang aku melotot dan berkata, “intinya, kita nggak bakalan nikah,” putusku tanpa meminta persetujuan.

“Tenang aja. Aku udah punya pacar, dan bakalan segera kulamar,” ucapnya santai yang membuatku lega.

“Oh bagus! Aku juga nggak mau nikah sama kamu,” balasku sengit.

Fix, kita gagalin aja rencana aneh ini!” ajaknya ngawur.

“Setuju!”

Kami banyak berdebat, tapi kali ini satu misi. Nggak mau nikah karena masih punya mimpi. Aku dengan karier dan dia dengan pasangan genitnya itu.

“Aku masih sayang karierku. Nggak mau melepas, apalagi cuma demi lelaki yang menye-menye, nggak tegas sama cewek, dan nggak punya harga diri,” ucapku penuh sindiran.

Inu memandangku sinis. “Kamu sirik? Nggak bisa punya pacar yang sayang dan perhatian kayak aku ke pacarku, ya?”

Kok, ada benernya nih kuda? Batinku mulai tersiksa.

“Nggak!” bantahku keras, “aku suka cowok yang bisa jaga wibawa, apalagi kalau itu tentara.”

Gantian dia yang memandangku remeh. “Kamu tahu nggak, menghormati wanita ada di 8 wajib ABRI! Namun, kalau wanitanya kamu ya aku mikir lagi sih,” ucapnya santai.

Kali ini aku yang mendelik. Kurang ajar juga ya, baru kali ini aku nerima pelecehan. Apalagi selama aku jadi awak kabin, kehadiranku seringkali dipuja-puji.

Apalagi saat dia mulai mendekati wajahku dan bibir seksi itu berbisik geli di telingaku. Kurang ajar adam satu ini, berhasil memberdirikan semua bulu romaku.

“Gue malah pengen ngisengin lo sekarang!” bisiknya di dekat telingaku.

“Nggak usah gila, lo!” balasku geram. Tanganku sudah terkepal siap meninjunya.

Nggak tahan aku langsung melayangkan tinjuan itu agar kena perut atau lengannya. Namun, dengan sigapnya jantan satu ini menangkap tanganku yang terlalu lemah. Sial, aku lupa melawan siapa. Bukankah dia tentara?

Inu memandangku sengit. “Gue bakalan bikin lo ngerasain dimanja cowok. Sampai bikin lo nggak bisa sombong lagi! Sampai bikin lo ketergantungan sama cinta, kayak candu!” ucapnya dengan nada rendah, nada serius.

Aseem, jangan suara itu lagi tolong! Suara Inu yang paling mengendap di gendang telinga, susah lupa! Batinku gusar sendiri.

“Amit-amit!” Sumpahku terucap untuk menutupi golak batin.

Semacam kenangan lama tentang Inu balik lagi. Ya beginilah gaya bicaranya dulu pas memacariku, 9 tahun lalu. Gue elo, songong! Nggak ada manis-manisnya, kayak pasangan anak sekolah lain! Anehnya, dia sama pacarnya yang manja itu pakai “Cinta-cinta”.

Hela napas berat, ini nggak adil, ya? Cemburukah aku? Ogah woy!

“Lo pasti ketergantungan sama gue, Bee!” tekadnya sambil menjauhiku yang sudah melongo sempurna.

Sial kuadrat! Panggilan itu lagi! Panggilan manis usilnya saat memacariku dulu. Ya, cuma satu itu yang manis darinya, memanggilku “Bee”.

Aku masih memandangnya dengan amarah tertahan. “Maksud lo?” tanyaku menutupi rasa takut.

“Kita emang nggak nikah, tapi gue bakalan deketin lo, buat ngerjain lo yang tadi!” Inu tersenyum jahat dengan penuh kelicikan.

Sial … cuma bisa ngumpat dalam hati sebab mulutku nggak bisa berkata apa pun.

Sumpah, kalau ada piring bakalan kulempar ke kepalanya sampai terbelah dua. Biar hilang ingatan sekalian nih orang! Masih sama seperti dulu. Menyebalkan, dingin, judes, cuek, dan sombong. Namun, dia kembali dengan menjadi pria berseragam, dengan hati merah muda karena sedang jatuh cinta pada pacarnya, yang manja nan genit itu.

Namun, kenapa malah kami terjebak dalam perjodohan bodoh aneh bin ajaib ini? Kenapa Tuhan Yang Maha Baik itu harus mempertemukan kami? Apakah aku harus dikurbankan pada lelaki modelan dia? Apa aku harus jadi saksi indahnya cinta mereka yang tersandung restu?

Oh tidak, dari jutaan pria di dunia kenapa harus dia? Kenapa harus mantan menyebalkan itu? Perjodohan ini beneran pembuktian kalau kami jodohkah? Hah, serius? Kenapa kami dipertemukan lagi sih? Semua sungguh membingungkan!

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status