1 MINGGU KEMUDIAN.
"Makasih ya pak."
Usai mengantarkan supir taksi yang menurunkan barang-barang bawaannya keluar rumah, Naya kembali masuk kedalam ruang tengah dan mengamati oleh-oleh miliknya sembari berkacak pinggang. Satu minggu liburan yang cukup melelahkan.
Naya mendudukkan diri di sofa, mengamati seisi rumah yang tidak berubah. Setelah menghabiskan waktu untuk diam beberapa menit, Naya kemudian memutuskan untuk membongkar semua oleh-oleh yang ia bawa.
Naya baru menoleh ketika mendengar suara derit pintu yang dibuka dari arah luar.
"Hai?"
Deaz masih diam diambang pintu. Mengamati Naya dan ruang tengah rumahnya yang sudah dipenuhi oleh beberapa kardus dan paper bag merk brand ternama. Naya segera berdiri dan menghampiri Deaz yang belum juga masuk kedalam rumahnya sendiri.
"Kangen gak sama aku?" Naya segera memeluk tubuh Deaz. Namun tidak mendapat balasan dari lelaki itu. Deaz masih saja diam lengkap dengan ekspresi raut wajah datarnya.
"Aku beliin kamu oleh-oleh dari Paris."
Masih diam. Naya mengurai pelukan.
Naya mengamati pakaian Deaz sejenak. Deaz yang biasa mengenakan kaos biasa kini terlihat rapi dan gagah karena kemeja dan setelan jas mahal yang dikenakannya."Jadi, sekarang kamu udah kerja di kantor, gantiin kakek. Udah jadi CEO dong? Baguslah. Daripada tetep kerja di bengkel, capek-capek tapi gaji kamu gak seberapa." Naya mengangguk-angguk, memutar tubuh dan bergerak kembali kearah sofa, untuk meneruskan membongkar barang bawaannya.
"Kamu harusnya bersyukur menikah denganku. Selain bisa dapetin aku, kamu juga bisa memiliki perusahaan sebesar Sutedja Company tanpa harus kerja keras dan ngemis sama perusahaan keluarga besar kamu."
"Maksud kamu aku miskin?" tembak Deaz langsung.
Naya malah tertawa.
"Bukan gitu. Aku tahu kamu berasal dari keluarga kaya raya. Siapa sih yang gak tahu keluarga besar Adam. Tapi, kamunya aja yang memang lebih memilih hidup miskin dengan bekerja di bengkel sedangkan keluarga kamu punya perusahaan besar yang bisa aja kamu urus.""Kamu keberatan punya suami miskin?"
"Gak. Aku gak masalah sama sekali. Toh, aku masih punya kakek yang bisa memenuhi kebutuhan aku ini itu. Buktinya lihat ..,"
Naya menunjukkan semua oleh-oleh yang dibawanya satu persatu kearah Deaz.
".. Ini semua aku beli pakai uang kakek. Aku bisa liburan satu minggu ini juga karena kakek. Jadi, intinya. Bukan masalah buatku kalau kamu-- maaf, miskin. Itu kan pilihan kamu, buat hidup miskin."Deaz berlalu begitu saja meninggalkan Naya di ruang tengah. Naya yang melihat punggung lebar itu tenggelam dibalik pintu kamar segera beranjak berdiri dengan raut wajah bingung.
"Deaz! Aku baru pulang dari paris kok kamu malah pergi sih?"
Naya beranjak menyusul Deaz masuk kedalam kamar. Lelaki itu terlihat sedang melepas dasi yang melingkar di lehernya, tanpa mau melihat Naya yang mendekat.
"Kamu marah? Tersinggung? Kenapa sih. Apa yang aku omongin tadi bener kan. Kamu kok jadi sensitif gini sih. Kamu gak kangen sama ...,"
Setelah melepaskan kemeja, Deaz masuk begitu saja kedalam kamar mandi meninggalkan Naya yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Deaz!" Teriak Naya kesal setengah mati.
Naya mencebikkan bibirnya maju satu senti. Mendengar suara gemericik di dalam sana yang terdengar dari luar. Menendang pelan pintu kamar mandi, Naya kembali ke ruang tengah untuk membereskan semua barang bawaannya lagi.
***
Naya berbaring miring. Terlentang, menatap langit-langit kamar. Kemudian menoleh kesamping. Deaz tidak masuk kamar. Naya mendengkus jengkel. Memukul kasur tempat biasa Deaz tidur. Satu minggu berpisah dari lelaki itu, jujur saja Naya rindu memeluk tubuh Deaz. Naya selalu merindukan kehangatan tubuh lelakinya itu. Namun, setelah kembali mereka malah tidur terpisah. Naya bangun. Memutuskan untuk menyusul Deaz yang entah tidur dimana. Mengambil guling dan memeluknya, Naya mendekat kearah Deaz dan menggunakan guling tersebut sebagai senjata untuk memukuli Deaz.
Bhuk!
Bhuk!
Bhuk!
"Kamu apa-apaan sih?"
"Kamu yang apa-apaan!"
Naya kesal. Terus memukul Deaz menggunakan guling ditangan. Air matanya bahkan sudah menetes keluar.
Bhuk!
Bhuk!
"Naya! Stop!"
"Istri pulang bukannya disambut malah di diemin!"
Deaz langsung menahan guling yang berulangkali menghantam tubuhnya dan melempar buntalan panjang itu kesembarang arah. Rahangnya tampak mengeras. Deaz marah dengan wajah bantalnya. Namun rambutnya yang acak-acakan malah membuat Naya menelan ludah.
"Kenapa nangis?!" Deaz tidak membentaknya. Namun intonasinya terdengar cukup keras.
"Aku baru pulang dari Paris, tapi kamu malah menghindari ku. Aku salah apa? Kamu kenapa tidur disini?"
"Salah apa?" Deaz tertawa sarkas. Naya sesenggukan melihat respon lelaki itu.
"Kamu bahkan gak tahu salah kamu apa?"
Naya menggelengkan kepala dengan polosnya.
Deaz kembali membaringkan tubuhnya diatas sofa. Tidur membelakangi Naya yang masih saja berdiri dengan suara isak tangisnya yang tertahan. Berusaha menulikan telinga, Deaz berusaha menutup kedua mata. Meredam emosi.
"Kamu gak terima karena aku katain miskin?"
Naya menggigit bibir bawahnya, berdiri resah sekaligus bingung. Kedua tangannya saling bertaut meremas ujung baju tidur. Naya juga takut. Gadis itu tidak pernah berhadapan dengan orang marah. Apalagi seorang lelaki. Bahkan kakeknya sendiri tidak pernah marah sampai sebegitunya kepada Naya. Deaz adalah lelaki pertama yang Naya punya.
"Aku gak bermaksud buat lukain ego kamu. Aku cuma ucapin apa yang ada dalam pikiran aku setelah tahu pekerjaan kamu."
Naya melihat Deaz yang masih saja tidak bergerak.
"Aku gak tahu kalau ucapan aku bakal bikin kamu marah sampai kayak gini."
Deaz hanya bergerak pelan untuk membenarkan posisi kepalanya yang tidak nyaman. Namun, Naya tahu Deaz belum tidur dan masih mendengar apa yang Naya katakan.
"Aku gak masalah dengan apapun pekerjaan kamu. Sudah aku bilang kan, aku masih punya kakek yang ...,"
"Kamu mau tahu, apa salah kamu."
Deaz bangun dari posisi berbaringnya untuk duduk. Sudah cukup. Deaz tidak akan bisa tidur jika Naya terus mengomel. Dan Naya tidak akan mau berhenti bicara jika tidak ditunjukkan apa saja salahnya.
"Aku gak pernah melakukan kesalahan."
"Nah, itu kesalahan kamu yang pertama. Kamu gak pernah merasa sudah melakukan kesalahan meski sebenarnya tahu kamu bersalah."
Naya melotot, "aku gak pernah melakukan kesalahan."
"Kesalahan yang kedua ..," Deaz berdiri, mengacungkan kedua jari tangannya keudara, "Kamu liburan ke luar negeri, tapi gak minta ijin sama aku. Sampai satu minggu, gak pernah ngasih kabar. Ponsel kamu gak bisa aku hubungi."
"Ponselku hilang."
"Jadi, kamu lebih penting beli tas, sepatu, baju, ketimbang beli ponsel buat ngabarin aku."
Naya diam, bungkam.
"Kesalahan ketiga, kamu telah melukai egoku sebagai suamimu."
"Kamu tersinggung aku katain miskin."
"Bukan itu," Deaz geram, membuang wajahnya.
"Kamu harusnya sadar diri bahwa kamu sudah kunikahi Nay. Kamu sekarang adalah tanggung jawabku. Selain kamu harus minta ijin sama aku karena aku suamimu, kamu gak bisa lagi belanja dan menghabiskan uang kakekmu seenak hati seperti dulu. Kamu bukan lagi tanggung jawab kakekmu."
"Itu karena kamu miskin. Aku gak mungkin minta uang ke kamu, karena aku tahu diri kalau kamu gak mungkin sanggup ..,"
"Bisa stop bilang aku miskin."
Naya diam ketika Deaz menatapnya tajam.
"Sekali lagi aku tanya sama kamu? Kamu keberatan kalau punya suami miskin?"
Naya menggeleng.
"Kalau kamu gak keberatan. Itu artinya, kamu harus mulai belajar untuk menghargai dan menghormatiku. Ya, gajiku memang tidak sebanyak gaji orang kantoran. Aku lebih memilih bekerja sesuai hobiku dibanding mengemis pada keluarga besarku untuk menjadi ceo seperti yang kamu bilang. Gajiku gak akan bisa memenuhi semua keinginan kamu, tapi seenggaknya masih bisa untuk memenuhi kebutuhan kita."
Deaz maju. Menarik dagu Naya yang menunduk dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Kalau kamu gak keberatan punya suami miskin kayak aku. Kamu harus berhenti menghamburkan uang kakekmu untuk memenuhi semua keinginanmu itu, Naya. Kamu istriku dan aku mau kamu patuh sama aturanku."
Deaz mengalihkan wajahnya begitu melihat bibir Naya yang bergetar. Tidak. Tapi, Deaz masih belum selesai bicara.
"Semua itu, yang kamu beli dengan uang kakekmu. Itu mubadzir, gak ada gunanya karena hanya untuk kesenangan sesaat. Aku gak melarang kamu beli apa yang kamu mau. Kamu boleh melakukan itu, tapi tidak boleh berlebihan. Beli apa yang kamu mau dengan uang pemberianku, tapi sesuai dengan kemampuanku. Itu yang aku mau, Nay."
"Itupun, kalau kamu mau menghargai dan menghormati ku sebagai suamimu."
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cukup terkeju
"Mama?" Rosa menoleh kearah pintu. Dimana Naya baru saja muncul dan masuk kedalam ruang rawat inap Deaz berada. Naya menatap sendu lelaki yang terbaring tak berdaya diatas brankar. Langkahnya membawa Naya mendekat dan langsung menggenggam tangan Deaz dengan tangan kanan dan menyentuh dahi suaminya yang berkeringat itu dengan tangan kirinya. Deaz menggumam pelan dan memeluk tangan Naya dalam tidurnya. Melihat itu, Rosa segera meminta Naya untuk duduk di kursi yang sudah tersedia. "Deaz sakit sejak tiga hari yang lalu. Dia demam dan darah rendah. Tapi begitu sembuh dari sakitnya, kondisi Deaz malah semakin parah karena dia terus muntah-muntah hingga menyebabkannya kekurangan cairan," jelas Rosa, membuat Naya semakin khawatir. Kedua mata Naya bahkan sudah tampak berkaca-kaca. "Maaf. Naya gak tahu kalau Deaz sakit." Rosa mengangguk, memaklumi. "Mama tahu kalian sedang ada masalah. Tapi, jangan terlalu berlar
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cu
"Mama Rosa?" Rosa menoleh kearah pintu. Dimana Naya baru saja muncul dan masuk kedalam ruang rawat inap Deaz berada. Naya menatap sendu lelaki yang terbaring tak berdaya diatas brangkar rumah sakit. Langkahnya membawa Naya mendekat dan langsung menggenggam satu tangan Deaz dengan tangan kanan, lalu menyentuh dahi suaminya itu yang berkeringat dengan punggung tangan satunya lagi. Deaz tampak menggumam pelan dalam tidurnya, lantas bergerak memeluk tangan Naya dalam tidur lelapnya itu. Melihat itu, Rosa segera meminta Naya untuk duduk di kursi yang sudah tersedia tak jauh dari brangkar mengingat Naya sedang mengandung. "Deaz sakit sejak tiga hari yang lalu. Dia demam dan darah rendah. Tapi begitu sembuh dari sakitnya, kondisi Deaz malah semakin parah karena dia terus muntah-muntah hingga menyebabkannya kekurangan banyak cairan," jelas Rosa, membuat Naya semakin khaw
Hoeek! Hoeek! Naya terlonjak bangun dari atas ranjangnya. Mengusap pelan kedua mata ketika mendengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi, Naya memungut cepat celana dan baju untuk dia kenakan dan langsung bergegas menyusul suara yang Naya tebak adalah suaminya. "Deaz?" Dari pantulan cermin, Naya bisa melihat wajah kusut bangun tidur Deaz yang tampak begitu kacau dengan rambut berantakan. Naya mendekat ketika tatapan mereka bertemu melalui pantulan cermin. "Kenapa masuk kesini?" "Kamu muntah lagi?" "Keluar, Nay. Nanti kamu jijik."
"Yakin, aku tinggal sendirian gak papa. Teman-teman kamu belum datang loh." Naya mengangguk meyakinkan suaminya itu. Saat ini, Naya sudah tiba di mall kawasan jabodetabek. Deaz yang mengantarkan Naya kesini, sementara lelaki itu akan berangkat ke bengkel. "Yakin kok. Sebentar lagi, palingan Celine sama Agatha udah nyampe. Kamu berangkat kerja aja sekarang." Deaz mengangguk. "Sini, aku mau cium kamu dulu." Dari jendela depan mobil, Deaz segera melabuhkan satu ciuman di kening untuk Naya sebelum melajukan mobilnya pergi meninggalkan gadis itu sendiri. Melihat kepergian mobil Deaz, yang telah berbaur dengan mobil-mobil yang lain di jalan raya itu, Naya segera merogoh ponselnya dari dalam tas. Mendial nomor salah satu
Tok Tok Tok. "Woi ... Keluar lo! Lagi berbuat mesum ya?" "Udah dobrak aja pintunya bang." "Jangan! Tolong jangan di dobrak!" Naya berseru panik. Sementara para lelaki diluar terdengar makin menggerutu kesal. Mereka berpikir Naya sedang berbuat mesum di dalam bersama seorang lelaki. Naya ingin keluar, tapi terlalu malu jika harus dihadapkan pada sekumpulan lelaki di balik pintu bilik toilet tersebut. "Yang lagi di dalam. Kalau gak keluar, kita ikut dong!" "Goblok! Panggil security lah." "Lah, mana tahu bisa threesome?" "Heh, otak lo!" Suara diluar sana terus terdengar. Sementara Naya menggigit ujung kuku jari tangannya dengan kedua kaki bergerak resah. Masih menahan pintu bilik agar tidak dibuka paksa dari luar. "Aku harus gimana nih?" gumam Naya pelan.
Naya meremas kedua tangannya sendiri, menatap tajam punggung Deaz yang sedang berdiri membelakanginya, membantu Monica yang sedang memutar entah apa menggunakan kedua tangannya, tampak sedikit kesusahan. Jika dilihat dari sudut Naya saat ini, posisi Deaz lebih mirip disebut sebagai pelukan mesra. Ditambah tawa renyah dari kedua orang itu. Entah di sengaja atau tidak, Deaz jelas-jelas tidak lagi memperhatikan keberadaan Naya sejak kedatangan perempuan bernama Monica itu. Naya rasanya ingin menangis saja sekarang. Melihat bagaimana suaminya tampak begitu akrab dengan perempuan lain, meski hanya dilabeli sebagai teman, tentu saja Naya merasa sakit hati. Apalagi, Monica jelas selalu berusaha melakukan skinship, meski tahu bahwa dirinya ada disana dan telah Deaz perkenalkan sebagai istri beberapa menit yang lalu. "Deaz! Aku laper!" Sengaja, Naya berusaha mengalihkan fokus Deaz. Suaminya itu me