Share

12). Melarikan Diri

Suara televisi yang menyala, menampilkan serial kartun anak-anak. Naya dan Deaz duduk disofa, dengan Deaz yang memeluk tubuh Naya dari belakang sementara gadis itu duduk menyadarkan punggungnya pada tubuh bagian depan Deaz. Keduanya saling berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, sambil menikmati keripik kentang ditangan. Deaz berulangkali mengecup rambut Naya, menghirup aroma sampo yang dipakai gadis itu. Wangi stroberi--- aromakhas kesukaan gadis itu. 

"Deaz, tadi, aku di ajakin kenalan sama orang saat pulang dari bengkel kamu," kata Naya, memulai pembicaraan.

Naya tahu mungkin informasi yang ingin dia sampaikan pada suaminya kali ini tidak terlalu penting. Namun, Naya hanya tidak ingin menyimpan sesuatu. Bagaimana pun, Deaz adalah suaminya. Sudah sepantasnya lelaki itu tahu apa saja yang Naya alami, meski sekali lagi, informasi ini tidak penting sama sekali. 

Namun berbeda dari pikiran Naya, Deaz justru merasa perkataan Naya barusan sangat penting. Kelewat penting malah, mengingat Naya masih baru tinggal di lingkungan rumah ini.

"Siapa yang ngajakin kenalan? Cowok, cewek?"

"Cowok," jawab Naya santai, masih seraya memasukkan potongan keripik kedalam mulut dengan kedua mata yang tak mau lepas dari layar televisi. Adegan dramatis antara kucing dan tikus itu rupanya sangat menghibur Abinaya. 

"Namanya?"

"Lupa." Deaz langsung menyentil kening istrinya itu. 

"Harusnya, kamu inget-inget."

"Buat apa? Kan gak penting. Ya meskipun orangnya baik sih, nawarin aku air minum. Pas banget aku lagi kehausan."

Deaz mulai kesal sekarang. Membayangkan ada lelaki asing yang bahkan sudah ada yang mendekati istrinya, padahal Naya masih baru tinggal di lingkungan sana, membuat Deaz berpikir. Apakah, ia perlu mengajak Naya pindah rumah saja yang jauh dari lingkungan penduduk. 

"Ck. Itu tuh, modus cowok kalau mau deketin cewek cantik."

Naya mendongakkan wajahnya, karena posisinya yang masih bersandar pada tubuh depan Deaz, Naya bisa melihat jelas rahang tegang lelaki itu. Masih dengan keripik dimulut, Deaz kemudian ikut menuduk, mengambil alih keripik yang menyelip di antara bibir Naya tersebut dengan bibirnya sendiri lantas langsung mengunyahnya dengan cengiran kecil. Naya sampai terkejut sendiri menerima perlakuan seperti itu dari sang suami. 

"Lain kali, gak usah diladenin," kata Deaz lagi. Naya hanya menggumam pelan untuk menanggapi lelaki itu.

Deaz mulai berpikir. Mengumpulkan berbagai macam teori. Namun, otaknya buntu, tidak mengerti kenapa saat ini ini hanya penuh akan bayangan wajah Naya di mana-mana. Menghela napas lelah, Deaz memasukkan satu tangannya kedalam baju kaos yang Naya kenakan dari bawah, mengusap perut Naya dengan lembut.

Naya menggelinjang geli, namun tidak berniat menyingkirkan tangan suaminya itu.

"Besok, kita periksa kedokter ya?"

"Kenapa? Kan aku gak papa?"

"Itu perlu sayang. Mengingat kamu, belum pernah sekalipun periksa kandungan kan?"

Naya mengangguk membenarkan.

Tak lama setelahnya, Naya mulai menguap. Kedua matanya berat. Deaz yang menyadari itu  merunduk.

"Ngantuk?"

"He'em."

Deaz segera berdiri, mebopong tubuh Naya keatas gendongannya sementara gadis itu segera melingkarkan kedua tangannya dileher sang suami.

"Yakin, mau langsung tidur?"

"Maksud kamu?"

Deaz tersenyum penuh maksud, "satu ronde?" Tawarnya, yang langsung diangguki oleh Naya. Deaz tersenyum lebar dan buru-buru membawa Naya masuk kedalam kamar. 

Suasana pengantin baru itu, benar-benar masih terasa kental.

***

Ponsel Naya berdering. Panggilan dari Agatha. Sejenak, Naya melihat kearah Deaz yang masih terlelap disebelahnya. Beranjak turun, Naya segera mengangkat panggilan tersebut.

"Halo Nay!"

"Ish." Naya menjauhkan ponselnya begitu mendengar jeritan itu. Siapa lagi kalau bukan Celine dan Agatha yang merupakan sosok teman hura-huranya selama ini.

"Coba tebak, kita berdua ada dimana?"

"Emangnya dimana?" Naya malah balik bertanya, karena dia memang tidak tahu dimana kedua sahabatnya itu saat ini.

"Kita lagi ada di Brilliane cafe. Rencana mau pergi shopping seperti biasa. Tapi kita butuh lo, Nay. Kesini dong."

Naya melihat kearah Deaz lagi yang masih tertidur.

"Oke," jawab Naya, lalu segera mematikan panggilan tersebut.

***

Deaz menggeliat. Menoleh kesamping dan tidak menemukan Naya di sana. Beranjak turun dari ranjang untuk membersihkan diri kedalam kamar mandi. Deaz berpikir mungkin Naya sedang menonton televisi.

Namun, begitu membuka lemari, Deaz dikejutkan dengan tidak adanya beberapa pakaian Naya. Dan lebih mengejutkannya lagi, koper milik gadis itu bahkan ikut menghilang.

Berbagai pikiran positif itu seketika lenyap. Deaz bergegas meraih ponselnya, mendial nomor Naya untuk menghubunginya. Namun tidak tersambung.

"Oh shit! Apa gadis itu kabur!"

Deaz masih ingat jelas jika Naya menolak perjodohan sejak awal. Namun Deaz pikir, Naya bukanlah gadis yang akan melakukan hal nekat seperti melarikan diri. Hubungan mereka baik-baik saja sejak menikah, bahkan terjalin sangat romantis.

Masih dengan ponsel di telinga, Deaz melangkah cepat menuruni anak tangga setelah mengenakan pakaiannya secara random.

Menyetir dalam kondisi panik memang bukan hal yang baik. Namun, Deaz tidak bisa menghilangkan rasa itu sebelum menemukan titik jelas keberadaan Naya. Berkali-kali, Deaz masih berusaha menghubungi Naya, namun tetap tidak tersambung. Atas saran dari Tomi Sutedja yang ikut mencemaskan cucunya, Deaz pergi ke cafe, mall, salon kecantikan dan berbagai tempat yang biasa Naya datangi bersama teman-temannya.

Namun hasilnya nihil.

Lalu, tepat di sore hari. Di kediaman Tomi Sutedja. Deaz mendapatkan kabar bahwa Naya pergi ke luar negeri. Dengan bukti penerbangan pukul 6 pagi, bersama kedua teman lainnya.

Deaz duduk lemas dikursi sofa, penampilannya tampak kacau karena khawatir yang berlebihan. Tomi menepuk pelan bahu cucu menantunya itu.

"Kakek yang salah dalam mendidik Naya."

Tomi menghela napas.

"Kakek terlalu memanjakkannya sejak kecil."

Deaz merasakan perutnya terasa perih. Belum makan seharian membuat kepalanya sedikit pusing. Sementara Tomi masih larut dalam perasaan bersalahnya, memikirkan Naya yang ia pikir akan berubah setelah menikah. Namun nyatanya kelakuannya masih sama saja. Senang berfoya-foya, bahkan tidak meminta ijin pada suaminya sebelum pergi liburan bersama kedua temannya.

Tomi menyesal.

Sejak kecil, Naya memang kurang mendapatkan perhatian karena Tomi yang terlalu sibuk mengurus pekerjaan. Hidup gadis itu hanya untuk uang. Bahkan, Naya tidak peduli pada pendidikan, dan enggan berkuliah karena berpikir hidupnya sudah di penuhi oleh uang. Hal yang membuat Tomi kini sangat amat menyesal karena terlalu menggampangkan kegiatan menghabiskan uang yang selama ini Naya lakukan.

"Kakek pikir, setelah kalian menikah. Naya akan mulai berpikir dewasa. Melupakan segala kegiatan yang selama ini selalu dia lakukan diluar sana."

Tomi menatap Deaz yang tampak memejamkan kedua matanya.

"Pulanglah dan istirahat. Naya pasti akan segera pulang."

Deaz mengangguk, beranjak berdiri untuk pergi setelah berpamitan dengan Tomi.

Tapi nyatanya, hampir satu minggu Naya belum juga kembali. Deaz terus menunggu kepulangan gadis itu setiap hari.

Duduk di single sofa dengan tatapan terus memperhatikan kearah pintu. Berharap Naya segera muncul. Deaz makan sambil menunggu gadis itu. Deaz hanya akan beranjak karena butuh mandi. Kursi sofa adalah tempat tidur lelaki itu.

Dan Naya tidak kunjung kembali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status