แชร์

Bab 2

ผู้เขียน: Ipak Munthe
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-07 18:45:19

Dulu, Lala sama sekali tidak tahu apa istimewanya Aran.

Ia hanya mengenalnya sebagai pria berkacamata yang terlalu sopan untuk memotong pembicaraan, terlalu tenang untuk marah, dan terlalu dingin untuk dipahami.

Keduanya pertama kali bertemu di ruang kerja Bima—sebuah ruangan penuh kertas bertumpuk dan pekat aroma kopi basi yang sudah menyerah pada nasib.

Lala baru pulang dari luar kota.

Bima sedang sibuk.

Seperti biasa.

Jadi ketika pintu terbuka dan Aran muncul, membawa setumpuk berkas sambil mengangguk pelan, Lala hanya melirik tanpa peduli.

“Hm,” gumamnya.

Aran tidak mengangkat wajah.

“Selamat sore,” ucapnya singkat.

Tak ada yang terasa spesial—setidaknya sebelum Aran membuka mulut lagi.

“Maaf… tapi berkas di meja Anda hampir jatuh.”

Lala menunduk dan baru sadar laptop, map, dan pulpen miliknya sudah hampir ambruk ke lantai.

“Hah?!”

Refleks, ia menahan benda-benda itu. Sementara Aran dengan tenang yang menyebalkan, mengulurkan tangan untuk membantu. Ia menyusun semua tanpa suara, tanpa komentar, seolah kekacauan itu adalah hal biasa yang bisa ia rapikan dalam hitungan detik.

Tidak ada sentuhan dramatis.

Tidak ada senyum menggoda seperti di drama.

Hanya rapi.

Tepat.

Dan selesai.

Begitu saja.

“Terima kasih,” Lala berkata dengan suara yang entah kenapa terdengar terlalu kecil.

“Sama-sama.”

Aran menarik diri, kembali pada pekerjaannya.

Saat itu Lala hanya memandang punggungnya dan merasa ada sesuatu yang diam-diam berubah.

Bukan cinta pada pandangan pertama.

Terlalu berisik untuk disebut cinta.

Terlalu tenang untuk disebut suka.

Lebih seperti… rasa penasaran yang tumbuh tanpa izin.

Satu benih kecil yang menyelinap dan berakar, lalu menunggu hari ketika ia akan menjadi masalah besar.

Sore itu, di bawah lampu kuning ruang kerja yang redup, Lala menatap Aran dan bertanya pada diri sendiri:

Kenapa seseorang bisa sesederhana itu… tapi justru membuatku ingin tahu lebih?

Ia tidak menemukan jawaban.

Yang ia tahu hanya satu: Sejak hari itu, kedua matanya selalu mencari Aran.

Meski lelaki itu tak pernah benar-benar melihatnya.

***

Hari itu malam merayap semakin dalam, membawa dingin yang menempel pelan di kulit.

Lala baru saja pulang dari rumah sakit; bau antiseptik masih menempel samar pada bajunya, seperti bayangan yang enggan pergi.

Begitu kakinya menginjak teras, langkahnya berhenti.

Di depan pintu, ibunya sudah berdiri, tidak bergerak, seolah telah menunggunya lama.

Tatapan Lala tetap tenang, namun ia tahu betul, kehadiran perempuan itu bukan untuk menyambut kepulangannya.

Tidak pernah untuk itu.

Cahaya lampu teras jatuh di wajah ibunya, menajamkan garis-garis yang biasanya tersembunyi oleh kosmetik mahal. Ada dingin yang tidak bisa didefinisikan, dingin yang bukan berasal dari udara malam.

Sejenak, tidak ada yang bicara.

Hanya hening yang terasa lebih berat daripada kantung obat di tangan Lala.

Ia menarik napas pelan, menyiapkan diri, bukan untuk masuk rumah, tapi untuk menghadapi apa yang selalu menunggunya setiap kali pulang, Ibunya, dan segala kehadiran yang lebih sering terasa seperti beban ketimbang keluarga.

“Untuk apa kau pulang ke rumah ini?!”

Suara itu meluncur tajam, bahkan sebelum Lala sempat menyentuh gagang pintu.

Ibunya berdiri dengan tangan terlipat di dada, seperti seseorang yang sudah menyiapkan amarah jauh sebelum lawannya tiba.

Beberapa hari lalu, pertengkaran hebat meledak di antara mereka, kata-kata yang seharusnya tidak pernah terucap terlanjur terlempar, menyisakan luka yang terlalu dalam untuk dibalut permintaan maaf. Setelah itu, Lala memutuskan pergi. Tidak menoleh. Tidak memberi kabar.

Yang ia pikir, kepergiannya akan membuat ibunya resah.

Nyatanya… justru sebaliknya.

Seolah ketidakhadiran Lala adalah kelegaan, bukan kehilangan.

Seolah rumah ini lebih damai tanpa dirinya.

Dan kini, melihat ibunya memandangnya seakan ia hanyalah orang asing yang melangkah terlalu jauh ke wilayah terlarang, Lala tahu, pulang mungkin adalah kesalahan pertama yang ia lakukan malam ini.

“Aku yang memintanya pulang!”

Suara lain menyusup dari dalam rumah—serak, namun tegas.

Seorang perempuan tua muncul perlahan, langkahnya dibantu sebatang tongkat kayu yang tampak setia menopangnya selama bertahun-tahun.

Oma.

Usianya sudah delapan puluh, namun sorot matanya masih tajam, tidak goyah sedikit pun. Kehadirannya seketika membuat dua pasang mata di depan pintu itu menoleh—Lala dan ibunya.

“Lala adalah cucuku,” ucap Oma tegas, menatap menantunya tanpa berkedip.

“Akulah yang memintanya pulang ke rumah ini.”

Nada suaranya tidak perlu ditinggikan, ketenangan itu sendiri sudah menjadi perintah.

Raut wajah ibu Lala mengeras sejenak—jelas ia tidak menyukai keputusan itu.

Namun rasa tidak suka itu hanya berani muncul sebatas mimik.

Tidak ada bantahan, tidak ada protes.

Sebab ia tahu, Oma bukan sekadar orang tua dalam rumah ini, dialah penguasa sesungguhnya.

Kata-katanya adalah hukum.

Dan menentangnya… sama saja menggali liang sendiri.

“Lala, masuk.”

Suara Oma terdengar pelan, namun tak ada seorang pun di rumah itu yang berani mengabaikannya.

Lala mengangguk tanpa kata.

Ia melewati ibunya tanpa menoleh, lalu melangkah masuk ke dalam rumah tempat yang seharusnya menjadi ruang pulang, namun selalu terasa asing baginya.

Lorong rumah itu belum berubah.

Aroma kayu tua dan wangi kamboja di vas dekat tangga menyambutnya, seolah berusaha membuat semuanya tampak biasa saja.

Tapi hatinya tidak pernah merasa begitu.

Langkahnya ringan, tapi ada sesuatu yang berat menempel di dadanya.

Dia tahu, jika bukan karena panggilan Oma… ia mungkin tak akan pernah kembali.

Bagi Lala, pintu rumah ini bukan tempat pulang lebih mirip gerbang yang selalu mengingatkan bahwa ia tidak diinginkan.

Dan malam itu, langkahnya menuju kamar terasa seperti kembali menapaki luka yang belum benar-benar sembuh.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 7

    Lala memutar kunci mobil, dan mesin menyala pelan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dada yang terasa terlalu sempit untuk diisi oleh apa pun selain sakit. Jalanan di depannya buram, bukan karena kabut, melainkan air mata yang terus menetes tanpa izin. Sesekali ia mengusap pipinya, gerakan cepat, seolah ingin menghapus bukti bahwa ia rapuh. Namun setiap sapuan hanya meninggalkan garis tipis yang kembali basah. Setiap kilometer terasa seperti menjauhkan dirinya dari rumah, tapi tidak pernah benar-benar membuatnya lepas dari luka itu. Sesak dalam dadanya seolah menelan oksigen dari kabin mobil. Rasanya seperti tenggelam tanpa air, sunyi, dingin, dan lambat. Ia tidak tahu hendak ke mana. Ia hanya ingin pergi… sejauh mungkin dari semua yang menyakitinya. Entah sampai kapan ia harus terus begini. Mengemudi dengan hati yang sekarat, membawa kesedihan yang tidak pernah benar-benar menemukan tempat untuk beristirahat. “Baiklah… kalau itu yang Mama mau.” S

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 6

    Semua orang sudah membubarkan diri, termasuk Lala. Ia berjalan sendirian di lorong ketika tiba-tiba seseorang meraih pergelangan tangannya dengan kasar. Langkahnya terhenti, tubuhnya berbalik. Belum sempat melihat jelas siapa yang menariknya… Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya. Suaranya nyaring, memantul di sepanjang lorong, membuat tubuhnya terhuyung. Lala menatap terkejut. Ibunya. Dada Miska naik turun, penuh amarah yang mendidih. “Kau adalah kesalahan… yang lahir dari rahimku!” teriaknya. Ucapan itu menusuk jauh ke ulu hati. Bukan luka berdarah. Tapi sakitnya tak tertanggungkan. “Lihat akibatmu!” Miska menudingnya dengan gemetar. “Oma mewariskan semua kekayaannya pada Bima! Semua! Padahal AKU yang berhak! Aku yang sudah berjuang!” Lala menggeleng pelan. “Ma…” suara itu pecah. “Kenapa?” Air matanya jatuh meski dia berusaha menahannya. “Kenapa kau menangis?” Cercaan ibunya membuatnya kaku. “Kau pikir air matamu itu berharga? Tidak! Tidak sama sekali

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 5

    Sunyi menyergap seisi kamar setelah langkah Aran menjauh. Lala berdiri diam, masih membelakangi pintu yang kini tertutup rapat. Tak ada isak. Tak ada air mata yang jatuh. Hanya hening yang mengalir, menelusup ke dalam rongga dadanya. Perlahan ia menurunkan tangan, seolah seluruh tenaganya ikut terkuras keluar bersama kepergian Aran. Bukan sedih yang tampak, melainkan kosong. Kosong yang sudah terlalu sering menjadi teman tinggal di rumah ini. Wajahnya tetap datar. Tatapannya kosong ke lantai, tapi tak ada satu titik pun yang benar-benar ia lihat. Seakan-akan, di dalam dirinya ada sesuatu yang runtuh, pelan, namun pasti. Lala melangkah mendekat ke ranjangnya. Gerakannya tenang, nyaris tanpa suara. Ia duduk perlahan, meraih bantal, lalu memeluknya seperti kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar mampu menghangatkannya. Bibirnya terangkat sedikit, senyum tipis bukan bahagia, melainkan semacam pengakuan bahwa ia sudah terlalu terbiasa kehilangan. “Kenapa di

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 4

    Suara ponsel Aran tiba-tiba berdering—memecah ketegangan yang nyaris menelan keduanya. Aran sontak tersentak, segera merogoh saku celana sebelum sempat Lala menahannya lagi. Nama yang tertera di layar membuat wajahnya pucat seketika. Ia menepi, menjawab panggilan itu dengan suara tercekat. Tak ada yang terdengar jelas bagi Lala, hanya potongan kalimat gugup— “Ya… sekarang? …seberapa parah… saya segera pulang…” Beberapa detik kemudian, sambungan terputus. Aran terdiam, menggenggam ponselnya seolah nyawanya tergantung di sana. Napasnya tersengal. Perlahan ia kembali memasukkan ponsel ke sakunya. Sorot matanya menunduk, tidak berani menatap Lala. “Nona Lala…” Suaranya goyah. “Aku harus pulang ke kampung halamanku.” Ia menghela napas, menahan guncangan di dadanya. “Ibuku… sakit. Keadaannya sangat buruk. Sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.” Aran menatap Lala—tatapan memohon, bukan lagi karena takut, tapi karena putus asa. “Tolong… izinkan

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 3

    Hingga langkah Lala terhenti tepat di depan pintu kamarnya. Di ujung lorong yang diterangi lampu dinding, ia melihat seseorang berjalan ke arahnya. Aran. Pria itu menahan langkah, lalu berdiri beberapa langkah darinya. Sunyi tiba-tiba menggantung di antara keduanya tidak canggung, tapi juga tidak nyaman. Lala diam. Menunggu apa yang akan ia katakan. Aran akhirnya mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah dompet kecil berwarna pastel—milik Lala. “Milik Anda. Tadi terjatuh di teras,” ucapnya pelan. Lala menatap benda itu, namun tak segera meraihnya. Pandangan matanya terarah pada dompet di tangan Aran, sementara jemarinya tetap berada di sisi tubuh, ragu, atau mungkin… enggan menyudahi momen singkat itu. “Ini,” ucap Aran akhirnya, jemarinya sedikit menggeser dompet itu ke arah Lala. Lala menarik napas pelan. Baru kemudian tangannya terangkat—ragu, seperti takut menyentuh sesuatu yang lebih berat daripada sekadar barang tertinggal. Ujung jarinya menyentuh domp

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 2

    Dulu, Lala sama sekali tidak tahu apa istimewanya Aran. Ia hanya mengenalnya sebagai pria berkacamata yang terlalu sopan untuk memotong pembicaraan, terlalu tenang untuk marah, dan terlalu dingin untuk dipahami. Keduanya pertama kali bertemu di ruang kerja Bima—sebuah ruangan penuh kertas bertumpuk dan pekat aroma kopi basi yang sudah menyerah pada nasib. Lala baru pulang dari luar kota. Bima sedang sibuk. Seperti biasa. Jadi ketika pintu terbuka dan Aran muncul, membawa setumpuk berkas sambil mengangguk pelan, Lala hanya melirik tanpa peduli. “Hm,” gumamnya. Aran tidak mengangkat wajah. “Selamat sore,” ucapnya singkat. Tak ada yang terasa spesial—setidaknya sebelum Aran membuka mulut lagi. “Maaf… tapi berkas di meja Anda hampir jatuh.” Lala menunduk dan baru sadar laptop, map, dan pulpen miliknya sudah hampir ambruk ke lantai. “Hah?!” Refleks, ia menahan benda-benda itu. Sementara Aran dengan tenang yang menyebalkan, mengulurkan tangan untuk membantu. Ia me

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status