แชร์

Godaan Dokter Cantik
Godaan Dokter Cantik
ผู้แต่ง: Ipak Munthe

Bab 1

ผู้เขียน: Ipak Munthe
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-07 09:47:49

Lala melangkah menuju dapur dengan hati yang berkerut.

Rasanya seperti berjalan membawa kekalahan bukan dari orang lain, melainkan dari sosis buatannya sendiri.

Tadi, ia mencicipinya sedikit.

Hanya satu gigitan, tapi cukup untuk membuat hidupnya terasa menyesal sejenak.

Rasanya aneh.

Aneh yang bahkan tidak bisa diterjemahkan lidah.

Lebih cocok disebut percobaan gagal daripada makanan.

Ia buru-buru memuntahkannya, menatap dapur seakan benda-benda di sana ikut menertawakannya.

“Ya ampun… pantesan Kak Bima marah,” gumamnya.

Ada getir kecil dalam suara itu.

Lala menarik napas panjang.

Gelarnya panjang, ilmunya banyak, dia adalah seorang dokter spesialis kandungan, tapi urusan dapur membuatnya tak lebih dari siswa tingkat pertama.

Ironis sekali.

Niat awalnya mencari Bik Iyem, kepala ART yang jelas jago masak.

Setidaknya, dia bisa menyelamatkan harga diri Lala.

Namun, takdir pagi itu berkata lain.

Saat pintu dapur terkuak, yang pertama terlihat bukan Bik Iyem, melainkan Aran.

Senyum muncul di bibir Lala, pelan… licik… seperti ide nakal baru saja menetas.

Kalau ada Aran, kenapa harus Bik Iyem?

Dengan langkah ringan, ia mendekat dan tanpa banyak bicara, tangannya melingkar ke punggung pria itu.

“Kak Aran~”

Suara manja itu mengalir seperti sirup.

Aran tersentak, lalu cepat-cepat menyingkir.

“N-Nona Lala?”

Lala hanya tersenyum, mata berbinar seolah dapur adalah panggung dan Aran pemeran utama yang tak tahu ia sedang dikerjai.

“Ajarin Lala masak, ya?”

Nada suaranya manis, tapi ada sesuatu yang lain sesuatu yang membuat Aran kaku.

Ketika lelaki itu mencoba menolak,

Lala mencondongkan tubuh sedikit dan berbisik santai, seolah cerita kemarin adalah rahasia kecil yang imut.

“Lala bisa bilang ke Kak Bima… soal yang kemarin.”

Ancaman itu melayang seperti bunga jatuh di atas meja— indah, tapi merusak.

Wajah Aran pucat seketika.

Senyumnya yang dipaksakan terlihat seperti lipstik di wajah badut tidak pada tempatnya.

Aran belum sempat mencari alasan ketika aroma gosong perlahan memenuhi dapur.

Seperti tanda bahaya kecil yang terlambat disadari.

“Eh… bau apa ini?”

Suara Oma terdengar dari ambang pintu.

Aran tersentak, matanya membelalak. Ia buru-buru mematikan kompor, di atasnya, mie instan sudah menghitam seperti nasibnya pagi ini.

“S-saya lupa sedang masak, Nyonya,” katanya gugup.

Oma menyipitkan mata, menatap keduanya bergantian.

“Kenapa kalian serius sekali? Ada apa?”

Aran terbata, tapi Lala sigap mengisi kekosongan.

“Lala lagi belajar masak, Oma. Kak Aran yang mau ngajarin,” katanya ringan, seperti tidak terjadi apa-apa.

Aran ingin menyangkal, tetapi kata-kata itu berhenti di tenggorokan.

Satu suara kecil dalam kepalanya terus mengingatkan.

Kalau dia buka mulut soal malam itu? Habislah...

Oma mengangguk, bibirnya menyungging senyum ramah.

“Ah, bagus! Aran kan lumayan jago. Tolong ajari Lala, ya. Kamu sudah seperti keluarga.”

Ia berlalu pergi, meninggalkan dua manusia yang sedang terjebak antara dapur dan masa lalu.

Aran menelan ludah.

Seolah udara mendadak menipis.

“Kak Aran~”

Suara Lala kembali terdengar, kali ini lebih pelan.

Bukan memohon.

Lebih seperti mengingatkan bahwa ia tak punya banyak pilihan.

“Maaf, Nona. Saya… tidak bisa,” ucapnya, berusaha menjaga nada tetap sopan.

Lala memiringkan kepala.

“Benarkah?”

“Saya sedang banyak pekerjaan.”

Hening sejenak.

Lalu Lala tersenyum yang tidak benar-benar tersenyum.

“Kalau tiba-tiba kita dinikahin, gimana?”

Nada suaranya ringan, tapi tatapannya menusuk.

Aran membeku.

Peluh mengalir turun dari pelipisnya.

Lala menguik-ngikkan alis, seperti mengingatkan sesuatu yang seharusnya tidak disebut.

“Malam itu… Kak Aran lupa?”

Seketika ingatan itu membanjiri kepalanya.

Malam ketika Sofia dan Lala merayakan ulang tahun; terlalu banyak minuman, terlalu banyak tawa yang berubah jadi tangis.

Bima hanya sempat berpesan agar Lala tidak dipulangkan dalam keadaan begitu.

Jadi Aran membawanya ke apartemen, dengan pikiran sederhana: biar dia istirahat, besok juga selesai.

Tapi tidak ada yang selesai malam itu.

Di dalam kamar yang dingin, Lala menangis seperti anak kecil yang baru sadar dunia tidak memihaknya.

Meracau tentang sang ibu, tentang rumah besar yang terasa seperti museum, tentang dirinya yang—bahkan saat dilahirkan—tidak pernah benar-benar diinginkan.

“Kenapa aku lahir, kalau cuma jadi kesalahan?”

Kalimat itu menancap.

Aran tak punya kata.

Hanya diam, mendengarkan.

Karena malam itu, bukan Lala yang mabuk—dunia yang terasa miring.

Saat ia mencoba membaringkan Lala ke ranjang, gadis itu menariknya, memeluknya erat.

Meratap, memohon.

Seperti seseorang yang hanya ingin sekali saja merasakan dipilih.

Aran panik.

Membawanya ke kamar mandi, mengguyur kepalanya dengan air.

Lala terduduk, rambutnya basah menempel di pipi.

Tidak melawan.

Hanya menatap.

Tubuhnya gemetar.

Entah karena dingin, atau karena sesuatu yang lebih tua daripada usia— kesedihan yang membatu.

Ketika ia kembali membawanya ke ranjang, Lala menariknya masuk ke dunia yang sempit dan bercampur air mata.

Ciuman datang tiba-tiba, keputusan menyusul seperti badai.

Malam itu…semua batas kabur.

Dan esok paginya, hanya penyesalan yang tersisa untuk Aran.

Sementara Lala berdiri tegak, menatapnya tanpa ragu.

“Kak Aran sudah ambil keperawanan Lala.

Lala tunggu tanggung jawabnya.”

Lalu pergi.

*

“Kak Aran nggak lupa, kan?”

Suara Lala kembali menghantam kenyataan di dapur itu.

Aran menarik napas, berat.

“Lupa… tidak. Tapi—besok.”

“Besok nikah?”

Lala memiringkan kepala.

“Besok belajar masak,” ujarnya cepat.

Lala terbahak kecil.

“Kirain.”

Aran langsung pergi sebelum Lala bisa menambah syarat lain.

Langkahnya terburu-buru, nyaris lari.

Saking paniknya, ia hampir menabrak seseorang di lorong.

“Hei! Kau buta?!”

Suara berat itu membuat Aran terhenti.

“B-bos!”

Aran nyaris menjatuhkan dirinya ke lantai.

“Aku sebesar ini, masih bisa kau tabrak?!”

Bima mendengus sinis, lalu pergi begitu saja—tanpa tahu bahwa dua langkah di belakangnya, ada rahasia yang bisa mengguncang semuanya.

Aran berdiri terpaku.

Rasanya udara di rumah itu lebih dingin dari AC.

Dan jauh di dapur, Lala hanya tersenyum kecil.

Senyum yang menyimpan banyak kisah dan satu tuntutan yang belum selesai.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 7

    Lala memutar kunci mobil, dan mesin menyala pelan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dada yang terasa terlalu sempit untuk diisi oleh apa pun selain sakit. Jalanan di depannya buram, bukan karena kabut, melainkan air mata yang terus menetes tanpa izin. Sesekali ia mengusap pipinya, gerakan cepat, seolah ingin menghapus bukti bahwa ia rapuh. Namun setiap sapuan hanya meninggalkan garis tipis yang kembali basah. Setiap kilometer terasa seperti menjauhkan dirinya dari rumah, tapi tidak pernah benar-benar membuatnya lepas dari luka itu. Sesak dalam dadanya seolah menelan oksigen dari kabin mobil. Rasanya seperti tenggelam tanpa air, sunyi, dingin, dan lambat. Ia tidak tahu hendak ke mana. Ia hanya ingin pergi… sejauh mungkin dari semua yang menyakitinya. Entah sampai kapan ia harus terus begini. Mengemudi dengan hati yang sekarat, membawa kesedihan yang tidak pernah benar-benar menemukan tempat untuk beristirahat. “Baiklah… kalau itu yang Mama mau.” S

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 6

    Semua orang sudah membubarkan diri, termasuk Lala. Ia berjalan sendirian di lorong ketika tiba-tiba seseorang meraih pergelangan tangannya dengan kasar. Langkahnya terhenti, tubuhnya berbalik. Belum sempat melihat jelas siapa yang menariknya… Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya. Suaranya nyaring, memantul di sepanjang lorong, membuat tubuhnya terhuyung. Lala menatap terkejut. Ibunya. Dada Miska naik turun, penuh amarah yang mendidih. “Kau adalah kesalahan… yang lahir dari rahimku!” teriaknya. Ucapan itu menusuk jauh ke ulu hati. Bukan luka berdarah. Tapi sakitnya tak tertanggungkan. “Lihat akibatmu!” Miska menudingnya dengan gemetar. “Oma mewariskan semua kekayaannya pada Bima! Semua! Padahal AKU yang berhak! Aku yang sudah berjuang!” Lala menggeleng pelan. “Ma…” suara itu pecah. “Kenapa?” Air matanya jatuh meski dia berusaha menahannya. “Kenapa kau menangis?” Cercaan ibunya membuatnya kaku. “Kau pikir air matamu itu berharga? Tidak! Tidak sama sekali

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 5

    Sunyi menyergap seisi kamar setelah langkah Aran menjauh. Lala berdiri diam, masih membelakangi pintu yang kini tertutup rapat. Tak ada isak. Tak ada air mata yang jatuh. Hanya hening yang mengalir, menelusup ke dalam rongga dadanya. Perlahan ia menurunkan tangan, seolah seluruh tenaganya ikut terkuras keluar bersama kepergian Aran. Bukan sedih yang tampak, melainkan kosong. Kosong yang sudah terlalu sering menjadi teman tinggal di rumah ini. Wajahnya tetap datar. Tatapannya kosong ke lantai, tapi tak ada satu titik pun yang benar-benar ia lihat. Seakan-akan, di dalam dirinya ada sesuatu yang runtuh, pelan, namun pasti. Lala melangkah mendekat ke ranjangnya. Gerakannya tenang, nyaris tanpa suara. Ia duduk perlahan, meraih bantal, lalu memeluknya seperti kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar mampu menghangatkannya. Bibirnya terangkat sedikit, senyum tipis bukan bahagia, melainkan semacam pengakuan bahwa ia sudah terlalu terbiasa kehilangan. “Kenapa di

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 4

    Suara ponsel Aran tiba-tiba berdering—memecah ketegangan yang nyaris menelan keduanya. Aran sontak tersentak, segera merogoh saku celana sebelum sempat Lala menahannya lagi. Nama yang tertera di layar membuat wajahnya pucat seketika. Ia menepi, menjawab panggilan itu dengan suara tercekat. Tak ada yang terdengar jelas bagi Lala, hanya potongan kalimat gugup— “Ya… sekarang? …seberapa parah… saya segera pulang…” Beberapa detik kemudian, sambungan terputus. Aran terdiam, menggenggam ponselnya seolah nyawanya tergantung di sana. Napasnya tersengal. Perlahan ia kembali memasukkan ponsel ke sakunya. Sorot matanya menunduk, tidak berani menatap Lala. “Nona Lala…” Suaranya goyah. “Aku harus pulang ke kampung halamanku.” Ia menghela napas, menahan guncangan di dadanya. “Ibuku… sakit. Keadaannya sangat buruk. Sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.” Aran menatap Lala—tatapan memohon, bukan lagi karena takut, tapi karena putus asa. “Tolong… izinkan

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 3

    Hingga langkah Lala terhenti tepat di depan pintu kamarnya. Di ujung lorong yang diterangi lampu dinding, ia melihat seseorang berjalan ke arahnya. Aran. Pria itu menahan langkah, lalu berdiri beberapa langkah darinya. Sunyi tiba-tiba menggantung di antara keduanya tidak canggung, tapi juga tidak nyaman. Lala diam. Menunggu apa yang akan ia katakan. Aran akhirnya mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah dompet kecil berwarna pastel—milik Lala. “Milik Anda. Tadi terjatuh di teras,” ucapnya pelan. Lala menatap benda itu, namun tak segera meraihnya. Pandangan matanya terarah pada dompet di tangan Aran, sementara jemarinya tetap berada di sisi tubuh, ragu, atau mungkin… enggan menyudahi momen singkat itu. “Ini,” ucap Aran akhirnya, jemarinya sedikit menggeser dompet itu ke arah Lala. Lala menarik napas pelan. Baru kemudian tangannya terangkat—ragu, seperti takut menyentuh sesuatu yang lebih berat daripada sekadar barang tertinggal. Ujung jarinya menyentuh domp

  • Godaan Dokter Cantik   Bab 2

    Dulu, Lala sama sekali tidak tahu apa istimewanya Aran. Ia hanya mengenalnya sebagai pria berkacamata yang terlalu sopan untuk memotong pembicaraan, terlalu tenang untuk marah, dan terlalu dingin untuk dipahami. Keduanya pertama kali bertemu di ruang kerja Bima—sebuah ruangan penuh kertas bertumpuk dan pekat aroma kopi basi yang sudah menyerah pada nasib. Lala baru pulang dari luar kota. Bima sedang sibuk. Seperti biasa. Jadi ketika pintu terbuka dan Aran muncul, membawa setumpuk berkas sambil mengangguk pelan, Lala hanya melirik tanpa peduli. “Hm,” gumamnya. Aran tidak mengangkat wajah. “Selamat sore,” ucapnya singkat. Tak ada yang terasa spesial—setidaknya sebelum Aran membuka mulut lagi. “Maaf… tapi berkas di meja Anda hampir jatuh.” Lala menunduk dan baru sadar laptop, map, dan pulpen miliknya sudah hampir ambruk ke lantai. “Hah?!” Refleks, ia menahan benda-benda itu. Sementara Aran dengan tenang yang menyebalkan, mengulurkan tangan untuk membantu. Ia me

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status