เข้าสู่ระบบHingga langkah Lala terhenti tepat di depan pintu kamarnya.
Di ujung lorong yang diterangi lampu dinding, ia melihat seseorang berjalan ke arahnya. Aran. Pria itu menahan langkah, lalu berdiri beberapa langkah darinya. Sunyi tiba-tiba menggantung di antara keduanya tidak canggung, tapi juga tidak nyaman. Lala diam. Menunggu apa yang akan ia katakan. Aran akhirnya mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah dompet kecil berwarna pastel—milik Lala. “Milik Anda. Tadi terjatuh di teras,” ucapnya pelan. Lala menatap benda itu, namun tak segera meraihnya. Pandangan matanya terarah pada dompet di tangan Aran, sementara jemarinya tetap berada di sisi tubuh, ragu, atau mungkin… enggan menyudahi momen singkat itu. “Ini,” ucap Aran akhirnya, jemarinya sedikit menggeser dompet itu ke arah Lala. Lala menarik napas pelan. Baru kemudian tangannya terangkat—ragu, seperti takut menyentuh sesuatu yang lebih berat daripada sekadar barang tertinggal. Ujung jarinya menyentuh dompet itu. Perlahan ia meraihnya. “Terima kasih,” katanya lirih. Aran hanya mengangguk kecil, lalu berbalik hendak pergi. Namun, baru satu langkah ia ambil—tangan Lala langsung mencengkeram lengannya. Gerakan itu tiba-tiba, tanpa ragu, membuat Aran berhenti seketika. Ia menoleh. “Ada apa?” tanyanya pelan. Lala tidak menjawab. Sebaliknya, ia menarik lengan Aran, membuka pintu kamarnya, lalu menyeret pria itu masuk sebelum seseorang di lorong sempat memperhatikan. Pintu tertutup di belakang mereka—membawa keheningan yang berbeda. Aran menatap Lala, bingung, nyaris panik. “Nona Lala… kenapa Anda menarik saya masuk ke kamar? Atau, ada yang bisa saya bantu?” suaranya menurun, napasnya terdengar menahan cemas. “Apa yang akan orang pikirkan kalau melihat? Terutama Nyonya…” “Namaku Lala. Laisya,” ujar Lala tegas, menatapnya lurus. “Aku bukan majikanmu, Kak Aran.” Aran mengerjap, bingung. “Anda… bicara apa? Maaf, saya pamit.” Ia berbalik, siap menuju pintu. Namun Lala lebih cepat. Tangannya meraih kunci, lalu—tanpa ragu—menyelipkannya ke dalam belahan bra. Gerakan itu begitu spontan hingga Aran tertegun. Matanya melebar, napasnya tercekat. Beberapa detik ia hanya berdiri kaku, seolah kata-katanya tersangkut di tenggorokan. “Nona… apa yang Anda lakukan?” suaranya bergetar, lebih karena keterkejutan daripada marah. Lala mengangkat wajah, sorot matanya bukan lagi main-main. “Sudah bertahun-tahun kamu bekerja di sini,” ujarnya pelan, namun penuh getaran emosi. “Menurutmu… pernahkah aku diperlakukan sebagai anak di rumah ini?” Ia tersenyum miris—senyum yang lebih pedih daripada tawa. “Tidak, Kak Aran. Aku hanya dianggap benalu.” “Nona, saya harus segera pergi,” ucap Aran. Nada suaranya terdengar terburu, dipenuhi gelisah. Kekhawatiran mengalir deras di wajahnya. Bagaimana jika ada yang melihat mereka berdua di kamar ini? Skandal sekecil apa pun bisa menghancurkan segalanya. Ia tidak hanya takut pada omongan orang… tapi juga pada kemungkinan kehilangan pekerjaannya—pekerjaan yang dulu hanya bisa ia impikan. Aran datang merantau dari desa kecil, bermodalkan tekad dan keberanian. Mulanya ia hanyalah staf biasa di perusahaan keluarga ini. Namun ketekunan dan kejujurannya membuatnya dipercaya hingga menjadi asisten Bima—posisi yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya. Namun, semua rasa takut itu tak berarti apa pun bagi Lala. Yang ia tahu… selama ini hanya Aran yang hadir ketika ia rapuh. Hanya Aran yang menjadi tempatnya bersandar saat dunia di luar terasa terlalu kejam. Meski Aran selalu menjaga jarak—ia tetap satu-satunya yang membuat Lala merasa tidak sendirian. “Kak… nikahin aku, ya?” Suara Lala merendah, hampir bergetar. “Habis itu… bawa aku pergi dari sini. Dari rumah ini.” Tatapannya kusam—bukan sedih, tapi lelah. “Aku capek banget hidup di sini…” Aran memejamkan mata sejenak. Permintaan itu seperti pisau yang menggores batinnya. “Maaf, Nona Lala… saya harus pergi.” Nada suaranya lirih, memohon. “Tolong… berikan kuncinya.” Namun Lala tidak bergeming. Ia justru melangkah maju, selangkah demi selangkah, mengikis jarak di antara mereka. Aran spontan mundur, mengikuti dorongan naluri. Langkahnya teratur tetapi terdesak, hingga akhirnyaa punggungnya menyentuh sandaran sofa. Tak ada ruang lagi untuk mundur. Lala mengambil satu langkah terakhir— hingga hanya udara hangat di antara keduanya. Napas mereka bertemu, terlalu dekat untuk disebut wajar. Jarak yang begitu dekat membuat dada Aran serasa direnggut paksa. Ia menelan ludah, matanya beralih ke arah pintu, seolah berharap ada jalan keluar lain. Namun Lala tetap menatapnya, mata itu berisi luka yang tak pernah benar-benar sembuh. “Tolong, Nona Lala… jangan begini…” suaranya nyaris hanya desahan. Tapi Lala mengangkat tangannya. Jemari itu menyentuh kerah kemeja Aran— perlahan, namun penuh tekad. “Kenapa kamu selalu menjauh?” bisiknya. “Padahal cuma kamu yang aku punya…” Aran menahan napas, tubuhnya kaku. “Ini… tidak benar,” katanya pelan, terputus-putus. “Nona Lala—” “Laisya.” Lala membenarkan, suaranya tegas meski lembut. “Panggil aku Laisya.” Tatapan Aran bergetar. Ia menggeleng pelan, hampir seperti memohon pada takdir. “Kita tidak boleh seperti ini…” Lala tersenyum kecil—senyum yang justru menyayat. Ia menyentuhkan keningnya pada dada Aran. “Setiap malam… aku berdoa bisa pergi dari tempat ini,” bisiknya lirih. “Tapi aku tidak punya siapa-siapa selain kamu.” Aran terpaku. Tangannya terangkat sedikit, berniat mendorong, namun tidak pernah benar-benar menyentuh. “Laisya… tolong…" suara itu terdengar parau. “Kamu sedang tidak rasional.” Lala mendongak. Sorot matanya tajam—berani, tetapi juga patah. “Aku lebih rasional dari siapapun di rumah ini. Dan aku tahu… hanya kamu yang mau mendengar aku.” Diam menggantung. Tegangan di ruangan terasa padat—seolah udara ikut menahan napas. Di luar kamar, rumah masih sunyi. Namun di dalam… dua jiwa terjebak antara batas benar dan salah dan tak ada yang berani mundur.Lala memutar kunci mobil, dan mesin menyala pelan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dada yang terasa terlalu sempit untuk diisi oleh apa pun selain sakit. Jalanan di depannya buram, bukan karena kabut, melainkan air mata yang terus menetes tanpa izin. Sesekali ia mengusap pipinya, gerakan cepat, seolah ingin menghapus bukti bahwa ia rapuh. Namun setiap sapuan hanya meninggalkan garis tipis yang kembali basah. Setiap kilometer terasa seperti menjauhkan dirinya dari rumah, tapi tidak pernah benar-benar membuatnya lepas dari luka itu. Sesak dalam dadanya seolah menelan oksigen dari kabin mobil. Rasanya seperti tenggelam tanpa air, sunyi, dingin, dan lambat. Ia tidak tahu hendak ke mana. Ia hanya ingin pergi… sejauh mungkin dari semua yang menyakitinya. Entah sampai kapan ia harus terus begini. Mengemudi dengan hati yang sekarat, membawa kesedihan yang tidak pernah benar-benar menemukan tempat untuk beristirahat. “Baiklah… kalau itu yang Mama mau.” S
Semua orang sudah membubarkan diri, termasuk Lala. Ia berjalan sendirian di lorong ketika tiba-tiba seseorang meraih pergelangan tangannya dengan kasar. Langkahnya terhenti, tubuhnya berbalik. Belum sempat melihat jelas siapa yang menariknya… Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya. Suaranya nyaring, memantul di sepanjang lorong, membuat tubuhnya terhuyung. Lala menatap terkejut. Ibunya. Dada Miska naik turun, penuh amarah yang mendidih. “Kau adalah kesalahan… yang lahir dari rahimku!” teriaknya. Ucapan itu menusuk jauh ke ulu hati. Bukan luka berdarah. Tapi sakitnya tak tertanggungkan. “Lihat akibatmu!” Miska menudingnya dengan gemetar. “Oma mewariskan semua kekayaannya pada Bima! Semua! Padahal AKU yang berhak! Aku yang sudah berjuang!” Lala menggeleng pelan. “Ma…” suara itu pecah. “Kenapa?” Air matanya jatuh meski dia berusaha menahannya. “Kenapa kau menangis?” Cercaan ibunya membuatnya kaku. “Kau pikir air matamu itu berharga? Tidak! Tidak sama sekali
Sunyi menyergap seisi kamar setelah langkah Aran menjauh. Lala berdiri diam, masih membelakangi pintu yang kini tertutup rapat. Tak ada isak. Tak ada air mata yang jatuh. Hanya hening yang mengalir, menelusup ke dalam rongga dadanya. Perlahan ia menurunkan tangan, seolah seluruh tenaganya ikut terkuras keluar bersama kepergian Aran. Bukan sedih yang tampak, melainkan kosong. Kosong yang sudah terlalu sering menjadi teman tinggal di rumah ini. Wajahnya tetap datar. Tatapannya kosong ke lantai, tapi tak ada satu titik pun yang benar-benar ia lihat. Seakan-akan, di dalam dirinya ada sesuatu yang runtuh, pelan, namun pasti. Lala melangkah mendekat ke ranjangnya. Gerakannya tenang, nyaris tanpa suara. Ia duduk perlahan, meraih bantal, lalu memeluknya seperti kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar mampu menghangatkannya. Bibirnya terangkat sedikit, senyum tipis bukan bahagia, melainkan semacam pengakuan bahwa ia sudah terlalu terbiasa kehilangan. “Kenapa di
Suara ponsel Aran tiba-tiba berdering—memecah ketegangan yang nyaris menelan keduanya. Aran sontak tersentak, segera merogoh saku celana sebelum sempat Lala menahannya lagi. Nama yang tertera di layar membuat wajahnya pucat seketika. Ia menepi, menjawab panggilan itu dengan suara tercekat. Tak ada yang terdengar jelas bagi Lala, hanya potongan kalimat gugup— “Ya… sekarang? …seberapa parah… saya segera pulang…” Beberapa detik kemudian, sambungan terputus. Aran terdiam, menggenggam ponselnya seolah nyawanya tergantung di sana. Napasnya tersengal. Perlahan ia kembali memasukkan ponsel ke sakunya. Sorot matanya menunduk, tidak berani menatap Lala. “Nona Lala…” Suaranya goyah. “Aku harus pulang ke kampung halamanku.” Ia menghela napas, menahan guncangan di dadanya. “Ibuku… sakit. Keadaannya sangat buruk. Sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.” Aran menatap Lala—tatapan memohon, bukan lagi karena takut, tapi karena putus asa. “Tolong… izinkan
Hingga langkah Lala terhenti tepat di depan pintu kamarnya. Di ujung lorong yang diterangi lampu dinding, ia melihat seseorang berjalan ke arahnya. Aran. Pria itu menahan langkah, lalu berdiri beberapa langkah darinya. Sunyi tiba-tiba menggantung di antara keduanya tidak canggung, tapi juga tidak nyaman. Lala diam. Menunggu apa yang akan ia katakan. Aran akhirnya mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah dompet kecil berwarna pastel—milik Lala. “Milik Anda. Tadi terjatuh di teras,” ucapnya pelan. Lala menatap benda itu, namun tak segera meraihnya. Pandangan matanya terarah pada dompet di tangan Aran, sementara jemarinya tetap berada di sisi tubuh, ragu, atau mungkin… enggan menyudahi momen singkat itu. “Ini,” ucap Aran akhirnya, jemarinya sedikit menggeser dompet itu ke arah Lala. Lala menarik napas pelan. Baru kemudian tangannya terangkat—ragu, seperti takut menyentuh sesuatu yang lebih berat daripada sekadar barang tertinggal. Ujung jarinya menyentuh domp
Dulu, Lala sama sekali tidak tahu apa istimewanya Aran. Ia hanya mengenalnya sebagai pria berkacamata yang terlalu sopan untuk memotong pembicaraan, terlalu tenang untuk marah, dan terlalu dingin untuk dipahami. Keduanya pertama kali bertemu di ruang kerja Bima—sebuah ruangan penuh kertas bertumpuk dan pekat aroma kopi basi yang sudah menyerah pada nasib. Lala baru pulang dari luar kota. Bima sedang sibuk. Seperti biasa. Jadi ketika pintu terbuka dan Aran muncul, membawa setumpuk berkas sambil mengangguk pelan, Lala hanya melirik tanpa peduli. “Hm,” gumamnya. Aran tidak mengangkat wajah. “Selamat sore,” ucapnya singkat. Tak ada yang terasa spesial—setidaknya sebelum Aran membuka mulut lagi. “Maaf… tapi berkas di meja Anda hampir jatuh.” Lala menunduk dan baru sadar laptop, map, dan pulpen miliknya sudah hampir ambruk ke lantai. “Hah?!” Refleks, ia menahan benda-benda itu. Sementara Aran dengan tenang yang menyebalkan, mengulurkan tangan untuk membantu. Ia me







