Share

bab 2

Seminggu berlalu setelah percakapan itu, tetapi sang suami belum juga mengirim uang.

“Ck! Katanya gajinya mingguan, kok abang gak ngirim-ngirim sih!” gerutu Santi sebal.

Entah mengapa, yang dipikirkan hanya uang saja.

Dia seolah tak peduli apa pekerjaan suaminya dan kesulitannya.

Tut!

“Bang, ini sudah seminggu Abang kerja, kenapa belum mengirim uang? Katanya mingguan?” cerocosnya setelah sambungan telepon diangkat oleh suaminya.

“Ya Allah dek, bentar, nanti sore Abang kirim kerekening Nadia, sekarang Abang lagi kerja.”

“Ya sudah! Awas aja kalau nanti sore belum dikirim!” ucapnya ketus kemudian langsung memutuskan panggilan sepihak tanpa memberi salam.

Adi hanya mengelus dada, dan langsung kembali bekerja.

Sayangnya, Al-Dasim mulai bekerja. 

“Istrimu itu cerewet. Yang dipikirkannya hanya uang. Bahkan kemaren saat kau menepolnnya dan mengatakan kau tak enak badan, dia malah menghinamu. Apa kau ingat? Dia bilang belum seminggu kau kerja sudah mau sakit dan dia juga bilang kalau kau jangan sakit karena dia dan anakmu butuh uang. Dia sama sekali tak memikirkan kondisimu yang kerja berat disini,” bisiknya di telinga Adi.

Pria itu terdiam. 

Emosi mulai tersulut di kepalanya.

“Hey, Di! Kok kau melamun saja? Barang di sana tolong diangkat,” tunjuk Jamal pada tumpukan kardus keramik yang tertata rapi di pojok ruang.

Seketika Adi tersadar dari lamunan.

“Mau dikirim ke mana ini, Mal?” tanyanya

“Ke toko Material di Luar Kota. Oh iya, kau ikut ya, temenku yang biasanya, pulang lebih dulu, katanya istrinya lahiran.”

“Ok, Mal. Biar nambah-nambah buat dikirim ke anak istri.”

“iya, iya. Nanti di perjalanan kau teransfer lah itu uang.”

 Mereka pun berangkat.

Dan untungnya, bayaran Adi mulai terkumpul.

Dikirimkannya ke Santi dengan harapan sang istri tak marah lagi!

***

“Mak, ini Ayah transfer uang ke rekening aku.” Ucap Nadia putri sulungnya sambil memberikan ponselnya kepada sang Ibu.

“Loh, kok cuma segini yang dikirim Ayahmu, Nad?”

“400 Ribu mana cukup untuk seminggu, ini juga harus bayar hutang sama Naya, uang SPP kamu kan Emak pinjam ke dia dulu, sehari  setelah Ayahmu kerja.”

“Memangnya Emak pinjam berapa?”

“Ya, pinjam 300 Ribu.”

“Hah? Ya Allah, Mak. Uang SPP Nadia itu hanya 150 Ribu, separuhnya lagi dibuat apa Emak? Kan sebelum berangkat Ayah ngasih uang, cukuplah buat biaya dapur seminggu.”

“Hallah … uang segitu mana cukup? Gak usah sok tau kamu! Belum lagi adekmu Mila minta jajan.”

“Berapa sih, uang yang Emak kasih buat jajan Mila? Akhir-akhir ini Mila minta jajannya ke aku, loh. Uang yang aku tabung untuk beli sesuatu udah aku relain buat jajan Mila.”

Santi gelagapan.

“Anu—itu, iya Emak beli baju dan daster baru!”

“Ya Allah, Emak, buat apa? Kan baju Emak sama dasternya udah banyak, Nadia liat Emak sering ganti baju. Sampek numpuk itu cucian kotor, kebanyakan bajunya Emak.”

“Heh diam saja! Itu baju udah lama. Emak pengen punya baju baru. Kau diam saja, ngomong sama kamu itu gak ada akhirnya. Gak pernah ngalah sama orang tua!” Hardiknya.

Nadia hanya bisa pasrah sambil mengelus dada, sedangkan Santi pergi ke luar rumah sambil mengomel.

“Kalau begini terus ya gak pernah cukup uang yang di berikan Ayah, lebih baik aku buat kue untuk di titipin ke warung sebelum berangkat ke sekolah, pulang sekolah mungkin bisa jual seblak atu cikie-cikie  nantinya.”ucapnya penuh tekad.

Nadia langsung bergegas ke kamar, dia membuka laci yang berisi uang tabungannya selama ini. Entah itu di kasih keluarganya atau uang upah diberikan Mbak Minah ketika ia menyuruh Nadia untuk beli sesuatu di toko ujung desa.

“Alhamdulillah … Insya Allah cukup untuk modal awal bikin kue.”

Tiba-tiba ponsel Nadia berdering, ia tersenyum melihat nama dilayar ponselnya.

“Assalamualaikum, Ayah.”

“Waalaikum salam, Nak. Bagaimana kabar Nadia?”

“Alhamdulillah Yah, oh iya, Nadia mau jualan kue, bagaimana menurut Ayah?”

“Apa tidak mengganggu aktifitas sekolah kamu Nak, hum?”

“Enggak Yah, kan malam Nadia yang bikin adonan kuenya, pagi-pagi tinggal di olah dan sebelum berangkat Nadia akan titip di warung-warung sini, atau bias juga di kantin tempat Nadia sekolah.”

“Memangnya ada apa, sampai kamu berinisiatif buat jualan kue? Apa uang yang Ayah kirim tidak cukup?”

“Bukan, bukan begitu Ayah, hanya saja agar Nadia punya kesibukan dan bias punya penghasilan sendiri.”

“Emak masih beli baju terus?” terkanya.

Nadia terdiam tak menjawab pertanyaan sang Ayah.

Adi menghela nafas berat, istrinya sangat boros. Santi lebih suka beli keperluan diri sendiri ketimbang memikirkan isi perut dirinya dan kedua anak mereka. Jika dilarang dia akan marah besar dan mengatakan malu kepada tetangga yang lain, karena baju yang dia pakai itu-itu saja. Adi tahu, jika itu hanya alasan Santi, dari dulu istrinya selalu ingin lebih unggul dari pada yang lain. Padahal Santi tahu, ekonomi keluarganya yang pas-pasan.

“Ya sudah, Ayah balik jalan dulu ya. Ini kebetulan Ayah di ajak Cik Jamal buat ngirim barang keluar kota.”

“Baik Ayah, titip salam buat Pakcik.”

“Insya Allah, nanti Ayah sampaikan.”

Adi menutup telfon dari sang buah hati, dia merasa gagal menjadi seorang Ayah. Seharusnya Nadia hanya harus fokus pada sekolahnya. Adi menghela nafas berat.

“Di--Di, kau masih muda, tapi sering melamun saja, apa melamun sudah menjadi hobi barumu sekarang?” tegur Jamal.

“Hahaha … kau seperti ‘tak tahu apa yang menjadi beban pikirku saja.”

“Apa lagi? Sekarang ‘kan sudah kerja. Tidak perlu kau pusing-pusing lagi untuk pemasukan keluarga. Kerja di sini juga enak. Ada mess, ‘tak perlu pusing buat bayar kos.”

Adi hanya tersenyum hambar, dalam hatinya membenarkan semua apa yang dikatakan kawannya itu. Tetapi entahlah, seperti masih ada yang mengganjal di hatinya.

Sayangnya ... kekhawatirannya terbukti tanpa dia ketahui.

Istrinya kini tengah berduaan saja dengan sang mantan kekasih!

 “Ternyata kau masih sama seperti dulu, San.”

Wanita itu hanya tersenyum, tetapi pipinya merona menahan malu.

“Aku sudah memiliki anak, Wan.”

“Tetapi masih cantik.”

Mendengar itu, Santi makin tersipu. Hanya saja, bayangan anak-anaknya melintas.

“Oh iya, Wan. Aku harus pulang, takut anakku nyariin.”

“Biar kuantar.”

“Tidak usahlah.”

“Tidak boleh menolak, aku tidak mau kalau kulit mulusmu sampai terkena matahari,” ucapnya merayu.

“Ah, kau ini, tetapi sungguh tidak perlu. Ini saja dibelikan baju dan barang-barang sama kamu aku sudah sangat senang, padahal kita baru saja bertemu setelah sekian lama.”

“Tak masalah, Ayok!”

Mereka pun beranjak dari kursi dan langsung berlalu menuju mobil.

“Ternyata mantan kekasihmu yang dulu lebih perhatian dan memanjakanmu. Tidak seperti suamimu yang taunya hanya mengekang kesenangamu! Wawan ini juga terlihat kaya, tidak seperi suamimu yang miskin,” ujarnya Dasim berbisik di telinga Sinta.

Deg!

Pikiran Santi berkelana.

“Wawan dan Adi jauh berbeda, Wawan perhatian, royal, tanpan dan yang paling penting dia itu kaya, sedangkan Adi, pencicilan, aku Cuma mau beli baju baru aja ditanyain terus, pelit, miskin lagi. Masih untung kalau tampan, ini mah kucel, hitam. Gak sebanding sama aku yang cantik dan masih terlihat awet muda.”

Mengetahui targetnya mulai bimbang, Kakek Tua itu tersenyum menyeringai.

Al Dasim yang pandai dengan hasutan!

“Teruslah merendahkan suamimu, hilangkan rasa syukur di hatimu. Wahai Bani Adam …”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status