“Bang, kamu gak kerja lagi hari ini?”
Adi menggeleng lesu. “Enggak dek, masih belum ada yang butuh tenagaku.”
“Kalau belum ada orang yang butuh tenaga Abang, ya Abang cari kerjaan lain dong! Jangan malah enak-enakan duduk ngopi aja. Tuh beras sama keperluan dapur lainnya udah mau habis! Apalagi sebentar lagi mau bayar uang SPP Nadia, mau dapat uang dari mana, kalau Abang gak kerja?”
“Iya, nanti Abang tanya-tanya sama temen.”
“Kok nanti? Sekarang, dong!” ucap Santi ketus. Dia pun kembali ke dalam rumah sambil cemberut. Baginya, sang suami tidak ada usaha sama sekali.
Sudah dua bulan ini, kerjanya di rumah saja. Alasan sang suami adalah tidak ada yang membutuhkan pijat refleksi darinya.
Padahal, kebutuhan rumah ‘kan semakin menumpuk!
“Bun, minta uang. Aku ada kas hari ini.” Suara anak bungsunya menyadarkan Santi dari lamunan.
Namun, wanita itu masih dikuasai emosi.
Tanpa memedulikan gadis kecil yang masih mengadahkan tangannya ke depan, Santi pun berlalu.
“Minta saja sana sama ayahmu,” ketusnya.
Mila tampak bingung. Dilihatnya sang ayah yang kebetulan ada di teras rumah.
Langkah kecilnya yang pasti pun menuju ke arah Adi. “Ayah … kata Bunda, Mila minta uangnya ke Ayah saja,” ucapnya polos.
Kini, Adi mengerutkan kening. “Memangnya Bunda gak ngasih uang jajan ke Mila?”
“Uang jajan dikasih kok, sama Bunda.”
“Lalu?”
“Uang Kas sekolah, Ayah. Kan dua minggu sekali, ada iuran uang Kas, Ayah.”
“Hum … Ayah belum ada uang, gimana kalau iuran mendatang? Ayah janji akan bayar double”
Meski sedih, Mila hanya bisa mengangguk. “Janji ya, Ayah?”
“Iya, Ayah janji.”
Jawaban sang ayah berhasil meyakinkan sang buah hati.
Mila pun pergi meninggalkan Adi yang diam-diam menahan emosi. “Sial!”
****
“Hey, Di? Kenapa mukamu cemberut?”
Begitu tiba di warkop dekat rumah, teman Adi yang kebetulan ada di sana–datang menghampiri.
Namun, Adi diam tak menanggapi. Pikirannya menerawang memikirkan pemasukan yang akhir-akhir ini sangatlah sedikit, sedangkan pengeluaran makin membengkak saja.
“Hey, Di. Apa kau tak memesan kopi?” tanya temannya sambil menepuk bahunya.
Adi sontak terlonjak kaget mendapat sentuhan tersebut.
“Astga kau ini! Buat kaget saja.”
“Kau saja yang melamun, aku sudah memanggil-manggilmu dari tadi, dari aku baru sampai kesini. Tapi kau malah asyik melamun saja, sampai-sampai tidak sadar sama kehadiranku di sini.”
Adi ingin menjawab, tapi Mbak warung datang membawa kopi pesanan temannya itu.
“Ini kopinya, Mas. “
“Iya, terimakasih Mbak,” ucap Jamal sambil mengedipkan sebelah matanya.
Si pelayan tersipu, kemudian buru-buru pergi dengan membawa nampan.
“Kau ini tak pernah berubah, Mal?” tegur Adi.
“Hahaha … selagi anak istri di rumah tidak tahu, yo aman, toh?”
Adi menggeleng melihat tingkah teman lamanya itu. Jamal memang terkenal sebagai laki-laki yang suka bermain wanita, tetapi anak istrinya tidak tahu atau mungkin sudah tak peduli dengan tingkah tanduk suaminya ini.
“Oh ya? Kulihat kau dari tadi melamun saja? Tak memesan kopi kau?”
“Jangankan untuk memesan kopi, membayar iuran anak saja aku tak punya uang,” jawab Adi lesu
“Lah? Lalu untuk apa kau kesini, jika tak ada uang kalau cuma buat beli kopi satu?”
“Di rumah, istriku ngomel-ngomel terus. Masalahnya ya, itu, aku yang belakangan ini tidak menghasilkan uang. Harus bagaimana lagi? Aku hanya tukang pijat refleksi, kalau gak ada yang membutuhkan tenagaku lalu aku harus apa? Tanya sama kawan-kawan yang lain juga gak ada yang nyari tambahan orang kerja.”
Jamal menghela napas. “Sabar, bentar kupesankan kopi dulu, biar enak kita ngobrolnya.”
“Marni, abang pesan kopi lagi satu ya, cepat!” lanjutnya memanggil pelayan wanita yang tadi.
Wanita yang bernama Marni tersebut tersenyum manis dan mengangguk.
“Akrab sekali lagaknya.”
“Bukan akrab lagi, tapi sudah sering kutiduri,” bisiknya tepat ditelinga Adi.
“Hah!?”
Adi reflek berteriak, dan langsung dibekap sama Jamal—temannya tersebut.
“Tak usah kau terkejut begitu, kayak yang tidak kenal siapa aku saja,” jawabnya enteng.
“Tapi, Mal. Dia kan sudah bersuami.”
“Lalu? Aku kan sudah bilang, selagi tidak ketahuan, yo aman.”
“Kupikir hanya janda dan anak gadis saja seleramu. Ternyata, bini orang pun kau embat. Jamal oh Jamal”
Obrolan antarlelaki itu terus berlanjut, hingga obrolan mulai masuk ke ranah pekerjaan.
Kata Jamal, dia butuh teman untuk menemani dirinya yang seorang supir dari salah satu pabrik germen besar di sana. Jadi, Adi pun memutuskan untuk mencoba peruntungan dengan ikut Jamal ke Ibu kota.
“Terima kasih ya, Mal. Aku mau pulang dulu, mau ngasih tau kabar ini sama istriku di rumah.”
Mendengar ucapan Adi, Jamal hanya mengangguk dan tersenyum.
Ia juga merasa prihatin dengan Bapak anak dua tersebut. Padahal Adi adalah orang yang ulet, dia tak pernah gengsi untuk bekerja apapun selagi bisa menghasilkan uang untuk orang rumah.
Tetapi, mungkin nasib baik dan rezeki selalu tidak berpihak padanya.
Ketika bekerja kuli serabutan, dia tidak mendapatkan bos atau teman yang baik padanya. Bahkan, dulu gajinya tidak dibayar karena mandornya kabur membawa uang bayaran.
Sayangnya, begitu tiba di rumah, keadaan di rumah Adi tak terlalu baik.
“Abang beneran mau ikut si Jamal?” tanya Santi kembali.
Adi mengangguk. “Iya, lagian kan Abang disini pemasukannya sedikit. Itung-itung buat pengalaman kerja di luar.”
Hening.
Santi terdiam. Dia bimbang jika suaminya terus di sini dan tak bekerja, dia dan kedua anaknya akan bingung mau makan apa esok hari. Tetapi, jika dia mengijinkan sang suami ikut kerja di Ibu Kota bersama Jamal, dia juga takut bila suaminya terpengaruh dan mengikuti sepak terjang Jamal—teman suaminya yang sering main wanita diluar sana.
“San .. Santi!”
“Eh .. apa Bang?” tanya perempuan itu bingung.
“Kamu yang kenapa? Dipanggil-panggil dari tadi tidak menjawab. Melamun?”
“Abang kalau sudah kerja di Ibu Kota jangan lupa sering-sering kasih kabar buat aku dan anak-anak di sini,” pintanya.
Adi menghela napas. “Jelas, dong. Aku kan kerja buat kalian disini. Nanti kalau libur, InsyaaAllah Abang usahain pulang..”
Santi yang mendengar penuturan suaminya menjadi sedikit lega.
Tanpa mereka sadari berdiri sosok laki-laki tua renta yang sedang mengawasi dan mendengarkan obrolan mereka dari pojok kamar tidur.
Kakek itu menyeringai, lalu pergi meninggalkan suami-istri tersebut setelah meninggalkan bekas lebam di punggung mereka masing-masing tanpa Adi dan Santi sadari.
“Hahaha… kalian target selanjutnya!” lirih Al-Dasim, jin perusak rumah tangga, senang.
“Kamu sudah dua hari di sini, tetapi suamimu gak ada inisiatif sama sekali buat jenguk kamu!” Ucap Amira yang sengaja mengeraskan nada suaranya agar terdengar oleh Bapaknya sendiri yang tengah memangku Althaf.Kesal rasanya saat mengetahu dulu kalau adik perempuannya dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan sama sekali tidak belajar agama, sedangkan adiknya lulusan terbaik di pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dahulu.Hanya karena laki-laki pilihan Bapak dan Ibunya adalah pemuda yang pekerja keras, sehingga tidak mungkin adiknya akan kekurangan katanya. Padahal rejeki, jodoh dan maut hanya Allah yang menentukan.Bapaknya yang mendengar itu hanya mengelus dada, seraya tersenyum kepada cucu laki-lakinya untuk menutupi rasa sesal yang menyelimut dalam diri.Nilam dan Amira keluar dari kamar, bergabung dengan sang Bapak yang tengah bermain dengan kedua cucunya.“Suami gak ada bilang apa-apa gitu?” Tanya Amira penasaran.Nilam menggeleng.“Gak ada inisiati buat lihat anaknya barang s
Nilam sudah mengirimi pesan sesaat setelah keluar dari rumah itu, tetapi hingga adzan dzuhur berkumandang pesan yang sudah ia kirimkan belum jua dibalas oleh suaminya.Nilam ‘tak ambil pusing, karena dirinya memang sedang tidak enak badan.Sesampainya di rumah orang tuanya, Nilam langsung beristirahat, sedangkan Althaf tengah bermain dengan Saga, keponakannya sendiri, anak tertua Amira.Sedangka Fila, anak bungsu dari Amira sedang ikut Ayahnya pergi, entah kemana. Nilam tak bertanya akan hal itu.Sekarang dia hanya focus untuk memulihkan tubuhnya kembali.“Nil, selama kau sakit, jangan menyentuh Althaf langsung. Kau peras saja Asinya lalu taruh di botol. Kalau nyentuh langsung takutnya nular. Apa lebih baik kakak beli susu formula dulu untuk sementara?” tanyanya meminta pendapat dari sang Adik yang tengah berbaring dengan kompres melekat didahinya.“Kalau dikasih susu formula takutnya nanti setelah aku sembuh Althaf malah gak mau sama Asi nya Kak” jawabnya lirih.Amira tampak berfikir
Arman bekerja dengan begitu keras, tidak peduli siang dan malam. Karena Vivi sendiri lepas tangan, padahal itu adaalah hutang orang tuanya juga. Vivi ‘tak mau ambil pusing akan hal itu. Sehingga Arman harus banting tulang sendiri untuk melunasi hutang Ayahnya, yang kini menjadi hutang di Bank.Arman berinisiatif meminjam uang di Bank dengan mengadai sertifikat rumah tersebut, awalnya Vivi menentang dengan keras karena takut rumah tersebut juga akan di sita oleh pihak Bank. Tetapi untungnya Arman bisa meyakinkan, sehingga hutang Ayahnya kepada rentenir lunas, tinggal hutang di Bank atas nama dirinya.Sehingga Vivi sangat membenci Nilam, karena baru beberapa hari menikah Bapak mereka meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang, begitu juga dengan Ibunya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu, yang pada akhirnya harus membuat mereka hidup berdua beserta pasangan masing-masing, di rumah peninggalan orang tuanya tersebut.“Aku kakak tertua, aku adalah pengganti Ibu sekarang, karena bel
Tetapi tiba-tiba Althaf menangis dengan kencangnya. Membuat Nilam terperanjat kaget ia langsung menyudahi pekerjaannya dan berlari menuju kamarnya.Sesampainya di dalam kamar, Althaf tengan telentang seraya menangis dengan kencang, buru-buru menggendong sang buah hati, di telisiknya wajah Althaf dengan seksama, ternyata ada sedikit memar di dahinya.“Mbak, Althaf ini kenapa?” tanyanya kepada kakak Iparnya yang sedari tadi hanya diam melihat Althaf menangis tak henti-hentinya.“Ya, ini semua gara-gara kamu. Kalau punya anak di jaga! Masak di biarin di kamar sendirian!”“Aku lagi nyuci beras buat masak Mbak”“Hallah .. ya bawa saja si Althaf, kalau kamu bawa dia tadi, gak mungkin dia akan kejedot pintu saat aku mau masuk kamar kamu!”Althaf mulai tenang, anak kecil itu menyusu kepada Ibunya.“Mbak mau ngapain ke kamar aku?”“Ya terserah aku mau ngapai aja ke kamar kamu, toh ini masihh rumahku! Ya suka-suka aku lah!”Nilam menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar, percuma
“Nil, kamu harus menikah dengan lelaki pilihan Bapak dan Ibu!”Nilam hanya tertunduk lesu, pasalnya dirinya baru gagal bertunangan dengan pria pilihannya sendiri. Dulu dia sempat lolos dari perjodohan yang kedua orang tuanya tawarkan, karena menerima lamaran dari pria kenalan teman dekatnya. Tetapi siapa sangka, lelaki tersebut hanya mempermainkan perasaannya saja, padahal kedua orang tua masing-masing sudah mengetahui hubungan mereka.Dan kini, mau tidak mau, suka tidak suka, Nilam harus menerima perjodohan tersebut, lelaki yang dulu masih orang tuanya jodohkan kepadanya.Hingga pernikahan tanpa cinta pun terjadi, semua berjalan lancar sesuai kehendak kedua orang tuanya.“Kamu cepat hamil ya, cepat punya anak. Ibu sama Bapak ingin menggendong cucu dari kamu.” Ibunya berkata seraya menyerahkan jamu subur kepada Nilam yang kebetulan bertandang ke rumah orang tuanya.Padahal pernikahan keduanya baru berjalan 3 bulan, tetapi kedua orang tuanya sudah tidak sabar, dan memaksa Nilam untuk
Malam kembali datang, menyapa mereka yang ingin ketenangan.Yesa kembali berkumpul dengan saudaranya yang lain, saling bersenda gurau seperti biasanya.Tiba-tiba saja Mertuanya datang bersama seseorang yang tidak terlalu bisa dia kenali, karena kedua orang tuanya dan juga saudaranya yang lain untuk menyuruhnya kembali masuk ke dalam kamar.Yesa mendengarkan semua pembicaraan dan perdebatan diantara mereaka, karena memang kamarnya berada tepat di samping ruang tamu.“Kami meminta maaf atas nama Agam putraku”“Kami sudah memaafkannya, besan. Tetapi maaf, untuk kembali menjadi istri Nak Agam putri bungsu saya sudah tidak bisa, dan kami berhak memberinya keputusan atas dirinya sendiri.” Jelas sang Ayah sembari menangkupkan kedua tangannya pertanda memohon maaf.“Tidak bisakah mereka kembali seperti dulu?”Ayah dari Yesa menggeleng, “Tidak, maaf!” ucapnya tegas.Lelaki tersebut menghela nafas berat, dia harus terima jika keputusan yang diambil kali ini adalah memisahkan putranya dan sang