Share

Bab 1

“Bang, kamu gak kerja lagi hari ini?”

Adi menggeleng lesu. “Enggak dek, masih belum ada yang butuh tenagaku.”

“Kalau belum ada orang yang butuh tenaga Abang, ya Abang cari kerjaan lain dong! Jangan malah enak-enakan duduk ngopi aja. Tuh beras sama keperluan dapur lainnya udah mau habis! Apalagi sebentar lagi mau bayar uang SPP Nadia, mau dapat uang dari mana, kalau Abang gak kerja?”

“Iya, nanti Abang tanya-tanya sama temen.”

“Kok nanti? Sekarang, dong!” ucap Santi ketus. Dia pun kembali ke dalam rumah sambil cemberut. Baginya, sang suami tidak ada usaha sama sekali.

Sudah dua bulan ini, kerjanya di rumah saja. Alasan sang suami adalah tidak ada yang membutuhkan pijat refleksi darinya.

Padahal, kebutuhan rumah ‘kan semakin menumpuk!

“Bun, minta uang. Aku ada kas hari ini.” Suara anak bungsunya menyadarkan Santi dari lamunan.

Namun, wanita itu masih dikuasai emosi.

Tanpa memedulikan gadis kecil yang masih mengadahkan tangannya ke depan, Santi pun berlalu.

“Minta saja sana sama ayahmu,” ketusnya.

Mila tampak bingung. Dilihatnya sang ayah yang kebetulan ada di teras rumah.

Langkah kecilnya yang pasti pun menuju ke arah Adi. “Ayah …  kata Bunda, Mila minta uangnya ke Ayah saja,” ucapnya polos.

Kini, Adi mengerutkan kening. “Memangnya Bunda gak ngasih uang jajan ke Mila?”

“Uang jajan dikasih kok, sama Bunda.”

“Lalu?”

“Uang Kas sekolah, Ayah. Kan dua minggu sekali, ada iuran uang Kas, Ayah.”

“Hum … Ayah belum ada uang, gimana kalau iuran mendatang? Ayah janji akan bayar double

Meski sedih, Mila hanya bisa mengangguk. “Janji ya, Ayah?”

“Iya, Ayah janji.” 

Jawaban sang ayah berhasil meyakinkan sang buah hati. 

Mila pun pergi meninggalkan Adi yang diam-diam menahan emosi. “Sial!”

 ****

“Hey, Di? Kenapa mukamu cemberut?”

Begitu tiba di warkop dekat rumah, teman Adi yang kebetulan ada di sana–datang menghampiri.

Namun, Adi diam tak menanggapi. Pikirannya menerawang memikirkan pemasukan yang akhir-akhir ini sangatlah sedikit, sedangkan pengeluaran makin membengkak saja.

“Hey, Di. Apa kau tak memesan kopi?” tanya temannya sambil menepuk bahunya.

Adi sontak terlonjak kaget mendapat sentuhan tersebut.

“Astga kau ini! Buat kaget saja.”

“Kau saja yang melamun, aku sudah memanggil-manggilmu dari tadi, dari aku baru sampai kesini. Tapi kau malah asyik melamun saja, sampai-sampai tidak sadar sama kehadiranku di sini.”

Adi ingin menjawab, tapi Mbak warung datang membawa kopi pesanan temannya itu.

“Ini kopinya, Mas. “

“Iya, terimakasih Mbak,” ucap Jamal sambil mengedipkan sebelah matanya.

Si pelayan tersipu, kemudian buru-buru pergi dengan membawa nampan.

“Kau ini tak pernah berubah, Mal?” tegur Adi.

“Hahaha … selagi anak istri di rumah tidak tahu, yo aman, toh?”

Adi menggeleng melihat tingkah teman lamanya itu. Jamal memang terkenal sebagai laki-laki yang suka bermain wanita, tetapi anak istrinya tidak tahu atau mungkin sudah tak peduli dengan tingkah tanduk suaminya ini.

“Oh ya? Kulihat kau dari tadi melamun saja? Tak memesan kopi kau?”

“Jangankan untuk memesan kopi, membayar iuran anak saja aku tak punya uang,” jawab Adi lesu

“Lah? Lalu untuk apa kau kesini, jika tak ada uang kalau cuma buat beli kopi satu?” 

“Di rumah, istriku ngomel-ngomel terus. Masalahnya ya, itu, aku yang belakangan ini tidak menghasilkan uang. Harus bagaimana lagi? Aku hanya tukang pijat refleksi, kalau gak ada yang membutuhkan tenagaku lalu aku harus apa? Tanya sama kawan-kawan yang lain juga gak ada yang nyari tambahan orang kerja.”

Jamal menghela napas. “Sabar, bentar kupesankan kopi dulu, biar enak kita ngobrolnya.”

“Marni, abang pesan kopi lagi satu ya, cepat!” lanjutnya memanggil pelayan wanita yang tadi.

Wanita yang bernama Marni tersebut tersenyum manis dan mengangguk.

“Akrab sekali lagaknya.”

“Bukan akrab lagi, tapi sudah sering kutiduri,” bisiknya tepat ditelinga Adi.

“Hah!?”

Adi reflek berteriak, dan langsung dibekap sama Jamal—temannya tersebut.

“Tak usah kau terkejut begitu, kayak yang tidak kenal siapa aku saja,” jawabnya enteng.

“Tapi, Mal. Dia kan sudah bersuami.”

“Lalu? Aku kan sudah bilang, selagi tidak ketahuan, yo aman.”

“Kupikir hanya janda dan anak gadis saja seleramu. Ternyata, bini orang pun kau embat. Jamal oh Jamal”

Obrolan antarlelaki itu terus berlanjut, hingga obrolan mulai masuk ke ranah pekerjaan.

Kata Jamal, dia butuh teman untuk menemani dirinya yang seorang supir dari salah satu pabrik germen besar di sana. Jadi, Adi pun memutuskan  untuk mencoba peruntungan dengan ikut Jamal ke Ibu kota.

“Terima kasih ya, Mal. Aku mau pulang dulu, mau ngasih tau kabar ini sama istriku di rumah.”

Mendengar ucapan Adi, Jamal hanya mengangguk dan tersenyum. 

Ia juga merasa prihatin dengan Bapak anak dua tersebut. Padahal Adi adalah orang yang ulet, dia tak pernah gengsi untuk bekerja apapun selagi bisa menghasilkan uang untuk orang rumah.

Tetapi, mungkin nasib baik dan rezeki selalu tidak berpihak padanya. 

Ketika bekerja kuli serabutan, dia tidak mendapatkan bos atau teman yang baik padanya. Bahkan, dulu gajinya tidak dibayar karena mandornya kabur membawa uang bayaran.

Sayangnya, begitu tiba di rumah, keadaan di rumah Adi tak terlalu baik.

“Abang beneran mau ikut si Jamal?” tanya Santi kembali.

Adi mengangguk. “Iya, lagian kan Abang disini pemasukannya sedikit. Itung-itung buat pengalaman kerja di luar.”

Hening. 

Santi terdiam. Dia bimbang jika suaminya terus di sini dan tak bekerja, dia dan kedua anaknya akan bingung mau makan apa esok hari. Tetapi, jika dia mengijinkan sang suami ikut kerja di Ibu Kota bersama Jamal, dia juga takut bila suaminya terpengaruh dan mengikuti sepak terjang Jamal—teman suaminya yang sering main wanita diluar sana.

“San .. Santi!”

“Eh .. apa Bang?” tanya perempuan itu bingung.

“Kamu yang kenapa? Dipanggil-panggil dari tadi tidak menjawab. Melamun?”

“Abang kalau sudah kerja di Ibu Kota jangan lupa sering-sering kasih kabar buat aku dan anak-anak di sini,” pintanya.

Adi menghela napas. “Jelas, dong. Aku kan kerja buat kalian disini. Nanti kalau libur, InsyaaAllah Abang usahain pulang..”

Santi yang mendengar penuturan suaminya menjadi sedikit lega.

Tanpa mereka sadari berdiri sosok laki-laki tua renta yang sedang mengawasi dan mendengarkan obrolan mereka dari pojok kamar tidur.

Kakek itu menyeringai, lalu pergi meninggalkan suami-istri tersebut setelah meninggalkan bekas lebam di punggung mereka masing-masing tanpa Adi dan Santi sadari.

“Hahaha… kalian target selanjutnya!” lirih Al-Dasim, jin perusak rumah tangga, senang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status