Share

bab 3

 “Emak dari mana?”

“Jangan banyak Tanya! Sana bikin kopi buat Om Wawan!”

Nadia tak membantah, dia berlalu ke dapur. Sedangkan Wawan menatap Nadia dengan pandangan berbeda, tanpa Santi sadari.

“Aku ke dalam dulu ya, mau naruk ini di kamar.”ucapnya sambil memperlihatkan paper bag-paper bag kepada Wawan.

“Mak, gak baik bawa temen laki-laki ke dalam rumah di saat Ayah gak ada di rumah.”

“Heh, gak usah ceramah deh! Kau sama kayak bapakmu, sok Alim.”

“Emakk … Mila mau minta uang, beli jajan.”

“Ini lagi! Bisanya Cuma minta uang!” desisnya sambil mendorong Mila.

Untung saja Nadia dengan sigap menangkap adiknya, jika tidak. Mungkin kepala Mila sudah terbentur sisi meja.

“Mak!”

“Apa?! Jangan melihatku seperti itu!”

Santi pergi setelah menoyor kepala Nadia cukup keras.

“Huhuhu .. Ayah.”

“Sabar ya dik, Adik mau jajan ‘kan? Nanti kakak kasih uang, ya. Sekarang Adik jangan nangis lagi, ya.”

Gadis kecil tersebut mengangguk cepat dan langsung mengusap air matanya dengan kasar, Nadia tersenyum.

“Heh! Bukannya nganterin minumannya ke depan, ini malah asyik ngobrol!” hardik Santi.

“Iya, Mak. Ini juga Nadia mau kedepan.”

“Tak usah lah, biar Emak saja. Kau urusi Adikmu itu. Menyusahkan saja!”

 Santi berlalu.

Dia lalu menikmati waktunya dengan mantan kekasih penuh rasa berdebar.

“Diminum kopinya, Wan.”

“Terima kasih, seharunya kau tidak perlu repot seperti ini.”

“Tenang saja, ini tidak repot sama sekali.”

“Oh, iya. Anakmu sudah dua ya?”

“Iya, yang kecil tidak direncanakan, moro-moro ada aja dalam perut.” Jelasnya tanpa rasa malu.

Wawan hanya tersenyum kecut, matanya menelisik ke dalam rumah tersebut.

“Anakmu cantik-cantik, tetapi itu tidak mengherankan. Ibunya saja cantik begini, kok.” Pujinya sambil mengedipkan mata menggoda.

“Ah … kau bisa saja, Nadia itu baru kelas 2 SMA, yang lebih kecil tadi namanya Mila, baru kelas 3 SD.” ceritanya tanpa diminta.

“Dari tadi, aku tak melihat suamimu, kemana?”

“Dia kerja di Ibu Kota, ikut temennya yang namanya Jamal, dari desa sebelah.”

“Kerja apa?”

“Kalau Jamal sih sopir truk, gak tau kalau Adi, mungkin jadi kuli angkutnya.”

 Toktoktok!

“Assalamu’alaikum, eh ada tamu. Nadia mana Teh?” sapa Minah yang laangsung masuk.

“Nadia ada di kamarnya, memangnya kenapa?”

“Mau aku suruh beli bahan-bahan klepon, di toko ujung desa.”

“Oh, bentar. Aku panggil dulu.”

Minah mengangguk.

“Tetangganya Santi ya, Mbak?” tanyanya basa-basi.

“Iya, tetangga samping rumah.”

“Oh, yang tepat di samping rumah ini, itu, rumahnya Mbak?”

“Iya.”

“Kok nyuruh Nadia, memangnya Mbak jalan sendiri gak bisa?”

“Ih, apa sih? Banyak nanyak!” batin Minah.

“Aku sibuk, buat bahan-bahan kue kering yang lain, lagi pula aku juga gak tau naik sepeda motor.”

“Kenapa gak nyuruh suaminya saja?”

“Saya, JANDA!” tegasnya dengan menekan akhir kalimatnya.

Minah melengos, kentara sekali dia tidak suka dengan Wawan.

“Mbak, apa saja yang mau dibeli ini?” Tanya Nadia di hadapan Minah.

Wawan tak berkedip melihat Nadia dengan rambut dikuncir kuda, leher jenjangnya terekspos jelas, membuat jakun Wawan naik turun. Semua itu tak lepas dari penglihatan Minah, membuatnya bergidik ngeri.

“Mbak?” panggil Nadia sekali lagi, sambil melambaikan tangannya di hadapan Minah.

“Eh, iya?”

“Mau beli apa aja?” ulangnya.

“Ke rumah aja, yuk. Catatannya ada di sana soalnya, tadi Mbak lupa yang mau bawa.”

Nadia mengangguk setuju, dia pun berlalu pergi bersama Minah.

“Nad, tadi itu siapa?” tanya Minah sambil menyerahkan catatan bahan yang harus dibeli Nadia.

“Temennya Emak, Mbak.”

“Kalau dia datang lagi, kau main saja disini sama Mila, sambil bantu Mbak juga gak papa, nanti Mbak upah.”

“Memangnya kenapa, Mbak?”

“Entahlah, Mbak punya firasat kalau laki-laki itu gak baik, apalagi tatapannya saat melihat kamu tadi, hii .. serem!”

“Aku fikir Cuma aku yang ngerasain gitu.” Ucapnya lirih hampir tak terdengar.

Setelah berbincang sedikit akhirnya Nadia pun pamit membeli bahan-bahan yang di perlukan. Dia memakai sepeda motor sang Ayah, karena memang Adi bersama Jamal ke Ibu Kota, menaiki truk pabrik yang memang dipimjamkan untuk Jamal.

Anak itu tak menyadari bahwa ayahnya tengah termenung.

Seharusnya, akhir pekan ini, Adi  pulang ke rumah.

Tetapi rencana hanya rencana, yang menentukan takdir tetaplah Yang Maha Kuasa.

Jamal mengajaknya untuk mengantar barang ke kota Tenghala, walau dia tidak keberatan karena uang itu untuk makannya seminggu di mess.

Demi keluarga di rumah, Adi tidak rewel jika hanya makan, bahkan dia kadang hanya makan sehari satu kali. Jika di Tanya di hanya mengatakn tidak lapar, padahal uang tersebut ia simpan untuk di berikan kepada keluarganya.

“Woy, Di. Kenapa melamun lagi?”

“Yang melamun siapa?”

“Ya, kau lah!”

“Mana ada? Aku hanya melihat bulan purnama.”

Jamal langsung duduk disebelah Adi, dia menyalakan rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam.

“Aku mau nyari penginapan saja, Mal?”

“Loh, kenapa?”

“Tak enak lah aku, takut merepotkan istrimu di sini.”

Bukan apa, tetapi Adi merasa risih selalu mendengar suara khas Jamal dan istri simpanannya ketika di kamar. Apa lagi kamar yang di tempati Adi bersebelahan dengan kamar Jamal dan istrinya.

“Gak kok, kau jangan sungkan begitu. Lagi pula di sini kau gratis, tidak perlu bayar. Kalau nyari penginapan, kau masih keluar uang.”

Benar memang adanya semua yang terlontar dari mulut kawannya ini, tetapi mau bagaimana lagi? Dia juga enak hati untuk megatakan semuanya kepada Jamal.

Adi menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Sudahlah, ayok tidur. Besok kita balik ke kota Asri untuk bekerja lagi.”

“Oh, iya, jangan kasih tahu istriku di rumah. Jika aku disini punya istri lagi,” pintanya tepat ditelinga  Adi.

Pria itu mengangguk. “Tenang saja, aku mana pernah mau ikut campur urusan orang. Hidupnya aku yo gini-gini aja udah banyak masalah, apalagi ditambah ngurusin orang,” guraunya.

Jamal tertawa, sebelum menghilang di balik pintu kamarnya.

Adi pun ikut menyusul masuk ke dalam kamar yang telah di sediakan untuknya. Dia berniat kembali menelfon istrinya, pasalnya sedari siang dia sudah menelfon Santi tapi tak jua di angkat.

Tuttt …

Panggilan bersambung, tetapi belum diangkat.

Adi bersabar. Mungkin, istrinya sedang sibuk, atau mungkin sudah tidur.

'Tetapi ini masih jam 08:15 tidak biasanya Santi tidur jam segini bukan?' batinnya. Adi kembali berpikir positif karena tak ingin ribut.

Dia ingin menelfon sang anak, tapi takut Nadia tidur lebih awal. 

Adi menghela nafas berat, akhirnya dia menyerah. Dia berinisiatif untuk mengirimi sang istri pesan Watshap saja.

‘Adek sudah tidur, ya?’

Terkirim, tetapi tak ada jawaban, padahal pesannya centang dua abu-abu.

Adi meletakkan ponselnya di nakas, dia menatap langit-langit kamar, kepalanya bertumpu kepada kedua tangannya. Pikirannya entah kemana, yang pasti hanya menunggu kantuk datang.

Dia tampak lesu.

Dari semalam telfonnya tidak diangakat oleh sang istri, pesannyapun hanya dibaca .

“Kenapa lagi kau, Di? Pagi-pagi sudah lesu begitu mukanya.”

“Ini, Mal. Istriku gak biasanya mendiamkan aku, ditelfon-telfon dari tadi malam gak diangkat, pesanku juga hanya di baca. Mau nanyak sama anak, malu aku.” Jelasnya

Jamal geleng-geleng kepala mendengar penuturan Adi tentang istri temannya itu.

Drett …

Tiba-tiba ponsel Adi berdering.

“Tuh, angkat. Mungkin telepon dari istrimu.”

Adi mengangguk.

“Iya, dari istriku.”

Tut!

“Apa sih, Bang? Dari tadi malam ganggu saja! Kayak gak ada kerjaan lain!” cerocos Santi langsung.

Adi yang semula duduk santai di teras bersama Jamal, kini memilih masuk ke dalam.

Dia malu, belum dia mengucapkan salam, sang istri lebih dulu mengomel.

“Abang Cuma mau ngabarin, kalau abang ikut Jamal keluar kota untuk ngirim barang, jadi belum bisa pulang.”

“Bagus, dong. Berarti ada uang tambahan. Kok gak ditransfer? Hanya gaji pokok saja yang Abang transfer!” ucap Santi menyerocos lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status