Share

bab 3

Author: aksara-nisaa
last update Huling Na-update: 2023-11-19 20:38:50

 “Emak dari mana?”

“Jangan banyak Tanya! Sana bikin kopi buat Om Wawan!”

Nadia tak membantah, dia berlalu ke dapur. Sedangkan Wawan menatap Nadia dengan pandangan berbeda, tanpa Santi sadari.

“Aku ke dalam dulu ya, mau naruk ini di kamar.”ucapnya sambil memperlihatkan paper bag-paper bag kepada Wawan.

“Mak, gak baik bawa temen laki-laki ke dalam rumah di saat Ayah gak ada di rumah.”

“Heh, gak usah ceramah deh! Kau sama kayak bapakmu, sok Alim.”

“Emakk … Mila mau minta uang, beli jajan.”

“Ini lagi! Bisanya Cuma minta uang!” desisnya sambil mendorong Mila.

Untung saja Nadia dengan sigap menangkap adiknya, jika tidak. Mungkin kepala Mila sudah terbentur sisi meja.

“Mak!”

“Apa?! Jangan melihatku seperti itu!”

Santi pergi setelah menoyor kepala Nadia cukup keras.

“Huhuhu .. Ayah.”

“Sabar ya dik, Adik mau jajan ‘kan? Nanti kakak kasih uang, ya. Sekarang Adik jangan nangis lagi, ya.”

Gadis kecil tersebut mengangguk cepat dan langsung mengusap air matanya dengan kasar, Nadia tersenyum.

“Heh! Bukannya nganterin minumannya ke depan, ini malah asyik ngobrol!” hardik Santi.

“Iya, Mak. Ini juga Nadia mau kedepan.”

“Tak usah lah, biar Emak saja. Kau urusi Adikmu itu. Menyusahkan saja!”

 Santi berlalu.

Dia lalu menikmati waktunya dengan mantan kekasih penuh rasa berdebar.

“Diminum kopinya, Wan.”

“Terima kasih, seharunya kau tidak perlu repot seperti ini.”

“Tenang saja, ini tidak repot sama sekali.”

“Oh, iya. Anakmu sudah dua ya?”

“Iya, yang kecil tidak direncanakan, moro-moro ada aja dalam perut.” Jelasnya tanpa rasa malu.

Wawan hanya tersenyum kecut, matanya menelisik ke dalam rumah tersebut.

“Anakmu cantik-cantik, tetapi itu tidak mengherankan. Ibunya saja cantik begini, kok.” Pujinya sambil mengedipkan mata menggoda.

“Ah … kau bisa saja, Nadia itu baru kelas 2 SMA, yang lebih kecil tadi namanya Mila, baru kelas 3 SD.” ceritanya tanpa diminta.

“Dari tadi, aku tak melihat suamimu, kemana?”

“Dia kerja di Ibu Kota, ikut temennya yang namanya Jamal, dari desa sebelah.”

“Kerja apa?”

“Kalau Jamal sih sopir truk, gak tau kalau Adi, mungkin jadi kuli angkutnya.”

 Toktoktok!

“Assalamu’alaikum, eh ada tamu. Nadia mana Teh?” sapa Minah yang laangsung masuk.

“Nadia ada di kamarnya, memangnya kenapa?”

“Mau aku suruh beli bahan-bahan klepon, di toko ujung desa.”

“Oh, bentar. Aku panggil dulu.”

Minah mengangguk.

“Tetangganya Santi ya, Mbak?” tanyanya basa-basi.

“Iya, tetangga samping rumah.”

“Oh, yang tepat di samping rumah ini, itu, rumahnya Mbak?”

“Iya.”

“Kok nyuruh Nadia, memangnya Mbak jalan sendiri gak bisa?”

“Ih, apa sih? Banyak nanyak!” batin Minah.

“Aku sibuk, buat bahan-bahan kue kering yang lain, lagi pula aku juga gak tau naik sepeda motor.”

“Kenapa gak nyuruh suaminya saja?”

“Saya, JANDA!” tegasnya dengan menekan akhir kalimatnya.

Minah melengos, kentara sekali dia tidak suka dengan Wawan.

“Mbak, apa saja yang mau dibeli ini?” Tanya Nadia di hadapan Minah.

Wawan tak berkedip melihat Nadia dengan rambut dikuncir kuda, leher jenjangnya terekspos jelas, membuat jakun Wawan naik turun. Semua itu tak lepas dari penglihatan Minah, membuatnya bergidik ngeri.

“Mbak?” panggil Nadia sekali lagi, sambil melambaikan tangannya di hadapan Minah.

“Eh, iya?”

“Mau beli apa aja?” ulangnya.

“Ke rumah aja, yuk. Catatannya ada di sana soalnya, tadi Mbak lupa yang mau bawa.”

Nadia mengangguk setuju, dia pun berlalu pergi bersama Minah.

“Nad, tadi itu siapa?” tanya Minah sambil menyerahkan catatan bahan yang harus dibeli Nadia.

“Temennya Emak, Mbak.”

“Kalau dia datang lagi, kau main saja disini sama Mila, sambil bantu Mbak juga gak papa, nanti Mbak upah.”

“Memangnya kenapa, Mbak?”

“Entahlah, Mbak punya firasat kalau laki-laki itu gak baik, apalagi tatapannya saat melihat kamu tadi, hii .. serem!”

“Aku fikir Cuma aku yang ngerasain gitu.” Ucapnya lirih hampir tak terdengar.

Setelah berbincang sedikit akhirnya Nadia pun pamit membeli bahan-bahan yang di perlukan. Dia memakai sepeda motor sang Ayah, karena memang Adi bersama Jamal ke Ibu Kota, menaiki truk pabrik yang memang dipimjamkan untuk Jamal.

Anak itu tak menyadari bahwa ayahnya tengah termenung.

Seharusnya, akhir pekan ini, Adi  pulang ke rumah.

Tetapi rencana hanya rencana, yang menentukan takdir tetaplah Yang Maha Kuasa.

Jamal mengajaknya untuk mengantar barang ke kota Tenghala, walau dia tidak keberatan karena uang itu untuk makannya seminggu di mess.

Demi keluarga di rumah, Adi tidak rewel jika hanya makan, bahkan dia kadang hanya makan sehari satu kali. Jika di Tanya di hanya mengatakn tidak lapar, padahal uang tersebut ia simpan untuk di berikan kepada keluarganya.

“Woy, Di. Kenapa melamun lagi?”

“Yang melamun siapa?”

“Ya, kau lah!”

“Mana ada? Aku hanya melihat bulan purnama.”

Jamal langsung duduk disebelah Adi, dia menyalakan rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam.

“Aku mau nyari penginapan saja, Mal?”

“Loh, kenapa?”

“Tak enak lah aku, takut merepotkan istrimu di sini.”

Bukan apa, tetapi Adi merasa risih selalu mendengar suara khas Jamal dan istri simpanannya ketika di kamar. Apa lagi kamar yang di tempati Adi bersebelahan dengan kamar Jamal dan istrinya.

“Gak kok, kau jangan sungkan begitu. Lagi pula di sini kau gratis, tidak perlu bayar. Kalau nyari penginapan, kau masih keluar uang.”

Benar memang adanya semua yang terlontar dari mulut kawannya ini, tetapi mau bagaimana lagi? Dia juga enak hati untuk megatakan semuanya kepada Jamal.

Adi menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Sudahlah, ayok tidur. Besok kita balik ke kota Asri untuk bekerja lagi.”

“Oh, iya, jangan kasih tahu istriku di rumah. Jika aku disini punya istri lagi,” pintanya tepat ditelinga  Adi.

Pria itu mengangguk. “Tenang saja, aku mana pernah mau ikut campur urusan orang. Hidupnya aku yo gini-gini aja udah banyak masalah, apalagi ditambah ngurusin orang,” guraunya.

Jamal tertawa, sebelum menghilang di balik pintu kamarnya.

Adi pun ikut menyusul masuk ke dalam kamar yang telah di sediakan untuknya. Dia berniat kembali menelfon istrinya, pasalnya sedari siang dia sudah menelfon Santi tapi tak jua di angkat.

Tuttt …

Panggilan bersambung, tetapi belum diangkat.

Adi bersabar. Mungkin, istrinya sedang sibuk, atau mungkin sudah tidur.

'Tetapi ini masih jam 08:15 tidak biasanya Santi tidur jam segini bukan?' batinnya. Adi kembali berpikir positif karena tak ingin ribut.

Dia ingin menelfon sang anak, tapi takut Nadia tidur lebih awal. 

Adi menghela nafas berat, akhirnya dia menyerah. Dia berinisiatif untuk mengirimi sang istri pesan Watshap saja.

‘Adek sudah tidur, ya?’

Terkirim, tetapi tak ada jawaban, padahal pesannya centang dua abu-abu.

Adi meletakkan ponselnya di nakas, dia menatap langit-langit kamar, kepalanya bertumpu kepada kedua tangannya. Pikirannya entah kemana, yang pasti hanya menunggu kantuk datang.

Dia tampak lesu.

Dari semalam telfonnya tidak diangakat oleh sang istri, pesannyapun hanya dibaca .

“Kenapa lagi kau, Di? Pagi-pagi sudah lesu begitu mukanya.”

“Ini, Mal. Istriku gak biasanya mendiamkan aku, ditelfon-telfon dari tadi malam gak diangkat, pesanku juga hanya di baca. Mau nanyak sama anak, malu aku.” Jelasnya

Jamal geleng-geleng kepala mendengar penuturan Adi tentang istri temannya itu.

Drett …

Tiba-tiba ponsel Adi berdering.

“Tuh, angkat. Mungkin telepon dari istrimu.”

Adi mengangguk.

“Iya, dari istriku.”

Tut!

“Apa sih, Bang? Dari tadi malam ganggu saja! Kayak gak ada kerjaan lain!” cerocos Santi langsung.

Adi yang semula duduk santai di teras bersama Jamal, kini memilih masuk ke dalam.

Dia malu, belum dia mengucapkan salam, sang istri lebih dulu mengomel.

“Abang Cuma mau ngabarin, kalau abang ikut Jamal keluar kota untuk ngirim barang, jadi belum bisa pulang.”

“Bagus, dong. Berarti ada uang tambahan. Kok gak ditransfer? Hanya gaji pokok saja yang Abang transfer!” ucap Santi menyerocos lagi.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Godaan Jin Dasim   bab 90

    “Kamu sudah dua hari di sini, tetapi suamimu gak ada inisiatif sama sekali buat jenguk kamu!” Ucap Amira yang sengaja mengeraskan nada suaranya agar terdengar oleh Bapaknya sendiri yang tengah memangku Althaf.Kesal rasanya saat mengetahu dulu kalau adik perempuannya dijodohkan dengan laki-laki yang bahkan sama sekali tidak belajar agama, sedangkan adiknya lulusan terbaik di pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dahulu.Hanya karena laki-laki pilihan Bapak dan Ibunya adalah pemuda yang pekerja keras, sehingga tidak mungkin adiknya akan kekurangan katanya. Padahal rejeki, jodoh dan maut hanya Allah yang menentukan.Bapaknya yang mendengar itu hanya mengelus dada, seraya tersenyum kepada cucu laki-lakinya untuk menutupi rasa sesal yang menyelimut dalam diri.Nilam dan Amira keluar dari kamar, bergabung dengan sang Bapak yang tengah bermain dengan kedua cucunya.“Suami gak ada bilang apa-apa gitu?” Tanya Amira penasaran.Nilam menggeleng.“Gak ada inisiati buat lihat anaknya barang s

  • Godaan Jin Dasim   bab 89

    Nilam sudah mengirimi pesan sesaat setelah keluar dari rumah itu, tetapi hingga adzan dzuhur berkumandang pesan yang sudah ia kirimkan belum jua dibalas oleh suaminya.Nilam ‘tak ambil pusing, karena dirinya memang sedang tidak enak badan.Sesampainya di rumah orang tuanya, Nilam langsung beristirahat, sedangkan Althaf tengah bermain dengan Saga, keponakannya sendiri, anak tertua Amira.Sedangka Fila, anak bungsu dari Amira sedang ikut Ayahnya pergi, entah kemana. Nilam tak bertanya akan hal itu.Sekarang dia hanya focus untuk memulihkan tubuhnya kembali.“Nil, selama kau sakit, jangan menyentuh Althaf langsung. Kau peras saja Asinya lalu taruh di botol. Kalau nyentuh langsung takutnya nular. Apa lebih baik kakak beli susu formula dulu untuk sementara?” tanyanya meminta pendapat dari sang Adik yang tengah berbaring dengan kompres melekat didahinya.“Kalau dikasih susu formula takutnya nanti setelah aku sembuh Althaf malah gak mau sama Asi nya Kak” jawabnya lirih.Amira tampak berfikir

  • Godaan Jin Dasim   bab 88

    Arman bekerja dengan begitu keras, tidak peduli siang dan malam. Karena Vivi sendiri lepas tangan, padahal itu adaalah hutang orang tuanya juga. Vivi ‘tak mau ambil pusing akan hal itu. Sehingga Arman harus banting tulang sendiri untuk melunasi hutang Ayahnya, yang kini menjadi hutang di Bank.Arman berinisiatif meminjam uang di Bank dengan mengadai sertifikat rumah tersebut, awalnya Vivi menentang dengan keras karena takut rumah tersebut juga akan di sita oleh pihak Bank. Tetapi untungnya Arman bisa meyakinkan, sehingga hutang Ayahnya kepada rentenir lunas, tinggal hutang di Bank atas nama dirinya.Sehingga Vivi sangat membenci Nilam, karena baru beberapa hari menikah Bapak mereka meninggal dunia dan meninggalkan banyak hutang, begitu juga dengan Ibunya yang baru meninggal 2 bulan yang lalu, yang pada akhirnya harus membuat mereka hidup berdua beserta pasangan masing-masing, di rumah peninggalan orang tuanya tersebut.“Aku kakak tertua, aku adalah pengganti Ibu sekarang, karena bel

  • Godaan Jin Dasim   bab 87

    Tetapi tiba-tiba Althaf menangis dengan kencangnya. Membuat Nilam terperanjat kaget ia langsung menyudahi pekerjaannya dan berlari menuju kamarnya.Sesampainya di dalam kamar, Althaf tengan telentang seraya menangis dengan kencang, buru-buru menggendong sang buah hati, di telisiknya wajah Althaf dengan seksama, ternyata ada sedikit memar di dahinya.“Mbak, Althaf ini kenapa?” tanyanya kepada kakak Iparnya yang sedari tadi hanya diam melihat Althaf menangis tak henti-hentinya.“Ya, ini semua gara-gara kamu. Kalau punya anak di jaga! Masak di biarin di kamar sendirian!”“Aku lagi nyuci beras buat masak Mbak”“Hallah .. ya bawa saja si Althaf, kalau kamu bawa dia tadi, gak mungkin dia akan kejedot pintu saat aku mau masuk kamar kamu!”Althaf mulai tenang, anak kecil itu menyusu kepada Ibunya.“Mbak mau ngapain ke kamar aku?”“Ya terserah aku mau ngapai aja ke kamar kamu, toh ini masihh rumahku! Ya suka-suka aku lah!”Nilam menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar, percuma

  • Godaan Jin Dasim   bab 86

    “Nil, kamu harus menikah dengan lelaki pilihan Bapak dan Ibu!”Nilam hanya tertunduk lesu, pasalnya dirinya baru gagal bertunangan dengan pria pilihannya sendiri. Dulu dia sempat lolos dari perjodohan yang kedua orang tuanya tawarkan, karena menerima lamaran dari pria kenalan teman dekatnya. Tetapi siapa sangka, lelaki tersebut hanya mempermainkan perasaannya saja, padahal kedua orang tua masing-masing sudah mengetahui hubungan mereka.Dan kini, mau tidak mau, suka tidak suka, Nilam harus menerima perjodohan tersebut, lelaki yang dulu masih orang tuanya jodohkan kepadanya.Hingga pernikahan tanpa cinta pun terjadi, semua berjalan lancar sesuai kehendak kedua orang tuanya.“Kamu cepat hamil ya, cepat punya anak. Ibu sama Bapak ingin menggendong cucu dari kamu.” Ibunya berkata seraya menyerahkan jamu subur kepada Nilam yang kebetulan bertandang ke rumah orang tuanya.Padahal pernikahan keduanya baru berjalan 3 bulan, tetapi kedua orang tuanya sudah tidak sabar, dan memaksa Nilam untuk

  • Godaan Jin Dasim   bab 85

    Malam kembali datang, menyapa mereka yang ingin ketenangan.Yesa kembali berkumpul dengan saudaranya yang lain, saling bersenda gurau seperti biasanya.Tiba-tiba saja Mertuanya datang bersama seseorang yang tidak terlalu bisa dia kenali, karena kedua orang tuanya dan juga saudaranya yang lain untuk menyuruhnya kembali masuk ke dalam kamar.Yesa mendengarkan semua pembicaraan dan perdebatan diantara mereaka, karena memang kamarnya berada tepat di samping ruang tamu.“Kami meminta maaf atas nama Agam putraku”“Kami sudah memaafkannya, besan. Tetapi maaf, untuk kembali menjadi istri Nak Agam putri bungsu saya sudah tidak bisa, dan kami berhak memberinya keputusan atas dirinya sendiri.” Jelas sang Ayah sembari menangkupkan kedua tangannya pertanda memohon maaf.“Tidak bisakah mereka kembali seperti dulu?”Ayah dari Yesa menggeleng, “Tidak, maaf!” ucapnya tegas.Lelaki tersebut menghela nafas berat, dia harus terima jika keputusan yang diambil kali ini adalah memisahkan putranya dan sang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status