“Emak dari mana?”
“Jangan banyak Tanya! Sana bikin kopi buat Om Wawan!”
Nadia tak membantah, dia berlalu ke dapur. Sedangkan Wawan menatap Nadia dengan pandangan berbeda, tanpa Santi sadari.
“Aku ke dalam dulu ya, mau naruk ini di kamar.”ucapnya sambil memperlihatkan paper bag-paper bag kepada Wawan.
“Mak, gak baik bawa temen laki-laki ke dalam rumah di saat Ayah gak ada di rumah.”
“Heh, gak usah ceramah deh! Kau sama kayak bapakmu, sok Alim.”
“Emakk … Mila mau minta uang, beli jajan.”
“Ini lagi! Bisanya Cuma minta uang!” desisnya sambil mendorong Mila.
Untung saja Nadia dengan sigap menangkap adiknya, jika tidak. Mungkin kepala Mila sudah terbentur sisi meja.
“Mak!”
“Apa?! Jangan melihatku seperti itu!”
Santi pergi setelah menoyor kepala Nadia cukup keras.
“Huhuhu .. Ayah.”
“Sabar ya dik, Adik mau jajan ‘kan? Nanti kakak kasih uang, ya. Sekarang Adik jangan nangis lagi, ya.”
Gadis kecil tersebut mengangguk cepat dan langsung mengusap air matanya dengan kasar, Nadia tersenyum.
“Heh! Bukannya nganterin minumannya ke depan, ini malah asyik ngobrol!” hardik Santi.
“Iya, Mak. Ini juga Nadia mau kedepan.”
“Tak usah lah, biar Emak saja. Kau urusi Adikmu itu. Menyusahkan saja!”
Santi berlalu.
Dia lalu menikmati waktunya dengan mantan kekasih penuh rasa berdebar.
“Diminum kopinya, Wan.”
“Terima kasih, seharunya kau tidak perlu repot seperti ini.”
“Tenang saja, ini tidak repot sama sekali.”
“Oh, iya. Anakmu sudah dua ya?”
“Iya, yang kecil tidak direncanakan, moro-moro ada aja dalam perut.” Jelasnya tanpa rasa malu.
Wawan hanya tersenyum kecut, matanya menelisik ke dalam rumah tersebut.
“Anakmu cantik-cantik, tetapi itu tidak mengherankan. Ibunya saja cantik begini, kok.” Pujinya sambil mengedipkan mata menggoda.
“Ah … kau bisa saja, Nadia itu baru kelas 2 SMA, yang lebih kecil tadi namanya Mila, baru kelas 3 SD.” ceritanya tanpa diminta.
“Dari tadi, aku tak melihat suamimu, kemana?”
“Dia kerja di Ibu Kota, ikut temennya yang namanya Jamal, dari desa sebelah.”
“Kerja apa?”
“Kalau Jamal sih sopir truk, gak tau kalau Adi, mungkin jadi kuli angkutnya.”
Toktoktok!
“Assalamu’alaikum, eh ada tamu. Nadia mana Teh?” sapa Minah yang laangsung masuk.
“Nadia ada di kamarnya, memangnya kenapa?”
“Mau aku suruh beli bahan-bahan klepon, di toko ujung desa.”
“Oh, bentar. Aku panggil dulu.”
Minah mengangguk.
“Tetangganya Santi ya, Mbak?” tanyanya basa-basi.
“Iya, tetangga samping rumah.”
“Oh, yang tepat di samping rumah ini, itu, rumahnya Mbak?”
“Iya.”
“Kok nyuruh Nadia, memangnya Mbak jalan sendiri gak bisa?”
“Ih, apa sih? Banyak nanyak!” batin Minah.
“Aku sibuk, buat bahan-bahan kue kering yang lain, lagi pula aku juga gak tau naik sepeda motor.”
“Kenapa gak nyuruh suaminya saja?”
“Saya, JANDA!” tegasnya dengan menekan akhir kalimatnya.
Minah melengos, kentara sekali dia tidak suka dengan Wawan.
“Mbak, apa saja yang mau dibeli ini?” Tanya Nadia di hadapan Minah.
Wawan tak berkedip melihat Nadia dengan rambut dikuncir kuda, leher jenjangnya terekspos jelas, membuat jakun Wawan naik turun. Semua itu tak lepas dari penglihatan Minah, membuatnya bergidik ngeri.
“Mbak?” panggil Nadia sekali lagi, sambil melambaikan tangannya di hadapan Minah.
“Eh, iya?”
“Mau beli apa aja?” ulangnya.
“Ke rumah aja, yuk. Catatannya ada di sana soalnya, tadi Mbak lupa yang mau bawa.”
Nadia mengangguk setuju, dia pun berlalu pergi bersama Minah.
“Nad, tadi itu siapa?” tanya Minah sambil menyerahkan catatan bahan yang harus dibeli Nadia.
“Temennya Emak, Mbak.”
“Kalau dia datang lagi, kau main saja disini sama Mila, sambil bantu Mbak juga gak papa, nanti Mbak upah.”
“Memangnya kenapa, Mbak?”
“Entahlah, Mbak punya firasat kalau laki-laki itu gak baik, apalagi tatapannya saat melihat kamu tadi, hii .. serem!”
“Aku fikir Cuma aku yang ngerasain gitu.” Ucapnya lirih hampir tak terdengar.
Setelah berbincang sedikit akhirnya Nadia pun pamit membeli bahan-bahan yang di perlukan. Dia memakai sepeda motor sang Ayah, karena memang Adi bersama Jamal ke Ibu Kota, menaiki truk pabrik yang memang dipimjamkan untuk Jamal.
Anak itu tak menyadari bahwa ayahnya tengah termenung.
Seharusnya, akhir pekan ini, Adi pulang ke rumah.
Tetapi rencana hanya rencana, yang menentukan takdir tetaplah Yang Maha Kuasa.Jamal mengajaknya untuk mengantar barang ke kota Tenghala, walau dia tidak keberatan karena uang itu untuk makannya seminggu di mess.
Demi keluarga di rumah, Adi tidak rewel jika hanya makan, bahkan dia kadang hanya makan sehari satu kali. Jika di Tanya di hanya mengatakn tidak lapar, padahal uang tersebut ia simpan untuk di berikan kepada keluarganya.
“Woy, Di. Kenapa melamun lagi?”
“Yang melamun siapa?”
“Ya, kau lah!”
“Mana ada? Aku hanya melihat bulan purnama.”
Jamal langsung duduk disebelah Adi, dia menyalakan rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam.
“Aku mau nyari penginapan saja, Mal?”
“Loh, kenapa?”
“Tak enak lah aku, takut merepotkan istrimu di sini.”
Bukan apa, tetapi Adi merasa risih selalu mendengar suara khas Jamal dan istri simpanannya ketika di kamar. Apa lagi kamar yang di tempati Adi bersebelahan dengan kamar Jamal dan istrinya.
“Gak kok, kau jangan sungkan begitu. Lagi pula di sini kau gratis, tidak perlu bayar. Kalau nyari penginapan, kau masih keluar uang.”
Benar memang adanya semua yang terlontar dari mulut kawannya ini, tetapi mau bagaimana lagi? Dia juga enak hati untuk megatakan semuanya kepada Jamal.
Adi menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Sudahlah, ayok tidur. Besok kita balik ke kota Asri untuk bekerja lagi.”
“Oh, iya, jangan kasih tahu istriku di rumah. Jika aku disini punya istri lagi,” pintanya tepat ditelinga Adi.
Pria itu mengangguk. “Tenang saja, aku mana pernah mau ikut campur urusan orang. Hidupnya aku yo gini-gini aja udah banyak masalah, apalagi ditambah ngurusin orang,” guraunya.
Jamal tertawa, sebelum menghilang di balik pintu kamarnya.
Adi pun ikut menyusul masuk ke dalam kamar yang telah di sediakan untuknya. Dia berniat kembali menelfon istrinya, pasalnya sedari siang dia sudah menelfon Santi tapi tak jua di angkat.
Tuttt …
Panggilan bersambung, tetapi belum diangkat.
Adi bersabar. Mungkin, istrinya sedang sibuk, atau mungkin sudah tidur.
'Tetapi ini masih jam 08:15 tidak biasanya Santi tidur jam segini bukan?' batinnya. Adi kembali berpikir positif karena tak ingin ribut.
Dia ingin menelfon sang anak, tapi takut Nadia tidur lebih awal.
Adi menghela nafas berat, akhirnya dia menyerah. Dia berinisiatif untuk mengirimi sang istri pesan Watshap saja.
‘Adek sudah tidur, ya?’
Terkirim, tetapi tak ada jawaban, padahal pesannya centang dua abu-abu.
Adi meletakkan ponselnya di nakas, dia menatap langit-langit kamar, kepalanya bertumpu kepada kedua tangannya. Pikirannya entah kemana, yang pasti hanya menunggu kantuk datang.
Dia tampak lesu.
Dari semalam telfonnya tidak diangakat oleh sang istri, pesannyapun hanya dibaca .
“Kenapa lagi kau, Di? Pagi-pagi sudah lesu begitu mukanya.”
“Ini, Mal. Istriku gak biasanya mendiamkan aku, ditelfon-telfon dari tadi malam gak diangkat, pesanku juga hanya di baca. Mau nanyak sama anak, malu aku.” Jelasnya
Jamal geleng-geleng kepala mendengar penuturan Adi tentang istri temannya itu.
Drett …
Tiba-tiba ponsel Adi berdering.
“Tuh, angkat. Mungkin telepon dari istrimu.”
Adi mengangguk.
“Iya, dari istriku.”
Tut!
“Apa sih, Bang? Dari tadi malam ganggu saja! Kayak gak ada kerjaan lain!” cerocos Santi langsung.Adi yang semula duduk santai di teras bersama Jamal, kini memilih masuk ke dalam.
Dia malu, belum dia mengucapkan salam, sang istri lebih dulu mengomel.“Abang Cuma mau ngabarin, kalau abang ikut Jamal keluar kota untuk ngirim barang, jadi belum bisa pulang.”
“Bagus, dong. Berarti ada uang tambahan. Kok gak ditransfer? Hanya gaji pokok saja yang Abang transfer!” ucap Santi menyerocos lagi.
“Ini Abang hanya dikasih 150 ribu, itu pun buat uang makan Abang selama seminggu lagi disini, Di.”“Hallah, ya jangan ngandalin penghasilan dari itu, dong Bang! Abang ‘kan bisa mijit. Hari libur gunain waktunya buat mijit, harus pinter-pinter putar otak biar penghasilannya cukup!” maki Santi dengan kasar.Al-Dasim tertawa puas.“Hahaha .. sifat alami manusia, selalu menganggap dirinya yang paling benar, dan ‘tak mau ngeakui kesalahan, jarang bersukur dan selalu kurang dengan pemberian Tuhannya, tetapi kenapa mereka justru menjadi ahli syurga?”“Kau tidak perlu berpikir terlalu jauh, tugasmu hanya menghasut dan menggoda mereka, supaya mereka ingkar kepada Tuhannya!” ingat salah satu Jin yang kebetulan ada di rumah itu, “Hei—Al-Dasim, pergilah ke rumah-rumah, hasut wanitanya, berilah dia rasa lelah yang bertubi-tubi, hilangkan rasa syukurnya, buat dia merasa kalau bebannya di rumah terlalu berat. Dengan begitu dia akan selalu mengeluh tentang pekerjaannya yang tak habis-habis, maka dia
“Tapi aku masih ragu, Wan. Bagaimana kalau bukan hanya dia wanita di sana? ‘kan aku gak tau dan gak melihat langsung” jelasnya dengan suara lirih yang dibuat-buat.“Tak apa, ada aku di sini.” Rayunya.Santi kembali di buat melayang di buat Wawan.“San, bagaimana kalau kita bertemu lagi? Apa kau tak keberatan, hum?”“Ketemu?”“Iya, kalau ketemu, kau bisa bebas curhat tentang masalahmu.”Santi pun setuju, dia segera bergegas mandi dang anti baju, lagi pula sekarang dia hanya sendiri di rumah bukan? Ke dua anaknya sedang sekolah, Mila mungkin nanti setelah dzuhur baru pulang, sedangkan Nadia sudah pasti sore, tetapi dia akan meminta Minah untuk menjemput Mila di sekolah. Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu Mila lebih dulu pulang dari dirinya nanti.Dalam benaknya, dia pasti akan di ajak beli baju-baju bagus lagi, seperti kemarin. Santi se akan lupa, lelaki berbuat baik berarti menginginkan sesuatu kecuali orang itu adalah suaminya, atau memang orang-orang yang memiliki hati tulus pada d
Sampai makanan dan minumannya datang, Nadia tak kunjung tenang memikirkan sang adik yang entah kemana, atau mungkin dia lupa, bahwa Minah selalu senantiasa menjaga mereka, jika sang Ayah atau Emak mereka keluar rumah. Rasanya hambar, tetapi dia tetap berusaha menelan makanan yang di sajikan. Entah inisiatif dari mana, Nadia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, dia lansung memotret Emaknya dan orang asing yang harus dia hormati, itu pesan Emaknya. Nadia membekap mulutnya sendiri, saat Wawan menyuapi Emaknya. Bahkan mereka sedang berpegangan tangan, air matanya sudah menganak sungai tetapi Nadia tahan sebisa mungkin. Dia kepikiran saang Ayah, bagaimana jika Ayahnya tau kalau istrinya bermain api bersama laki-laki lain? Nadia bergegas menghabiskan makanan yang terhidang di atas meja, dia tidak bisa berlama-lama di sana, dia khawatir adikknya sedang sendiri di rumah, terlebih lagi dia takut, Emaknya memergokinya sedang selingkuh di sana. “An .. aku—aku pulang dulu, y
“Mau kerja di sini saja, sambil jaga anak-anak,”Adi melanjutkan langkahnya ke dalam kamar, dia meletakkan barang-barang yang dia bawa yang kebanyakan baju kototr yang tidak sempat ia cuci di sana.“Abang gak boleh begitu, kalau Abang berenti kerja mau makan apa kita? Jangan malas jadi laki-laki! Gak ada tanggung jawab sekali!”“Gak ada tanggung jawab? Apa selama nikah, aku ‘tak pernah bekerja? Apa selama ini aku ‘tak menafkahi kamu? Jawab!” geram Adi.Santi terhenyak, selama ini Adi tidak pernah sekalipun meninggikan suara kepadanya.“A—aku,”“Aku capek San! Selama aku kerja di luar apa yang kamu lakukan?”“Ma—maksudmu, Bang?”“Kenapa kau ‘tak mengantarkan anak-anak ke sekolah?”“Aku mengantarkan anak-anak ke sekolah, kok.”“Oh, iya?” Adi tersenyum sinis lalu membanting pintu cukup keras dan menguncinya dari dalam.“Bang!”“Aku capek, ingin istirahat. Kau pergilah bersama teman laki-lakimu itu! Tapi jangan sampai anak-anakku tahu, atau kau akan menyesal,” kecam Adi tanpa membuka pin
Brakk … Santi membanting tasnya ke atas meja dengan kesal. “Kenapa ‘tak jemput aku, Bang?” “Aku jalan kaki dari gang depan, sampek kesini.” gerutunya. “Kenapa ‘tak minta antarkan sampai depan rumah sama selingkuhanmu?” Santi merengut. “Selingkuhan apa lah, Bang? Dia itu temanku,” Adi menghela nafas “Mila, Nadia. Kalian makan di kamar ya?” pintanya. “Heh, apa-apaan makan di kamar. Nanti kotor!” ucap Santi dengan meninggikan suaranya. Entah lupa atau memang sengaja dia membentak anak-anak di depan Adi. Brak .. Adi menggeprak meja dengan keras, membuat Santi dan kedua anaknya terkesiap. Mereka sudah sering kali melihat Santi marah-marah, tetapi kali ini Ayahnya yang melakukan, bagaikan gunung yang siap meletuskan larvanya, seperti itu ketika dia lihat kilat amarah dimata sang Ayah. “Masuk kamar!” Tanpa membantah lagi, mereka pergi tanpa mempedulikan sang Emak yang sedang melotot. “Aku sudah cukup sabar sama semua sifatmu, San!” ucap Adi tegas setelah anak-anak berada di ka
Setelah kepergian Adi, Dasim tertawa terbahak-bahak, tawanya sangat kencang, mungkin jika tawanya di dengar manusia, gendang telinga orang itu akan pecah, atau mungkin karena mendengar tawanya, orang itu akan mati di tempat. Mengerikan memang! ‘Hahaha .. aku sudah melakukan perintah Tuhan, dengan memperlihatkan kecurangan pasangan terhadap pasangannya sendiri! Bukankah aku makhluk yang deratnya jauh lebih unggul? Haha .. itulah aku, aku adalah Al-Dasim’ Dasim meninggalkan tempat itu dengan memegang kemenangan yang Telak, tugasnya cukup mengerikan. Sekarang dia menemui manusia yang menjadi target selanjutnya. Apalagi ujian yang paling berat bagi rumah tangga,ekonomi atau yang lain? Hati-hati! Bisa saja Al-Dasim sedang mengincar keluargamu. Waspadalah dengan gondaan dan hasutannya! “Apa yang kau lakukan, San? Hingga suamimu lepas tangan?” “Aku .. aku tidak melakukan apapun, Pak,” “Jangan berbohong! Bapak tahu betul sifat suamimu, kalian menikah bukan hanya sekedar 5 atau 6 tahun!
Lelaki itu kembali melihat kertas yang berisi sebuah alamat yang diberikan kakek misterius tempo lalu, dia tampak ragu untuk turun dari mobilnya, pasalnya sepenjang mata memandang hanya ada kayu jati yang tumbuh menjulang tinggi dengan daunnya yang cukup rimbun, sampai mampu menghalangi sinar matahari disore hari itu.Setelah pertimbangan yang cuku matang, lelaki itu turun dari mobilnya, mencoba melihat sekitar, siapa tahu dia melihat orang, meski mungkin sangat mustahil, mengingat dia berada ditengah jalan yang kanan kiri diapit pohon jati. Sedangkan didepannya jalan buntu dengan semak belukar setinggi perut orang dewasa.Tak sengaja ekor matanya melihat seorang laki-laki duduk meneduh di bawah pohon jati, gegas ia menghampiri. Dia juga heran, padahal tadi dia sudah melihat sekitar, hanya hampa, tetapi tiba-tiba saja lelaki paruh baya duduk dibawah salah satu pohon tak jauh dari tempatnya berdiri. Cukup ganjil memang, tetapi demi misi dan ambisinya, dia tak menghiraukan keganjila
Bukankah iblis dan sebangsanya penuh tipu muslihat? lalu kenapa sampai kita terpikat? Padahal yang ditawarkan hanyalah indahnya duniawi, apa karena itu kita melupakan akhirat? Tidak! Nafsu, ya hanya karena nafsu, nafsu duniawi yang menuntut harus dipuaskan, tetapi kita juga lupa, bahwa nafsu duniawi tidak akan pernah puas, ia selalu kurang dan kurang. Serakah!Soal tipu muslihat, mungkin itu yang sekarang di rasakan Ridwan, rumah panggung yang ia lihat, tidak pernah ada! Kenyataanya, dia sedang duduk di dahan pohon jati yang tumbang, sedangkan dihadapannya sesosok makhlup besar bertanduk, dengan badan merah dan gigi runcing, jangan lupakan, rambut yang kasar seperti ijuk tetapi hanya 5 helai.Itulah ilusi, dan tipu muslihat setan!Ridwan menerima kotak hitam yang didalamnya terdapat pasak bumi, dan juga sebuah kertas yang berisi bacaan mantra yang harus dia baca saat menanam pasak tersebut.“Sekarang, pulanglah jangan sampai istrimu curiga!”“Satu lagi, setelah keluar dari sini, janga