Share

bab 6

Sampai makanan dan minumannya datang, Nadia tak kunjung tenang memikirkan sang adik yang entah kemana, atau mungkin dia lupa, bahwa Minah selalu senantiasa menjaga mereka, jika sang Ayah atau Emak mereka keluar rumah.

Rasanya hambar, tetapi dia tetap berusaha menelan makanan yang di sajikan. Entah inisiatif dari mana, Nadia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, dia lansung memotret Emaknya dan orang asing yang harus dia hormati, itu pesan Emaknya.

Nadia membekap mulutnya sendiri, saat Wawan menyuapi Emaknya. Bahkan mereka sedang berpegangan tangan, air matanya sudah menganak sungai tetapi Nadia tahan sebisa mungkin.

Dia kepikiran saang Ayah, bagaimana jika Ayahnya tau kalau istrinya bermain api bersama laki-laki lain?

Nadia bergegas menghabiskan makanan yang terhidang di atas meja, dia tidak bisa berlama-lama di sana, dia khawatir adikknya sedang sendiri di rumah, terlebih lagi dia takut, Emaknya memergokinya  sedang selingkuh di sana.

“An .. aku—aku pulang dulu, ya?” ijiika sudah sampai dimeja sang sahabat.

“Hah! Kenapa?”

 “Emak, Emak tadi mengirim pesan, aku suruh jaga Mila—adikku, soalnya Emak katanya mau bantuin Mbak Minah bikin kue kering, pesanan  kue kering Mbak Minah banyak banget.” Dustanya.

“Yaudah, gak papa, Nad. Terima lasih sudah nganterin Ani kesini, pulangnya nanti, biar aku yang anter ke rumahnya.” Sela Roni.

Nadia tersenyum.

“Kalau pulang, jangan langsung anterin ke depan rumah, ya. Bisa-bisa digorok nanti aku sama Bapakku!” pinta Ani.

Nadia dan Roni terkekeh, mereka tahu, kalau kedua orang tua Ani sangat tegas sama anak-anaknya.

“Yauda, aku balik dulu, ya. Ron, terima kasih traktirannya.”

Roni mengacungkan jempol, Nadia langsung berlari kecil keluar dari café tersebut, dia tidak peduli tatapan aneh orang-orang saat melihatnya .

**

“Dek! Mila!” panggilnya saat baru turun dari motornya.

Nadia keliling rumahnya, tetapi tidak menemukan sang adik.

“Nad, cari Mila?”

“Astagfirullah, Mbak. Kaget Nadia.”

Bagaimana Nadia tidak terkejut, pasalnya hanya kepala Minah yang terlihat di ambang pintu. Minah tertawa terpingkal-pingkal melihat  ekspresi terkejut dari waajah Nadia.

“Adikmu, Mila sedang tidur di rumah Mbak.” Jelasnya setelah puas tertawa.

Nadia menghela nafas lega, dia langsung menutup pintu dan bersama-sama pergi ke rumah Minah.

“Kamu gak ganti baju dulu?”

Nadia meneepuk dahinya perlahan.

“Ganti baju dulu, sana. Besok mau di pakai lagi ‘kan? Takut kotor bajunya.”

Nadia menurut, dia berbalik arah kembali menuju rumahnya.

“Kasian kalian, Ayah kalian bekerja dengan keras samapi-sampai harus berpisah sama kalian, sedangkan Emak kalian sibuk memadu kasih dengan pria lain di luar.”  ucapnya prihatin.

“Loh, Mbak? Nungguin Nadia? ‘tak kira saudah masuk duluan.”

Minah tersenyum tulus. “Biar tidak tersesat kau.”  Selorohnya.

Nadia tertawa, lalu kemudian masuk ke dalam rumah Minah dan ikuti Minah dari belakang.

Nadia memperhatikan Mila yang terlelap tidur dengan seksama, damai, itu yang tertangkap dari raut wajah sang adik. Hatinya teriris, saat mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu.

Dia melihat kembali foto yang tadi di café, tanpa dia sadari, Minah juga melihat hasil jebretannya.

“Nih, Mbak Minah juga punya.”

Minah menyerahkan ponselnya, dimana foto sang Emak bersama laki-laki tersebut di depan rumah mereka.

“Loh, Mbak?”

“Foto ini, Mbak ambil waktu teteh gak pulang seharian. Jam 3 dini hari kayaknya, Mbak keluar rumah, buat jemur pakaian, lalu melihat Emakmu turun dari mobil laki-laki, ya balik lagi dong Mbak ke dalam rumah.” Jelasnya sambil terkekeh geli mengingat kejadian itu, kejadian di mana ia buru-buru masuk ke dalam rumah sampai saldalnya ketinggalan sebelah, karena tidak ingin Santi memergokinya .

“Kasian Ayah.”

Minah tertegun, hatinya mencelos. Dia tidak ingin merusak rumah tangga tetangga samping rumahnya, awalnya dia ingin pendam sendiri, entah ada bisikan dari mana dia kemudian mengirim gambar tersebut ke nomor telepon Adi, dia menjadi merasa bersalah kepada gadis polos di depannya ini.

“Mbak Minah, cerai gara-gara di selingkuhin juga, ya?”

“Eh, dapat berita dari mana, kalau Mbak cerai gara-gara selinguh?”

Nadia cengengesan.

“Dari Mpok Ipah.”

“Jangan percaya, dia itu ‘kan memang penyebar gossip, mana gosipnya gak bener lagi” sungutnya.

“Kalau kamu mau tahu cerita yang sebenarnya, ayok ke dapur. Di sana Mbak akan cerita, tenang saja. Ini real bukan hoax, karena dari sumbernya sendiri!”

Nadia membantu Minah mencetak kue kacang, sedangkan Minah mengolesi Loyang dengan sedikit margarin, supaya ketika kue kering di panggang, kue tersebut tidak lengket pada Loyang tersebut.

“Dulu, awal-awal nikah, Mbak  sama suami Mbak baik-baik saja, namanya juga pengantin baru, ye ‘kan!”

Nadia diam, tetapi dia menyimak semua kalimat yang keluar dari mulut Minah.

“Suami Mbak namanya Bang Ridwan.”

Minah menjeda kalimatnya, wajahnya mengadah ke langit-langit dapur mungkin dia tak ingin Nadia melihat setetes air mata yang mulai jatuh ke pipinya.

“Dia sangat menyayangiku dan Ibunya, tetapi dia tidak adil dalam membagi kasih sayangnya, yang selalu dia utamakan adalah Ibunya. Dulu, Mbak masih tinggal bareng sama mertua. Jadi, ketika Mbak ada sedikit masalah dengan mertua, Bang Ridwan selalu membela Ibunya, tanpa mau mendengarkan penjelasannya Mbak terlebih dulu.”

“Bahkan Mbak pernah ditampar di depan mertua, sedangkan saat itu Mbak dalam posisi membela diri.”

“Segitunya Mbak?”

Minah mengangguk.

“Jadi intinya, kau harus berpikir dua kali kalau mau menikah dengan laki-laki, yang apa-apa masih tergantung dengan keputusan orang tua, laki-laki yang gak berani ambil keputusan sendiri. Iya kalau Ibunya bijak, kalau tidak? ‘kan kita sendiri yang sengsara. Seumur hidup itu terlalu lama! Tidak papa di panggil janda asal batin tidak tersiksa. Toh, janda bukan aib.” Jelasnya.

“Kalau cerita versi Mpok Ipeh gimana?” Tanya Minah kepada Nadia sambil memsukkan kue-kue kedalam Loyang.

“Mpok Ipeh bilang, kalau Mbak di selingkuhi gara-gara, iya itu. Mbak perempuan gak berbakti sama suami dan mertua.”

Minah tertawa kecut, mulut orang hanya tahu menilai orang dari luarnya saja, tanpa tahu bagaimana dalamnya.

“Mbak, sebagian sudah ada yang matang nih, mau taruk di mana?”

“Taruh saja di wadah besar itu, Nad.” Tunjuknya pada wadah besar yang tepat berada di belakang  Nadia.

Mereka kembali larut dengan pekerjaan masing-masing sampai Mila datang mengagetkan mereka.

“Sudah bangun?”

Mila hanya mengangguk lirih.

“Sudah adzan maghrib, kalau mau pulang gak papa. Kok.” Ucapnya Minah sambil menyerahkan dua toples kue kering kepada Nadia.

“Kita di sini saja, Mbak.”

“Mbak sebenarnya gak masalah kalian di sini, mau nginep sekalian gak papa, malahan Mbak seneng bisa ada temen ngobrol. Tapi, bagaimana dengan Emak kalian nanti? Dia bisa marah kalau maghrib-maghrib begini kalian tidak ada di rumah.”

“Emak aja maghrib-maghrib begini belum pulang.” Jawab Nadia tanpa melihat ke arah Minah.

“Tapi, benar juga apa kata Mbak Minah, meski terasa tidak adil bagi kami, yang merasa di telantarkan oleh Emak kandung sendiri.”

Nadia beranjak dari duduknya menggandeng tangan Mila yang tampak lesu karena masih mengantuk.

“Pulang dulu Mbak, Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

Minah mengantar mereka sampai ke depan pintu rumahnya. Tiba-tiba saja dia tidak jadi menutup pintu karena mendengar seseorang melangkah.

“Dari mana Teh? Maghrib-maghrib begini baru pulang.”

“Dari rumah teman lama!”

Santi buru-buru menutup pintu sesaat setelah menjawab pertanyaan Minah.

“Tetangga kepo, pengen tahu saja urusan orang lain, urus diri saja belum mampu. Sampi sekarang masih menjanda!” gerutu Santi.

Bukankah tetangga itu saingan terberatmu untuk mendapatkan Wawan? Apalagi dia pernah memuji tetanggamu itu.

Santi menjedai surai panjangnya, hasutan-hasutan Dasim berhasil membuatnya lupa siapa dirinya, dia lupa bahwa dia masih memiliki seorang suami.

“Emak baru pulang? Dari mana, Mak?”

“Ini lagi, semakin hari kamu itu semakin mirip sama janda sebelah, mau tahu saja urusan orang!”

Santi melanjutkan niatnya pergi ked lam kamarnya, sedangkan Nadia masih tertegun, sekarang keputusannya sudah bulat. Ayahnya harus kembali berkerja di rumah,

“Semakin dibiarin, Emak semakin menjadi!”

Kekesalan sang anak sepertinya terasa hingga sang ayah.

Kini Adi gelisah. Dia membaca pesan dari anaknya berulang kali. Naluri seorang Ayah yang tidak ingin terjadi sesuatu kepada anak gadisnya.

“Kenapa, Di? Uring-uringan terus.”

“Begini, Bang …”

“Aku .. aku mau berhenti kerja.”

“Loh, kenapa?”

“Nadia, anakku kalau pulang dari sekolah selalu digoda sama preman-preman yang nongkrong di jembatan perbatasan kampung kita.”

“Memangnya, anakmu pergi-pulang sekolah sendiri? Emaknya ke mana?’

Adi bergeming.

“Kalau itu keputusanmu, aku gak bisa maksa. Besok biar ku antar pulang kembali ke rumahmu,”

Akhirnya Adi dan Jamal mencapai kesepakatan. Meskipun berat, Adi tetap memilih berhenti bekerja, karena dia tidak bisa menjamin keselamatan putrinya jika jauh dari keluarga. Dia juga tak habis pikir, kemana Santi sampai membiarkan anak-anaknya pergi dan pulang sekolah sendiri.

Apalagi Nadia, dia sekolah di luar kampungnya.

Sekolah Negri, sedangkan di desa mereka sekolah menengah atas belum ada.

'Apa aku perlu kasih tahu kalau aku pulang, ya?' Adi menggelengkan kepala. Lebih baik, dia langsung ke sana saja.

Toh, dia merasa sejak kerja di luar daerah, keluarganya malah hancur.

Adi harus menyelamatkannya!

***

“Assalamu’alaikum,” ucap Adi begitu di rumah.

“Waalaikumsalam," balas Santi, "Loh? Kok pulang Bang?”

“Aku berenti kerja, San.”

“Apa!? Kenapa Bang?!” Bukannya senang, Santi tampak marah, "Kok kamu gitu sih!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status