“Mau kerja di sini saja, sambil jaga anak-anak,”
Adi melanjutkan langkahnya ke dalam kamar, dia meletakkan barang-barang yang dia bawa yang kebanyakan baju kototr yang tidak sempat ia cuci di sana.
“Abang gak boleh begitu, kalau Abang berenti kerja mau makan apa kita? Jangan malas jadi laki-laki! Gak ada tanggung jawab sekali!”
“Gak ada tanggung jawab? Apa selama nikah, aku ‘tak pernah bekerja? Apa selama ini aku ‘tak menafkahi kamu? Jawab!” geram Adi.
Santi terhenyak, selama ini Adi tidak pernah sekalipun meninggikan suara kepadanya.
“A—aku,”
“Aku capek San! Selama aku kerja di luar apa yang kamu lakukan?”
“Ma—maksudmu, Bang?”
“Kenapa kau ‘tak mengantarkan anak-anak ke sekolah?”
“Aku mengantarkan anak-anak ke sekolah, kok.”
“Oh, iya?” Adi tersenyum sinis lalu membanting pintu cukup keras dan menguncinya dari dalam.
“Bang!”
“Aku capek, ingin istirahat. Kau pergilah bersama teman laki-lakimu itu! Tapi jangan sampai anak-anakku tahu, atau kau akan menyesal,” kecam Adi tanpa membuka pintu sedikit pun.
Santi tampak tertegun, dia tidak terima di perlakukan seperti itu, egonya mengatakan dia tidak bersalah.
“Aku dan dia hanya teman, tidak sepertimu yang bahkan menginap di rumah perempuan!”
Santi menghentakkan kakinya dengan kesal, lalu meninggalkan Adi di rumah sendirian.
“Dia pikir siapa? Aku hanya berteman dengannya, suruh siapa dia tidak pernah perhatian dan peduli? Huh .. menjengkelkan sekali dia!” gerutunya
“Teh, kenapa?” sapa Minah.
“Bukan urusanmu!”
Minah hanya bisa mengelus dada mendapati respons tidak terduga dari Santi. Minah melihat Santi yang pergi menjauh dari rumahnya dengan pikiran yang penuh tanda Tanya.
“Kenapa si Santi?”
“Astaghfirullah, gak tau saya Teh. Saya Tanya tadi gak di jawab”
“Makin sombong dia kurasa, suamiku juga kemarin lihat dia ketemuan sama laki-laki lain,” ungkapnya memancing Minah untuk bercerita lebih lengkap.
Minah hanya tersenyum dan berlalu pergi meninggalkan tetangganya yang terkenal nyinyir tersebut.
“Loh Nah, mau kemana?”
“Mau pulang, Teh. Mau nunggu orang yang mesen kue, katanya mau di ambil sekarang. Mari Teh, saya duluan,”
Minah berlalu dengan sopan, sedangkan Sri—tetangganya itu memonyongkan bibirnya dengan kesal, dia tidak suka di abaikan seperti itu, apalagi gosip mengenai Santi sudah ,ulai santer di perbincangkan orang-orang di kampungnya.
“Hallah .. tetangga kok gitu? Gak suka di ajak ghibah bareng.”
Sri pu juga berlalu melanjutkan niatnya yang ingin belanja di warung Sarinah.
***
“Memang berita itu benar adanya?”
“Iya, ‘kan saya sendiri yang lihat.”
Parman, yang ‘tak lain suami Sri membenarkan pertanyaan teman-temannya tentang kabar Santi yang belakangan ini menjadi topik hangat.
“Jangan seudzon, siapa tahu itu saudaranya Santi,” si pemilik warung berargumen.
“Hallah, masak saudara sampek gandengan tangan, mesra lagi Pok. ‘kan saya sendiri yang lihat pakai kedua mata ini,” ucapnya sambil melotot.
“Sudahla, jangan mengurusi urusan rumah tangga orang lain. Rumah tanggamu itu loh Man, bertengkar saja tiap hari ku lihat,” cibirnya.
Parman hanya garuk kepalanya yang tidak gatal, bingung mau menjawab apa.
“Pok, kopi satu, ya.”
“Loh, Di? Kapan kau pulang?”
“Baru tadi pagi, Man.”
“Berenti kerja kau kah?”
“Maunya sih gitu, tetapi bos pemilik pabrik nyuruh cuti aja dulu, paling seminggu aku di sini,”
“Wah, enak kali kau, dapat bos baik”
“Alhamdulillah,” Adi tersenyum menanggapi pujian yang terlontar dari mulut tetangganya itu.
“Kau kerja di sana, istri kau selingkuh di sini”
“Man! Apa sih yang kau bicarakan?” tegur Tejo.
Adi tersenyum kecut, sebelum kesini dia sudah banyak mendengar rumor-rumor tersebut dari Minah, apalagi di warung tempat ibu-ibu belanja sambil ghibah, namun Adi mencoba menulikan telinganya.
“Di, ‘tak usahlah kau pikirkan sangat kata-kata si Parman, semua desa sudah tahu watak dia dan istrinya sama.”
“Tapi, aku bicara yang sesungguhnya, Jo”
“Tak usah kau bahas itu lagi, Man.”
Parman bungkam, saat Tejo menatapnya dengan tajam.
“Ini kopinya, Di. ‘tak usah kau pikirkan sangatlah apa yang keluar dari mulut si Parman, tak ada saringan memang itu mulutnya!” cebik Munaroh—si pemilik warung kopi.
“Apalah kau, pok? Kek benci sekali kau lah Pok sama diriku ini,”
Tejo dan satu temannya yang ikut nongkrong tertawa melihat wajah Parman yang merajuk, seperti anak kecil yang meminta mainannya di kembalikan. Sedangkan Adi hanya terdiam menyaksikan interaksi mereka.
“Bagaimana ‘tak kesal diriku, wahai Parman yang tampan, hutang kau ‘tak bayar-bayar. Sudah berapa kali kau bon? ‘tak ada niat kah kau bayar hutangmu itu?”
Parman hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Entarlah, Pok. Hasil ngojek sekarang di ambil semua sama istriku, katanya buat bayar hutang sama Pok Sarinah.”
“Lalu hutang di sini? Kapan yang mau dibayarkan?’
“Nanti lah, Pok”
Pok Munaroh hanya melengos pergi untuk membuat adonan gorengan saat mendengar alasan Parman.
Adi menyesap kopinya yang panas, dia ‘tak terlalu menanggapi obrolan-obrolan tersebut, dia keluar rumah hanya sekadar untuk menenangkan pikirannya yang kusut karena pertengkeran dirinya dan Santi tadi pagi. Sengaja dia bilang berenti untuk melihat respon Santi, ternyata respon ‘tak terduga yang dia terima.
‘Apakah Santi tidak suka aku berenti bekerja karena jika aku berhenti dia mungkin tidak akan leluasa selingkuh?’
‘Benar, istrimu itu egois, dia selingkuh tetapi dia masih menuntutmu untuk menafkahinya. Kasian anakmu, semua orang sudah tahu tentang sekandal istrimu, bukan tidak mungkin anakmu nanti di bully teman-temannya karena memiliki Ibu yang menelantarkannya dan lebih memilih berselingkuh”
Adi menggeram marah, sedangkan makhluk bertanduk itu merubah wujudnya menjadi kakek tua kemudian kembali lagi dengan wujud aslinya yang menyeramkan dengan tubuh merah menyala dan rambut yang hanya beberapa helai saja, taring dan tanduk yang terlihat tajam semakin menambah kengerian dari mahkluk tersebut.
Makhluk tersebut menyeringai, sebentar lagi impiannya tercapai, ya sebentar lagi!
Dia berubah menjadi kepulan asap dan menghilang, meninggalkan bau amis busuk yang menyengat.
“Hm .. bau apa ini, Pok?” Tanya Tejo
“Entahlah? Mungkin ada tikus mati di balik pohon itu,” tunjuknya dengan dagu kearah pohon besar di yang ‘tak jauh dari tempat mereka duduk.
“Pok, berapa? Kopi satu sama gorengan tiga”
“Loh, udah mau balik aja, Di?”
“Iya, Bang. Mau jemput Mila di sekolahnya”
“Oalah ..”
“Semua 7.000 Di,”
Adi menyerahkan uang pas, lalu bergegas pergi setelah berpamitan dengan ketiganya.
“Bang, dari mana” Sapa Minah
“Dari warungnya Pok Munaroh, kenapa Nah?’”
“Gak papa, Bang. Tanya saja. Soalnya anu .. itu teh, orang kampung makin santer membicarakan Teh Santi,” ucap Minah gugup.
“Iya, biar sajalah. Aku ‘tak peduli sama sekali”
Adi berlalu pergi setelah mengucapkan kalimat tersebut meninggalkan tanda tanya besar dalam benak Minah.
“Aihh .. apa pula ini? Apa Bang Adi sudah tidak perduli lagi, ya?”
Minah yang menunggu beberapa pelanggannya yang masih belum datang melihat Adi yang kembali ke luar rumah dan berlalu pergi begitu saja, Minah ‘tak kembali menyapanya, karena ia juga takut di katakan ingin selalu ikut campur urusan orang,
Minah menghela nafas, dia jelas meliihat raut wajah Adi menyimpan amarah, entah kapan amarah itu akan meledak. Yang pasti semoga tidak berdampak buruk kepada kedua anaknya
[Ayahmu pulang]
Terkirim, dan langsung dibaca oleh Nadia.
Jam segini memang waktu istirahat Nadia, makanya Minah berani mengiriminya pesan tanpa takut mengganggu aktifitas belajar anak tersebut.
[Oh, ya? Kapan Mbak pulangnya?]
[Kok Ayah tidak bilang-bilang kalau mau pulang hari ini?]
[Ya, mana Mbak tahu, tanyalah saja nanti sama Ayahmu]
[Emak ada?]
[Tadi pagi keluar, sesaat setelah Ayahmu datang]
Nadia menghela nafas berat ‘Semoga hanya perasaanku saja,' ucapnya ragu.Entahlah, perasaannya hari ini tidak baik-baik saja. Dia harap tak ada masalah yang terjadi di rumahnya.
Brakk … Santi membanting tasnya ke atas meja dengan kesal. “Kenapa ‘tak jemput aku, Bang?” “Aku jalan kaki dari gang depan, sampek kesini.” gerutunya. “Kenapa ‘tak minta antarkan sampai depan rumah sama selingkuhanmu?” Santi merengut. “Selingkuhan apa lah, Bang? Dia itu temanku,” Adi menghela nafas “Mila, Nadia. Kalian makan di kamar ya?” pintanya. “Heh, apa-apaan makan di kamar. Nanti kotor!” ucap Santi dengan meninggikan suaranya. Entah lupa atau memang sengaja dia membentak anak-anak di depan Adi. Brak .. Adi menggeprak meja dengan keras, membuat Santi dan kedua anaknya terkesiap. Mereka sudah sering kali melihat Santi marah-marah, tetapi kali ini Ayahnya yang melakukan, bagaikan gunung yang siap meletuskan larvanya, seperti itu ketika dia lihat kilat amarah dimata sang Ayah. “Masuk kamar!” Tanpa membantah lagi, mereka pergi tanpa mempedulikan sang Emak yang sedang melotot. “Aku sudah cukup sabar sama semua sifatmu, San!” ucap Adi tegas setelah anak-anak berada di ka
Setelah kepergian Adi, Dasim tertawa terbahak-bahak, tawanya sangat kencang, mungkin jika tawanya di dengar manusia, gendang telinga orang itu akan pecah, atau mungkin karena mendengar tawanya, orang itu akan mati di tempat. Mengerikan memang! ‘Hahaha .. aku sudah melakukan perintah Tuhan, dengan memperlihatkan kecurangan pasangan terhadap pasangannya sendiri! Bukankah aku makhluk yang deratnya jauh lebih unggul? Haha .. itulah aku, aku adalah Al-Dasim’ Dasim meninggalkan tempat itu dengan memegang kemenangan yang Telak, tugasnya cukup mengerikan. Sekarang dia menemui manusia yang menjadi target selanjutnya. Apalagi ujian yang paling berat bagi rumah tangga,ekonomi atau yang lain? Hati-hati! Bisa saja Al-Dasim sedang mengincar keluargamu. Waspadalah dengan gondaan dan hasutannya! “Apa yang kau lakukan, San? Hingga suamimu lepas tangan?” “Aku .. aku tidak melakukan apapun, Pak,” “Jangan berbohong! Bapak tahu betul sifat suamimu, kalian menikah bukan hanya sekedar 5 atau 6 tahun!
Lelaki itu kembali melihat kertas yang berisi sebuah alamat yang diberikan kakek misterius tempo lalu, dia tampak ragu untuk turun dari mobilnya, pasalnya sepenjang mata memandang hanya ada kayu jati yang tumbuh menjulang tinggi dengan daunnya yang cukup rimbun, sampai mampu menghalangi sinar matahari disore hari itu.Setelah pertimbangan yang cuku matang, lelaki itu turun dari mobilnya, mencoba melihat sekitar, siapa tahu dia melihat orang, meski mungkin sangat mustahil, mengingat dia berada ditengah jalan yang kanan kiri diapit pohon jati. Sedangkan didepannya jalan buntu dengan semak belukar setinggi perut orang dewasa.Tak sengaja ekor matanya melihat seorang laki-laki duduk meneduh di bawah pohon jati, gegas ia menghampiri. Dia juga heran, padahal tadi dia sudah melihat sekitar, hanya hampa, tetapi tiba-tiba saja lelaki paruh baya duduk dibawah salah satu pohon tak jauh dari tempatnya berdiri. Cukup ganjil memang, tetapi demi misi dan ambisinya, dia tak menghiraukan keganjila
Bukankah iblis dan sebangsanya penuh tipu muslihat? lalu kenapa sampai kita terpikat? Padahal yang ditawarkan hanyalah indahnya duniawi, apa karena itu kita melupakan akhirat? Tidak! Nafsu, ya hanya karena nafsu, nafsu duniawi yang menuntut harus dipuaskan, tetapi kita juga lupa, bahwa nafsu duniawi tidak akan pernah puas, ia selalu kurang dan kurang. Serakah!Soal tipu muslihat, mungkin itu yang sekarang di rasakan Ridwan, rumah panggung yang ia lihat, tidak pernah ada! Kenyataanya, dia sedang duduk di dahan pohon jati yang tumbang, sedangkan dihadapannya sesosok makhlup besar bertanduk, dengan badan merah dan gigi runcing, jangan lupakan, rambut yang kasar seperti ijuk tetapi hanya 5 helai.Itulah ilusi, dan tipu muslihat setan!Ridwan menerima kotak hitam yang didalamnya terdapat pasak bumi, dan juga sebuah kertas yang berisi bacaan mantra yang harus dia baca saat menanam pasak tersebut.“Sekarang, pulanglah jangan sampai istrimu curiga!”“Satu lagi, setelah keluar dari sini, janga
Ridwan terbangun saat mendengar bunyi berisik di lantai satu rumahnya, gegas dia turun untuk mengecek ada apa gerangan. Tetepi kini suara berisik itu menghilang, diganti dengan suara seperti orang mengunyah dan mengecap, dia mengikuti sumber suara itu yang ternyata berasal dari dapur rumahnya.Di dapur, dia melihat seorang wanita yang dia yakini adalah istrinya, wanita itu berjongkok dan memegang sesuatu ditangannya. Ridwan menegur istrinya, ingin menenyakan apa yang sedang wanita itu lakukan, tetapi saat berbalik.DegDegup jantung Ridwan berpacu lebih cepat, dia melihat Wirda dengan wajah yang mengelupas dan mata yang menggantung keluar, yang tak kalah mengerikan lagi sesuatu ditangan Wirda, daging merah yang masih mengeluarkan darah segar.Ridwan melangkah mundur, Wirda mendekatinya dengan merangkak. Dia terpojok, punggungnya sudah mentok di meja makan.“Mau, Mas?”“Arghh ..”Ridwan terbangun dengan nafas ngos-ngosan, mimpinya sangat menakutkan. Ridwan segera meminum air di atas la
Ridwan ingin bertanya tentang keganjilan dan penampakan yang mengganggunya satu hari ini, tetapi Ridwan urung, saat dia melihat jika Wirda tampak biasa saja.“Mas, kenapa? Kok lihatin aku gitu?”Ridwan tersentak dari lamunannya, dia tersenyum kemudan menjawab “Mas hanya melihat kecantikan istri Mas yang sempurna ini,”Wirda tersenyum bangga, ia meninggikan dagunya. Dia sangat haus akan pujian, pujian-pujian baik akan dirinya, dan akan menganggap dirinya memang layak dengan semua pujian tersebut.“Aku ‘kan memang cantik, kalau gak canti, Mas Ridwan tidak akan mengejar-ngejarku sampai segitunya saat masih muda dulu.” KelakarnyaRidwan hanya tertawa, memang benar, dari muda dialah yang tergila-gila dengan sang istri, bahkan saat dari mereka kuliah. Dan konyolnya lagi, Ridwan tetap mengejar-ngejar meski ditolak belasan kali oleh Wirda. Namanya juga jodoh, sejauh apapun kamu berlari, kamu akan tetap kembali ketempat di mana kamu ditakdirkan.Ridwan dan Wirda tersenyum mengingat semua itu
Setelah mengantar Arum, Roy pulang dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya.Apa yang terjadi dengan resto tempat dia kerja hari ini, rasanya ada yang aneh, apa lagi saat berada di depan tempat penyimpanan bahan makanan, rasanya atmosfer disana berbeda, rasanya jauh lebih dingin dari ruanga yang lainnya, padahal biasanya tidak seperti itu. Roy yakin udara dingin itu bukan dari AC ataupun kipas angina tetapi entahlah, dia tidak bisa mendeskripsikannya.Tiba-tiba saja dia kepikiran dengan percakapan teman Arum dan yang lain.“Benarkah gadis itu indigo? Dan dia tak sadarkan diri karena melihat penampakan? Kalau begitu kenapa baru sekarang? Bukannya dia telah kerja di resto dan selama ini aman-aman saja?” tanyanya pada diri sendiri.Ah .. memikirkan hal itu membuatnya semakin pusing, toh resto itu bukan miliknya, dia hanya bekerja di temapt itu. Jadi, apapun yang dilihat, didengar ataupun dirasakannya, dia hanya tutup mata dan telinga, selagi bayarannya tetap seperti kesepa
Arum gemetar ketakutan saat meihat Ridwan, lebih tepatnya dua sosok dilekang Ridwan, satunya digendong Ridwan, satunya tepat berada dibekang Ridwan, sosok menyeramkan yang ia lihat tadi malam.“Maaf, Pak, permisi, saya di suruh mengambil kangkung dan bunga kol, serta beberapa bahan lainnya” ijinnya pada Ridwan yang tepat berdiri di depan pintu ruang penyimpanan.“Oh, iya silahkan.” Ridwan menyingkir sedikit.Arum bergegas, dalam hati ia merutuki kebodohannya sendiri, mengapa ia menawarkan diri untuk mengambil bahan-bahan yang di perlukan? Padahal tadi malam jelas-jelas dia hampir mati ketakutan ketika melihat makhluk tadi yang dilihatnya.Ridwan memperhatikan Arum, yang dengan tangan gemetar mengambil bahan-bahan.“Kalau lagi lapar makan saja, takut nantinya sakit. Itu wajahnyamu pucat.” Jelas Ridwan sambil berjongkok membantu Arum mengambil beberapa ikat kangkung dari lemari pendingin. Arum menelan salivanya dengan susah payah, makhluk kerdil itu menatap Arum dengan sangat tajam, Ar