Share

bab 7

“Mau kerja di sini saja, sambil jaga anak-anak,”

Adi melanjutkan langkahnya ke dalam kamar, dia meletakkan barang-barang yang dia bawa yang kebanyakan baju  kototr yang tidak sempat ia cuci di sana.

“Abang gak boleh begitu, kalau Abang berenti kerja mau makan apa kita? Jangan malas jadi laki-laki! Gak ada tanggung jawab sekali!”

“Gak ada tanggung jawab? Apa selama nikah, aku ‘tak pernah bekerja? Apa selama ini aku ‘tak menafkahi kamu? Jawab!” geram Adi.

Santi terhenyak, selama ini Adi tidak pernah sekalipun meninggikan suara kepadanya.

“A—aku,”

“Aku capek San! Selama aku kerja di luar apa yang kamu lakukan?”

“Ma—maksudmu, Bang?”

“Kenapa kau ‘tak mengantarkan anak-anak ke sekolah?”

“Aku mengantarkan anak-anak ke sekolah, kok.”

“Oh, iya?” Adi tersenyum sinis lalu membanting pintu cukup keras dan menguncinya dari dalam.

“Bang!”

“Aku capek, ingin istirahat. Kau pergilah bersama teman laki-lakimu itu! Tapi jangan sampai anak-anakku tahu, atau kau akan menyesal,” kecam Adi tanpa membuka pintu sedikit pun.

Santi tampak tertegun, dia tidak terima di perlakukan seperti itu, egonya mengatakan dia tidak bersalah.

“Aku dan dia hanya teman, tidak sepertimu yang bahkan menginap di rumah perempuan!”

Santi menghentakkan kakinya dengan kesal, lalu meninggalkan Adi di rumah sendirian.

“Dia pikir siapa? Aku hanya berteman dengannya, suruh siapa dia tidak pernah perhatian dan peduli? Huh .. menjengkelkan sekali dia!”  gerutunya

“Teh, kenapa?” sapa Minah.

“Bukan urusanmu!”

Minah hanya bisa mengelus dada mendapati respons tidak terduga dari Santi. Minah melihat Santi yang pergi menjauh dari rumahnya dengan pikiran yang penuh tanda Tanya.

“Kenapa si Santi?”

“Astaghfirullah, gak tau saya Teh. Saya Tanya tadi gak di jawab”

“Makin sombong dia kurasa, suamiku juga kemarin lihat dia ketemuan sama  laki-laki lain,” ungkapnya memancing Minah untuk bercerita lebih lengkap.

Minah hanya tersenyum dan berlalu pergi meninggalkan tetangganya yang terkenal nyinyir tersebut.

“Loh Nah, mau kemana?”

“Mau pulang, Teh. Mau nunggu orang yang mesen kue, katanya mau di ambil sekarang. Mari Teh, saya duluan,”

Minah berlalu dengan sopan, sedangkan Sri—tetangganya itu memonyongkan bibirnya dengan kesal, dia tidak suka di abaikan seperti itu, apalagi gosip mengenai Santi sudah ,ulai santer di perbincangkan orang-orang di kampungnya.

“Hallah .. tetangga kok gitu? Gak suka di ajak ghibah bareng.”

Sri pu juga berlalu melanjutkan niatnya yang ingin belanja di warung Sarinah.

***

“Memang berita itu benar adanya?”

“Iya, ‘kan saya sendiri  yang lihat.”

Parman, yang ‘tak lain suami Sri membenarkan pertanyaan teman-temannya tentang kabar Santi yang belakangan ini menjadi topik hangat.

“Jangan seudzon, siapa tahu itu saudaranya Santi,” si pemilik warung berargumen.

“Hallah, masak saudara sampek gandengan tangan, mesra lagi Pok. ‘kan saya sendiri yang lihat pakai kedua mata ini,” ucapnya sambil melotot.

“Sudahla, jangan mengurusi urusan rumah tangga orang lain. Rumah tanggamu itu loh Man, bertengkar saja tiap hari ku lihat,” cibirnya.

Parman hanya garuk kepalanya yang tidak gatal, bingung mau menjawab apa.

“Pok, kopi satu, ya.”

“Loh, Di? Kapan kau pulang?”

“Baru tadi pagi, Man.”

“Berenti kerja kau kah?”

“Maunya sih gitu, tetapi bos pemilik pabrik nyuruh cuti aja dulu, paling seminggu aku di sini,”

“Wah, enak kali kau, dapat bos baik”

“Alhamdulillah,” Adi tersenyum menanggapi pujian yang terlontar dari mulut tetangganya itu.

“Kau kerja di sana, istri kau selingkuh di sini”

“Man! Apa sih yang kau bicarakan?” tegur Tejo.

Adi tersenyum kecut, sebelum kesini dia sudah banyak mendengar rumor-rumor tersebut dari Minah, apalagi di warung tempat ibu-ibu belanja sambil ghibah, namun Adi mencoba menulikan telinganya.

“Di, ‘tak usahlah kau pikirkan sangat kata-kata si Parman, semua desa sudah tahu watak dia dan istrinya sama.”

“Tapi, aku bicara yang sesungguhnya, Jo”

“Tak usah kau bahas itu lagi, Man.”

Parman bungkam, saat Tejo menatapnya dengan tajam.

“Ini kopinya, Di. ‘tak usah kau pikirkan sangatlah apa yang keluar dari mulut si Parman, tak ada saringan memang  itu mulutnya!” cebik Munaroh—si pemilik warung kopi.

“Apalah kau, pok? Kek benci sekali kau lah Pok sama diriku ini,”

Tejo dan satu temannya yang ikut nongkrong tertawa melihat wajah Parman yang merajuk, seperti anak kecil yang meminta mainannya di kembalikan. Sedangkan Adi hanya terdiam menyaksikan interaksi mereka.

“Bagaimana ‘tak kesal diriku, wahai Parman yang tampan, hutang kau ‘tak bayar-bayar. Sudah berapa kali kau bon? ‘tak ada niat kah kau bayar hutangmu itu?”

Parman hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Entarlah, Pok. Hasil ngojek sekarang di ambil semua sama istriku, katanya buat bayar hutang sama Pok Sarinah.”

“Lalu hutang di sini? Kapan yang mau dibayarkan?’

“Nanti lah, Pok”

Pok Munaroh hanya melengos pergi untuk membuat adonan gorengan saat mendengar alasan Parman.

Adi menyesap kopinya yang panas, dia ‘tak terlalu menanggapi obrolan-obrolan tersebut, dia keluar rumah hanya sekadar untuk menenangkan pikirannya yang kusut karena pertengkeran dirinya dan Santi tadi pagi. Sengaja dia bilang berenti untuk melihat respon Santi, ternyata respon ‘tak terduga yang dia terima.

‘Apakah Santi tidak suka aku berenti bekerja karena jika aku berhenti dia mungkin tidak akan leluasa selingkuh?’

‘Benar, istrimu itu egois, dia selingkuh tetapi dia masih menuntutmu untuk menafkahinya. Kasian anakmu, semua orang sudah tahu tentang sekandal istrimu, bukan tidak mungkin anakmu nanti di bully teman-temannya karena memiliki Ibu yang menelantarkannya dan lebih memilih berselingkuh”

Adi menggeram marah, sedangkan makhluk bertanduk itu merubah wujudnya menjadi kakek tua kemudian kembali lagi dengan wujud aslinya yang menyeramkan dengan tubuh merah menyala dan rambut yang hanya beberapa helai saja, taring dan tanduk yang terlihat tajam semakin menambah kengerian dari mahkluk tersebut.

Makhluk tersebut menyeringai, sebentar lagi impiannya tercapai, ya sebentar lagi!

Dia berubah menjadi kepulan asap dan menghilang, meninggalkan bau amis busuk yang menyengat.

“Hm .. bau apa ini, Pok?” Tanya Tejo

“Entahlah? Mungkin ada tikus mati di balik pohon itu,” tunjuknya dengan dagu kearah pohon besar di yang ‘tak jauh dari tempat mereka duduk.

“Pok, berapa? Kopi satu sama gorengan tiga”

“Loh, udah mau balik aja, Di?”

“Iya, Bang. Mau jemput Mila di sekolahnya”

“Oalah ..”

“Semua 7.000 Di,”

Adi menyerahkan uang pas, lalu bergegas pergi setelah berpamitan dengan ketiganya.

“Bang, dari mana”  Sapa Minah

“Dari warungnya Pok Munaroh, kenapa Nah?’”

“Gak papa, Bang. Tanya saja. Soalnya anu .. itu teh, orang kampung makin santer membicarakan Teh Santi,” ucap Minah gugup.

“Iya, biar sajalah. Aku ‘tak peduli sama sekali”

Adi berlalu pergi setelah mengucapkan kalimat tersebut meninggalkan tanda tanya besar dalam benak  Minah.

“Aihh .. apa pula ini? Apa Bang Adi sudah tidak perduli lagi, ya?”

Minah yang menunggu beberapa pelanggannya yang masih belum datang melihat Adi yang kembali ke luar rumah dan berlalu pergi begitu saja, Minah ‘tak kembali menyapanya, karena ia juga takut di katakan  ingin selalu ikut campur urusan orang,

Minah menghela nafas, dia jelas meliihat raut wajah Adi menyimpan amarah, entah kapan amarah itu akan meledak. Yang pasti semoga tidak berdampak buruk kepada kedua anaknya

[Ayahmu pulang]

Terkirim, dan langsung dibaca oleh Nadia.

Jam segini memang waktu istirahat Nadia, makanya Minah berani mengiriminya pesan tanpa takut mengganggu aktifitas belajar anak tersebut.

[Oh, ya? Kapan Mbak pulangnya?]

[Kok Ayah tidak bilang-bilang kalau mau pulang hari ini?]

[Ya, mana Mbak tahu, tanyalah saja nanti sama Ayahmu]

[Emak ada?]

[Tadi pagi keluar, sesaat setelah Ayahmu datang]

Nadia menghela nafas berat ‘Semoga hanya perasaanku saja,' ucapnya ragu.

Entahlah, perasaannya hari ini tidak baik-baik saja. Dia harap tak ada masalah yang terjadi di rumahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status