Share

bab 5

“Tapi aku masih ragu, Wan. Bagaimana kalau bukan hanya dia wanita di sana? ‘kan aku gak tau dan gak melihat langsung” jelasnya dengan suara lirih yang dibuat-buat.

“Tak apa, ada aku di sini.” Rayunya.

Santi kembali di buat melayang di buat Wawan.

“San, bagaimana kalau kita bertemu lagi? Apa kau tak keberatan, hum?”

“Ketemu?”

“Iya, kalau ketemu, kau bisa bebas curhat tentang masalahmu.”

Santi pun setuju, dia segera bergegas mandi dang anti baju, lagi pula sekarang dia hanya sendiri di rumah bukan? Ke dua anaknya sedang sekolah, Mila mungkin nanti setelah dzuhur baru pulang, sedangkan Nadia sudah pasti sore, tetapi dia akan meminta Minah untuk menjemput Mila di sekolah. Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu Mila lebih dulu pulang dari dirinya nanti.

Dalam benaknya, dia pasti akan di ajak beli baju-baju bagus lagi, seperti kemarin. Santi se akan lupa, lelaki berbuat baik berarti menginginkan sesuatu kecuali orang itu adalah suaminya, atau memang orang-orang yang memiliki hati tulus pada dasarnya.

Santi menaiki ojek pesanannya setelah berpesan kepada Minah si jada kembangg yang sampai sekarang masih setia dengan kesendiriannya.

Sedangkan Minah melihat Santi keluar dengan perasaan curiga.

“Rapi bener The Santi, hum—apa jangan-jangan …”

"Aku hanya cari angin, Mbak!" ucap Santi kesal.

Dia pun mendengus lalu pergi meninggalkan Minah yang menggelengkan kepala.

***

“Emak!?” lirih Nadia ketika membukakan pintu luar.

“Emak dari mana saja? Kok jam segini baru pulang?”

Santi nyelonong pergi tanpa menghiraukan pertanyaan putri sulungnya.

“Emak, tadi Ayah nelfon, nyariin Emak. Kata Ayah, Emak gak ngangkat telfon dari dia. Memangnya Emak—“

“Aduh, cukup!” bentak santi kepada Nadia yang dari tadi mengekor dirinya.

“Kau ini apa tidak lihat Emak baru pulang? Buta matamu?!  Emak capek! Lebih baik kau balik kamar! Emak mau istirahat..”

Brak

Santi membanting pintu hingga membuat Nadia terlonjak kaget, bulir bening sudah menganak sungai di pelupuk matanya, hingga jika dia berkedip. Bulir-bulir bening itu akan lolos membasahi pipi mulusnya.

“Emak kenapa, Ya Allah? Semenjak ditinngal kerja sama Ayah kelakuannya semakin menjadi.”

Nadia berlalu pergi dari depan kamar sang Ibu.

“Ini sudah jam 3 dini hari, Emak kemana saja dari pagi sampek sekarang?”

“Ah sudahlah, mending aku bikin brownies saja.

Di dapur, Nadia menyibukkan dirinya, dia tak ingin berlarut-larut memikirkan tentang kemana perginya sang Ibu, toh, sekarang Ibunya sudah kembali ke rumah.

Sedangkan di kamarnya Santi tak jua bisa memejamkan mata.

Dia teringat kejadian siang tadi antara dirinya dan Wawan.

“Wan, ngapain kita ke hotel?” tanyanya bingung.

“Katanya mau cerita? Disni saja lebih privasi. Kalau di café atau di Maal, takut nanti ada tetangga atau malah kerabat kamu mergokin kita jalan berdua, itu akan menimbulkan salah paham, bukan?”

Santi mengangguk setuju.

“Disini saja, kau bebas berekspresi. Mau nangis, mau ngamuk terserah.” Selorohnya.

“Atau mau istirahat? Biar aku ke depan hotel dulu beli cemilan dan minuman, disana ada Mini Market.”

Wawan berlalu pergi meninggalkan Santi yang termenung sendiri di kamar, pikirannya tak menentu, dan kepalanya pusing. Dia memutuskan tiduran sambil menunggu Wawan, tetapi lima belas menit berlalu, Wawan tak kunjung muncul, Santi pun ketiduran.

“Tetapi tadi aku mendengar suara wanita berbicara sama Wawan, ah, bodohnya aku. Kenapa tidak Tanya saja tadi sama Wawan, ya?”

“Atau tadi, mungkin pelayan hotel. Ah, sudahlah, lebih baik aku tidur saja. Lagi pula kenapa, toh aku dan Wawan Cuma teman lama, Mungkin.”

***

“Kenapa kau, Bro?” tanya salah satu teman kerja sekaligus teman kamarnya.

“Eh, Yud.”

“Kau kenapa? Dari tadi uring-uringan, kerja saja tadi gak fokus.”

“Ini, istriku gak ada kabar, kata anak sulungku, katanya Emaknya keluar tadi, tapi sampai malam gini belum pulang.”

“Anakmu gak tahu, Emaknya keluar kemana?”

Adi menggeleng lemah.

“Tetangganya, mungkin tahu.”

“Aku juga sudah tanya tadi sama Dek Minah, tetangga samping rumah kami, katanya istriku cuma ijin keluar tadi pagi setelah kedua anakku berangkat ke sekolah, dia juga nitip Mila sama Dek Minah, anak bungsu kami yang masih SD, Santi nyuruh Minah jemput Mila di sekolah, karena dia akan pulang sore.”

“Dan sampai sekarang, istrimu belum pulang?”

Adi mengangguk.

“Sabar, kalau sampai besik belum pulang. Kau ijin cuti, bilang sama Bang Jamal tentang apa yang terjadi sama kamu.” Nasehatnya bijak.

“Sekarang, ayok tidur. Tenang.”

Dengan langkah gontai Adi dan temannya yang bernama Yuda kembali ke Mess mereka. Adi mencoba berfikir positif dan memejamkan matanya, entah jam berapa dia mulai menjemput mimpi setelah bertarung habis-habisan dengan pikirannya sendiri.

“Istrimu sudah keterlaluan, dia pergi dan menelantarkan anakmu begitu saja. Untung ada Minah yang dengan telaten dan tulus menjaga putri-putrimu, bahkan saat istrimu pergi, dia belum masak apapun, akhirnya Minah lah yang memasak untuk makan siang dan malam kedua putrimu.” Bisiknya dari alam bawah sadar Adi.

Adi gelisah, bahkan dalam tidurpun dia masih khawatir tentang istri dan anak-anaknya.

***

Tring

Nadia membuka pesan masuk di ponselnya, keningnya mengernyit, lantaran nomer asing yang tiba-tiba meniriminya sebuah pesan singkat.

Nadia menimbang-nimbang, dia bingung antara ingin membuka atau membiarkannya saja.

Di sisi lain, Adi tertegun melihat pesan yang dikirimkan Minah kepadanya. Tidak hanya itu,Minah juga melampirkan sebuah foto, yang di mana Santi tersenyum leber kepada seorang laki-laki, yang Adi tidak tahu siapa orangnya.

Sakit hati? Tentu saja! Suami mana yang tak sakit hati melihat sang istri jalan bersama pria lain, bahkan sampai lupa waktu dan lupa anak-anak.

Dan yang menjadi pertanyaannya, jalan kemana saja, sampai hampir 24 jam?

Adi mencoba tetap tenang, dia tak ingin gegabah, apalagi sekarang dia sedang bekerja,

Sekelebat bayangan melintas di belakangnya, bulu kuduknya berdiri, tetapi ini sudah siang hari. Dan lagi pula, selama bekerja di pabrik tersebut, Adi tak pernah melihat atau mersakan hal ganjil, kenapa baru kali ini? Kemaren-kemarennya kemana saja, ‘mereka’?

Tidak mau memikirkan hal-hal aneh lainnya, Adi mencoba fokus bekerja kembali. Hingga akhirnya, dia berhasil melupakan masalahnya sesaat.

***

“Nad, pulang sekolah ikut aku bentar, ya.”

“Mau kemana?”

“Ikut saja, sebentar, kok.”

Nadia memandang sahabat sekaligus teman sekolahnya dengan tatapan curiga, yang di lihat jadi gelagapan dan salah tingkah.

“Aku  .. aku mau ketemu sama Roni …”

“Tapi cuma mau ambil baju doang, kok. Serius!”  potongnya cepat sebelum Nadia mengeluarkan suara.

“Mau, ya? Ayolah, please.”

Teman Nadia menangkupkan tangannya di depan dada dan memasang wajah memelas, agar sahabatnya ini bersedia untuk menemaninya bertemu sang pacar.

“Hallah, gaya-gayaan mau ambil baju, akhirnya berduaan di pojokan. Aku kau tinggal juga pastinya, terlalu kau Ani!” selorohnya sambil menirukan logat bahasa sang Raja Dangdut.

Ani hanya tersenyum kikuk dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Tapi .. kita gak akan ketemuan di alun-alun desa lagi.”

“Lalu?”

“Roni ngajak ke café dekat bengkelnya Pak Mahfud.”

“Wihh .. ada uang sekarang dia? Biasanya kalian kalau pacaran Cuma duduk-duduk aja membahas pemilu mendatang,” kelakarnya.

“Eh, mana ada? ‘tak pernah lah aku bahas pemilu!” sungut Ani.

“Lah? Bahas apa sampek berjam-jam ngobrol?”

Ani tersenyum malu-malu. “Bahas tentang masa depan dan nama anak-anak kita nanti.”

Nadia meluah mendengar penuturan Ani, sedangkan Ani cemberut melihat Nadia.

“An .. masa depanmu masih panjang, memangnya gak mau kuliah? Nuntut ilmu dulu, lanjut kerja, tingkatkan karir dulu sama bahagiain orang tua! Jangan terlalu berharap dan menaruh hati lebih sama pasangan sebelum sah jadi suami-istri, gak ada yang tau kepennya.”

Sebuah nasehat bijak, tetapi bukankah sudah pernah dikatakan, bahwa seseorang yang tengah jatuh cinta akan sulit menerima nasehat, seperti sekarang ini, Ani berfikir kalau Nadia tengah iri terhadapnya, karena Nadia tak pernah pacaran, atau mungkin juga tak pernah merasakan jatuh cinta.

 ****

“Nad, itu Roni!” tunjuknya ke arah  seseorang yang duduk dan tengah melambai ke arah mereka berdua.

“Ayo!” ajak Ani sambil berusaha menarik tangan Nadia, tetapi Nadia tetap bergeming.

“Nad?”

“Kamu saja, yang nyamperin Roni. Aku duduk di sini saja.”

Ani pun bergegas menghampiri pacarnya, sedangkan Nadia memilih duduk di meja yang tak jauh dari mereka.

“Nad.”

“Loh, sudah? Tumben.”

“Enggak, tadi Roni bilang, kalau kamu pesan aja minuman sama makanan, entar dia yang bayar.”

“Pesan saja, Nad, mau makan seblak atau ayam geprek? Tenang, aku yang bayar,Kok.”

Nadia menoleh kebelakang dan menganggukkan kepala, pertanda terima kasih.

Ani kembali ke meja sang pacar, Nadia pun memesan jus jeruk beserta ayam geprek.

Tiba-tiba saja ekor matanya menangkap seseorang yang tidak asing lagi baginya.

“Em—Emak, sama Om Wawan? Berdua saja mereka? Loh, Mila kemana?” tanyanya panik sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status