“Gimana pekerjaan kamu, Ra? Lancar-lancar aja, kan? Maaf ya, kalau aku nggak pernah jenguk kamu di sana.”Nara dan Cantika sedang di kelas, pelajaran baru akan dimulai lebih kurang 15 menit lagi. Cantika bertanya begitu karena dilihatnya sang sahabat yang selalunya ceria dan banyak omong hari ini terlihat lebih banyak diam. “Pekerjaan gue lancar kok. Bahkan gue dapat bonus besar karena akhir Minggu kemarin sibuk banget sampai lembur ngerjain pesanan.”“Oh ya? Bagus dong. Kapan nih traktirannya?” goda Cantika dengan bersemangat, tapi sang sahabat tetap saja bermuram durja, seperti sedang menghadapi masalah besar. Padahal katanya dapat bonus. “Kapan-kapan deh ya. Suasana hati gue lagi kurang baik nih, nggak seru dong entar.”Cantika memandang lurus ke arah Nara, mencari kejujuran di mata indah itu. “Kenapa? Pria ganteng itu lagi?”Nara menghela nafas berat sebagai jawaban, membuat Cantika yakin tebakannya tidak meleset lagi. Oh ya, Nara belum cerita, kan, soal pria yang dibilang gante
“Astaga! Cantika! Jadi selama ini lo bohong sama gue? Mulut gue hampir berbusa ngomelin Elsa, tapi ternyata pelakunya itu lo?” Nara keluar dari perpustakaan yang berada di lantai 3 gedung itu dengan dadanya yang berbuku, semacam ada batu mengganjal di sana. Udara di sekitar wajahnya juga jadi panas. Gadis itu sangat tidak habis pikir. Kenapa bisa Cantika? Aish, tangan Nara meremas udara kosong. Di belakangnya, Cantika juga Elsa mengekorinya dengan langkah tergesa-gesa.“Iya... iya, gue minta maaf. Habisnya gue nggak bisa nolak pesonanya. Dia terlalu ganteng untuk diacuhkan, Nara.” Jawaban Cantika membuat gadis bermata sipit itu menoleh dengan wajah gemas. Ya, gemas pengen cubit-cubit itu wajah tembem Cantika. Nggak dapat jambak rambut, cubitin wajahnya sampai memerah juga nggak apa-apa, kan?“APA? PESONANYA? Gue nggak lagi salah dengar, kan? Emang dia ngapain di depan lo sampai lo terpesona, hah?” Dada Nara dibusungkan, suaranya juga penuh penekanan saat menyebut pesonanya. Uek.
Kaisar membawa Nara ke restoran yang biasa mereka datangi, tapi dia tak pernah pergi sekalipun dengan sang istri ke sana. Di restoran itu, keduanya sudah dikenal sebagai pasangan karena Kaisar selalu mengatakan kalau Nara adalah pacarnya pada pelayan restoran. “Kenapa lo nggak makan? Kalau lapar makan aja, jangan gengsian.” ucap Kaisar. Berbeda dengan Nara yang hanya mengamati piring makanannya dengan tak berselera, Kaisar malah makan begitu lahap, seperti tak makan beberapa hari. Kaisar yang di depannya sekarang juga bukan seorang pria yang makan dengan elegan karena menjaga penampilannya. Makan ya makan. Bahkan Nara menangkap ada sebutir nasi yang menempel di sudut bibir pria itu dan tidak disadarinya. Lucu sekali. Tanpa sadar sudut bibir Nara terangkat naik, tapi begitu tertangkap oleh Kaisar, buru-buru dia menampilkan muka jutek lagi. “Gue kan udah bilang, gue lagi nggak lapar. Lo makan aja sendiri.” “Kinara Putri! Lo nggak usah pura-pura jaim di depan gue deh. Gue aja nggak
Kaisar menengok ke belakang, helaan nafas keluar dari mulut serta hidungnya karena tidak menemukan punggung Nara di sana. Gadis itu benar-benar pergi dan membuat Kaisar bertanya-tanya dengan perasaannya sendiri. Apa yang dia inginkan dari Nara sebenarnya? Tubuh atau hati gadis itu? Kaisar bergeming di tempat duduknya, tangannya bergerak meraba bagian dada yang berdetak tak biasa. Apa ini? Jangan bilang gue beneran suka sama Nara? Kaisar masih bergumul dengan pikirannya ketika sebuah pesan masuk di ponselnya. “Kamu ganti nomor nggak ngabari aku, sampai-sampai aku harus meminta nomor kamu dari Rega?”Dengan malas Kaisar membaca pesan yang sudah bisa dia tebak siapa pengirimnya. Itu Luna. Dia memang belum mengabari wanita itu soal nomor barunya. Lagipula, tidak penting juga, kan? “Ada apa? Gue sibuk seharian ini. Nggak punya waktu buat ngeladenin lo yang terus menerus mengeluh soal mama.” Kaisar menekan tombol kirim setelah mengetik pesannya yang terdengar jutek. “Mama ngajak aku k
Dua insan yang perasaannya tengah dilanda antara dilema atau kasmaran tampak asyik bercumbu. Tidak cuma Kaisar, Nara juga mulai mengimbangi permainan pria itu yang menciumnya dengan buas. Sama seperti Kaisar yang ingin egois, Nara juga tak mengerti perasaannya. Dia yang katanya mencintai Rega, tapi malah menikmati dengan sangat setiap sentuhan Kaisar di tubuhnya. Gigitan pria itu di lehernya yang pastinya meninggalkan bekas merah kehitaman tak mampu ia tolak kenikmatannya. Ibaratnya, Nara sedang mereguk nikmatnya percintaan sementara hatinya tengah meraba-raba. “Ahh, Kai! Gue bisa gila kalau kayak gini terus.” Nara mulai meracau karena Kaisar makin intens mencumbui setiap lekuk tubuhnya. “Nggak apa-apa, Sweety. Malam ini, kita akan gila bersama. Gue akan buat lo ngerasain yang namanya terbang ke langit ke tujuh.”Panggilan Sweety dari suara rendah Kaisar membuat Nara terdiam dan menerima semuanya. Dia terlena. Satu tangan Kaisar meremas bukit kembar Nara yang tegak menantang karen
Tidak. Dugaan Nara salah besar. Kaisar tidak meninggalkannya setelah mendapatkan tubuhnya, buktinya pria itu keluar dari kamar mandi dengan wajah jauh lebih segar. Fyuuuh. Nara menghembus nafas lega dan memaksakan sebuah senyuman. “I—iya. Gue udah bangun, tapi gimana ini? Gue mungkin nggak bisa jalan.” Nara menunjuk sekujur tubuh lebih tepatnya kakinya di balik selimut yang kesusahan digerakkan.“Nggak apa-apa kok, Sweety. Pertama kali emang gitu. Ayo biar gue bantuin lo mandi.” Kaisar jalan mendekat lalu merangkak naik ke ranjang king size yang menjadi saksi percintaan panas mereka pertama kali. “A—APA?” Bola mata Nara bulat seperti bola pimpong mendengar tawaran Kaisar. Nggak deh. Malu. Dia sontak menyilang kedua tangan di dada. Seolah tahu isi kepala Nara, Kaisar terkekeh geli. “Nggak usah malu. Gue udah lihat semuanya kok.”Nara terlempar pada kejadian beberapa waktu tadi, saat ia dengan Kaisar melakukan adegan panas. Kedua tangannya erat memegang ujung selimut hingga batas da
“Loh, Kamu masih di rumah? Memangnya nggak ke kampus?”Nara terlonjak kaget begitu suara neneknya berseru dari arah pintu. Duh, nenek, bikin jantung cucunya mau copot aja. Gadis yang rambutnya masih awut-awutan itu mengelus dada. Nara yang juga kaget bisa bangun kesiangan mengarahkan kepalanya ke jam dinding yang sudah menunjuk pukul 10 pagi. Semua gara-gara tadi malam dia tak bisa nyenyak tidur, sekalinya nyenyak sudah hampir pagi, jadi deh Nara tidur lagi sampai baru bangun sekarang. “Nara nggak ke kampus dulu hari ini, Nek.” jawab Nara dengan suara memelas, padahal dia tak bermaksud menunjukkan rasa sakitnya pada nenek, tapi mau bagaimana lagi? Begitu kenyataannya.“Kenapa? Kamu nggak enak badan ya? Berarti dugaan nenek tadi malam bener dong. Kamu sakit apa? Biar nenek beli obatnya.”Dugaan? Maksud nenek? Nara terbengong untuk beberapa saat. “Jadi kamu sakit apa? Nenek mau balik lagi ni ke warung.”Nara refleks menggeleng membuat nenek Ratih bingung. Melihat wajah bingung nenekn
“Kok lama banget hilangnya sih? Yang ada nanti nenek malah ngira yang macam-macam. Masa digigit nyamuk bisa berhari-hari. Gara-gara Kaisar nih. Sialan!” Nara, gadis itu mematut wajah terkhususnya bagian leher hingga dadanya yang memerah yang menjadi bukti nyata pergumulan panasnya bersama Kaisar. Mau dihapus bagaimana pun tetap saja ada, mau didempul pakai bedak setebal apapun, malah kelihatan kalau dia sengaja mendempul lehernya. Nanti malah ketahuan sama nenek. Kan Nara jadi pusing. Mau menelpon Kaisar dan mengomeli pria itu, ih malas banget. Dikira pria itu Nara kangen padanya. Tahu sendiri Kaisar kan gila. Nara menaruh kembali ponsel di tangannya ke atas nakas tapi kemudian urung karena ada notifikasi panggilan dari Cantika. Tadi dia dengar sih suara ponselnya menjerit beberapa kali, tapi dia masih malas. “Apa gue telpon aja dia ya? Pasti dia kepo banget ini. Sebelum dia ngira yang aneh-aneh, mending gue bilang aja lagi sakit. Beres.”Tut... Tut... Tut... Tak butuh waktu lama