Masuk“Cukup sampai di sini permainanmu, Leon. Kau tidak bisa mengambil keputusan tanpa persetujuanku.”Maria terus menyudutkan putranya. Tapi reaksi Leon masih tetap sama, berdiri dengan postur tegap dan arogan. Sorot matanya setenang kutub utara yang dingin, tidak goyah sedikit pun meski perempuan yang menghadangnya adalah ibunya sendiri.Angin malam berdesir pelan, namun ketegangan di antara mereka justru semakin panas.“Jika Mama hanya ingin mengatakan hal seperti itu,” Leon membuka suaranya tajam, “aku akan pergi.”Leon memutar tubuhnya. Shenina menunggu. Ia tidak akan membiarkan Shenina sendirian lama-lama. Tapi, suara Maria berikutnya membuat pria itu berhenti melangkah.“Bagaimana bisa kau melamar gadis tanpa latar belakang yang jelas, Leon?!”Nada itu meninggi, mengandung kemarahan dan kepanikan.Leon hanya menghela napas pelan.“Bagaimana jika kau hanya dimanfaatkan?“ lanjut Maria, racun kini mulai menetes jelas dari bibirnya. “Gadis seperti itu, tidak pernah puas hanya dengan sa
“Aku tidak bisa, aku akan menikah dengan seseorang.”Mata Leon berkilat penuh ancaman seolah ia baru saja mendengar genderang perang yang ditabuh. Tangannya mencengkram gelas anggur seolah ia bisa meremukkan sekarang.“Apa maksud jawabanmu, Shenina?” Ucapnya semakin dingin seperti bola salju.Tapi wajah shenina tetap tenang, senyumnya justru semakin menggoda emosi pria itu.“Ya, jika aku menjawab seperti itu, kau akan melakukan apa, Tuan?”Kesabaran Leon kini patah. Ia berdiri dan menyambar cincin di meja, lalu rahangnya mengeras saat memcengkram tengkuh Shenina dan menarik wajah gadis itu ke arahnya.Tanpa aba-aba, bibir Leon menabrak bibir shenina dengan kasar. Ciuman itu terlalu kesar hingga Shenina bisa merasakan cairan hangat yang mengalir dari bibirnya sendiri.“Sial,” Shenina mendesis dalam hati. Meski begitu, matanya tetap menyala.“Kau tidak boleh mempermainkan aku, Shenina.” bisik Leon penuh ancaman. Nafasnya yang panas menghantam kulit gadis itu. “Kau tidak tahu berapa bany
Panggilan di ponsel Leon masuk tepat ketika ia merapikan manset jasnya di depan cermin hotel.Nama Eren muncul di layar.Leon menatapnya sesaat sebelum menggeser layar dan menjawab singkat, “Ya.”Di seberang sana, suara Eren terdengar ringan dan santai. “Kau di Berlin?”Leon mengambil jam tangannya, memasangnya dengan presisi. “Sejak kemarin.”Eren tertawa kecil. “Aku sudah menduganya.”Leon berhenti sejenak. “Kau terlalu banyak tahu.”“Sulit tidak tahu,” jawab Eren tenang. “Saham keluarga Louise semakin anjlok pagi ini. Kudengar di kantor sedang mengalami kekacauan kecil karenamu —” ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “—tuan Louise sungguh kehilangan pengaruhnya.”Leon tidak menanggapi pujian itu. Ia hanya berkata datar, “Itu memang yang terjadi.”“Tanpa bantuanku,” Eren menambahkan, kali ini nadanya mengandung kekaguman yang jujur. “Kau benar-benar menaklukkan mereka sendirian.”Leon mengaitkan jasnya, lalu melangkah ke arah jendela. Pemandangan Berlin malam terhampar di hadapan
“Shenina, mari kita menikah—”“Eren, besok aku akan menikah dengan seseorang—”Eren tersentak.Dadanya seolah diremas kuat ketika kalimat itu menghantamnya tanpa ampun. Napasnya tercekat, pandangannya bergetar.Di balik bahu Shenina, ada sosok seorang pria tinggi berdiri tegap. Bayangannya mengintimidasi. Eren berusaha memfokuskan pandangan, memaksa matanya mengenali wajah pria itu—siapa dia sebenarnya?Namun sebelum wajah itu benar-benar terlihat—Eren tiba-tiba membuka matanya, terbangun.Ia terduduk dengan napas memburu, dadanya naik turun tak beraturan seolah baru saja berlari. Kemeja yang dipakai sudah lembap oleh keringat, rambutnya sedikit basah di pelipis. Tangan Eren refleks mencubit pipinya, memastikan rasa sakit yang diterima.“Hanya mimpi,” gumamnya pelan.Eren mengusap wajah, menarik napas panjang berulang kali, mencoba menenangkan diri. Mimpi itu terasa terlalu nyata. Seolah alam bawah sadarnya sendiri sedang mempermainkannya.Pandangan Eren jatuh pada jam tangan di perg
“Eren!”Suara itu menghantamnya lebih dulu sebelum tubuh ramping itu menabraknya pelan.Eren refleks mematung. Tangannya terangkat ragu lalu berhenti di udara. Ia belum siap, tapi juga tidak ingin melepaskan. Pelukan ini terasa familiar, seperti sesuatu yang pernah ia rindukan diam-diam, sejak salam perpisahan yang seharusnya sederhana, tapi justru tertinggal lama di kepalanya.Shenina mendongak. Wajahnya memerah, matanya melebar seolah baru menyadari apa yang ia lakukan.“Oh—maaf, Eren. Aku kelepasan,” katanya cepat sambil mencoba mundur.Namun Eren justru menahan tubuh itu pelan, tidak erat dan memaksa. Hanya cukup untuk mengatakan bahwa ia tidak keberatan. Ia membalas pelukan itu pelan, hampir hati-hati.“Tidak apa-apa, Shenina,” ucapnya lembut.Ia sungguh tidak menyangka akan bertemu Shenina lagi. Di Berlin. Kota yang terasa asing, tapi tiba-tiba menjadi hangat hanya karena kehadiran gadis itu.“Bagaimana bisa kau ada di sini?” tanya Eren sambil menoleh ke sekitar, refleks mencari
Leon tiba tepat waktu.Gedung keluarga Louise berdiri angkuh dengan arsitektur klasik yang sengaja dipertahankan untuk menegaskan satu hal: kekuasaan mereka sudah ada bahkan sebelum Leon Karlsson belajar berjalan.Namun langkah Leon tetap tenang saat ia melewati lorong marmer itu. Jasnya rapi, wajahnya datar seperti biasa, sikapnya… terlalu sopan untuk seorang pria yang baru saja menghancurkan pertunangan.Pintu ruang kerja itu terbuka.Tuan Louise sudah duduk di balik meja besar dari kayu ek tua, punggungnya tegak, tongkat kesayangannya bersandar di sisi kursi. Tatapannya tajam, penuh perhitungan—tatapan seorang pria yang terbiasa melihat orang lain runtuh di hadapannya.Leon membungkuk sopan. Ia begitu formal tanpa emosi.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Tuan Louise.”Keheningan menggantung beberapa detik sebelum pria tua itu tertawa pendek dan penuh kekecewaan.“Aku sudah tahu untuk apa kau datang,” katanya akhirnya. “Dan sejujurnya, Leon… aku sangat kecewa.”Leon duduk dengan







