Wandi berteriak kencang membuat Adrian yang sedang berada di dalam kamar mandi sontak membuka pintu. Untung sudah selesai buang hajatnya, bisa berbahaya jika harus itahan. Dia melihat ke arah Wandi yang berdiri sambil berkacak pinggang menatap ke arah meja makan. Dia heran dengan sikap temannya. Apa yang sebenarnya sudah dilihat oleh sahabatnya. Tidak ada makhluk tak kasat mata seperti yang diceritakan oleh temannya itu di atas meja. Kosong, namun ia melihat dari sorot mata kawannya tetap mengarah tajam ke arah yang berbeda. Berjalan dengan pelan Adrian maju dan berdiri di samping Wandi. Menyenggol bahu yang lebih kecil dari dirinya, hingga membuat sang pemilik terkejut.“Itu ... itu yang gue ceritakan tadi,” ucap Wandi menengkeram tangan Adrian.“Itu? Itu apa? Mana ....? Gue kagak liat apa-apa. Please deh, lu jangan berhalusinasi kaya gini. Tidak ada hantu di rumah gue,” bentak Adrian dengan keras.“Ya ampun ... ternyata benar, cuma gue yang bisa liat. Apes bener nasib gue,” ucap
Satu persatu baju kotor masuk ke mesin cuci. Waktu sudah lewat tengah malam, pukul 02.00. Jamilah sudah kembali ke kamarnya, sementara Adrian ditemani dengan Wandi masih mengerjakan tugasnya yang lalai tadi pagi. Hingga saat akan memasukkan celana pendek yang dipakai Adrian tadi pagi, Wandi melihat hal yang aneh. Celana berwarna krem itu ada warna merah di bagian sisinya. Wandi meraih celana pendek yang dipegang Adrian sebelum masuk ke mesin cuci.“Bentar Yan! Memang celana kamu kayak gitu? Kog cuma sebelah yang beda?”“Apanya? Oh ... iya, waduh, bisa kena marah Emak nih,” ucap Adrian kelihatan panik.“Masa kena kotoran sampe begitu? Coba periksa dulu deh!”Adrian menurunkan celana pendek yang sudah hampir masuk ke bibir mesin cuci. Melihat ada yang aneh dengan warna celananya. Tangannya kemudian masuk ke dalam kantong saku celana dan mengambil sesuatu dari dalam kantong. Matanya melotot, demikian juga dengan Wandi. Sebuah kain yang ada noda darah itu hingga membekas ke celana Adrian.
Pagi hari kedua orang tua Adrian terbangun, heran melihat kamar anaknya masih tertutup. Harusnya dia pergi ke sekolah pagi ini. Ayah Adrian yang bernama Jumari itu menggedor pintu kamar anaknya dengan sangat keras. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB, dan kedua anak itu belum juga bangun. Jamilah akhirnya tidak tahan, akhirnya menyuruh Jumari suaminya mendobrak pintu kamar.Mendorongnya dengan keras hingga pintu terbuka. Nampak dua anak masih terlentang seperti mayat dengan muka pucat. Sontak kedua orang tua Adrian gugup dan tergopoh menghampiri kedua anak itu. Setelah memastikan tubuh mereka masih hangat, Jumari lantas menelpon tetangga minta bantuan untuk memanggilkan bidan. Hanya bidan, petugas medis yang terdekat di desa itu. Rasa khawatir menyelimuti hati kedua orang tua yang masih muda itu. Anak mereka satu-satunya tertimpa masalah. Sedikit saja tidak pernah sampai melakukan hal yang buruk pada anaknya.“Ini gimana bisa jadi seperti ini Dik? Tadi malam gue denger suara beris
Suara serak terdengar di telingan Jumari. Terkejut itu yang dia rasakan. Karena merasa menjadi seorang bapak, dia menepis rasa takutnya. Dia merasa harus melindungi keluarganya.“Ma-malam,” jawab Jumari gugup. Melihat ke arah kakek yang berdiri sempurna di hadapanya dengan sorot mata tajam. Jumari mempersilahkan kakek yang tidak mau memberitahukan namanya itu masuk ke dalam rumah. Entah apa yang ada di pikiran Jumari saat ini, tidak merasa curiga sedikitpun kepada kakek meski hawa dingin menyelinap saat ini. Berbeda dengan Badrun, dai heran dengan berubahnya sikap ayah Adrian.“Ini siapa? Kog belum pernah kenal. Kakek rumahnya mana?” cecar Badrun mengamati kakek mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki.Kakek tidak mengindahkan pertanyaan dari Badrun, dia langsung dibawa Jumari masuk ke dalam kamar Adrian. Sempat bersitegang dengan ayah Wandi yang berusaha mencegah agar tidak masuk ke kamar. Namun apa daya, dia bukan tuan rumah. Apalagi Jamilah istrinya juga mengijinkan. Mereka bersa
Seperti orang yang tengah di landa asmara, keduanya mendekat dan bersentuhan. Mata mereka saling menatap penuh dengan kerinduan seperti berbulan-bulan tidak bertemu. Aneh sekali sikap Adrian, bukan seperti yang dikenal oleh Wandi sebelum kenal dengan Hesta. Pikiran hanya tertuju pada gadis cantik penghuni pohon beringin. Tidak memerdulikan jika mereka saat ini dalam kondisi bahaya dan tentangan dari dunia mereka.“Hesta, ini lu? Ya ampun, apa kabar? Gue cariin elu dari kemaren.” Adrian tergesa memeluk Hesta yang sudah berdiri di depannya. Pelukkan erat seperti lama tidak bertemu.“Iya, ini gue. Gue kangen ama lu. Kakek sih, larang gue ketemu. Yuk, main ke taman sebentar!” Ajak Hesta sambil menarik tangan Adrian dibawa ke belakang pohon beringin.Pohon Beringin mulai terlihat bergerak ranting-rantingnya. Daun-daun bergoyang beberapa lembar terjatuh ke tanah. Wandi yang masih duduk di atas sepeda motor, mulai ketakutan. Dia berteriak memanggil nama kawannya. Akan tetapi suaranya seperti
Dua orang beda jenis dan juga beda alam. Percaya atau tidak, Adrian tidak mempunyai mempunyai sifat indigo sama sekali. Tetapi memang selama ini perangainya sering marah dan emosi yang tidak terkendali. Orang bilang, aura yang seperti inilah yang di sukai para makhluk halus. Aura merah yang menurut orang mempunyai kepercayaan yang tinggi dan mudah marah. Daerah Tawangmangu yang kon penuh dengan cerita misteri. Dari pohon beringin sampai dengan manusia beristri makhluk halus.Hesta dan Adrian sudah hilang akal sehat. Mereka memadu kasih tanpa seorangpun tahu. Hasrat Adrian yang masih dibawah umur sedang bergejolak. Sedangkan Hesta, mempunyai maksud tersembunyi dibalik semuanya. Gadis cantik yang menggemaskan di mata Adrian yang masih polos belum mengenal wanita. Kini dia sudah tenoda dengan tubuh seksinya.Mereka sudah benar-benar lupa dengan jati dirinya. Belum lagi hujan gerimis menambah dingin suasana hutan. Gelora hasrat yang panas membakar, menghangatkan masing-masing insan yang
Adrian dan Wandi pulang dengan pikiran masih tertinggal di tempat itu. Kepingan memori hari ini cukup membuat Adrian dan Wandi diam membisu sepanjang jalan. Pakaian yang tadinya basah, sudah mengering tertiup angin sepanjang perjalanan. Perjalanan yang memakan waktu satu jam cukup membuat mereka kelelahan, ditambah lagi belum makan siang.Hari sudah beranjak petang saat mereka tiba di rumah Wandi. Adrian mengantarkan Wandi, yang jarak rumahnya hanya beberapa ratus meter saja. Selalu sendiri saat mereka tiba di rumah masing-masing. Rutinitas yang dianggap membosankan, tanpa teman saat tiba di rumah.“Males kalo sepi kayak gini. Kenapa tadi nggak ngajak Wandi tidur sini aja ya? Pasti emak sama bapak pulang malam lagi nih. Toko lagi ramenya,” gumam Adrian sambil nonton televisi di ruang tengah.Sesaat hening, terdengar suara ketukan pintu. Tok ... tok ... tok ....“Siapa malam-malam gini bertamu. Jangan bilang Hesta ngikutin gue sampai kemari. Bisa berabe kalo Emak sama Bapak tahu nih,
Mereka bertiga bingung mendengar pernyataan Tina lewat telpon. Bagaimana juga ini sesuatu hal yang sangat aneh. Baru saja bertamu ke rumah, tiba-tiba menghilang dan sekarang menerima kenyataan berbeda.“Ini bagaimana Bang? Jangan sampai peristiwa kemarin terulang lagi pada anak kita.” Ucap Jamilah lirih supaya Adrian tidak mendengar.“Abang juga gak tahu nih. Bener kagak yang dibilang bocah itu.”Lirih Jumari sambil melirik ke arah anaknya yang masih bengong duduk di kursi. Suasana mendadak hening, tidak ada yang bicara. Hingga Adrian berdiri dan masuk ke adalm kamarnya untuk tidur. Demikian juga dengan kedua orang tuanya. Dari balik pintu dapur, terlihat sosok bayangan kucing hitang yang menyorot ke arah mereka. Perlahan kucing itu menghilang seiring dengan tertutupnya pintu kamar pemilik rumah.Keesokan harinya, Adrian terbangun dari tidur. Merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tangannya. Wandi sudah berdiri dengan berkacak pinggang di depan ranjang kebesarannya. Aneh, tidak biasan