Share

Budak penjajah

Author: Q
last update Last Updated: 2021-12-09 21:59:26

Langkah kaki Jiwana terus menyusuri jalan setapak menuju hutan. Ia hampir mencapai pagar perbatasan antara desa dan hutan bagian dalam, akan tetapi suara nyaring dari arah belakang segera membuatnya berbalik.

"Tuan tunggu dulu!" Orang itu segera berlari menuju ke arahnya. "Ada hal yang lupa Tuan kami sampaikan kepada pelungguh. Tuan kami akan mengadakan pertemuan di Balai Desa terkait dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tuan kami mengharapkan agar tuan juga ikut dalam musyawarah tersebut."

"Oh tentu saja saya pasti akan ikut." Sambil tersenyum ramah.

Mendengar kepastian dari Jiwana orang itu pun tersenyum sumringah. "Terima kasih Tuan. Kami akan menunggu tuan pada besok malam di Balai Desa."

Orang itu pun mengucap pamit dengan wajah senang. Ia sebenarnya telah menyiapkan banyak kata bujukan untuk membuat Jiwana ikut ke Balai Desa. Akan tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa Jiwana orang yang baik hati, sehingga tidak sulit untuk membuatnya datang.

Setelah melihat orang itu menghilang, Jiwana pun segera pergi dari tempat itu. Wajahnya yang terlihat bersinar langsung berubah menjadi masam. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa laki-laki tua itu menyuruhnya untuk datang dan ikut bermusyawarah. Dimana akan ada banyak masyarakat desa yang akan datang. Ia jengkel karena telah memberi banyak uang namun ternyata ia harus bekerja sendiri. Kalau ia tau hal semacam ini terjadi, maka ia tidak akan memberikan uang sepeserpun.

Orang itu sangat rakus dan licik, beberapa puluh koin emas telah ditelannya. Namun ia tak ingin menyelesaikan pekerjaan apapun dan menimpakan tanggung jawab padanya. Ini membuatnya harus berfikir lebih banyak untuk menentukan strategi dalam membujuk masyarakat Desa, agar mereka mau menerima tawaran yang akan ia ajukan besok malam.

Rasa ragu timbul di hati Jiwana. Bagaimana bisa seorang pemimpin meminta bantuan pada orang lain untuk meyakinkan rakyatnya sendiri. Apakah masyarakat sudah hilang kepercayaan padanya? Benar-benar tidak berguna. Orang itu mencoba menjadikan nya kambing hitam untuk dijadikan korban jikalau terjadi sesuatu pada rencananya. Tidak heran bangsa ini hancur, melihat pemimpin mereka saja membuat Jiwana merasa jijik.

Pikirannya yang entah kemana seolah masih menghantui ketika malam menjelang. Semilir angin yang dingin menusuk tulang menjadi temannya malam ini. Ia terus menghisap rokok dari tembakau dengan lapisan kulit jagung untuk menemani malamnya. Kepulan asap disertai aroma kopi seolah mengobati sedikit keresahan di dalam hatinya.

Ilmu batin yang Jiwana pelajari hampir seumur hidup seolah menjadi mantel hangat untuknya. Hanya berbekal kain tipis seadanya dan pondok sederhana mampu membuat dinginnya hutan semakin berkurang.

Pondok kecil dengan dinding pohon bambu serta atap dari daun kelapa kering yang telah dirangkai. Ia sengaja membangun tempat ini agar ia tak kesusahan untuk bolak-balik kota hanya untuk sekedar beristirahat. Ia hanya akan ke Kota jika terjadi sesuatu yang penting dan mengancam jiwa saja.

Tekanan demi tekanan terus datang bukan hanya dari pikirannya semata. Tetapi dari mahluk-mahluk yang ada disekitarnya. Hutan ini merupakan hutan keramat tentu banyak penghuninya. Namun kerutan di wajah Jiwana semakin dalam dan mengherankan. Bagaimana bisa mereka dengan jumlah sebanyak ini tapi tak satupun yang datang untuk mendekatinya.

Malam semakin larut namun belum menghilangkan kegelisahan yang ada didalam hatinya. Sebagai seorang pendekar ia tentu terbiasa dengan embun malam di dalam hutan belantara. Akan tetapi ia merasakan hal yang berbeda ditempat ini, seperti ada tekanan aura yang membuat mahluk lain enggan untuk mendekat.

"Tidak ingin berbagi rokok?"

Bulu kuduk Jiwana langsung berdiri. Perasaan ini terasa sangat mengintimidasi. Dengan gugup dan takut ia menjawab, "saya hanya membawa bekal yang cukup untuk melewati malam. Saya tak akan berani memberi tuan yang agung barang yang sedikit." Ucapnya halus.

Jiwana adalah seorang kesatria yang berprinsip dan memiliki pendirian yang kuat. Pantang baginya untuk memberi sesuatu pada mahluk tak kasat mata.

Mendengar jawaban Jiwana, mahluk itupun tertawa keras. Tawanya yang nyaring membuat keringat dingin terus mengucur di dahinya.

"Aku bukan orang yang rakus akan harta. Mengambil sesuatu yang bukan milikku adalah pantang. Kami terlalu tinggi untuk disamakan dengan keserakahan manusia."

Mahluk itu begitu sombong dan berlidah tajam. Jiwana menganggap itu adalah hal yang wajar, mengingat mahluk ini berbeda dengan mahluk umumnya. Kasta atau tingkatan ilmunya pun pastilah tinggi hingga ia berani menganggap rendah manusia.

"Kamu memanggil saya yang Agung dan menjilat saya dengan sanjungan. Apakah kamu mencari tuan yang baru?"

Mendengar pertanyaan dari mahluk itupun Jiwana langsung terbelalak dan buru-buru membantah.

"Tidak tentu saja tidak. Saya hanya memiliki satu tuan yaitu tuan Pieter."

"Kalau begitu menikah saja, seperti halnya yang dilakukan Tuanmu. Bukankah kalian para orang rakus menganggap pernikahan adalah perbudakan yang memiliki banyak keuntungan. Cara para kulit putih memperbudak wanita sama kejinya dengan bintang. Mereka hanya perlu bersumpah pada Tuhan, yang mereka sendiri tak pernah percaya bahwa Tuhan ada. Lalu mengikat pasangan mereka dengan rantai setelahnya. Kamu berkulit gelap namun jiwamu macam kulit putih. Bahkan mahluk seperti diriku pun tidak akan Sudi disamakan dengan orang tamak seperti kalian."

Jiwana terus menunduk dan tak berani untuk membela diri. Pernikahan memang digunakan sebagai alat politik yang paling ampuh untuk memenangkan sebuah kesepakatan. Ia salah dan sangat tau bahwa ia memang salah. Hal itulah yang membuatnya tetap diam tak berani untuk mengelak.

"Memiliki rasa bersalah juga merupakan sebuah anugerah dari Tuhan. Setidaknya Dia mengingatkan kamu, bahwa kamu masih memiliki hati dan masih seorang manusia."

Nasihat dari seorang leluhur tentu adalah sebuah anugerah. Banyak orang yang salah kaprah mengenai tempat-tempat keramat, dimana mereka kadang datang meminta bantuan berupa pesugihan. Akan tetapi manusia sebenarnya bisa juga datang ketempat seperti ini untuk menenangkan diri serta mendapatkan solusi pada setiap masalah hidup yang ada. Untuk orang yang memiliki kelebihan seperti dirinya tentu mendapat wejangan langsung dari leluhur adalah sesuatu yang patut disyukuri.

Kesalahan yang dilakukan Jiwana adalah sebuah cerminan diri betapa sulitnya hidup dengan ambisi. Ia mengetahui bahwa ia salah, akan tetapi harga dirinya seolah menolak untuk menerima sebuah kebenaran.

'biarkan jiwa ini kotor karena aku telah mengotorinya sejak lama'.

Seolah menyerah untuk memberi nasihat mahluk itupun pergi. Tekanan yang ia rasakan seolah terangkat dengan sendirinya. Rasa bersalah terus terkikis sedikit demi sedikit.

'jika aku dianggap putih maka jadilah putih. Menjadi kejam bukan hanya milik mereka saja, biarkan aku serakah pada tanah airku. Akan aku buat perut ini membuncit karena memakan kekayaan yang ada didalamnya'.

Suara ayam jago dari kejauhan seolah menyadarkan pikirannya bahwa pagi sudah menjelang. Mata yang awalnya layu langsung segar menyambut sinar matahari terbit.

Pagi menjelang membawa sinar dibalik pohon-pohon rindang. Cahayanya seolah menyelinap dari dedaunan yang berlapiskan embun. Hatinya terobati sedikit demi sedikit.

Sosok dua penjaga memasuki penglihatannya. Mereka sama seperti dirinya, akan tetapi memiliki kedudukan yang lebih rendah.

"Tuan Pieter ada di Desa sebrang dan memerintahkan tuan untuk datang berkunjung sekarang!" Ucapnya tegas.

Tanpa mengucapkan salam mereka langsung beranjak pergi dan Jiwana pun mengikutinya. Rasa khawatir kembali masuk kedalam hatinya. Dilihat dari sikap para penjaga tentu dapat ia simpulan bahwa tuannya dalam keadaan yang tidak bahagia.

Disepanjang perjalanan ia disuguhkan dengan pemandangan desa yang menakjubkan. Ia sedikit tertawa pada dirinya sendiri. Manusia seperti dirinya memang tak pernah puas. Ia diberikan cahaya matahari yang cukup, pohon yang rindang serta air yang mengalir deras. Namun masih belum cukup untuk memuaskan dahaganya.

Uang hitam akan masuk kedalam tubuh dan mengeringkan suara, tidak punya daya untuk berbicara keadilan. Mereka akan menggerogoti isi perut dan membuat terus bernafsu untuk makan tanpa henti. Sampai kita lupa akal dan lupa diri bahwa dulunya dia adalah seorang manusia.

Jewana sadar bahwa dirinya adalah orang yang keras kepala. Nasihat tak akan mampu mengubah gaya hidupnya. Berbohong dan bersandiwara seolah menjadi darah dan dagingnya. Jika ia ditakdirkan mati kelak, ia mungkin tidak sanggup untuk membela dirinya sendiri barang satu katapun pada Tuhan. Ia orang jahat yang memang pantas mendapatkan hukuman.

Sesampainya mereka pada salah satu rumah saudagar kaya di Desa seberang. Ia pun segera masuk dengan dikawal oleh dua orang sebelumnya. Melihat tuannya yang sedang duduk dengan berwibawa, Jiwana pun segera duduk membungkuk untuk memberi hormat.

"Bagaimana perkembangan pembangunan?"

"Saya akan bermusyawarah dengan masyarakat Desa nanti malam untuk mencapai kesepakatan," ucapnya lembut.

Pieter mengerutkan alis lebih dalam dan tajam. Ia dengan kesal menjawab, "Untuk apa musyawarah? Kalian para budak harus menurut pada Netherland tak perlu bernegosiasi. Tanah ini adalah milik kami yang telah diserahkan oleh nenek moyang kalian sejak lama. Bila tak menurut bunuh saja," ucapnya tak sabar.

Sebagai seorang Bangsawan, Pieter tidak memiliki kewajiban untuk bertukar pendapat dengan seorang budak. Ia telah dilahirkan dengan ambisi dan kesombongan. Pantang bagi seseorang yang mulia untuk menunduk pada yang lemah.

Dunia ini adalah tempat yang kejam dimana yang kuat akan berkuasa. Bangsa ini terlalu naif dan bodoh, menganggap semua orang bisa dianggap kawan. Tidak ada kawan yang tak menguntungkan, jika bangsa ini tak mampu memberi maka kami akan mengambil dengan paksa. Tidak ada negosiasi untuk sebuah kekayaan.

Pieter segera bangkit dari kursinya, lalu pergi menaiki mobil antik milik ayahnya. Rasa bangga dan arogan mengiringi kepergian nya. Ayahnya pasti akan bangga padanya karena memiliki seorang Pieter yang hebat.

Kepala Jewana terus menunduk hingga mobil itu tak terdengar lagi. Namun suara tawa berhasil meraih perhatiannya. Orang itu terlihat bahagia saat melihat Jiwana menderita penghinaan.

"Aku heran kenapa kamu menjadi pengikut bangsa kulit putih. Kamu terlalu lembut pada orang lain, sebagai seorang budak penjajah kita tidak boleh memiliki hati nurani. Libas saja semua yang menghalangi jalan."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gundik Bangsawan Belanda   Kematian Jiwana

    Di lain pihak, Jiwana telah mendengar tentang invasi Nippon ke pulau ini yang berniat menggantikan kekuasaan Netherland. Hal tersebut membuat Jiwana tidak setuju, bukan hanya karena ia bekerja bersama para bangsawan Netherland, tapi juga karena Jiwana merasa bahwa bangsawan Netherland tidak terlalu kejam selama di pulau ini, mereka hanya sangat sombong dan pelit.Netherland memang memiliki riwayat buruk dengan para pribumi, akan tetapi itu hanya berlaku di pulau seberang. Di pulau ini, Jiwana lah yang mengaturnya. Ia menjilat para bangsawan Netherland untuk mendapatkan upah yang lebih baik. Ia juga membujuk para pribumi untuk mau bekerja tanpa sebuah paksaan. Sehingga keduanya tidak memiliki konflik yang berarti.Akan tetapi Nippon datang dan Jiwana tidak tau seperti apa strategi politik yang akan dilakukan Nippon di masa depan. Jiwana takut Nippon akan lebih sulit dibujuk dan akan menyengsarakan pribumi dan lebih kejam dari Netherland. Hal tersebut membuat Jiwana membentuk kelompok k

  • Gundik Bangsawan Belanda   Kematian Pieter

    Saat peperangan meledak, hujan di Ziel tak henti-hentinya turun. Alam sepertinya mendukung para pribumi dengan menurunkan hujan deras agar mereka bisa memiliki lebih banyak waktu untuk lari, sedangkan tentara Nippon kesulitan karena cuaca dan Medan yang belum mereka kuasai.Disaat hujan terus mengguyur Ziel dan tentara Nippon memaksakan diri untuk masuk, Pieter bersembunyi di balik pohon sambil membawa pedang telah ia asah selama beberapa hari. Matanya telah terbiasa oleh hujan dan kabut, jadi Pieter mampu melihat dengan jelas gerakan lawan dibalik pohon itu.'hmm mereka terlihat familiar'Tentara Nippon memiliki perawakan yang hampir sama dengan pribumi, hanya saja kulitnya putih dan matanya agak sipit. Hampir mirip dengan keturunan Tionghoa yang biasa Pieter lihat. Mereka memiliki suara yang keras dan perawakan yang kaku, jadi wajar saja jika Pieter merasa wajah mereka terlihat familiar.Pieter bergerak dengan sangat hati-hati, ia tidak ingin meremehkan musuh. Walaupun tubuh Pieter

  • Gundik Bangsawan Belanda   Perjuangan baru

    Beberapa tahun setelah kematian Sina, perang terjadi di pulau Mirah Adhi dan diprediksi Netherland akan segera kalah. Pasukan Nippon telah mulai melakukan aksi untuk menguasai, sehingga Pieter pun harus bersiap mengevakusi anggota keluarga agar bisa pergi ke tempat yang lebih aman. Pieter bahkan memecat semua pelayanannya agar mereka bisa pergi mengungsi dengan cepat. Pieter tidak ingin orang-orang dibunuh ataupun dibantai karena mereka bekerja pada Netherland. Karena bagaimanapun para pelayannya bukanlah penghianat negara melain orang biasa yang mengais rezeki dengan bekerja padanya. Walaupun begitu ada beberapa pelayan masih enggan untuk pergi karena merasa sayang pada Pieter."Tuan, kami masih ingin tetap bersamamu. Kami rela mati bersamamu jadi kami tidak akan pergi kemanapun. Atau kalau Tuan mau, ikutlah bersama kami ke kampung. Disana kami akan menyembunyikan Tuan agar aman dan tak akan tertangkap oleh tentara Nippon."Mereka bekerja bersama Pieter, akan tetapi mereka mendedika

  • Gundik Bangsawan Belanda   Dia mencintaiku

    Pieter menatap ke arah gundukan tanah yang tertulis nama Lana di atasnya. Pieter ingat ketika ia membuka mata untuk pertama kalinya tubuh Sina telah mendingin di dalam pelukannya. Tubuh yang cantik itu telah kehilangan jiwanya dan Pieter akhirnya ditinggalkan untuk yang kedua kalinya.Selama dua kehidupan ia harus ditinggalkan oleh kekasihnya. Akan tetapi walaupun rasa sedih menguasai hatinya, ia selalu ingat bahwa kematian Sina saat ini adalah untuk kebaikannya sendiri. Sina tak lagi merasakan kesakitan dan penderitaan seperti yang ia rasakan ratusan tahun yang lalu. Dia telah terbebas dan Pieter bahagia karenanya."Kamu bebas sekarang." ucap Pieter lirih.Saat pemakaman berlangsung, banyak orang yang datang untuk melayat. Mereka berdoa dengan penuh hikmat dan terkadang datang untuk bersalaman dengan Pieter sambil mengucapkan banyak kalimat menghibur. "Dia sekarang berada di lindungan Tuhan, jadi kamu jangan bersedih terlalu berlarut-larut.""Ya, Lana adalah gadis yang baik dan taat

  • Gundik Bangsawan Belanda   Kebebasan

    Saka meninggal di hutan keramat saat berusia ia telah 97 tahun. Ia sangat tua dan tak pernah pergi dari tempat itu satu kali pun. Ia telah meninggalkan semua kemewahan dan kejayaan serta masa mudanya. Ia memilih untuk tinggal bersama Sina di hutan keramat. Ia ingin jiwa Sina tak merasa kesepian, setidaknya sampai ia meninggalkan dunia ini. Saka juga tak pernah berkomunikasi dengan orang lain sehingga ia tak pernah tau apa yang terjadi di luar hutan. Baginya tugas sebagai seorang Raja telah ia penuhi, ia telah berusaha untuk membuat rakyat sejahtera dan keluarga yang ia tinggalkan dapat dipastikan akan aman setelah ia pergi meninggalkan mereka.Jika orang lain melihat keseharian Saka di tempat itu maka mereka mungkin akan menyimpulkan bahwa Saka telah menjadi orang 'gila'. Saka akan berbicara pada sendiri dan setelah itu menangis, setelah itu tertawa keras. Hanya itu yang ia lakukan setiap hari.Saka telah tinggal di hutan keramat selama puluhan tahun, dan ia telah bertapa serta mening

  • Gundik Bangsawan Belanda   Buah pahit kemenangan

    Setelah kemenangan, semua orang di Mirah Adhi merasakan 'duka' yang dirasakan oleh Raja. Harga ternak telah turun drastis mengingat dilarangnya konsumsi daging selama setahun, hal tersebut membuat para peternak dan pemburu hewan tak memiliki mata pencaharian dan terpaksa beralih profesi. Para petani pun bersedih karena bahan pangan juga tak terlalu laku mengingat adanya pengadaan puasa selama 40 hari. Apalagi para bangsawan, mereka sekarang terlihat seperti rakyat biasa karena tak ada lagi pakaian mewah dan perhiasan yang bisa mereka gunakan selama lima tahun ke depan.Sekarang hutan keramat menjadi momok paling menakutkan bagi masyarakat. Mereka tidak berani ke sana karena takut akan dieksekusi mati oleh Raja. Apalagi saat melihat secara langsung bagaimana raja memberi hukuman pada orang-orang yang membuat Sina menderita. Pada hari itu semua orang tak berani keluar rumah karena mendengar suara jeritan orang-orang yang dibakar dengan kejam. Bahkan setelah kejadian itu, para orang tua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status