Langkah Jiwana semakin ringan mengingat ia sudah memiliki kandidat yang tepat untuk tuannya. Senyum sumringah dan berwibawa tetap terpatri di wajahnya. Sebagai kesatria ia harus mempertahankan citra mulia untuk membuat orang semakin segan padanya.
Di jaman Kolonial ini kita harus memiliki sedikit keserakahan untuk mendapatkan kesejahteraan. Menjadi naif dan terlalu berempati pada orang lain dianggap sebagai kehancuran dini.
Mereka yang berjuang demi tanah air harus terkubur diusia muda, dengan banyak penyesalan dan air mata. Mereka bodoh dan terlalu percaya diri dan Jiwana bukan orang yang sama seperti mereka. Ia adalah orang yang hidup untuk dirinya sendiri.
Hidup bergelimang harta dan akan menikahi gadis cantik adalah impian semua pria. Mengumpulkan sedikit pundi-pundi uang dari hasil menjilat para kaum kulit putih. Terdengar menjijikkan namun menjanjikan. Mereka yang terlalu setia pada tanah air tak akan berakhir dengan baik.
Sambil berjalan pelan, ia melihat ibu-ibu yang sedang bercengkrama sambil melakukan kegiatan rumah tangga. Kegiatan semacam itu terjadi hampir setiap hari, tentu saja guna meningkatkan keakraban dalam bertetangga. Membicarakan hal-hal yang tidak penting hanya untuk sekedar bertegur sapa.
"Permisi Bu, saya ingin bertanya dimana rumah milik Tuan pemusungan (pemimpin Desa)?" Ucapnya sopan.
Jiwana berbicara dengan sopan dan tersenyum ramah, sambil menunduk serendah mungkin agar sejajar dengan orang yang ia ajak bicara. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan kesopanan dan rendah hati kepada orang yang lebih tua.
Melihat tingkah sopan pemuda di depan mereka, mereka pun langsung tersenyum tak kalah ramah. Menarik hati orang-orang tidak cukup hanya dengan ketampanan, namun tutur kata dan sopan santun perlu untuk diperhatikan. Di zaman seperti ini, salah cara bertingkah akan membuat hati orang lain terluka. Jika hati sudah terluka maka banyak cara akan mereka lakukan untuk membalas. Salah satunya dengan ilmu hitam dan itu tidak baik untuk orang yang memiliki kelebihan seperti dirinya.
"Nggih, Rumah Tuan Pemusungan dekat jalan seberang. Rumahnya besar dan cantik, dengan pagar tanaman jarak. Ada pohon beringin besar di tepi rumah. Itulah rumah milik Tuan Pemusungan."
Berkomunikasi dengan orang lokal memang yang terbaik. Mereka sangat ramah dan bersahabat, hanya cukup bertanya dengan sopan dan memerhatikan tata Krama dalam berbicara. Mereka akan dengan senang hati menjawab pertanyaan yang diajukan. Hal ini adalah pelajaran dasar yang harus diketahui setiap orang, jika ingin memiliki citra yang baik di mata orang lain.
Menjadi kesatria tidak hanya tentang menjadi kuat dan petarung tangguh, namun juga berwibawa dan berbudi luhur. Banyak lawan yang akan segan dan menghormatimu sebelum mereka mengangkat senjata padamu.
Perjalanan yang ditempuh Jewana tidak lah jauh, hanya beberapa ratus meter dari tempat ia bertanya tadi. Sebagai orang baru yang berjalan ditengah Desa, tentu saja banyak yang akan memperhatikan. Mereka bertanya-tanya siapakah pemuda yang lewat tadi. Hal itu tentu dianggap wajar, mengingat jarangnya pendatang baru yang lewat di sana.
Melihat rumah besar milik Tuan Pemusungan yang terbilang megah memang sedikit mencolok. Penjaga berbadan besar menjadi pemandangan lumrah di tempat ini. Sepertinya Tuan ini memang sengaja mempekerjakan banyak petarung.
Para penjaga seolah sadar dan paham bahwa seorang pemuda akan datang. Mereka bergegas menyambut dan memberi arah padanya untuk masuk dan menemui tuan mereka.
"Tuan ku Hardin telah menunggu dari tadi, silahkan masuk beliau sudah menyiapkan banyak jajanan sebagai teman berbicara."
Jiwana yang sedikit takjub dengan kesopanan petarung hitam itu. Wajah mereka tampak sedikit menyeramkan dan galak, namun mereka begitu sopan dan bertata Krama.
Melihat asap sedikit pengepul keluar dari balik daun pisang itu membuat Jiwana sedikit terenyuh, seperti nya mereka benar-benar menyambutnya dengan sangat baik dan penuh persiapan. Terbukti dari jajanan yang disediakan beraneka ragam dan masih hangat, menandakan bahwa itu baru saja dimasak.
Sang pemimpin Desa pun akhirnya datang. Penampilan yang agung tampak jelas di wajahnya. Bongot terikat di kepalanya menambah kesan wibawa yang ada dalam dirinya. Duduk bersila sambil meminum kopi sebelum memulai percakapan.
"Saya dengar bahwa Tuan ingin membuat rumah di dalam hutan belakang sana," ucapnya langsung.
Jiwana menunjuk pada beliau dengan tangan kanan dan jari jempol nya dengan sopan. Senyum segan dan hormat tak lupa ia sisipkan untuk menunjukkan kesopanan nya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tentu harus teratur dan terarah, sambil menyisipkan kalimat pujian untuk membuat orang itu sedikit senang.
"Hahaha, jangan berlebihan. Saya ini hanya abdi negara yang menurut pada atasan, jangan terlalu hormat dan bersikap terlalu mengagungkan."
Senyum remeh ditunjukkan oleh jiwana di dalam hatinya. Ia hanya perlu memuji sedikit dan jalannya dengan mudah terbuka dengan lebar.
"Saya ini hanya seorang Pemusungan (pemimpin) di desa ini, tidak akan sebanding dengan keagungan dari anak seorang gubernur. Apalagi kami sedang mengalami kerugian panen akibat kekeringan, bagaimana bisa saya melakukan banyak tugas sekaligus. Saya terlalu di sibukkan dengan mengurus warga saya," lanjutnya.
Mendengar itu Jewana mendengus, bagaimana bisa desa ini mengalami kekeringan. Sungai mengalir dengan deras dan pohon-pohon segar tak terlihat kekurangan air sedikit pun. Dengan enggan ia merogoh kantong sebelah kanan miliknya dan mengeluarkan sedikit emas berharga.
"Sebagai orang yang berbudi luhur, tentu tuan kami menyiapkan sedikit biaya sebagai bantuan pada rakyat. Setiap bantuan pasti ada harganya dan tentu saja kami akan membayar dengan pantas."
Mata laki-laki itu bergejolak karena tidak sanggup menutupi kesenangan nya. Uang adalah hal yang penting di jaman ini. Siapa yang tidak membutuhkannya? Bahkan orang kaya seperti pemusungan masih membutuhkannya.
Membujuk seorang tetua tak begitu sulit bagi Jewana. Hanya perlu mengucapkan kata-kata manis, sambil memberi sedikit uang sudah cukup untuk mendapatkan jalan yang akan ia tuju. Mereka yang bergelut sebagai abdi negara tampak seperti seseorang yang bermartabat, namun sebenarnya sama saja dengan dirinya. Seorang penghianat negara.
Setelah selesai membangun jalan untuk tujuan mereka ia segera kembali pada tuannya untuk melaporkan hasil dari diskusinya. Namun seseorang berhasil menyita perhatiannya.
Gadis cantik yang terlihat anggun sedang memeras kain untuk ia keringkan di depan pekarangan rumah. Wajahnya tampak seperti bunga yang baru mekar di sebuah rerumputan kering. Gadis itu adalah gadis yang ia lihat di sungai tadi.
Jika ia melihatnya dari dekat seperti ini, tampak jelas kecantikan yang dipancarkan gadis itu. Cahaya matahari seolah meningkatkan pesona agung yang terpancar olehnya. Gadis itu terus meneteskan keringat dikening karena sengatan panas matahari yang mulai meninggi.
Juwana tersenyum tipis tanpa ada yang memperhatikannya. Ia merasa bahwa keberuntungan seolah terus menghampirinya. Gadis yang ia inginkan ternyata tinggal di rumah milik pemimpin Desa. Tentu saja itu akan mempermudah dirinya untuk mendekati gadis itu kelak.
'maafkan saya gadis, kamu harus rela menjadi wanita yang akan melayani tuanku'.
Langkah kaki Jiwana terus menyusuri jalan setapak menuju hutan. Ia hampir mencapai pagar perbatasan antara desa dan hutan bagian dalam, akan tetapi suara nyaring dari arah belakang segera membuatnya berbalik."Tuan tunggu dulu!" Orang itu segera berlari menuju ke arahnya. "Ada hal yang lupa Tuan kami sampaikan kepada pelungguh. Tuan kami akan mengadakan pertemuan di Balai Desa terkait dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tuan kami mengharapkan agar tuan juga ikut dalam musyawarah tersebut.""Oh tentu saja saya pasti akan ikut." Sambil tersenyum ramah.Mendengar kepastian dari Jiwana orang itu pun tersenyum sumringah. "Terima kasih Tuan. Kami akan menunggu tuan pada besok malam di Balai Desa."Orang itu pun mengucap pamit dengan wajah senang. Ia sebenarnya telah menyiap
Malam telah berganti malam, rasa lelah terus menyelimuti hatinya. Punggung serta tubuhnya yang letih membutuhkan istirahat. Jiwana terus menghela nafas dengan pelan. Ada rasa frustasi yang tersimpan didalamnya.Setiap hari ia harus berkeliling ke setiap rumah warga di seluruh Desa. Berusaha meyakinkan mereka untuk ikut bersamanya, sambil berharap bahwa mereka akan tertarik walau hanya dengan iming-iming uang dan gotong royong.Matanya seolah terpejam sejenak, menikmati kebohongan yang ia sampaikan setiap harinya.Ada rasa malu terselip dihati Jiwana, akan tetapi jumlah uang yang ada didalam kantongnya telah berhasil menutup hatinya. Ia adalah seorang pendosa untuk kaumnya, tetapi seorang raja untuk ambisinya. Ia bahagia menjadi orang yang egois dan ia ingin seperti itu selamanya.jiwana perlahan berjalan di jalan setapak menuju hutan. Suara hewan malam terus terdengar dan menemaninya, ia terbia
Suara desiran angin yang kencang terdengar keras dibalik daun-daun yang bergesekan. Suara rapalan-rapalan mantra memenuhi gendang telinganya. Mereka tersenyum senang sambil menusuk jantung mereka sebagai bentuk pengabdian.Tangan Jiwana terus mendekat, mencoba meraih mereka dan mencegah agar pisau itu tidak merobek jantung. Namun tubuhnya seolah terpaku ditempat yang sama dan tak bisa kemana-mana.Matanya terus melotot kaku menyaksikan adegan berdarah didepannya.Ritual telah usai namun api biru itu tidak juga padam. Seolah mengatakan bahwa aku abadi. Kobaran api yang membara perlahan-lahan berubah menjadi bentuk manusia. Api itu terus menunjuk Jiwana dengan marah."Semuanya adalah salahmu!!"Suara itu terus menggema memenuhi hutan. Bahkan pohon-pohon bergoyang dengan keras menambah kengerian didalamnya.Jiwana kesal dan putus asa. Dadanya sesak dan tak bisa mengatakan apa
Suara langkah kaki terdengar sangat mengganggu. Ranting-ranting kecil yang terinjak membuat Sina sedikit kesal karena berisik. Hal itu dikarenakan sangat jarang orang yang masuk ke hutan ini tanpa permisi dan adab yang buruk.Sina segera keluar dari gubuk dan melihat sekelompok orang mendekat. Laki-laki berambut pirang yang merusak persembahan milikinya terlihat memimpin rombongan itu. Tinggi laki-laki itu benar-benar tidak manusiawi. Rambut pirang serta kulitnya yang putih menampilkan kecantikan khas orang Barat."Kemana Jiwana?" Ucapnya tidak sabar."Sepertinya Tuan Jiwana belum kembali, tadi ada seorang warga yang memberitahu saya bahwa Tuan Jiwana pergi ke pasar."Wajahnya segera memerah karena marah. "Lalu apakah aku harus menunggu?!"Mereka segera menunduk takut. Pieter bukan orang bisa mereka bujuk, hanya Jiwana yang paham sifat laki-laki itu. Namun salah seorang dari ke
Tangan kecil membelai wajah Jiwana. Tangan itu milik seorang gadis dengan wajah rupawan serta mata yang menyilaukan. Gadis itu terus menatapnya sambil tersenyum manis.Jiwana heran dan terus menatap takjub pada gadis kecil didepannya. Namun gadis itu seolah tidak peduli dan terus membelai pipinya dengan lembut."Istirahatlah, aku akan menemanimu disini." Ucapnya lembut.Seolah tidak mendengar perintah dari gadis itu, Jiwana terus menatapnya dan enggan untuk tertidur. Namun gadis itu segera memukul kepala Jiwana dengan keras, lalu memarahinya dengan mata tajam."Saka, aku menyuruhmu untuk tidur maka tidurlah. Aku tidak akan meninggalkanmu jadi kamu jangan takut!" Ucapnya keras.Entah kenapa hati Jiwana terasa nyeri saat mendengar gadis itu memarahinya. Seolah hatinya merasakan sakit yang tak terhingga dan merasa kecewa yang mendalam. Ta
"Penguasa api biru? Heh." Pieter tersenyum remeh.Ia terus menatap badai yang mulai mereda. Hal itu membuatnya jengkel karena banyak pekerjaan yang menumpuk dan harus tertunda karena cuaca buruk. Ditambah lagi kata kakek tua itu yang terus menghantuinya. Ada rasa penyesalan dihatinya, penyesalan karena tidak membunuh orang itu dengan lebih kejam."Bahkan jika Tuhan marah padaku, apa yang bisa Dia lakukan?"Pieter segera berbalik dan masuk kedalam rumah mewahnya, mencoba mengerjakan pekerjaan yang tertunda. Namun sebelum ia membuka pintu ruangannya, ada seseorang yang memanggil namanya."Tuan Pieter."Pieter segera menoleh, terdapat seorang pemuda pribumi yang menunduk didepannya. Pemuda itu memakai pakaian khas, namun masih terlihat lusuh."Ada apa?""Tuan besar ingin bertemu dengan anda di ruangan pribadi beliau."Tanpa berfikir panjang, ia segera pergi menuju ruangan sang ayah. Sebagai anak bungsu dan dari tiga bersaudara dan
Suara ketukan terdengar jelas ditelinga nya, namun rasa kantuk dan lelah telah menyelimuti tubuhnya. Walaupun hati kecilnya seolah memperingatkannya untuk bangun, akan tetapi hal itu sangat sulit ia lakukan. Lana mendengar dengan samar suara wanita di luar kamarnya."Tuan, pintunya tidak terkunci.""Benar-benar ceroboh, bagaimana bisa seorang gadis tidur tanpa menutup pintu! Bangunkan dia sebelum aku yang kesana dan membangunkannya!"Itu suara ayahnya, Lana segera membuka matanya dengan susah payah. Namun suara teriakan wanita itu berhasil mengalihkan perhatiannya.Matanya yang melotot kaget tertangkap jelas di penglihatan Lana. Satu persatu orang-orang mulai datang, namun ia belum menyadari apa yang salah hingga wajah mereka terlihat begitu kecewa.Ayahnya terlihat memerah dan berteriak keras. Entah apa yang beliau ucapnya, Lana tak bisa mendengarnya. Hal yang ia lihat adalah wajah kecewa sang ibu. Ada air mata disana dan ia ingin menghapusn
"Lana? Nama yang cukup bagus untuk ukuran gadis kampung."Pieter tersenyum melihat sebuah nama yang tertulis di kertas itu. Ia terus menatap kertas itu lalu tertawa setelahnya."Aku sudah banyak melakukan pengorbanan untuk posisiku saat ini. Aku akan membunuh siapa pun yang mencoba merebutnya dariku. Bukan begitu Jiwana?"Jiwana langsung tersenyum sumringah. "Tentu saja Tuan. Tidak ada yang bisa menggoyahkan kedudukan Tuan saat ini."Mendengar jawaban Jiwana, Pieter kembali tersenyum."Kau tau apa yang paling aku sukai dari dirimu Jiwana?""Hamba tidak tau tuan ku." Ucapnya rendah hati."Aku menyukaimu karena kamu pandai memuji. Walaupun itu sedikit memuakkan, namun itu cukup efektif untuk menenangkan pikiranku. Selain itu, aku cukup terkesan dengan loyalitasmu. Kita sudah berteman selama bertahun-tahun dan ayahku selalu memujimu, tapi kamu tidak melupakan posisimu dan ingat bahwa aku adalah Tuanmu."Jiwana menunduk dalam, ia ing