Share

Ksatria berhati hitam

Langkah Jiwana semakin ringan mengingat ia sudah memiliki kandidat yang tepat untuk tuannya. Senyum sumringah dan berwibawa tetap terpatri di wajahnya. Sebagai kesatria ia harus mempertahankan citra mulia untuk membuat orang semakin segan padanya.

Di jaman Kolonial ini kita harus memiliki sedikit keserakahan untuk mendapatkan kesejahteraan. Menjadi naif dan terlalu berempati pada orang lain dianggap sebagai kehancuran dini.

Mereka yang berjuang demi tanah air harus terkubur diusia muda, dengan banyak penyesalan dan air mata. Mereka bodoh dan terlalu percaya diri dan Jiwana bukan orang yang sama seperti mereka. Ia adalah orang yang hidup untuk dirinya sendiri.

Hidup bergelimang harta dan akan menikahi gadis cantik adalah impian semua pria. Mengumpulkan sedikit pundi-pundi uang dari hasil menjilat para kaum kulit putih. Terdengar menjijikkan namun menjanjikan. Mereka yang terlalu setia pada tanah air tak akan berakhir dengan baik.

Sambil berjalan pelan, ia melihat ibu-ibu yang sedang bercengkrama sambil melakukan kegiatan rumah tangga. Kegiatan semacam itu terjadi hampir setiap hari, tentu saja guna meningkatkan keakraban dalam bertetangga. Membicarakan hal-hal yang tidak penting hanya untuk sekedar bertegur sapa.

"Permisi Bu, saya ingin bertanya dimana rumah milik Tuan pemusungan (pemimpin Desa)?" Ucapnya sopan.

Jiwana berbicara dengan sopan dan tersenyum ramah, sambil menunduk serendah mungkin agar sejajar dengan orang yang ia ajak bicara. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukkan kesopanan dan rendah hati kepada orang yang lebih tua.

Melihat tingkah sopan pemuda di depan mereka, mereka pun langsung tersenyum tak kalah ramah. Menarik hati orang-orang tidak cukup hanya dengan ketampanan, namun tutur kata dan sopan santun perlu untuk diperhatikan. Di zaman seperti ini, salah cara bertingkah akan membuat hati orang lain terluka. Jika hati sudah terluka maka banyak cara akan mereka lakukan untuk membalas. Salah satunya dengan ilmu hitam dan itu tidak baik untuk orang yang memiliki kelebihan seperti dirinya.

"Nggih, Rumah Tuan Pemusungan dekat jalan seberang. Rumahnya besar dan cantik, dengan pagar tanaman jarak. Ada pohon beringin besar di tepi rumah. Itulah rumah milik Tuan Pemusungan."

Berkomunikasi dengan orang lokal memang yang terbaik. Mereka sangat ramah dan bersahabat, hanya cukup bertanya dengan sopan dan memerhatikan tata Krama dalam berbicara. Mereka akan dengan senang hati menjawab pertanyaan yang diajukan. Hal ini adalah pelajaran dasar yang harus diketahui setiap orang, jika ingin memiliki citra yang baik di mata orang lain.

Bahasa tubuh yang baik sangat diperlukan. Menunduk pada orang yang memiliki tubuh lebih pendek menunjukkan kerendahan hati seseorang. Berbicara dengan mengucapkan salam dan permisi adalah hal sederhana, namun membuat orang tergerak hatinya untuk menjawab dengan sopan pada orang yang mengucapkan nya.

Menjadi kesatria tidak hanya tentang menjadi kuat dan petarung tangguh, namun juga berwibawa dan berbudi luhur. Banyak lawan yang akan segan dan menghormatimu sebelum mereka mengangkat senjata padamu.

Perjalanan yang ditempuh Jewana tidak lah jauh, hanya beberapa ratus meter dari tempat ia bertanya tadi. Sebagai orang baru yang berjalan ditengah Desa, tentu saja banyak yang akan memperhatikan. Mereka bertanya-tanya siapakah pemuda yang lewat tadi. Hal itu tentu dianggap wajar, mengingat jarangnya pendatang baru yang lewat di sana.

Melihat rumah besar milik Tuan Pemusungan yang terbilang megah memang sedikit mencolok. Penjaga berbadan besar menjadi pemandangan lumrah di tempat ini. Sepertinya Tuan ini memang sengaja mempekerjakan banyak petarung.

Para penjaga seolah sadar dan paham bahwa seorang pemuda akan datang. Mereka bergegas menyambut dan memberi arah padanya untuk masuk dan menemui tuan mereka.

"Tuan ku Hardin telah menunggu dari tadi, silahkan masuk beliau sudah menyiapkan banyak jajanan sebagai teman berbicara."

Jiwana yang sedikit takjub dengan kesopanan petarung hitam itu. Wajah mereka tampak sedikit menyeramkan dan galak, namun mereka begitu sopan dan bertata Krama.

Ia segera melepas sandal miliknya dan masuk kedalam ruangan dan duduk di tikar dari daun pandan, sambil menunggu sang pemilik rumah untuk keluar dari ruangannya. Tanpa menunggu lama ibu tua datang menghampiri untuk memberi kopi hitam dan jajanan berupa nagasari dan sejenisnya.

Melihat asap sedikit pengepul keluar dari balik daun pisang itu membuat Jiwana sedikit terenyuh, seperti nya mereka benar-benar menyambutnya dengan sangat baik dan penuh persiapan. Terbukti dari jajanan yang disediakan beraneka ragam dan masih hangat, menandakan bahwa itu baru saja dimasak.

Sang pemimpin Desa pun akhirnya datang. Penampilan yang agung tampak jelas di wajahnya. Bongot terikat di kepalanya menambah kesan wibawa yang ada dalam dirinya. Duduk bersila sambil meminum kopi sebelum memulai percakapan.

"Saya dengar bahwa Tuan ingin membuat rumah di dalam hutan belakang sana," ucapnya langsung.

"Nggih, saya datang dari ibukota atas utusan dari bapak gubernur, yang mana beliau telah mengutus anak bungsunya sebagai perwakilan. Tuan kami yang kuat dan agung akan membuat pusat administrasi baru di tanah ini. Tentu saja tidak bisa asal memulai tanpa persetujuan dari Tuan Pemusungan. Sebagai orang yang paling kuat dan dihormati, tentu saya tidak memiliki cukup keberanian melangkahi keputusan Tuan."

Jiwana menunjuk pada beliau dengan tangan kanan dan jari jempol nya dengan sopan. Senyum segan dan hormat tak lupa ia sisipkan untuk menunjukkan kesopanan nya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tentu harus teratur dan terarah, sambil menyisipkan kalimat pujian untuk membuat orang itu sedikit senang.

"Hahaha, jangan berlebihan. Saya ini hanya abdi negara yang menurut pada atasan, jangan terlalu hormat dan bersikap terlalu mengagungkan."

Senyum remeh ditunjukkan oleh jiwana di dalam hatinya. Ia hanya perlu memuji sedikit dan jalannya dengan mudah terbuka dengan lebar.

"Saya ini hanya seorang Pemusungan (pemimpin) di desa ini, tidak akan sebanding dengan keagungan dari anak seorang gubernur. Apalagi kami sedang mengalami kerugian panen akibat kekeringan, bagaimana bisa saya melakukan banyak tugas sekaligus. Saya terlalu di sibukkan dengan mengurus warga saya," lanjutnya.

Mendengar itu Jewana mendengus, bagaimana bisa desa ini mengalami kekeringan. Sungai mengalir dengan deras dan pohon-pohon segar tak terlihat kekurangan air sedikit pun. Dengan enggan ia merogoh kantong sebelah kanan miliknya dan mengeluarkan sedikit emas berharga.

"Sebagai orang yang berbudi luhur, tentu tuan kami menyiapkan sedikit biaya sebagai bantuan pada rakyat. Setiap bantuan pasti ada harganya dan tentu saja kami akan membayar dengan pantas."

Mata laki-laki itu bergejolak karena tidak sanggup menutupi kesenangan nya. Uang adalah hal yang penting di jaman ini. Siapa yang tidak membutuhkannya? Bahkan orang kaya seperti pemusungan masih membutuhkannya.

Membujuk seorang tetua tak begitu sulit bagi Jewana. Hanya perlu mengucapkan kata-kata manis, sambil memberi sedikit uang sudah cukup untuk mendapatkan jalan yang akan ia tuju. Mereka yang bergelut sebagai abdi negara tampak seperti seseorang yang bermartabat, namun sebenarnya sama saja dengan dirinya. Seorang penghianat negara.

Setelah selesai membangun jalan untuk tujuan mereka ia segera kembali pada tuannya untuk melaporkan hasil dari diskusinya. Namun seseorang berhasil menyita perhatiannya.

Gadis cantik yang terlihat anggun sedang memeras kain untuk ia keringkan di depan pekarangan rumah. Wajahnya tampak seperti bunga yang baru mekar di sebuah rerumputan kering. Gadis itu adalah gadis yang ia lihat di sungai tadi.

Jika ia melihatnya dari dekat seperti ini, tampak jelas kecantikan yang dipancarkan gadis itu. Cahaya matahari seolah meningkatkan pesona agung yang terpancar olehnya. Gadis itu terus meneteskan keringat dikening karena sengatan panas matahari yang mulai meninggi.

Juwana tersenyum tipis tanpa ada yang memperhatikannya. Ia merasa bahwa keberuntungan seolah terus menghampirinya. Gadis yang ia inginkan ternyata tinggal di rumah milik pemimpin Desa. Tentu saja itu akan mempermudah dirinya untuk mendekati gadis itu kelak.

'maafkan saya gadis, kamu harus rela menjadi wanita yang akan melayani tuanku'.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status