Niat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.
Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.
“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”
Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di bandara Ahmad Yani.
Pemuda yang menjadi korban kenakalan putrinya itu masih menyempatkan diri untuk menjemputnya. Merelakan waktu istirahat-nya yang berharga untuk berpekur dengan perjalanan, yang teramat jauh dari lokasi pondok pesantrennya.
Memang— Usai memberitahukan jika keduanya akan menikah, Khoiron berpamit. Menitipkan Tatiana dibawah pengawasan adiknya, Zahra selagi ia menjemput kedua orang tua calon istrinya. Ia tidak dapat berlama-lama, sebab ada urusan penting yang harus segera diselesaikan.
Dan saat ini, seluruh keluarga telah berkumpul di ruang tamu ndalem. Berniat membicarakan tentang pernikahan Tatiana dan Khoiron yang harus segera dilaksanakan.
“Mas Sholeh, ndak perlu seperti ini,” ucap Januar, merasa tak enak hati. Belum lama kakinya memijak tanah Jakarta, putrinya bahkan sudah membuat keributan yang sangat besar. Rasanya ia tak lagi memiliki muka di hadapan keluarga sahabatnya.
“Khoiron cuman korban kenakalan anakku, Mas. Kasihan dia kalau harus menikah dengan Tiana,” bujuk Januar. Ia mengenal perangai putrinya. Perbedaan diantara keduanya seperti langit dan bumi. Membayangkan putra sahabatnya mati berdiri karena kenakalan-kenakalan putrinya, rasanya Januar tak sanggup.
“Papa!! yang korban disini itu, Tiana!” Tatiana yang tidak terima dengan kalimat papanya memprotes. ‘Apa sih gue cuman nyium, terus disuruh kawin. Di sini gue korban sesungguhnya, ya! Gue dijebak ini!’ batinnya, mengamuk dengan seluruh emosi yang membuat kedua pundaknya bergerak naik-turun.
“Diam Tiana! Kamu malu-maluin, Papa! Gimana bisa kamu bilang korban, kalau kamu yang nyosor Nak Khoiron, heh?!”
Tatiana menunduk, apa yang dikatakan papanya benar adanya. “Kan cuman bercandaan, Pah,” cicitnya takut akan kemarahan Januar. Pria itu tadi menatapnya berang.
“Melecehkan seseorang itu bukan bahan bercanda, Tatiana Sujatmiko!”
Nama panjangnya telah disebutkan— pertanda bahwa Januar memang berada pada titik emosi yang tak mungkin bisa Tatiana redam.
“Pah, sudah, kita di rumah orang,” bisik Soraya, mencoba menenangkan suaminya. Sembari membelai lengan Januar, wanita itu meminta sang suami untuk beristighfar. “Anak kita satu-satunya itu, Pah.”
“Mas sampun, ndak apa-apa. Khoironnya juga sudah setuju, Mas.” Kyai Sholeh menengahi. “Tatiana,” panggilnya begitu lembut, “menikah dengan anak Abi ya, Nduk?” Pria itu lantas menjelaskan sebaik apa Khoiron selama ini memegang teguh larangan-larangan agamanya. Tak sekali pun anak itu berani mengangkat pandangannya kepada lawan jenis untuk menghindari zina mata dan hasutan setan yang terkutuk.
“Papa bilang Tiana cuman setahun di sini. Kalau nikah, kapan Tiana bisa nyelesain kuliah Tiana?” tanya Tatiana, memelas. Menikah sama saja ia dibuang untuk selama-lamanya. Ia tak mau menanggapi cerita Kyai Sholeh tentang pemahaman putranya itu. Bukan urusannya.
“Papa pasti nggak ngajuin cuti ke kampus Tiana, kan? Nanti Tiana di drop out!”
“Huwaaa!!” lagi-lagi gadis itu menangis. Kali ini keras sekali sampai-sampai Soraya disampingnya menutup kedua telinganya.
“Gus, pripun?” Pandangan Kyai Sholeh jatuh kepada putranya yang sedari tadi berdiam. Segala keputusan ia serahkan pada anak sulungnya. Keteguhan itu dirinya yang memeluk erat.
Kyai Dahlan mengetuk tongkatnya, hanya satu kali untuk mengambil atensi “Wis,” ucapnya. Ia ambil alih kerumitan yang tengah terjadi.
“Mangkato kamu ke Jakarta untuk menyelesaikan segala urusan calon istrimu disana, Khoiron. Setelah Tatiana lulus, boyong dia ke ndalem untuk ikut meneruskan pesantren kita.”
“Abah,” Umi Aisyah hendak menyela, akan tetapi aksi itu tersebut dihentikan, dengan terangkatnya telapak tangan sang pemilik pondok.
“Ini titah, Abah. Khoiron bisa mendaftar menjadi pengajar di kampusnya Tatiana. Menjaga istrinya dari jarak yang paling dekat.”
Tatiana celingukan. Isakannya sudah berhenti, tergantikan oleh kebingungan yang melanda otak kecilnya.
Mengajar?
Memang se-tua apa laki-laki yang dijahili? Dia tidak terlihat seperti Om-Om yang bisa menjadi seorang dosen.
“Nduk, Tatiana, Cucunya, Mbah.. Suamimu ini lulus dengan nilai terbaik di kampusnya. Gelarnya Master dibidang psikologi. Sudah lulus strata 2. Tentu saja selain gelar lain setelah pendidikan yang dia tempuh untuk bekal menjadi penerus Mbah dan Abi mu.”
“Psi-Psi-Ko-Logi?” Beo Tatiana, tersendat-sendat. Pasokan oksigen di paru-parunya langsung menipis, membuahkan pias di wajahnya yang ayu.
“Betul,” jawab Kyai Dahlan, mengulum bibir.
Sial! Psikologi merupakan fakultas yang hampir satu tahun ini dirinya geluti. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Kalau begini caranya, ia akan terus terjebak dalam cengkraman manusia bernama Khoi the munapuck Ron bin sok alim itu.
“Wah, kebetulan sekali. Tatiana ini, dia mahasiswa psikologi, Pak Yai. Tapi apa tidak apa-apa? Sungguh saya sangat malu dengan perilaku tidak terpuji putri saya.” Seloroh Januar, mengungkap rasa bersalahnya.
“Ngapunten sebelumnya Pak Yai, Tatiana sendiri saya kirim ke sini untuk belajar agama. Kalau kembali ke Jakarta..” Januar menggantung kalimatnya. Ia tidak tahu lagi harus berkata-kata yang seperti apa untuk menjabarkan maksudnya.
“Sudah takdirnya mereka, Nak Januar. Begitu memang cara Gusti Allah mempertemukan dua jalan yang sebelumnya berbeda. Kamu tenang saja. Cucu lelakiku, dia lebih dari cukup untuk membimbing Tatiana. Apalagi dia akan leluasa mengarahkan Tatiana yang sudah menjadi istrinya.”
“Sanggup to, Le?” tanya-nya, melirik Khoiron.
“In Shaa Allah, Mbah.”
“Kenapa nggak ada yang tanya Tiana?” Gadis itu berdiri sembari menatap satu per satu manusia yang seakan melupakan suaranya. “Tiana yang disuruh nikah, bukan cuman dia aja. Harusnya kalian tanya ke Tiana, mau apa nggak!”
“Duduk!” Januar memelototkan matanya, meminta Tatiana kembali duduk. “Mah, paksa anakmu duduk!”
Soraya menghela napasnya. Kacau, Kacau! Putrinya memang sulit sekali diatur sampai menimbulkan bencana sedahsyat ini.
“Sudah dicarikan jalan tengah, kamu bisa meneruskan sekolahmu, Nduk. Apa lagi yang memberatkan?” Welas asih itu selalu Kyai Dahlan berikan untuk Tatiana. Tak ada yang mengetahui mengapa pria itu begitu menyayangi Tatiana walau baru bertemu.
“Tiana nggak suka dia, Mbah!!” jawab Tiana menunjuk Khoiron disamping Kyai Sholeh. “He is not my type, ya!”
“Cucu Mbah kurang ganteng apa?” selidik Kyai Dahlan. Padahal banyak perempuan datang berharap dapat meminang Khoiron untuk dirinya.
“Em, ya ganteng sih,” gumam Tatiana. Secara tampang musuh bebuyutan terbarunya ini memanglah oke. Tatiana tak mau berdusta soal itu.
“Terus? Kok tetap ndak mau dinikahi, Nduk?”
“Ndeso alias kampungan!”
“TATIANA!” teriak Januar dan Soraya bersamaan. Mulut ceplas-ceplos Tatiana ini sungguhlah bumerang. Bisa-Bisanya dia asal membuka rahang. Di depan keluarga manusia yang dia cela lagi. “Behave! Kamu pikir dengan siapa kamu berbicara!” timpal Januar memperingati anak semata wayangnya.
“Hahahaha. Ora opo-opo. Biarkan dia berekspresi!!” Kyai Dahlan tertawa.
“Makanya mau menikah dulu dengan Khoiron. Nanti kamu lihat bagaimana tampannya cucu Mbah, Nduk. Apalagi kalau sudah berpakaian seperti orang kantoran. Mbah yang tua ini saja kalah.” Kelakar Kyai Dahlan.
“Ya iyalah! Mbah udah tu.. Aw! Mamaaa!” Jerit Tatiana karena Soraya mencubit pahanya.
Ditempatnya Umi Aisyah meluncurkan granat melalui ekor matanya. Calon menantunya ini— tunggu saja. Nanti ketika sudah tergila-gila dengan putranya, setiap detiknya ia akan mengejek sampai lubang telinganya mengeluarkan asap. ‘Astagfirullahaladzim, kok jadi mendendam saya, ya Allah.’
“Maaf Mbah menyela, kalau Mbak Tatiana menolak mempertanggung jawabkan perzinahan kami, terpaksa, mohon maaf sekali. Saya akan melaporkan tindakan pelecehan yang saya terima ke pihak berwajib,” ujar Khoiron tak main-main. Ia tidak hanya melakukan gertakan. Ada dosa yang membayang-bayangi langkahnya. “Tindakan tersebut terekam CCTV pastinya dan bisa saya ajukan sebagai barang bukti untuk kasus penyerangan dan pelecehan seksual.”
“Apa?” pekik semua orang kaget, mendengar penuturan Khoiron. Sedang di kursinya Tatiana langsung menegakkan punggungnya.
“WEI ANJING! Bangsat ya, lo!” Makinya ingin memarah-marahi Khoiron yang benar-benar sangat lebay hanya karena sebuah ciuman.
“TATIANAAAAAA!!!”
Tatiana mengkerut takut. Ia ingin lari sekarang. Sejauh mungkin. Kalau perlu sampai ke Bekasi– planet terdekat yang bisa dirinya tuju dengan sekali pemberangkatan.
“Mas Adnan, grrr!” Geraman tersemat pada panggilan yang Tatiana layangkan kepada sang putra.Ibu muda itu sudah lelah mengimbangi tenaga putranya yang seakan tak pernah ada habisnya.“Pake kopiahnya dulu, Mas Adnan! Mbah Uyut bentar lagi sampai loh!” Seru Tatiana.Dua hari Khoiron pergi demi untuk menjemput Kyai Dahlan. Awalnya merekalah yang ingin bertolak kesana mengingat usia sepuh sang kakek. Namun beliau melarang, dengan alasan kasihan pada cicit lelakinya. Selain itu beliau juga mengatakan jika dirinyalah yang merindu. Sudah sepatutnya dia yang menyambangi mereka ke Jakarta.“Nggak mau pake Ibu. Nanti Mas Adnan mirip tukang sate tak-iye itu!” Beo Adnan. Anak itu pernah bertanya mengapa setiap tukang sate yang dia temui memakai kopiah, dan ayahnya menjawab jika kopiah tersebut merupakan ciri khas mereka.“Ya kamu makainya kayak Ayah biar nggak dikira Abah-Abah penjual sate, Mas!”“Sini cepetan! Ibu nggak kuat kalau kamu ajakin lari-lari mulu!” timpal Tatiana, meninggikan suaranya.
Kepulangan Tatiana dan Adnan dari sekolah disambut oleh kekepoan Soraya. Mama Tatiana itu langsung memberondongi putrinya dengan serangkaian kalimat tanya.“Kok kamu pulang bawa Mas Adnan? Tadi cepet-cepet pergi kemana, Ti?”“Ibu jemput Mas Adnan, Oma,” jawab Adnan mewakili ibunya.“Loh, kan belum waktunya pulang sekolah. Kok sudah dijemput? Mas Adnan nggak kenapa-napa kan?” tanya Soraya sembari mengekori anak dan cucunya.“Mas Adnan nggak kenapa-kenapa. Temen Mas Adnan yang masuk UKS, Oma.”“Hah?”Pemaparan tersebut semakin membuat Soraya bertanya-tanya. Jawaban sang cucu mengindikasikan jika telah terjadi sesuatu yang buruk, sehingga Adnan dijemput tak sesuai waktu kepulangannya.“Mas Adnan mau dibuatin es susu nggak?” tanya Tatiana setelah mendaratkan pantat Adnan ke atas sofa ruang keluarga mereka.“Mau, Ibu. Dikasih marshmallow di atasnya.”Tatiana membelai kepala Adnan, menyematkan ciuman dikening anak itu sebelum berkata, “oke.”Penasaran dengan apa yang terjadi, Soraya pun men
“Minggir!!” Teriak Tatiana sembari terus menekan klakson motornya berulang kali.“MINGGIR! GUE TABRAK YA LO LAMA-LAMA!”Perempuan muda beranak satu itu sama sekali tidak pernah menarik tuas rem setelah memutar gagang gas motor yang dipinjamnya. Motornya melaju bak pembalas nasional, menyalip pengemudi-pengemudi lain yang menggunakan jalanan searah dengan tempat dimana putranya mengenyam bangku pendidikan.Beberapa saat yang lalu, Tatiana mendapatkan telepon dari ibu wali kelas si bocil. Wanita itu berkata jika Adnan terlibat perkelahian dengan teman sekelasnya. Tentu saja hal tersebut membuat Tatiana panik bukan kepalang. Ia sampai meminjam motor bebek milik satpam rumahnya agar tak terjebak macet.Bukan apa-apa. Adnan meskipun seringkali bertindak seperti bocil kematian, anak itu cukup manis di luaran. Dia sama sekali tidak pernah bertengkar apalagi berkata keras terhadap orang lain. Nakalnya ya sebatas kenakalan wajar terhadap mamanya yang cantik. Jadi setelah mendapatkan informasi
“Ibu..”Tatiana mengangkat kedua tangannya ke atas.Tidak, tidak!— Ia tidak akan terpengaruh dengan raut memelas suami tercintanya. Pria itu harus merasakan betapa spektakulernya kelakuan anak mereka saat menginginkan sesuatu.‘Enak aja! Bikinnya bareng-bareng, masa bagian puyengnya, Ibu yang paling banyak.’ Dumel Tatiana, membantin.“Mau ini, Ayah! Mas Adnan mau ini.” Keras kepala Adnan dengan menunjuk satu unit mobil yang sedang dipamerkan pada lantai dasar sebuah Mall ternama di Jakarta.Tatiana terkekeh sembari memalingkan wajahnya. Biarlah ia berdosa. Namun wajah frustasi suaminya sangatlah menghibur jiwa emak-emaknya.“Beliin! Mas Adnan mau punya mobil yang pintunya 2, Ayah.”“Ya Allah, Mas.. yang pintunya 4 kan udah punya.”“Kan empat, nggak dua!” Ngeyel Adnan, membalas kata-kata sang ayah.“Mas..”“Enggak dalem!” potong anak itu menolak panggilan Khoiron.Khoiron menatap lembut kedua mata putranya yang membola. “Kok begitu jawab ke Ayahnya, Mas?” Sama seperti tatapannya, suara
Mendekati pukul lima sore hari, Tatiana, Adnan dan Soraya— ketiganya tampak rapi, berjajar pada halaman luas kediaman mereka.Barisan vertikal yang ketiganya bentuk itu, merupakan pemandangan yang sehari-harinya akan terlihat jika saja tidak turun hujan kala hari hari kerja berlangsung.Di dalam barisan itu, ketiganya akan melakukan sebuah penghormatan besar kepada dua orang terkasih yang telah rela menghabiskan waktunya untuk bekerja keras agar mereka dapat hidup enak.Mereka akan menunggu kepulangan para pencari nafkah. Menyambut keduanya dengan senyum hangat supaya seluruh lelah yang merajai diri mereka sirna.Dalam hal ini, tradisi itu dibentuk setelah si kecil Adnan terlahir ke dunia. Sebuah kebiasaan kecil yang pada akhirnya terus dipertahankan dan menjadi rutinitas harian yang keberadaannya tak pernah ditinggalkan oleh Tatiana dan mamanya.“Itu mobil Ayah.” Seru Adnan, gembira. “Opa sama Ayah pulang, ye-ye-ye-ye!” Anak itu melompat kegirangan, merasa tak sabar untuk menyambut a
Tatiana tak pernah berhenti dibuat istighfar oleh atraksi anak laki-lakinya. Si kecil yang kini menginjak usia 5 tahun itu mempunyai banyak sekali tingkah. Kulit di dadanya mungkin sudah menipis saking seringnya dibelai secara mandiri karena kelakuan membagongkannya.“Ibu nyerah, Mas Adnan!” Tatiana mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ia menyerah, mengibarkan benderah putih ke angkasa.Ayah anak itu baru saja pergi beberapa menit yang lalu, dan si kecil sudah kembali berulah.Adnan memang sangat tahu caranya menguji batas kesabaran ibunya. Dia mencari momen terbaik saat satu-satunya manusia yang ditakutinya tak lagi berada di rumah.“Mas, Ya Allah! Ikan koinya Ibu loh, mati itu ntar Mas!” lontar Tatiana, lemas tak bertenaga.Tatiana pikir dengan dirinya menyatakan kekalahkannya, putranya akan berbaik hati untuk hengkang dari kolam kesayangannya. Namun ternyata, ia salah. Anak itu tetap melanjutkan kegiatan merusuhnya.“Mas Adnan baik loh, Ibu. Mas kan lagi bantu ikan koinya Ibu napas.