Aku tertegun mendengar perkataan Papa. Benar, anak-anakku berbeda. Mereka spesial. Itulah kenapa aku lebih menghawatirkan Radit dan anak-anaknya daripada Fahri dan Faiz. Tapi kenapa tidak ada yang faham dengan kondisiku? Termasuk Dion, dia malah semakin menjaga jarak denganku."Fahri dan Faiz anak hebat, Pa. Cara berpikir mereka tidak seperti anak-anak pada usianya. Itu salah satu alasan yang membuatku tidak terlalu mengkhawatirkan mereka," jelasku bangga. Papa dan Mama menatapku nyalang."Mereka memang anak-anak yang hebat. Tapi bukan karena kau! Mereka hebat karena terlahir dari wanita yang hebat," teriak Papa murka."Tentu saja karena gen dariku. Diana hanyalah anak kampung. Tepatnya anak seorang petani." ucapku menggebu. Tapi aku hanya bisa mengatakannya dalam hati. Bisa-bisa Papa tambah ngamuk jika aku mengatakannya langsung.Bagaimana bisa gen anak-anak dari Diana, pasti dariku. Tidak salah lagiAku sadar kesalahanku. Tapi juga tidak suka ketika mendengar siapapun menjelek-jelek
Setelah beberapa hari dari Fahri dan Faiz yang melihat Papanya menjemput anak orang kain membuat mereka tidak pernah menanyakan perihal papanya lagi. Biasanya tiap siang atau malam, mereka akan menanyakan beberapa pertanyaan.”Ma, apa Eyang tidak akan sedih ketika mendengar kita pergi?" tanya Faiz. Diana bernapas lega. Untunglah yang ditanyakan adalah eyangnya."Eyang pasti sedih. Tapi tidak akan lama," jelas Diana."Kenapa, Ma?" Faiz menimpali."Karena Eyang sudah tahu bagaimana Papa sekarang." Dengan hati-hati Diana menjelaskan. Meskipun Diana merasakan sakit yang luar biasa ketika anak-anak menyebut nama dokter Burhani, tapi tetap saja dia adalah ayah mereka."Jadi, apa benar kalau Papa sudah tidak sayang lagi sama kita?" tanya Faiz meratap. Lagi-lagi pertanyaan ini yang keluar. Tidak hanya Faiz, tapi Fahri pun demikian. Kembali Diana teringat luka yang setiap saat digoreskan oleh suaminya itu. Meskipun pikiran mereka seperti anak dewasa, tapi tetap saja mereka masih anak-anak yang
Emosiku seketika meluap. Beraninya Alena mengatakan wanita ul*r. Sepertinya selama ini aku terlalu baik padanya. Milla bukan wanita sembarangan, aku sudah mengenalnya jauh sebelum menikah dengan Diana.”Alena benar. Aku akan coba memberikan bukti di depan matamu siapa itu Karmila Pratama!" desis Dion yang saat ini menatapku penuh dengan kebencian.”Itu tidak perlu! Siapa kau berani-beraninya mencurigai istriku?" Aku pun menatap matanya dengan sinis. ”Aku berani melakukan ini karena hatimu sudah tertutup Burhani! Andai saja kau pintar sedikit saja, maka kau sudah bisa melihat semuanya," ucapnya berapi-api."Ini rumah sakit! Perhatikan tingkahmu!" ucapku memperingatkan Dion. Sebentar lagi masuk waktu kerja, aku pun tidak ingin membuang-buang waktu dengan omong kosongnya."Aku mengingatkan karena aku masih peduli padamu," lirihnya yang terdengar sebelum aku meninggalkannya sendiri.Para pasien pasti sudah bersiap untuk diperiksa."Belum ada pasien?" Aku bertanya pada asistenku. Biasanya
Meksipun aku bisa mengeceknya sendiri, tetapi aku lebih memilih untuk membangunkan Mas Arif lebih dulu. Biar kita keluar berdua nanti. "Mas, sudah jam empat." Mas Arif hanya menggeliat. Matanya sempat terbuka sedikit, tetapi kembali tertidur. "Mas, ada orang yang berteriak di luar sambil menggedor-gedor pintu. Aku takut kalau keluar sendiri," bisikku di telinganya. Mas Arif kembali membuka mata. Kali ini langsung bangun dan duduk. Kelemahan Mas Arif memang kalau aku mengatakan takut. Karena semenjak gadis dan menjadi istrinya, aku memang mempunyai sikap yang penakut. Jangankan pergi ke warung, ke kamar mandi saja aku harus diantar, dan Mas Arif adalah orang yang selalu setia menemaniku. "Siapa kira-kira yang ada di luar?" tanyanya sambil mencoba untuk duduk. "Tidak tahu, Mas. Apa mungkin hantu?" tanyaku pura-pura takut. "Mana ada hantu jam empat begini, bentar lagi juga magrib. Mereka pasti langsung berlari ketika adzan subuh berkumandang," ucapnya tertawa kecil. "Kamu kan sel
"Aku punya orangtua. Kalian tidak berhak menghakimi adikku seperti itu!" teriakan seorang anak mengentikan langkah Diana. Dia tahu betul siapa pemilik suara ini. Namun, dia ragu untuk melangkah."Bohong! Kalau kalian punya Papa, tunjukan pada kami. Baru kami akan percaya," ucap salah satu dari anak-anak.'Bukankah mereka hanya anak-anak? Kenapa perkataan mereka sangat menyakitkan. Bahkan menembus jantung.'Diana memegang dadanya yang terasa sakit mendengar perkataan anak itu. Tapi justru membuat dia menahan langkahnya. Bukan karena Diana jahat. Tapi karena dia tahu betul bagaimana sifat putranya jika berada dalam situasi seperti ini.Bisa saja Fahri akan menangis ketika melihat Mamanya datang. Dia memang mempunyai sifat yang lebih seperti orang dewasa, tapi tetap saja dia akan bertingkah seperti anak-anak lainnya yang akan menangis jika dalam posisi seperti ini."Punya atau pun tidak, itu tidak ada hubungannya dengan kalian. Ini urusan keluarga kita. Siapa kalian berhak ikut campur da
Posisi duduk dokter Burhani yang sedikit menyamping ke arah Azka membuatnya tidak bisa melihat anak-anak yang sedang melihat ke arahnya. Berbeda dengan Milla. Dia menatap tajam dan mengepalkan kedua tangannya.Merasa heran dengan sikap Milla dan beberapa kali dipanggil tidak menyahut membuat dokter Burhani menoleh ke arah yang ditatap Milla.”Mas, Abang," panggilnya lirih. Dia tidak percaya kalau anak-anak yang sangat dirindukannya kini ada di depan matanya. Tapi belum sempat dokter Burhani berdiri dari duduknya, mobil yang membawa Fahri dan Faiz melaju cepat. Bahkan tidak membiarkannya melihat plat nomor mobilnya."Kamu kenapa, sih, Mas?" tanya Milla pura-pura tidak tahu."Aku melihat Fahri dan Faiz di mobil yang barusan.""Mana ada!""Aku melihatnya dengan kedua bola mataku sendiri, Milla. Aku juga merasa kau tadi melihatnya.""I-tu tidak mungkin, Mas. Bukankah mereka ada di rumahmu?" ucap Milla kaku dan mencoba mengalihkan pembicaraan."Mereka pergi! Diana sudah menghasut mereka ag
"Ma! Mama! Papa!" panggilku setengah berteriak."Ma! Pa!" kembali aku memanggil ketika masih tidak ada jawaban.Tapi tetap saja masih tidak ada jawaban dan rumah dalam keadaan hening dan sunyi."Bibi!" Aku bergerak menuju dapur untuk menemukan Bi Minah dan menanyakan kedua orangtuaku."Ada apa, Mas?" tanyanya yang nampak kebingungan dengan kedatanganku. Bahkan menurutku terlalu berlebihan, seolah menyembunyikan sesuatu."Mama sama Papa kemana, Bi?""Tidak tahu, Mas," jawabnya dengan nada yang bergetar.Tunggu! Kalau tidak tahu, tidak mungkin ekspresinya akan seperti ini. Pasti ada yang tidak beres."Bohong dosa, lho, Bi.""Emang Mas tidak pernah berbohong?" tanya Bibi yang membuatku terdiam. Kembali aku mengingat ketika sering berbohong kepada Diana dan anak-anak hanya untuk bertemu Milla dan anak-anaknya.Tapi, bukannya kalau berbohong untuk kebaikan itu boleh?!"Em, namanya manusia, Bi," jawabku kikuk. Awalnya aku berniat untuk mencari tahu apa yang sedang disembunyikan oleh Bibi, t
"Mas, aku mohon padamu dengan sangat untuk tidak bertemu dengan Mas Fandy," pinta Mila dengan terisak. Semenjak pulang dari kafe beberapa saat yang lalu, keadaan Milla sangat kacau. Dia terus merengek dan merengek. Untungnya anak-anak juga faham, termasuk Azka. Dia sama sekali tidak menanyakan Mamanya."Sudahlah, Milla. Mas janji tidak akan bertemu dengan Fandy dilain waktu. Sekarang kamu istirahat, ya."Setelah aku berjanji tidak akan menemui Fandy, Milla tersenyum lebar dan langsung memejamkan matanya. Tidak lama, dia sudah mendengkur halus.Aku langsung beranjak dan turun ke bawah. Kebetulan jam baru saja menunjukkan pukul tujuh malam. Baru saja aku hendak membuka pintu luar, Radit muncul dari arah kamarnya.Dia langsung berlari mengejarku."Ada apa? Papa mau pergi ke rumah besar.""Apa Papa mendengarkan saranku waktu itu?" pertanyaan Radit membuatku diam. Karena awalnya aku berpikir kalau perkataanya waktu itu hanyalah kata-kata biasa."Apa Mama Diana, Fahri, dan Faiz masih ada di