Berbeda dengan Milla yang sedang terpuruk, Diana justru tertawa terbahak-bahak ketika melihat video yang dikirimkan oleh Radit melalui aplikasi hijau."Hahaha ... benar aku tidak menyangka kalau Milla yang cantik jelita itu akan mengalami hal seperti ini." Diana masih terkikik.Fahri dan Faiz yang hanya bisa mendengar tertawa Diana membuatnya bingung."Mama kenapa, Mas?" Faiz berjalan ke arah Fahri. Tampak ada rasa takut di wajahnya. Mungkin dia mengira ada sesuatu yang mengganggu pikiran Diana ataupun terjadi sesuatu.Fahri menoleh, "Mungkin Mama lagi senang," ucapnya mencoba menghilangkan kekhwatiran yang ada di wajah Faiz. Padahal aslinya dia juga sangat takut terjadi sesuatu pada Diana ataupun memang ada hal mistis. Namun, dia tetap saja menjaga harga dirinya. Bagi Fahri, seorang kakak itu harus terlihat lebih keren dan berani daripada adiknya. Apalagi usia di antara mereka lumayan agak jauh, membuat gengsi Fahri semakin tinggi.”Hahaha."Lagi-lagi tawa Diana terdengar sangat kera
Milla menarik ujung baju Dea dan menamparnya berkali-kali karena tidak terima dikatakan sebagai pembantu. Burhani yang melihat semakin geram dengan sikap Milla yang berubah drastis.'Masih terasa hangat di pikiran kalau beberapa minggu lalu aku menikahi seorang wanita cantik dan lemah lembut, bukan wanita gemb*l dan kasar ini! Kemana Milla yang dulu?'batin Burhani dongkol.Merasa dirinya sudah ditindas, Dea langsung menonjok perut Milla lumayan keras hingga dia terpental lumayan jauh. "Jangan kau pikir aku diam kau bisa melakukan apapun padaku! Berani membuat masalah denganku, kau akan tamat!" ancam Dea serius. Kedua matanya yang tajam dan berwarna merah menatap Milla tanpa berkedip.Burhani bahkan dibuat diam dengan sikap Dea, sekaligus kaget dengan yang dilakukan gadis itu. Sungguh tidak menyangka wanita yang dia kira hanya berani berkata-kata saja, ternyata mampu bertindak.Dia pun mengacungkan kedua jempol tangannya kepada Dea. Bukti kalau Burhani kini sama sekali tidak mencintai
"Halo, Ma, ada apa?" tanya Burhani pada Farah dengan khawatir ditelpon.”Ya ampun. Sudah jadi dokter bukannya bantu orangtua, malah bikin susah."Dion memasang wajah menghina tanpa dosa. Bagai yang dilakukannya ada benar. Sungguh membuat Burhani sangat emosi."Apa maksudmu?""Apa kau tahu apa yang sedang menimpa kedua orangtuaku? Apa kau ada dibelakangnya?"Burhani menarik kerah baju Dion."Cari tahu saja sendiri. Bukankah selama ini kau tidak pernah percaya padaku?""Kau memang bia**b! Dasar penghianat! Pecundang!”"Terserah sebutan apa yang akan kau berikan padaku.""Kau memang pantas!" Burhani berdecak sebal.Baru saja dia akan melayangkan bogem, tapi tidak tertahan denger kedatangan Alena."Maaf kepada Pak Dokter Burhani, sepertinya tidak mempunyai otak dan tidak memenuhi kriteria sebagai dokter," Alena menepuk bahu Burhani kuat. "Mungkin anda bisa memilih untuk mengundurkan diri dari rumah sakit ini!""Apa maksudmu?""Semua yang aku katakan sudah jelas. Ayah yang mana dengan teg
"Dok, tolong ada pasien yang sedang membutuhkan penanganan!" teriak asisten baruku, Fadil.Dua tahun telah berlalu, aku masih menjadi seorang dokter, tapi berbeda dengan dulu. Setelah Diana dan anak-anak pergi, hidupku hanya diselimuti oleh penyesalan dan sepi. Tanpa ada bahagia ataupun senyuman.Tidak hanya mereka saja yang menjauh, tapi juga orangtuaku ikut terdiam. Mereka seolah tidak melihatku ketika aku berkunjung ke rumahnya. Padahal dulu, hubungan kita tidak seperti ini."Baik!" segera aku berlari dari kantin rumah sakit ke ruangan. Tapi kosong. Tidak ada pasien di sini."Dimana pasiennya?" teriakku keluar."Di sini!" Fadil muncul dari ruangan sebelah, itu adalah ruangan Dion."Kenapa disana?""Dokter Dion tidak masuk, dia mengalami pendarahan di lengannya."Aku langsung melakukan penanganan pada pasien, seorang bocah yang kuperkirakan mungkin baru berusia enam tahun. Sama seperti umur Fahri sekarang.Ya Allah, Nak, kalian dimana? Papa merindukanmu.***Beberapa bulan yang lalu
"Aku ingin kau merestuiku untuk menikahi Milla," ucapku mengutarakan hadiah yang kuinginkan dari Diana sebagai hadiah pernikahan. Tapi istriku malah diam dan senyumannya perlahan menghilang.Bukannya tadi dia sudah setuju akan memberikan apapun yang kuinginkan. Beberapa menit sebelumnya aku melihat Diana terdiam di depan tempat tidur anak-anak."Tepat sebulan lagi, usia pernikahan kita genap mencapai lima tahun dengan dua anak lelaki yang tampan. Sungguh merupakan anugrah terindah. Aku pikir" ucapku pada Diana, wanita yang sudah menemaniku selama lima tahun ini. Kupeluk erat tubuhnya sambil memandangi kedua wajah bocah lelakiku."Ya dan aku juga bersyukur mempunyai suami sepertimu, Mas." Diana tersenyum padaku. Sangat manis. Ditambah dengan lesung pipi yang membuatnya semakin cantik."Aku ingin meminta sesuatu darimu, Diana." lirihku pelan. Sungguh aku tidak berani menatapnya."Katakan saja, Mas. Apapun itu, aku akan mencoba untuk memberikannya," jawabnya hangat.Tapi sekarang dia su
Diana terdiam sambil menatap foto pernikahannya lima tahun lalu yang menempel di dinding rumahnya dengan tangan menyentuh dada. Saat ini hatinya sangat sakit dan hancur dengan permintaan Burhani semalam. Dia pikir lima tahun sudah cukup untuk menumbuhkan cinta di hati suaminya untuk dia dan anak-anak, ternyata tidak semudah itu.”Aku izinkan," lirih Diana pelan. Hanya itu kata yang mampu keluar dari bibirnya. Sakit. Tentu saja. Lelaki yang dia kita sangat mencintainya ternyata hanyalah ilusi. Bahkan dia harus menerima kenyataan pahit kalau suaminya mencintai kekasih masa kecilnya.Diana sadar kalau dirinya hanyalah orang kampung yang tidak mungkin bisa memenangkan hati seorang dokter. Mustahil. Itulah kata yang cocok.Tanpa sadar matanya kembali mengembun ketika menatap kedua anaknya yang masih sangat membutuhkan kasih sayang orangtua yang utuh."Maafkan Mama yang tidak mampu untuk mempertahankan Papa agar hanya mencintai kalian. Ternyata hatinya kembali tersentuh oleh seseorang yang
"Kok tumben Mas, bekalnya habis terus," ucap Diana heran sambil membawa sebuah rantang susun ke dapur."Iya, Mas makannya bareng teman-teman," jawabku kaku. Beberapa hari ini aku sudah berbohong pada Diana. Dia tidak tahu kalau akhir-akhir ini aku membantu Milla dan anak-anaknya.Tidak mungkin bagiku untuk memberitahukannya. Karena ini pasti akan melukai hati dan perasaannya."Oh iya, Mas boleh minta bekal lebih tidak?" pintaku padanya yang langsung menghentikan aktivitas yang dilakukannya. Karena biasanya bekal yang kubawa akan ada sisa. Karena beberapa hari ini, aku memberikan bekalnya kepada anak-anak Milla. Mereka terlihat kasihan."Ya, sudah," jawabnya singkat.Kupikir Diana akan bertanya lebih lanjut. Ternyata tidak. Baguslah, aku jadi bisa lebih leluasa. Dia memang istri yang baik. Tapi sayangnya aku belum mencintainya."Fahri katanya kangen sama kamu, Mas.""Sama aku juga. Beberapa hari ini di rumah sakit banyak banget pasien," ucapku berbohong.Tapi Diana sama sekali tidak me
”Papa minta maaf ya, Mas, Bang," lirihku sambil kembali mencium mereka bergantian.”Mas sudah tidak terlalu ingin bertemu dengan Papa," ucap Fahri tajam. Ah, aku lupa kalau selama ini anak sulungku sangat peka terhadap keadaan."Mas ’gak boleh bicara seperti itu. Walau bagaimanapun Papa adalah Papa kalian," Diana ikut bicara. Aku tidak tahu terbuat dari apa hatinya itu. Dia sama sekali tidak marah, bahkan malah memberikan pengertian untuk anak-anak."Maafkan Mas, Ana," lirihku pelan. Kugenggam kedua tangannya dan menciumnya berkali-kali. Semoga dia bisa memaafkanku."Abang masih kangen, kok, sama Papa,” sahut Faiz. Dia beranjak turun dari duduknya dan berjalan ke arahku.Ketika aku merentangkan kedua tangan, Faiz malah melewatiku dan memeluk tangan Diana."Meskipun Abang tidak mengerti apa yang dibicarakan orang-orang ketika di rumah sakit, tapi Abang tahu kalau itu adalah hal yang tidak baik. Karena Mama sampai menangis,” ucapnya yang sudah seperti anak dewasa."Maafkan aku, Diana."