"Dok, tolong ada pasien yang sedang membutuhkan penanganan!" teriak asisten baruku, Fadil.Dua tahun telah berlalu, aku masih menjadi seorang dokter, tapi berbeda dengan dulu. Setelah Diana dan anak-anak pergi, hidupku hanya diselimuti oleh penyesalan dan sepi. Tanpa ada bahagia ataupun senyuman.Tidak hanya mereka saja yang menjauh, tapi juga orangtuaku ikut terdiam. Mereka seolah tidak melihatku ketika aku berkunjung ke rumahnya. Padahal dulu, hubungan kita tidak seperti ini."Baik!" segera aku berlari dari kantin rumah sakit ke ruangan. Tapi kosong. Tidak ada pasien di sini."Dimana pasiennya?" teriakku keluar."Di sini!" Fadil muncul dari ruangan sebelah, itu adalah ruangan Dion."Kenapa disana?""Dokter Dion tidak masuk, dia mengalami pendarahan di lengannya."Aku langsung melakukan penanganan pada pasien, seorang bocah yang kuperkirakan mungkin baru berusia enam tahun. Sama seperti umur Fahri sekarang.Ya Allah, Nak, kalian dimana? Papa merindukanmu.***Beberapa bulan yang lalu
"Aku ingin kau merestuiku untuk menikahi Milla," ucapku mengutarakan hadiah yang kuinginkan dari Diana sebagai hadiah pernikahan. Tapi istriku malah diam dan senyumannya perlahan menghilang.Bukannya tadi dia sudah setuju akan memberikan apapun yang kuinginkan. Beberapa menit sebelumnya aku melihat Diana terdiam di depan tempat tidur anak-anak."Tepat sebulan lagi, usia pernikahan kita genap mencapai lima tahun dengan dua anak lelaki yang tampan. Sungguh merupakan anugrah terindah. Aku pikir" ucapku pada Diana, wanita yang sudah menemaniku selama lima tahun ini. Kupeluk erat tubuhnya sambil memandangi kedua wajah bocah lelakiku."Ya dan aku juga bersyukur mempunyai suami sepertimu, Mas." Diana tersenyum padaku. Sangat manis. Ditambah dengan lesung pipi yang membuatnya semakin cantik."Aku ingin meminta sesuatu darimu, Diana." lirihku pelan. Sungguh aku tidak berani menatapnya."Katakan saja, Mas. Apapun itu, aku akan mencoba untuk memberikannya," jawabnya hangat.Tapi sekarang dia su
Diana terdiam sambil menatap foto pernikahannya lima tahun lalu yang menempel di dinding rumahnya dengan tangan menyentuh dada. Saat ini hatinya sangat sakit dan hancur dengan permintaan Burhani semalam. Dia pikir lima tahun sudah cukup untuk menumbuhkan cinta di hati suaminya untuk dia dan anak-anak, ternyata tidak semudah itu.”Aku izinkan," lirih Diana pelan. Hanya itu kata yang mampu keluar dari bibirnya. Sakit. Tentu saja. Lelaki yang dia kita sangat mencintainya ternyata hanyalah ilusi. Bahkan dia harus menerima kenyataan pahit kalau suaminya mencintai kekasih masa kecilnya.Diana sadar kalau dirinya hanyalah orang kampung yang tidak mungkin bisa memenangkan hati seorang dokter. Mustahil. Itulah kata yang cocok.Tanpa sadar matanya kembali mengembun ketika menatap kedua anaknya yang masih sangat membutuhkan kasih sayang orangtua yang utuh."Maafkan Mama yang tidak mampu untuk mempertahankan Papa agar hanya mencintai kalian. Ternyata hatinya kembali tersentuh oleh seseorang yang
"Kok tumben Mas, bekalnya habis terus," ucap Diana heran sambil membawa sebuah rantang susun ke dapur."Iya, Mas makannya bareng teman-teman," jawabku kaku. Beberapa hari ini aku sudah berbohong pada Diana. Dia tidak tahu kalau akhir-akhir ini aku membantu Milla dan anak-anaknya.Tidak mungkin bagiku untuk memberitahukannya. Karena ini pasti akan melukai hati dan perasaannya."Oh iya, Mas boleh minta bekal lebih tidak?" pintaku padanya yang langsung menghentikan aktivitas yang dilakukannya. Karena biasanya bekal yang kubawa akan ada sisa. Karena beberapa hari ini, aku memberikan bekalnya kepada anak-anak Milla. Mereka terlihat kasihan."Ya, sudah," jawabnya singkat.Kupikir Diana akan bertanya lebih lanjut. Ternyata tidak. Baguslah, aku jadi bisa lebih leluasa. Dia memang istri yang baik. Tapi sayangnya aku belum mencintainya."Fahri katanya kangen sama kamu, Mas.""Sama aku juga. Beberapa hari ini di rumah sakit banyak banget pasien," ucapku berbohong.Tapi Diana sama sekali tidak me
”Papa minta maaf ya, Mas, Bang," lirihku sambil kembali mencium mereka bergantian.”Mas sudah tidak terlalu ingin bertemu dengan Papa," ucap Fahri tajam. Ah, aku lupa kalau selama ini anak sulungku sangat peka terhadap keadaan."Mas ’gak boleh bicara seperti itu. Walau bagaimanapun Papa adalah Papa kalian," Diana ikut bicara. Aku tidak tahu terbuat dari apa hatinya itu. Dia sama sekali tidak marah, bahkan malah memberikan pengertian untuk anak-anak."Maafkan Mas, Ana," lirihku pelan. Kugenggam kedua tangannya dan menciumnya berkali-kali. Semoga dia bisa memaafkanku."Abang masih kangen, kok, sama Papa,” sahut Faiz. Dia beranjak turun dari duduknya dan berjalan ke arahku.Ketika aku merentangkan kedua tangan, Faiz malah melewatiku dan memeluk tangan Diana."Meskipun Abang tidak mengerti apa yang dibicarakan orang-orang ketika di rumah sakit, tapi Abang tahu kalau itu adalah hal yang tidak baik. Karena Mama sampai menangis,” ucapnya yang sudah seperti anak dewasa."Maafkan aku, Diana."
"Apa kau menyesali perbuatanmu kemarin?" Dion menatapku lekat. Sangat dekat. Jika ada yang melihatnya mungkin akan menyangka kalau aku dan dia memiliki hubungan yang spesial."Tentu saja, tidak."Jawabanku yang seharusnya bukan masalah malah membuat raut wajahnya terlihat marah."Ayolah, Dion. Aku juga di sana membantu anak-anak yang sedang kesusahan itu. Apalagi mereka belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah," jelasku padanya. Menurutku hal yang kulakukan tidaklah salah. Anak-anakku punya segalanya. Mereka juga punya Diana yang selalu berada di dekat mereka dan memberikan apapun yang diinginkannya.Aku tidak perlu khawatir akan hal ini.Tapi anak-anaknya Milla, mereka terlantar dan segala apapun yang mereka inginkan, harus mereka dapatkan dengan bekerja keras. Tanpa kasih sayang seorang ayah dan juga sangat tidak terurus."Membantu kau bilang? Apa kau pikir membantu itu harus dengan menikahi? Apa harus dengan menelantarkan anak-anakmu?" Dion menatapku tajam. Ada apa den
Dengan setengah berlari, aku memasuki perumahan sederhana yang kuberikan untuk Milla dan anak-anaknya. Dengan cepat aku membuka pintu rumah dan menyapu keberadaan Azka.Semua ruangan ruangan yang ada di rumah ini aku buka. Sampai terlihat Azka yang terdiam di pojokan dengan kedua lutut ditekuknya."Azka!" panggilku sambil mendekat ke arahnya."Om Doktel." Dia menyahut dengan mata berbinar. Azka memang tidak selancar Faiz yang sudah lancar melapalkan huruf 'r' diusia satu tahun.Aku langsung mendekat dan membawanya ke dalam pelukanku. "Azka kenapa?"tanyaku pada bocah yang menatapku nanar itu.Sementara Milla, dia hanya menatap kami dengan mata yang sembab. Sepertinya dia baru habis menangis. Andai saja aku tidak datang, mungkin ini akan menjadi pertanda yang tidak baik. Bisa saja akan mengganggu psikologis Azka, ataupun Milla."Azka kangen Papa, Om.""Aku minta maaf, Mas," ucap Milla tidak enak hati."Sudahlah, Mil. Lagian kita juga akan segera menikah. Kamu tidak perlu sungkan," ucapk
"Sudahlah, Bang. Ini tempat umum. Abang ingat apa yang dulu Mama ajarkan?" Diana mencoba untuk membujuk Faiz. Tapi dia tetap bergeming."Abang ingat. Tapi Mama sudah bohong sama Abang. Mama bilang Papa akan datang karena Papa sayang sama Abang. Tapi mana buktinya? Papa tidak datang!" teriaknya. Rasa kesal jelas terlihat dalam wajah Faiz.Baru saja aku hendak melangkah ke arah mereka, Milla mencekal tanganku."Sebaiknya kamu jangan ikut campur, Mas. Itu masalah mereka. Apalagi anaknya terlihat emosian," ucap Milla. Tampak pada wajahnya kekhawatiran."Emosian?" Aku mengulang perkataan Milla yang mengatakan Faiz emosian. Selama ini, aku belum pernah melihatnya seperti ini. Tentu saja penilaian Milla salah. Tapi aku tidak peduli.Aku tetap melangkah untuk mendekati mereka. Namun, langkahku langsung terhenti ketika melihat seseorang yang sangat kukenal lebih dulu mendekati mereka."Hei, Faiz. Anak jagoan. Sedang apa? Kok wajahnya ketus banget," goda lelaki itu dengan ramah.Tapi Faiz, dia