Share

"Honeymoon "

Penulis: Sunniejoy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-03 21:11:19

**[Sebulan Sebelum Berangkat]**

“Istriku, sepertinya bulan depan kita bisa berangkat ke Maroko. Aku sudah mengurus semua dokumen untuk keberangkatan kita,” ucap Arhab dengan senyum penuh rasa bangga.

“Iya, suamiku. Terima kasih banyak,” jawab istrinya dengan mata berbinar penuh antusiasme.

**1 Bulan Kemudian**

**[H-2 Sebelum Berangkat ke Maroko]**

Arhab dan istrinya sedang sibuk berkemas untuk perjalanan mereka ke Maroko. Mereka memutuskan untuk terbang dari Jawa Timur ke Jakarta terlebih dahulu, lalu melanjutkan penerbangan ke Maroko dari Bandara Soekarno-Hatta.

Di dalam pesawat, sebelum lepas landas, istrinya tiba-tiba memulai percakapan.

“Yang...” ucapnya dengan nada penuh keraguan.

“Iya, ada apa?” jawab Arhab, menoleh dengan penuh perhatian.

Terjadi keheningan sejenak sebelum istrinya melanjutkan, “Eh, tidak jadi deh...” sambil tersenyum kecil.

“Kenapa, sayang?” tanya Arhab, penasaran.

“Tidak jadi, pokoknya,” jawab istrinya, nada suaranya berubah sedikit dingin.

“Ya sudah...” ucap Arhab, mencoba menyembunyikan rasa penasaran.

Arhab tidak menyadari tatapan istrinya yang penuh pikiran, sementara dia sendiri tenggelam dalam mendengarkan murotal melalui earphone-nya.

Sesampainya di Jakarta, mereka menginap semalam di penginapan dekat bandara. Suasana terasa tenang, namun ketegangan terlihat jelas di wajah mereka.

**[D-Day Berangkat ke Maroko]**

Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Arhab memperhatikan wajah istrinya yang semakin pucat.

“Yang, kamu tidak apa-apa? Wajahmu terlihat pucat. Kamu sakit?” tanyanya dengan nada cemas.

“Enggak kok, Yang. Aku cuma mengurangi makeup tadi, jadi mungkin terlihat pucat,” jawab istrinya sambil memaksakan senyum.

“Tapi kamu terlihat tidak sehat. Kita batalkan saja perjalanan ini. Aku khawatir,” Arhab bersikeras, matanya penuh kekhawatiran.

“Aduh, Ayang. Aku benar-benar baik-baik saja. Lagian, kapan lagi kita bisa jalan-jalan bareng seperti ini?” jawab istrinya, berusaha meyakinkan suaminya.

“Ya, bisa nanti lagi. Lagian, kamu tidak akan ke mana-mana, kan? Bisa lain waktu jalan-jalan ketika kamu sehat.” ucap Arhab cemas.

“Eh, tidak usah, ayo berangkat aja,” istrinya dengan nada tegas.

“Apaan sih kamu? Percayalah sama aku, aku tidak apa-apa. Jangan terlalu perhatian. Kita sudah jauh-jauh ke sini. Sayang banget kalau tiketnya terbuang,” lanjut istrinya dengan tatapan tajam.

Arhab terdiam, terkejut melihat perubahan drastis pada sikap istrinya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat kemarahan istrinya yang begitu intens.

arhab langsung terdiam.

Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan, Arhab merasa terluka oleh kata-kata istrinya dan memilih untuk diam. Dalam hati, istrinya menyesali perbuatannya, merasa bersalah atas perlakuannya terhadap suaminya. Ini adalah pertengkaran pertama mereka setelah menikah.

Di bandara, suasana antara mereka sangat tegang. Tidak ada obrolan ringan atau canda tawa. Hanya hal-hal penting yang dibahas, sementara mereka menjaga jarak satu sama lain.

Di pesawat, suasananya tetap suram. Istrinya tampak semakin lesu dan cuek. Arhab merasa sangat tidak nyaman dengan situasi ini, namun ia memutuskan untuk berbicara setelah mereka tiba di Maroko.

Setelah belasan jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di Bandara Maroko. Mereka segera menuju tempat pengambilan koper dan kemudian duduk di ruang tunggu.

Arhab menelepon temannya, Ilham, yang tinggal di Maroko, untuk menjemput mereka. Saat ia selesai menelepon, ia berbalik dan melihat wajah istrinya semakin pucat. Arhab merasa ada yang tidak beres dan segera mendekati istrinya.

Ketika Arhab melihat istrinya sudah mimisan, ia terkejut dan langsung berlari menuju istrinya. “Are you okay?” tanya Arhab dengan penuh kecemasan.

“Sayang... aku tidak kuat,” jawab istrinya dengan suara lemah sambil memegang tisu di hidungnya, lalu pingsan.

Arhab panik, segera memangku istrinya dan menelepon Ilham untuk segera menjemput mereka karena istrinya harus segera dibawa ke rumah sakit. Arhab mencari minyak kayu putih dan mendekatkannya pada hidung istrinya, berharap istrinya tersadar.

Sambil menunggu kedatangan Ilham, Arhab memegang tangan istrinya dengan hati berdebar dan penuh kesedihan.

**15 Menit Kemudian**

Teman Arhab, Ilham, tiba dengan kursi roda. Mereka segera menuju rumah sakit terdekat. Istrinya langsung dilarikan ke IGD dan kemudian dipindahkan ke kamar inap. Dokter menjelaskan bahwa kondisi istrinya sangat lemah dan memerlukan banyak istirahat. Hasil tes lab akan keluar paling cepat besok pagi atau siang.

Setelah dokter keluar, Arhab duduk di luar ruang rawat dengan wajah lemas dan air mata yang mengalir. Temannya, Ilham, mencoba menghibur Arhab.

“Sabar, Ya Hab. Istri kamu pasti baik-baik saja. Kamu harus kuat. Kalau ada apa-apa, hubungi aku lagi. Maaf, aku harus pulang. Masih ada tugas lain,” kata Ilham dengan tulus.

“Terima kasih, Ilham,” jawab Arhab sambil menyalami temannya yang kemudian pamit pulang, berjanji akan kembali besok pagi.

Arhab memasuki ruangan tempat istrinya berbaring lemah dengan infus. Air mata Arhab turun deras saat ia duduk di samping ranjang, mencium tangan istrinya, dan merasa sangat menyesal.

Malam pertama di Maroko dihabiskan di rumah sakit, penuh dengan keheningan dan rasa cemas.

**Oke, segini dulu di chapter ini.**

Apa yang sebenarnya diderita istri Arhab? baru sampe Maroko langsung masuk rumah sakit 😭

Jangan lewatkan chapter selanjutnya, di mana semua akan terungkap!

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Jangan lupa untuk comment, vote, dan follow!

See you in the next chapter!

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • HAFALAN CINTAKU: HUMAIRA   "Dua Rumah"

    Arhab dan Aisha melangkah menuju rumah mereka, suasana siang menuju sore yang tenang terasa kontras dengan emosi yang bergelora di dalam hati masing-masing. Ketika mereka tiba di depan pintu, Aisha merasakan getaran di dadanya. Begitu pintu tertutup, tanpa bisa ditahan, air mata mulai mengalir di pipinya. Tangisnya pecah, bukan karena cemburu atau rasa sakit yang mendalam, tetapi karena kehilangan anak pertama mereka yang belum sempat lahir. "Aku minta maaf," ucap Arhab, suaranya bergetar saat dia memeluk Aisha erat-erat. Dia juga merasakan kesedihan yang menggerogoti, kesedihan yang tak kunjung reda sejak kejadian itu. "Semua ini… ini bukan salahmu." Aisha hanya bisa menangis dalam pelukan Arhab. Air mata itu menjadi saksi bisu dari perasaan sakit yang menggerogoti jiwa mereka. Sebenarnya, alibi Aisha tentang mengajar mengaji adalah cara dia melindungi diri dari rasa sakit yang terlalu dalam. Hari itu adalah ha

  • HAFALAN CINTAKU: HUMAIRA   "Exhausting"

    Humaira terbangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum cahaya matahari menyentuh langit pagi. Suara detak jam di dinding terdengar jelas di telinganya, menandakan waktu yang terus bergerak. Ia menoleh ke arah Arhab, suaminya, yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Rasa canggung yang selama ini ia rasakan tidak kunjung hilang, bahkan semakin hari semakin membebani. Bagaimana tidak? Pernikahan yang berlangsung begitu tiba-tiba dan bukan atas dasar cinta membuat Humaira terus-menerus meragukan perasaannya sendiri. Saat melihat jam, Humaira tersentak. Waktu Subuh hampir tiba, dan Arhab perlu segera bersiap untuk ke masjid. Dengan gerakan hati-hati, Humaira mengulurkan tangannya untuk membangunkan suaminya. Namun, ketika tangannya menyentuh bahu Arhab, keseimbangannya terganggu. Tanpa ia sadari, tangannya yang lemah terselip, dan tubuhnya terjatuh tepat di atas tubuh Arhab. Keduanya terkejut. Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.

  • HAFALAN CINTAKU: HUMAIRA   "The first Night?"

    Suasana malam itu di kamar terasa begitu canggung dan tegang. Setelah melewati acara resepsi yang cukup melelahkan, Humaira dan Arhab akhirnya tiba di kamar yang sudah disiapkan untuk mereka. Meski secara teknis mereka adalah suami-istri, namun hubungan ini terasa begitu aneh bagi keduanya. Humaira masih belum terbiasa dengan kenyataan bahwa dia kini adalah istri kedua dari Arhab, seorang habib yang sangat dihormati dan seorang suami yang ternyata sudah memiliki Aisha, seorang wanita yang begitu baik dan sabar. Humaira menarik napas panjang. Sepanjang hari itu, pikirannya terus berkecamuk. Bayangan Aisha yang menangis sendirian di belakang pesantren membuat Humaira merasa semakin bersalah. Ia tak sanggup membayangkan betapa hancurnya hati Aisha, sementara dirinya duduk di pelaminan, menerima ucapan selamat dari para tamu. Dan kini, ia harus tidur sekamar dengan suaminya, sementara hatinya dipenuhi dengan perasaan bersalah dan canggung. Arhab

  • HAFALAN CINTAKU: HUMAIRA   "Kejutan dari Umma"

    Humaira duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar dengan mata yang mulai lelah oleh air mata yang terlalu sering mengalir. Sejak resepsi pernikahannya dengan Arhab berlangsung seminggu lalu, perasaan campur aduk tak pernah meninggalkannya. Yang paling menyiksa adalah rasa bersalah yang terus-menerus menghantui setiap langkahnya. Ia terus terbayang wajah Aisha, istri pertama Arhab, yang selama ini selalu bersikap baik dan penuh pengertian. "Bagaimana mungkin dia bisa setabah itu?" gumam Humaira dalam hati. Kebaikan Aisha justru membuat Humaira merasa semakin tidak pantas berada dalam situasi ini. Bagaimana mungkin ia bisa menerima takdir sebagai istri kedua tanpa merasa bahwa dirinya adalah penyebab kesedihan orang lain? Pikirannya terus berkecamuk, dan perasaan tidak nyaman itu semakin menguat ketika Umma datang memberitahu bahwa mereka akan mengadakan resepsi pernikahan. Seminggu yang lalu, saat Umma mengutarakan niatnya, H

  • HAFALAN CINTAKU: HUMAIRA   "Fortitude"

    Humaira terbaring lemah di kasur, matanya masih terpejam saat Arhab membawanya ke kediaman keluarga. Di sekitar, suasana dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Aroma bunga dan suara isak tangis mengisi ruangan. Saat Arhab menempatkan Humaira di ranjang, dia merasakan ada sesuatu yang aneh ketika melihat Aisha di ambang pintu. Aisha berdiri dengan tenang, meskipun hatinya bergetar. Melihat Humaira yang lemah dan Arhab yang cemas, ia berusaha meredakan ketegangan. Dengan langkah lembut, Aisha mendekat. "Bagaimana keadaan Humaira?" tanyanya dengan nada lembut, berusaha menjaga sikap tenangnya. Arhab yang masih khawatir menjawab, "Dia hanya butuh istirahat. Mungkin terlalu banyak yang terjadi." Suaranya bergetar, menandakan betapa bingung dan bersalahnya ia terhadap kedua wanita yang ada di hadapannya. Humaira membuka matanya perlahan. Dia melihat Aisha, dan entah mengapa, ada ketenangan dalam pandangan istr

  • HAFALAN CINTAKU: HUMAIRA   "Kesedihan Aisha"

    Setelah Humaira pingsan, suasana di rumah keluarga Kyai berubah menjadi panik. Para ustadzah dan santri yang berada di sekitar halaman rumah segera berkerumun, berusaha melihat apa yang terjadi. Arhab, yang langsung membopong Humaira setelah ia jatuh, bergegas membawanya ke kamar di dalam rumah. Ustadzah-ustadzah yang tadinya hanya bisa berbisik, kini mulai berdoa lirih, berharap Humaira segera pulih. Sementara itu, Aisha berdiri di belakang mereka, matanya tetap terpaku pada suaminya yang tengah mengurus istri barunya. Ia berusaha keras menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya, tetapi ia tak bisa mengabaikan luka yang terus menganga di hatinya. Saat Arhab menaruh Humaira di ranjang dengan hati-hati, Umma bergegas masuk ke kamar, membawa semangkuk air dan kain basah untuk mengompres dahi putrinya. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, namun ia berusaha tetap tenang. Ia tahu Humaira sedang berada dalam situasi yang berat, dan sebagai ibu, ia hanya bisa ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status