**Parkir Mall**
"Festival yang di sana, ya, Gab?" tanya Humaira sambil menatap Gabriel yang sedang memarkir motor di area parkir mall yang ramai. "Iya, Mey. Nanti kita ke sana setelah belanja, ya?" jawab Gabriel sambil tersenyum, mengeluarkan helm dari kepalanya dan meletakkannya di motor. "Okay," balas Humaira dengan senyum ceria. **Mall** Humaira dan Gabriel berjalan bersama melewati koridor mall yang penuh dengan pengunjung. Suara langkah kaki, kerincingan bel toko, dan aroma makanan menggoda dari area food court memenuhi udara. Mereka bercakap-cakap dengan riang, sambil mencari barang-barang yang mereka butuhkan untuk mess mereka. "Gab, kita masih perlu beli bumbu dapur yang kemarin habis, kan?" tanya Humaira sambil tersenyum, matanya berkilau dengan semangat. "Ya, Mey, habis. Tunggu sebentar, aku cari dulu," jawab Gabriel dengan penuh semangat, melanjutkan langkahnya menuju bagian bumbu dapur. Setelah berbelanja dengan riang di mall, mereka mendengar suara gemuruh dari festival malam yang berlangsung di sebelah mall. Musik riuh dan tawa orang-orang mulai mengisi suasana di luar. "Yuk, Mey, kita jajan di festival di samping mall ini," ajak Gabriel, menunjuk ke arah keramaian yang tampak dari jendela mall. "Yuk, tapi jangan lama, ya. Aku sudah lumayan capek, dari tadi jalan terus," kata Humaira, meneguk air dari botol yang ia bawa. "Mau digendong? Hahaha," goda Gabriel sambil tertawa. "Gak mau, enak saja. Ayo cepat jalan," balas Humaira, tersenyum geli. **Festival Malam** Ketika mereka tiba di festival malam, suasana berubah menjadi pemandangan yang memukau. Lampu-lampu warna-warni bergantung di antara tenda-tenda, memancarkan cahaya cerah yang memantul di wajah-wajah pengunjung. Musik live dari panggung utama mengalun ceria, sementara aroma makanan lezat seperti kebab dan tajine memenuhi udara. Gabriel tampak terpesona, matanya berbinar melihat berbagai stan makanan dan permainan. Ia memperhatikan stan-stan yang penuh dengan makanan khas Maroko dan permainan rakyat yang meriah. Humaira, dengan hati-hati mengikuti langkah Gabriel, berusaha tidak terseret dalam kerumunan yang semakin padat. Gabriel segera tertarik pada street food yang menjual makanan khas Maroko. Dengan semangat, ia memutuskan untuk membeli beberapa makanan dari stan tersebut, sementara Humaira duduk di bangku dekat panggung musik. Di belakangnya, terdapat properti panggung yang besar dan tampak tidak stabil. Namun, malang tak dapat ditolak. Ketika Humaira duduk menunggu di bangku, tiba-tiba properti panggung yang berat jatuh menimpanya. Suara teriakan dan jeritan panik membelah keramaian, sementara Humaira merasakan sakit yang hebat dan kepalanya terbentur keras. Ia tak sadarkan diri di tengah kerumunan yang histeris. Gabriel, yang sedang asyik menikmati street food di stan tidak jauh dari tempat Humaira duduk, terkejut mendengar suara dentuman keras. Ia segera menjatuhkan makanannya dan berlari menuju Humaira, wajahnya berubah menjadi pucat pasi. "Humaira!" teriak Gabriel, melihat Humaira tergeletak di tanah dengan wajah yang pucat dan darah mengalir dari kepalanya. Kerumunan segera terbentuk di sekitar Humaira yang terluka. Beberapa orang berusaha mengangkat properti yang menimpanya, sementara yang lain berlari untuk memanggil ambulans. **Rumah Sakit** Ketika ambulans tiba, Humaira segera dibawa ke rumah sakit, Gabriel dengan panik ikut masuk ke dalam ambulans untuk menemani Humaira. Suasana di rumah sakit terasa tegang. Lampu-lampu neon di lorong dan suara alat medis menambah kekacauan situasi. Saat Humaira didorong menuju IGD, Gabriel bertemu Ilham dan Hafizah yang kebetulan berada di rumah sakit. Mereka mengikuti Gabriel dengan cepat. Sementara Humaira langsung dibawa ke IGD, Gabriel, Ilham, dan Hafizah menunggu di luar dengan cemas. "Gabriel, apa yang terjadi pada Humaira?" tanya Ilham, suaranya penuh kepanikan. Gabriel, masih menangis dengan pakaian yang bersimbah darah dari Humaira, hanya bisa terdiam dan meneteskan air mata. "Sebentar, Kak Ilham. Mari kita duduk dan tenangkan Gabriel dulu. Pasti dia masih terkejut. Bisa tolong ambilkan minum, Kak?" kata Hafizah sambil menepuk punggung Gabriel. "Okay, sebentar," jawab Ilham, segera menuju kantin untuk membeli minuman. Ilham kembali dengan beberapa botol minum dan memberikannya kepada Gabriel, yang masih tertunduk, menunggu kabar dari dokter IGD. Hafizah berusaha menenangkan Gabriel dengan lembut, sementara Ilham cemas menunggu informasi tentang kondisi Humaira. Tiba-tiba, Gabriel berbicara dengan penuh rasa bersalah, "Aku yang salah. Seharusnya aku tidak membiarkan Humaira menunggu di kursi itu. Properti musik besar itu menimpanya dan membuatnya berdarah di kepala hingga pingsan. Humaira, maafkan aku." "Ketimpa properti musik yang besar dan pendarahan di kepala? Ya Allah, Inalillahi," kata Ilham sambil mengusap wajahnya yang cemas. "Ini bukan sepenuhnya salah Kakak. Ini kecelakaan yang tidak kita duga. Kita harus sabar dan berdoa yang terbaik untuk Kak Humaira," kata Hafizah sambil menepuk punggung Gabriel dengan lembut. Dokter IGD akhirnya keluar dan meminta wali Humaira. Ilham segera menjelaskan bahwa dia adalah mentor Humaira, mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di Maroko. Dokter menjelaskan bahwa Humaira dalam kondisi kritis dan membutuhkan transfusi darah segera karena kehilangan banyak darah. Ia harus menjalani operasi untuk menjahit kepala. Wali Humaira harus menandatangani persetujuan administrasi, dan Ilham tanpa ragu langsung menandatanganinya. Dokter juga mengatakan bahwa stok darah yang dibutuhkan Humaira kosong di rumah sakit dan menanyakan apakah ada yang bisa mendonorkan darahnya. Ilham, Hafizah, dan Gabriel segera menawarkan diri untuk mendonorkan darah mereka. Mereka lalu menjalani tes darah untuk memeriksa kecocokan. Hasil tes menunjukkan bahwa darah Ilham tidak cocok, darah Gabriel cocok namun ia sedang dalam keadaan shock dan lemah, sehingga tidak bisa diambil. Darah Hafizah juga cocok, tetapi ia sedang haid dan tidak dapat mendonorkan darahnya. Gabriel memaksa dokter untuk tetap mengambil darahnya meskipun dalam kondisi tidak fit. Hafizah berpikir mencari donor lain dan teringat bahwa kakaknya mungkin cocok. Hafizah berlari menuju ruang kakaknya yang sedang dirawat di rumah sakit. Ia melihat kakaknya, Arhab, sedang membaca Al-Qur'an di atas sajadah. Hafizah, dengan napas terengah-engah, berkata, "Kak, boleh minta tolong? Temanku butuh transfusi darah segera. Dia dalam kondisi kritis dan harus dioperasi. Aku sudah diperiksa dan darahku cocok, tapi aku sedang haid. Kakak bolehkah mendonorkan darah untuk temanku? Tolong banget." "Kakakmu harus membantu temen kamu, Zah. Aku juga ikut cemas," kata istri Arhab sambil memegang tasbih. "Okay, Sayang. Kamu berangkat dulu. Jika ada apa-apa, telepon saja. Ayo, Zah, kita ke lab," kata Arhab sambil mencium kening istrinya dan meninggalkannya. Hafizah dan Arhab menuju lab. Darah Arhab ternyata cocok dan bisa digunakan untuk transfusi Humaira. Hafizah menunggu kakaknya selesai mendonorkan darah dan segera mengabari Ilham dan Gabriel bahwa transfusi bisa dilaksanakan. Ilham dan Gabriel merasa sangat bersyukur. Setelah transfusi selesai, Hafizah dan Arhab menemui Ilham dan Gabriel. Arhab awalnya menolak karena merasa lemas setelah mendonorkan darah dan ingin kembali ke ruang istrinya, tetapi Hafizah memaksanya. Arhab akhirnya setuju, meskipun ia mengatakan tidak bisa lama. Saat bertemu Ilham dan Gabriel, Ilham menyambut Arhab dengan senyuman dan ucapan terima kasih. Gabriel, yang sangat emosional, memeluk Arhab dengan erat sambil menangis, dan Arhab menepuk punggung Gabriel dengan penuh empati. "Iya, sama-sama, bro. Selagi saya bisa membantu, saya akan bantu. Sabar ya, teman kamu pasti akan segera pulih. Banyak berdoa pada Tuhan," kata Arhab sambil menenangkan Gabriel. Hafizah melihat perhatian Gabriel terhadap Humaira dan merasa ada rasa sayang yang lebih dari sekadar sahabat. Setelah melepaskan pelukan, Arhab bertanya pada Ilham, "Apa sebenarnya yang terjadi? Siapa yang kecelakaan, anak bimbinganmu yang mana?" "Belum jelas bagaimana kejadiannya. Tapi dari info Gabriel, anak bimbingan saya yang kecelakaan tertimpa properti musik besar di festival dekat mall. Dia duduk tepat di dekat properti itu dan mengalami pendarahan di kepala hingga pingsan," jawab Ilham. "Inalillahi, syafakillah. Semoga cepat pulih," kata Arhab dengan rasa empati. Sebelum Arhab bisa melanjutkan kata-katanya, panggilan dokter memanggil, "Wali atas nama Humaira Qaireen." "Iya, saya walinya," jawab Ilham, langsung mendekati perawat dan meninggalkan Arhab yang masih tertegun mendengar nama itu. Arhab merasakan nama Humaira Qaireen sangat familiar, tetapi tidak bisa mengingat sepenuhnya. Ia terpaksa meninggalkan tempat setelah istrinya menelepon, lalu kembali ke ruang istrinya dengan perasaan campur aduk. Di ruangannya, Arhab terkejut melihat istrinya sudah bisa berdiri. Ia segera menghampiri istrinya dan berkata, "Sayang, jangan banyak bergerak. Kamu bisa sakit lagi. Mau ke mana?" "Enggak, kok. Perutku sudah tidak sakit lagi. Tadi aku sudah ke toilet. Aman, sayang. Jangan khawatir," jawab istrinya sambil tersenyum lembut. Arhab membantu istrinya berbaring di kasur dan kemudian berkata, "Sayang, maaf ya, honeymoon kita malah jadi begini. Kita jadi di rumah sakit, bukan jalan-jalan." "Gapapa, sayang. Kita bisa jalan-jalan setelah kamu sembuh," jawab istrinya sambil mengelus kepala Arhab dengan lembut. "Sayang," ucap istrinya lagi, "aku bakal bisa punya anak lagi, kan?" Arhab terkejut dengan pertanyaan itu. Ia bingung bagaimana istrinya mengetahui tentang operasi pengangkatan janin. Tanpa menjawab, Arhab hanya mencium kening istrinya dan meneteskan air mata saat memejamkan mata. --- **Akan Kah Humaira Melewati Masa Kritisnya?** **Mengapa Arhab Merasa Familiar Dengan Nama Humaira Qaireen? Siapa Humaira Qaireen Bagi Arhab?** **Akankah Istri Arhab Mendapatkan Keturunan Kembali?** Terus ikuti cerita ini. Jangan lupa untuk vote, comment, dan follow. Terima kasih telah membaca!Arhab dan Aisha melangkah menuju rumah mereka, suasana siang menuju sore yang tenang terasa kontras dengan emosi yang bergelora di dalam hati masing-masing. Ketika mereka tiba di depan pintu, Aisha merasakan getaran di dadanya. Begitu pintu tertutup, tanpa bisa ditahan, air mata mulai mengalir di pipinya. Tangisnya pecah, bukan karena cemburu atau rasa sakit yang mendalam, tetapi karena kehilangan anak pertama mereka yang belum sempat lahir. "Aku minta maaf," ucap Arhab, suaranya bergetar saat dia memeluk Aisha erat-erat. Dia juga merasakan kesedihan yang menggerogoti, kesedihan yang tak kunjung reda sejak kejadian itu. "Semua ini… ini bukan salahmu." Aisha hanya bisa menangis dalam pelukan Arhab. Air mata itu menjadi saksi bisu dari perasaan sakit yang menggerogoti jiwa mereka. Sebenarnya, alibi Aisha tentang mengajar mengaji adalah cara dia melindungi diri dari rasa sakit yang terlalu dalam. Hari itu adalah ha
Humaira terbangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum cahaya matahari menyentuh langit pagi. Suara detak jam di dinding terdengar jelas di telinganya, menandakan waktu yang terus bergerak. Ia menoleh ke arah Arhab, suaminya, yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Rasa canggung yang selama ini ia rasakan tidak kunjung hilang, bahkan semakin hari semakin membebani. Bagaimana tidak? Pernikahan yang berlangsung begitu tiba-tiba dan bukan atas dasar cinta membuat Humaira terus-menerus meragukan perasaannya sendiri. Saat melihat jam, Humaira tersentak. Waktu Subuh hampir tiba, dan Arhab perlu segera bersiap untuk ke masjid. Dengan gerakan hati-hati, Humaira mengulurkan tangannya untuk membangunkan suaminya. Namun, ketika tangannya menyentuh bahu Arhab, keseimbangannya terganggu. Tanpa ia sadari, tangannya yang lemah terselip, dan tubuhnya terjatuh tepat di atas tubuh Arhab. Keduanya terkejut. Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.
Suasana malam itu di kamar terasa begitu canggung dan tegang. Setelah melewati acara resepsi yang cukup melelahkan, Humaira dan Arhab akhirnya tiba di kamar yang sudah disiapkan untuk mereka. Meski secara teknis mereka adalah suami-istri, namun hubungan ini terasa begitu aneh bagi keduanya. Humaira masih belum terbiasa dengan kenyataan bahwa dia kini adalah istri kedua dari Arhab, seorang habib yang sangat dihormati dan seorang suami yang ternyata sudah memiliki Aisha, seorang wanita yang begitu baik dan sabar. Humaira menarik napas panjang. Sepanjang hari itu, pikirannya terus berkecamuk. Bayangan Aisha yang menangis sendirian di belakang pesantren membuat Humaira merasa semakin bersalah. Ia tak sanggup membayangkan betapa hancurnya hati Aisha, sementara dirinya duduk di pelaminan, menerima ucapan selamat dari para tamu. Dan kini, ia harus tidur sekamar dengan suaminya, sementara hatinya dipenuhi dengan perasaan bersalah dan canggung. Arhab
Humaira duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit-langit kamar dengan mata yang mulai lelah oleh air mata yang terlalu sering mengalir. Sejak resepsi pernikahannya dengan Arhab berlangsung seminggu lalu, perasaan campur aduk tak pernah meninggalkannya. Yang paling menyiksa adalah rasa bersalah yang terus-menerus menghantui setiap langkahnya. Ia terus terbayang wajah Aisha, istri pertama Arhab, yang selama ini selalu bersikap baik dan penuh pengertian. "Bagaimana mungkin dia bisa setabah itu?" gumam Humaira dalam hati. Kebaikan Aisha justru membuat Humaira merasa semakin tidak pantas berada dalam situasi ini. Bagaimana mungkin ia bisa menerima takdir sebagai istri kedua tanpa merasa bahwa dirinya adalah penyebab kesedihan orang lain? Pikirannya terus berkecamuk, dan perasaan tidak nyaman itu semakin menguat ketika Umma datang memberitahu bahwa mereka akan mengadakan resepsi pernikahan. Seminggu yang lalu, saat Umma mengutarakan niatnya, H
Humaira terbaring lemah di kasur, matanya masih terpejam saat Arhab membawanya ke kediaman keluarga. Di sekitar, suasana dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam. Aroma bunga dan suara isak tangis mengisi ruangan. Saat Arhab menempatkan Humaira di ranjang, dia merasakan ada sesuatu yang aneh ketika melihat Aisha di ambang pintu. Aisha berdiri dengan tenang, meskipun hatinya bergetar. Melihat Humaira yang lemah dan Arhab yang cemas, ia berusaha meredakan ketegangan. Dengan langkah lembut, Aisha mendekat. "Bagaimana keadaan Humaira?" tanyanya dengan nada lembut, berusaha menjaga sikap tenangnya. Arhab yang masih khawatir menjawab, "Dia hanya butuh istirahat. Mungkin terlalu banyak yang terjadi." Suaranya bergetar, menandakan betapa bingung dan bersalahnya ia terhadap kedua wanita yang ada di hadapannya. Humaira membuka matanya perlahan. Dia melihat Aisha, dan entah mengapa, ada ketenangan dalam pandangan istr
Setelah Humaira pingsan, suasana di rumah keluarga Kyai berubah menjadi panik. Para ustadzah dan santri yang berada di sekitar halaman rumah segera berkerumun, berusaha melihat apa yang terjadi. Arhab, yang langsung membopong Humaira setelah ia jatuh, bergegas membawanya ke kamar di dalam rumah. Ustadzah-ustadzah yang tadinya hanya bisa berbisik, kini mulai berdoa lirih, berharap Humaira segera pulih. Sementara itu, Aisha berdiri di belakang mereka, matanya tetap terpaku pada suaminya yang tengah mengurus istri barunya. Ia berusaha keras menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya, tetapi ia tak bisa mengabaikan luka yang terus menganga di hatinya. Saat Arhab menaruh Humaira di ranjang dengan hati-hati, Umma bergegas masuk ke kamar, membawa semangkuk air dan kain basah untuk mengompres dahi putrinya. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, namun ia berusaha tetap tenang. Ia tahu Humaira sedang berada dalam situasi yang berat, dan sebagai ibu, ia hanya bisa ber