Share

SRI ANDARI

Penulis: Reinee
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-25 13:34:33

"Cepat!"

Mendengar teriakannya, aku pun susah payah bangkit dengan berpegangan pada tembok. Rasa sakit di sekujur tubuh tak lebih sakit dari menyadari bahwa nyatanya dia hanya berdiri mematung saja melihat kesusahanku berusaha berdiri. Tak sedikitpun terbersit keinginan di wajahnya untuk membantu. Sepertinya, kehidupan kami memang sudah benar-benar berakhir sekarang. 

Dengan terseok, kuikuti langkahnya menuju ke kamar. Suasana rumah sudah sangat sepi saat kami melewati dapur dan ruang makan. Tak kutemukan suara anak-anak di mana-mana. Sejenak kusempatkan mata untuk melirik jam dinding di ruang tengah sebelum kami masuk ke kamar. Waktu sudah menunjuk pukul 7:20 pagi. 

"Jemput anak-anak nanti siang! Aku ada rapat penting hari ini," ujarnya cepat-kembali memerintahku seperti budak. Kali ini, dia bahkan tidak menoleh padaku sama sekali. 

Tangan Mas Dewo juga segera menyambar tas kerjanya di atas nakas, lalu melangkah cepat meninggalkan kamar.

Dari dulu semenjak kami menikah, aku memang tak pernah bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Seperti juga saat ini.

Dia tiba-tiba mengeluarkanku dari gudang dan menyuruhku untuk menjemput anak-anak sepulang sekolah. Apakah itu artinya dia sudah memaafkanku? Tapi, kenapa dia tak menatap ke arahku sedikitpun saat bicara? Aku benar-benar tidak memahaminya.

Aku terduduk di tepi ranjang menghadap ke cermin. Pantulan diriku di sana ternyata begitu menyedihkan. Rambut kotor acak-acakan, mata bengkak, dan debu menempel di sana-sini. Tak terbayangkan betapa jijiknya Mas Dewo tadi saat melihatku dengan kondisi seperti ini. Terlebih, dia selalu suka segala sesuatu yang bersih, rapi, dan wangi. 

Aku baru berencana untuk bangkit dari tempat dudukku usai mendengar deru mobil Mas Dewo menjauhi rumah saat tiba-tiba bunyi sebuah ponsel terdengar dari atas nakas. 

Di sana, ponsel Mas Dewo tergeletak dan meraung-raung menunggu untuk diangkat. Apa mungkin dia sangat buru-buru tadi sampai teledor seperti ini? Setahuku, dia tak pernah meninggalkan ponsel di rumah selama ini. Karena penasaran, aku pun berjalan mendekat, bermaksud untuk melihat siapa yang menelponnya. 

[ Sri Andari ] 

Dahiku mengernyit memandangi nama di layar. Perlahan kugerakkan tangan untuk meraih benda pipih yang masih bergerak-gerak di atas nakas itu. Hanya beberapa senti sebelum aku berhasil menggapainya, tiba-tiba terdengar suara deru mesin mobil berhenti di jalanan depan rumah. Itu pasti Mas Dewo! 

Dengan panik, aku segera berlari menuju kamar mandi yang memang berada di dalam kamar kami. Tentu saja, aku tak ingin Mas Dewo tahu bahwa aku mengetahui ponselnya tertinggal di kamar. 

Kututup pintu kamar mandi tak begitu rapat usai kunyalakan kran air agar dia mengira aku sedang mandi saat dia tiba di kamar nanti. Dari celah pintu yang tak terlalu rapat tertutup itu, aku berusaha mengintip. 

Ternyata dugaanku tak meleset! 

Hanya beberapa saat setelah aku masuk ke kamar mandi, terlihat Mas Dewo memasuki kamar dengan langkah tergesa. Dia tampak mengamati situasi kamar sejenak sebelum akhirnya menghampiri nakas untuk mengambil benda pipih miliknya itu. 

Dari celah pintu kamar mandi pula, aku bisa menyaksikan bagaimana dia menekuri layar ponsel di tangannya, lalu beralih pandang dengan cepat ke arahku. Aku sangat terkejut dan buru-buru beringsut dari tempatku berdiri. Walau tahu dia sepertinya tak melihatku, tetap saja jantung ini berdebar tak karuan melihat matanya menatap tajam ke arah tempatku bersembunyi. 

Aku tak tahu apa selanjutnya yang dilakukan Mas Dewo setelah itu, tapi kudengar mobilnya kembali menderu meninggalkan rumah. Mas Dewo sudah pergi lagi. 

Kutarik nafas lega, walau sebenarnya rasa penasaranku masih belum terjawab. 

"Sri Andari, siapa kamu?" gumamku. Nama itu terus berputar-putar di kepala, bahkan hingga aku selesai membersihkan diri. 

**** 

"Hah...." Kuhela nafas panjang saat kudapati tumpukan peralatan makan kotor di bak cuci. 

Setelah membersihkan diri, aku berniat untuk makan. Namun, yang kutemukan adalah beberapa bungkus bekas makanan di tempat sampah. Sepertinya, semalam Mas Dewo dan anak-anak tidak memakan masakan yang sempat kusiapkan sebelum aku berangkat menemui Narendra.

Kubuka panci berisi opor ayam yang ada di atas kompor. Bau basi langsung menyeruak ke dalam hidungku. 

"Hahaha." Aku tertawa sumbang. Mas Dewo dan anak-anak bahkan tak menyentuh lauk buatanku sama sekali. Opor ayam itu masih utuh seperti saat kutinggalkan, begitupun nasi di tempat penghangat yang kulihat tak sedikit pun berkurang.

"Pasti Mas Dewo tiba-tiba sangat jijik dengan segala hal yang berhubungan denganku," lirihku pelan. 

Dengan cekatan, kubersihkan seisi dapur. Kubuang makanan-makanan yang sudah basi dan kucuci semua peralatan makan di bak cuci. 

Mas Dewo adalah tipe suami yang menganggap dirinya raja dan selalu harus dilayani oleh istrinya. Seingatku selama kami menikah, belum pernah sekali pun dia berada di dapur untuk sekedar menyalakan kompor. Apalagi mencuci piring kotor bekas makan kami. 

Mungkin menurutnya, tugas seorang suami hanya mencari uang untuk istri dan anak-anaknya. Bahkan untuk membetulkan segala sesuatu yang rusak di rumah ini pun dia tak mungkin melakukannya dengan tangannya sendiri. Selama ini, dia lebih suka membayar orang untuk melakukan semua pekerjaan itu. Misalnya, untuk membenahi genteng yang bocor atau memperbaiki pipa saluran air yang rusak. 

"Dia sangat berbeda sekali dengan Bapak yang selalu siaga membantu Ibu, bahkan untuk urusan dapur." Tanpa sadar, aku membandingkan Mas Dewo dan Bapakku. 

Mungkin, itu salah satu hal yang membuatku merasa ada yang kurang dengan pernikahan kami selama ini. Tak ada empati yang ditunjukkan Mas dewo padaku sebagai istrinya. 

Narendra sangat lain. Saat pertama kali dia mengajakku ke apartemennya. Dia tak sungkan memasakkanku makanan eropa di dapur mininya yang mewah. Padahal, yang kutahu dia adalah seorang direktur perusahaan yang kurasa penghasilannya berkali lipat lebih besar daripada suamiku yang hanya Pegawai Negeri Sipil. Narendra begitu pandai memanjakanku dalam banyak hal. Bahkan, semua yang tak pernah bisa kudapat dari suamiku sendiri. Dan, itulah yang menyihirku selama beberapa bulan ini. Narendra seperti sosok suami impian yang selama ini kubayangkan. 

"Sial," lirihku. Kenapa nama pria brengsek itu terlintas lagi di ingatanku? Sedang apa dia ? 

Hatiku kembali teriris mengingat pria itu. Entah apa yang sedang dilakukannya? Apakah dia juga sedang menderita sepertiku? Atau, justru malah menertawakan kebodohanku yang telah berhasil dikelabuhinya.

"Dibanding aku memikirkan pria itu, lebih baik aku makan saja," gumamku. 

*** 

Sepiring nasi dan telur dadar cukup membuat rasa laparku hilang pagi ini. Saat aku bangkit dan hendak berjalan menuju bak cuci untuk menaruh piring kotor bekas makan, tiba-tiba sayup kudengar sebuah suara di dalam rumah. 

Itu adalah nada dering ponselku yang kemarin sempat dirampas oleh Mas Dewo sebelum mengurungku di gudang! 

Aku bergegas mencari sumber suara dan pada akhirnya kutemukan juga benda pipih itu di ruang tengah. Mas Dewo ternyata meletakkannya di atas bufet berdampingan dengan tas selempang yang kukenakan waktu itu. 

Saat kuhampiri, benda itu masih tampak bergerak-gerak dan menampilkan nama 'Rani' di layarnya.

Rani adalah sahabatku yang secara tak langsung menjembatani pertemuanku dengan Narendra, teman sekelas kami saat SMP. 

Ada apa? Apakah Narendra menyuruhnya untuk menghubungiku? Tentu saja, Rani adalah satu-satunya orang yang mengetahui hubunganku dengan pria dari masa lalu itu. 

"Ya Ran?" sapaku setelah kuputuskan untuk menerima panggilan itu. 

"Agni, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan suara seperti sedang berbisik. 

"Aku di rumah dan aku baik. Ada apa?" tanyaku. 

"Eng-gak. Aku hanya khawatir aja soalnya semalam aku chat kamu, tapi gak ada balasan." 

"Aku … aku gak pegang HP, Ran. Ada apa?" Aku masih penasaran dengan yang ingin dikatakan Rani. 

"Apa kamu dan Mas Dewo baik-baik saja?" 

Pertanyaannya membuatku tersentak. Kenapa tiba-tiba Rani bertanya seperti itu? Dengan gugup, aku membalasnya, "Ka-mi baik. Memangnya kenapa, Ran?" 

"Gini, aku lagi nyari sarapan sama teman-teman kantor. Tapi … kamu jangan kaget ya? Janji ya jangan kaget?" Suaranya bernada khawatir dan praktis membuatku mengerutkan dahi. 

"Ada apa sih, Ran?"  

"Jadi, aku lagi lihat suamimu, Ni. Dia lagi sama wanita. Sorry ya aku bukannya pengen fitnah, tapi …." Dia menghentikan kalimatnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • HANCUR BERSAMA SELINGKUHAN   DAMAI DI MATA AGNIA (TAMAT)

    Rani menatap sahabatnya yang duduk bersandar di sampingnya dengan kebingungan. Tangannya bahkan masih terasa gemetar usai membaca berita itu. Namun kondisi Agnia yang terlihat masih begitu lemah membuatnya ragu. Sayangnya, kebingungan Rani terbaca oleh Agnia yang sedang menoleh ke arahnya. “Kenapa, Ran?” tanyanya, masih dengan suara parau. “Eh, ehmm nggak kok, Ni. Nggak apa-apa,” jawabnya terbata. Meski dalam kondisi terpuruk, Agnia tentu tak tega melihat muka pucat pasi sahabatnya itu. Dia pun kemudian menggeser posisi duduknya, lalu berusaha memegang kening Rani. “Apa kamu sakit?” tanyanya. “Kalau memang nggak kuat, kamu pulang saja nggak apa-apa, Ran. Ada bapak ibu dan adik-adik Mas Dewo di sini. Mereka bisa menemaniku,” lanjutnya. Rani menggeleng. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja Rani lebih memilih untuk tinggal bersama dengan Agnia dibanding beristirahat di kontrakan sendirian. Meski begitu, Rani masih belum ingin menceritakan kondisinya saat ini pada sahabatnya. “Aku ng

  • HANCUR BERSAMA SELINGKUHAN   TRAGIS

    Roda empat Narendra melaju makin cepat di depan mobil polisi yang mengejarnya. Celine ingin terus mempertahankan kecepatannya demi tak tertangkap oleh polisi-polisi yang mengejarnya itu, sementara Narendra yang berusaha sekuat tenaga menghentikan wanita itu justru membuat gerak mobil jadi semakin tak tentu arah. “Cel, berhenti Celine!” Narendra makin panik. Ditambah lagi, suara sirine mobil polisi yang meraung raung di belakang mereka dan orang-orang di jalanan yang nyaris semuanya berhenti menyaksikan kejadian itu seolah menelanjangi keduanya. Narendra terus berteriak menyuruh Celine untuk menghentikan mobilnya. Sementara tangannya berusaha sebisa mungkin menghentikan Celine. Namun hal itu justru membuat Celine kehilangan fokus. Laju mobil pun semakin tak terkendali. Celine yang panik, bahkan tak sempat berpikir untuk menghentikan saja mobil itu dan menyerahkan dirinya pada pihak berwajib. “Diam kamu! Bisa diam nggak sih! Kamu justru bikin aku nggak fokus, Narendra!” kata wanita

  • HANCUR BERSAMA SELINGKUHAN   MELARIKAN DIRI

    Tak lagi memperdulikan Celine, Narendra bergegas turun ke lantai bawah. Lelaki itu berjalan cepat menuju dimana mobilnya terparkir. Namun karena merasa belum selesai dengan Narendra, Celine mengejar hingga ke tempat parkir. Dorong mendorong kasar pun terjadi. Narendra yang yang ingin cepat pergi ke rumah Agnia merasa sangat terganggu dengan kehadiran Celine yang terus ingin mengajaknya bicara. Sementara itu, Celine yang masih merasa punya urusan dengan lelaki itu pun tak mau tinggal diam. Berulang kali dia menutup kembali pintu mobil yang dibuka oleh Narendra. Karena kesal dengan ulah Celine, Narendra akhirnya menghentikan niatnya untuk segera pergi. Dia kembali menutup kembali pintu mobilnya dengan kasar, kemudian berdiri berkacak pinggang di depan sang istri. “Mau kamu apa sih?! Kamu nggak lihat aku mau pergi? Aku juga punya urusan, Celine. Nggak bisa terus terusan meladeni tingkah konyolmu yang kekanak-kanakan kayak gini.”Melihat Narendra makin marah, Celine justru juga bertam

  • HANCUR BERSAMA SELINGKUHAN   MERASA MENANG

    Rani akhirnya menemukan sebuah rumah kontrakan kecil yang langsung dibayarnya selama setahun ke depan. Sebenarnya bisa saja dia menyewa sebuah apartemen yang pastinya lebih nyaman daripada kontrakan yang dipilihnya saat itu. Tapi mengingat sudah tak ada lagi lelaki yang mensupport finansialnya saat ini, Rani memilih untuk berhemat sampai nanti dia mendapatkan sumber penghasilan lainnya lagi. Memikirkan kondisinya yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang sebelumnya, Rani jadi teringat dengan nasib malang yang juga sedang menimpa sahabatnya. Untuk itulah, hari itu dia memutuskan untuk kembali mengunjungi Agnia di rumah sakit. Namun sesampainya di sana, Rani dibuat shock dengan telah berkumpulnya semua keluarga besar Agnia yang seolah sedang bersiap menghadapi sesuatu buruk yang akan terjadi. Dan benar saja, beberapa saat setelah kedatangan Rani, dokter akhirnya menyampaikan berita bahwa Dewo benar-benar telah pergi meninggalkan mereka semua. Tangis yang pecah dari Agnia

  • HANCUR BERSAMA SELINGKUHAN   BAHU UNTUK BERSANDAR

    Di tengah tengah kebingungannya, Rani hanya teringat pada Agnia. Tapi saat taksi yang membawanya menuju rumah sahabatnya itu baru sampai setengah perjalanan, dia seperti baru tersadar bahwa keputusannya untuk pergi ke rumah Agnia adalah salah. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menumpang tinggal di rumah sahabatnya itu jika saat ini saja Agnia sedang mengalami kesulitan yang bahkan jauh lebih berat dibanding dirinya. “Nggak jadi, Pak. Saya turun di sini saja. Saya akan ganti ongkosnya,” katanya kemudian pada si driver taksi online yang ditumpanginya. Rani pun kemudian turun, lalu memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah bangku taman untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Kembali ke rumah orang tuanya adalah hal yang jelas tidak mungkin dilakukannya. Selain karena keduanya sudah meninggal dunia, rumah itu kini juga telah diambil alih keluarga kakaknya yang sangat membencinya karena ketidakpeduliannya pada keluarga besar. Ternyata selama ini dia merasa hidupnya b

  • HANCUR BERSAMA SELINGKUHAN   BUSUKNYA NARENDRA

    Wanita yang biasanya sangat patuh dan penurut pada Rani itu tak menampakkan gentar sedikitpun. Bahkan dia juga berani membalas saat mantan istri dari majikannya itu menampar pipinya berulang kali. “Saya sudah berusaha menjadi asisten yang baik, tapi kelakuan Anda sudah sangat keterlaluan. Anda mengkhianati suami Anda sendiri di rumahnya. Itu sama saja Anda membuang kotoran Anda di tempat makan yang telah diberikan majikan Anda. Sekarang lebih baik Anda pergi. Karena walaupun sampai menangis darah pun, Bapak tidak akan pernah memaafkan Anda,” kata wanita itu setengah mengancam. Mendengar kata-kata sang mantan pembantu, niat Rani untuk meminta maaf pada mantan suaminya pun urung sudah. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan oleh mantan asisten rumah tangganya itu, suaminya tentu tak akan sudi lagi menerima permintaan maafnya mengingat dirinya bukan lah satu satunya wanita yang dia miliki. Rani mengutuk kebodohannya sendiri karena ternyata selama ini karena memilih untuk menerima

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status