“Hah? Narendra punya istri?” tanyaku lirih pada diri sendiri.
Betapa terkejutnya aku mendapat balasan itu. Mata panas sisa tangisan beberapa saat yang lalu saja belum hilang, tetapi air bening kembali deras terjun dari dua mataku. Bukankah selama ini dia bilang bahwa dia telah bercerai dari istrinya? Apa aku telah dibohonginya?"Arghh!" Aku memukul kepalaku yang seketika pening.Lalu, apa artinya hubungan kami beberapa bulan ini untuknya? Apa dia berniat menipuku? Benarkah aku telah begitu bodoh mengkhianati suami dan anak-anakku demi seorang laki-laki hidung belang seperti dia?****Krosak!Aku mendengar bunyi sesuatu mendekati gudang. Saat ini sudah lewat tengah malam, mungkinkah itu Mas Dewo yang berbaik hati akan mengeluarkanku dari tempat ini? Aku rasanya sudah sangat kelaparan. Terakhir aku mengisi perut tengah hari lalu bersama dengan Narendra di apartemennya yang mewah. Dia memesankan banyak sekali makanan dari aplikasi pesan antar dan menemaniku makan sambil ngobrol banyak seperti biasa."Mas Dewo?" panggilku lirih. Namun tidak ada jawaban apapun. "Sial! Mungkin itu tadi hanya suara kucing," batinku. Badanku sudah begitu lemas, bahkan untuk bersandar di tembok ruangan ini. Bagaimana bisa aku tidur di tempat seperti ini? Walau bukan termasuk gudang yang jorok dan kumuh, tetap saja banyak serangga penghisap darah yang seolah berpesta mendapati tubuhku di sini. Tak ada alas yang bisa kugunakan untuk berbaring, kecuali beberapa buah kardus bekas bungkus barang-barang elektronik yang ditumpuk Mas Dewo di atas lemari kayu jati yang sudah tak terpakai. Namun, tempatnya pun terlalu tinggi untuk bisa kugapai.Kupandangi lemari berbahan kayu itu sejenak. Dulu, benda itu adalah salah satu hadiah dari ibuku untuk pernikahan kami. Tapi, sekarang justru teronggok di gudang untuk menyimpan barang-barang bekas di rumah ini. Tak hanya lemari, meja-kursi tamu dan meja-kursi makan pemberian ibu dipindahkan dan ditumpuknya juga di gudang ini. Dari awal diantarkan kurir ke rumah, barang-barang itu sama sekali tak dipakai oleh Mas Dewo. Seminggu setelah resepsi kami, dia langsung meminta tolong beberapa tetangga untuk memasukkannya di gudang."Perabotan kita sudah banyak dan hadiah-hadiah itu justru akan mempersempit ruangan." Mas Dewo waktu itu beralasan dan aku tak berani berkata apapun.
"Hah, lelaki itu memang tak pernah mau mendengar pendapatku," gumamku mengingat sifatnya. Sebagai istri, aku merasa tak dihargai karena terlalu banyak keputusan yang diambilnya tanpa melibatkanku.
Aku sadar dari awal bahwa rumah ini adalah rumah miliknya pribadi. Hasil jerih payahnya berjuang sendiri menyisihkan penghasilan. Mungkin, itu juga salah satu sebab dia baru memutuskan menikah saat berusia 35 tahun, sementara aku masih 25 tahun.
Sejujurnya, aku ingin sekali seperti orang lain yang menikmati hidup dan memadu kasih dengan pria yang kucintai. Namun, aku dididik untuk tak sering membantah dan menganggap apapun yang dikatakan orangtua adalah pilihan terbaik. Aku tak bisa banyak bicara saat dibujuk oleh bapak, ibu, dan dua kakak perempuanku. Kedua orang yang kusebut terakhir juga diperistri oleh pria-pria pilihan orang tua kami. Menurut mereka, lelaki gagah dengan pekerjaan mapan seperti Mas dewo adalah pilihan luar biasa! Akhirnya, aku pun menjalani pernikahan itu dengan bahagia sekadarnya. Apalagi, dalam perjalanan pernikahan kami, banyak di antara teman dan kerabat yang mengatakan bahwa aku sangat beruntung memiliki suami yang tak banyak tingkah dan mapan seperti Mas Dewo. Apa lagi yang bisa dikufuri dari semua nikmat terlihat itu?"Mereka tidak tahu bahwa aku diperlakukan seperti perhiasan dalam kehidupan Mas Dewo. Mereka hanya melihat aku yang selalu tersenyum dan diperlakukan baik saat ada orang-orang di sekeliling kami. Saat di rumah? Kami seperti memiliki dunia masing-masing walau kami sudah dikaruniai Naya dan Aqilla." Batinku menjerit memikirkan kenyataan itu. Mas Dewo memang tak pernah lupa memberiku nafkah batin walau tak bisa dibilang sering, tapi semua itu rasanya sangat hambar. Mas Dewo seakan tak pernah ingin memberiku kepuasan. Dia hanya mementingkan kepuasannya sendiri.Saat jam di ponselku mulai menunjuk angka 3 dini hari, kurasakan mataku mulai berat. Sepertinya, aku sudah tak akan kuat lagi terus duduk bersandar seperti ini. Tubuhku pun sudah mulai oleng. Bruk!Tak ada lagi tenaga dalam diriku. Aku pun terpaksa rebah di lantai kotor itu. ***Brak!Mataku mengerjap saat kudengar suara dari arah atas kepalaku. Pintu itu terbuka dan menyembulkan sosok Mas Dewo yang berdiri dengan raut datarnya. Dia memandangku dengan tatap yang sulit kumengerti. Hampir sehari semalam dia mengurungku di tempat tak layak untuk beristirahat ini. Tanpa belas kasihan sedikit pun, dia tidak memberiku makan dan minum. "Bangun, keluarlah!" titahnya seperti memerintah pada seorang budak.Aku mendongak, menatap pria yang telah rapi dengan pakaian seragam dinasnya itu dengan rasa was-was. Tentu aku masih merasa ketakutan akan diperlakukan kasar seperti sebelumnya. Walau sorot mata itu sudah tak semengerikan kemarin, tetap saja gelombang penuh kebencian masih terlihat jelas di sana.
"Cepat!" betaknya lagi."Cepat!"Mendengar teriakannya, aku pun susah payah bangkit dengan berpegangan pada tembok. Rasa sakit di sekujur tubuh tak lebih sakit dari menyadari bahwa nyatanya dia hanya berdiri mematung saja melihat kesusahanku berusaha berdiri. Tak sedikitpun terbersit keinginan di wajahnya untuk membantu. Sepertinya, kehidupan kami memang sudah benar-benar berakhir sekarang. Dengan terseok, kuikuti langkahnya menuju ke kamar. Suasana rumah sudah sangat sepi saat kami melewati dapur dan ruang makan. Tak kutemukan suara anak-anak di mana-mana. Sejenak kusempatkan mata untuk melirik jam dinding di ruang tengah sebelum kami masuk ke kamar. Waktu sudah menunjuk pukul 7:20 pagi. "Jemput anak-anak nanti siang! Aku ada rapat penting hari ini," ujarnya cepat-kembali memerintahku seperti budak. Kali ini, dia bahkan tidak menoleh padaku sama sekali. Tangan Mas Dewo juga segera menyambar tas kerjanya di atas nakas, lalu melangkah cepat meninggalkan kamar.Dari dulu semenjak kami menikah, aku memang ta
"Jadi, aku lagi lihat suamimu, Ni. Dia lagi sama wanita. Sorry ya aku bukannya pengen fitnah, tapi …." Dia menghentikan kalimatnya. Aku yakin saat ini pun dia pasti sama bingungnya dengan aku. "Aku kirim videonya ke kamu aja ya? Coba kamu lihat sendiri. Aku takut kamu nyangka aku macem-macem," lanjutnya. Rani kemudian mengirimiku sebuah video usai memutuskan sambungan telepon kami. Awalnya, aku sama sekali tak punya bayangan video apa yang dikirimkannya itu. Tapi, saat aku melihatnya dengan seksama, rasanya aku tak percaya bahwa yang sedang ada di dalamnya adalah Mas Dewo dengan seorang wanita. Mereka terlihat mesra, bahkan perempuan itu sempat terlihat mencium pipi Mas Dewo."Hah? Dia siapa?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. "Aku juga nggak tau, Ni. Tapi sepertinya dia pemilik warung makan yang aku datangi sekarang," ucapnya masih dengan berbisik. Tak lama , Rani pun mengirimiku sebuah foto nomor meja bertuliskan "Rumah Makan Mbak Sri". "Terima kasih, Ran. Nanti
"Ayah sering ajak kami makan di sini," jawab Naya.Aku terkejut mendengar pernyataan itu. Belum sempat aku mengendalikan ekspresi, seorang wanita berjalan pelan menghampiri kami. Langkahnya tegap, sangat sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi dengan tubuh padat berisi. Aku menduga tingginya tak terpaut jauh dengan Mas Dewo. Gaunnya yang melekat pas di badan itu makin menegaskan lekuk-lekuk tubuhnya yang bisa dibilang subur. Dibanding aku yang bertubuh kurus dan sedikit lebih pendek darinya, sepertinya wanita ini lebih cocok jika disandingkan dengan Mas Dewo. Tinggi mereka hampir sama, besar badannya juga tak jauh beda, dan menurutku usia mereka pun sepertinya sepantaran."Halo Naya dan Aqilla kesayangan tante. Apa kabar kalian? Kok, udah lama nggak ke sini?" Wanita itu langsung berjongkok saat berhasil mencapai tempat kami berdiri. Aqilla yang pertama menerima kecupan di pipi, baru kemudian Naya.Apa-apaan ini? Apakah selalu seperti itu cara wanita ini menyapa anak-anak dari para
Tiga jam setelah pulang dari rumah makan Sri, aku sudah ada di depan laptop. Rumah sudah dalam keadaan rapi seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa antara aku dan Mas Dewo. Naya dan Aqilla pun sudah selesai mandi dan kini sedang bersantai di ruang tengah. Hanya beberapa menit setelah aku online, sebuah pesan messenger masuk ke akun media sosial favoritku. [Sore, Agni. Apa kabarmu?] tulis sebuah akun dengan nama 'Alfa' di akun messengernya. Aku meliriknya sekilas. Saat ini, aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku dan memeriksa email-email yang masuk. Setelah selesai, barulah aku menanggapi pesan itu. Alfa Wiradharma adalah seorang pria yang kukenal dari sebuah grup f******k beberapa tahun yang lalu. Dia adalah salah satu admin di grup yang membahas tentang parenting. Dia juga yang pertama kali menawariku untuk menjadi salah satu kontributor tetap di salah satu website miliknya. [Aku baik, Al. Kamu gimana?] balasku. [Beneran baik atau pura-pura baik saja? Semalam aku
"Lepasin, Mas!" Refleks, aku berteriak. Walau suaraku sedikit tertahan karena leher yang tengah ditarik ke atas, tapi aku berharap entah Naya atau Aqilla akan mendengarnya. "Sampai kapanpun, aku tidak akan melepaskanmu. Jadi, jangan harap kamu bisa bebas dari aku. Ngerti kamu?!" Tangannya makin erat mencengkeram daguku. "Ayah …." Kami beruda kaget mendengar suara tiba-tiba itu. Tanpa dikomando, kami pun serempak menoleh ke arah pintu. Aqilla sedang berdiri di sana dan menatap kami dengan pandangan takut takut. Tubuhnya yang mungil terlihat merapat ke daun pintu yang terbuka.Berbeda denganku yang merasa terselamatkan, wajah Mas Dewo justru merah padam. Setelah mendengar helaan nafas panjangnya, kulihat dia berjalan pelan mendekati Aqilla. "Sayang, ngapain di sini?" tanyanya.Pria itu berjongkok saat di depan anak bungsu kami. Mungkin, Aqilla takut akibat perlakuannya padaku barusan, karena kemudian kulihat anak itu makin merapat ke tembok. "Jangan kurung ibu lagi, Yah," ucapnya l
Aku baru akan menjawab pertanyaan ibu saat Mas Dewo tiba-tiba menggamit lenganku untuk diajaknya ke dalam. Ibu mertuaku pun sepertinya tak menaruh curiga karena putra sulungnya itu melakukannya dengan begitu sempurna. Siapa yang menyangka bahwa dekapannya di bahuku bukan karena kasih sayangnya pada sang istri, tapi karena dia hanya ingin kami terlihat baik-baik saja. Kami segera berbaur dengan keluarga adik-adiknya setibanya di ruang tengah, ibu membawakan makanan. Seperti biasa jika melihatnya kerepotan, aku selalu sigap untuk bangkit dan membantunya. "Sudah, kamu duduk saja," sergah wanita itu. Ibu mertuaku memang selalu begitu memperlakukan para menantunya. Sangat lembut dan perhatian, apalagi pada cucu-cucunya. Sayang, sifat itu berbanding terbalik dengan suamiku."Nggak apa-apa Bu, biar Agni saja. Ibu di depan saja nemenin bapak," ujarku."Sudahlah, Bu. Ibu duduk saja. Sudah ada pegawai katering juga kan?" celetuk adik ipar bungsuku, Rida. "Nggak apa-apa. Kalian kan jarang kum
Aku masih terpikir dengan ucapan Mirna dan Rida, bahkan saat kami telah sampai kembali di rumah. Jadi ternyata Mas Dewo dan Sri itu teman lama. Dan Sri, rupanya telah menyukai suamiku itu sejak dulu. Mas Dewo kulihat langsung mengganti pakaian dengan kaos ketat dan celana cargo pendeknya, sementara aku sibuk di meja makan menata makanan yang tadi sempat disiapkan ibu untuk kami bawa pulang. "Bu, Ayah mau ajak ke taman bermain alun-alun." Aqilla muncul untuk memberitaku bahwa mereka betiga akan pergi. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Lalu terlihat anak itu kembali berlari riang meninggalkanku. Baiklah, jadi dia sudah mulai tak betah lagi di rumah, sampai sampai baru datang langsung ingin pergi.Usai menata makanan yang banyak itu di meja, aku bermaksud beristirahat sebentar di kamar saat tiba-tiba Rani menelpon. "Agni, gimana? Kok nggak cerita-cerita sih? Suamimu lagi di rumah nggak?" Dia langsung menodongku dengan banyak pertanyaan saat panggilannya kuangkat. Wajar saja, sejak d
Aku begitu terkejut mendengar Rani menyebutkan nama Narendra. Pria itu datang ke rumah Rani? Ada apa?Walau sudah tak ingin peduli lagi dengan segala hal tentangnya, tapi rasa penasaranku menggelitik untuk kemudian menajamkan pendengaran. Sayangnya, beberapa saat kemudiam aku sudah tak mendengar apapun lagi. Sunyi. [Sebentar ya, Ni. Narendra datang ke sini. Nanti aku kabari lagi.] Menyusul sebuah pesan yang masuk ke ponselku. Rupanya Rani tak ingin aku mendengarkan pembicaraan mereka.Kembali ke kamar, aku jadi teringat ponsel yang kusembunyikan di bagian paling bawah lemari baju. Memang di sana lah tempat persembunyian benda pipih itu beberapa bulan ini setelah menjadi milikku. Sejak Narendra memberikannya padaku, aku tak pernah berani menampakkannya saat sedang berada di rumah, kecuali jika Mas Dewo dan anak-anakku sedang ada di luar. Memang jadi sejahat dan sepengecut itulah aku saking tergila-gilanya pada pria itu.Terkadang rasa bersalah juga sering membuatku sulit memejamkan m