Pov. Aldo"Hei … kamu harus ikut aku sekarang juga ke kantor polisi!" ucapku ketika berada di hadapan wanita ganjen itu.Senyum yang tadi merekah di bibirnya seketika langsung menghilang."A-apa? Memangnya salahku apa?" "Jangan pura-pura bodoh kamu!" bentakku."Tunggu … tunggu! Ini ada apa sebenarnya, Al?" tanya Rini bingung. Jelas dia tidak tahu apa yang telah saudaranya lakukan."Dia yang sudah mencelakai Rada," jawabku."Hei … jangan asal tuduh kamu! Mana buktinya," ucap Melly tidak terima. Pintar sekali dia mengendalikan perasaannya."Buktinya kamu baru saja kembali mengancam Rada bukan?" Jawabku tidak mau kalah."Haha … itukan hanya omongan, mana buktinya? Apakah ada orang lain yang mendengar aku mengancam Rada? Tidak ada 'kan? Bahkan kamu pun tidak mendengarnya tadi, iya 'kan?!"Aku terdiam mendengar pembelaan Melly, memang aku tidak mendengarnya karena ku kira dia membisikkan kata penyemangat tadi. Hanya Rada yang tau."Jangan asal menuduh kalau tidak ada bukti nyatanya. Fitna
Pov. Aldo 2Teriknya sinar matahari siang begitu terasa menyengat. Klakson kendaraan saling bersahut-sahutan menandakan ketidaksabaran para pengendara yang ingin saling berebut jalan. Berulang kali ku seka keringat di dahiku. Padahal AC mobil sudah kuhidupkan bahkan sudah maximal, tapi entah kenapa aku masih merasa kepanasan.Sudah hampir satu jam aku terjebak kemacetan siang ini. Mobil yang kukendarai hanya bisa berjalan seperti siput karena jalanan yang padat. Anak-anak sekolah pulang berbarengan dengan jam istirahat para pekerja. Itulah yang selalu menyebabkan kemacetan.Tiba di perempatan jalan, ku belokkan mobilku ke arah kiri, aku ingat ada jalan terobosan yang biasa digunakan untuk menghindari macet.Akhirnya setelah melewati jalan terobosan, mobil yang kukendarai bisa melaju dengan kencang. Tak membutuhkan waktu lama aku sudah tiba di parkiran kantor polisi. Ku lihat mobil paman Adi sudah terparkir disitu, aku memutuskan untuk memarkirkan mobilku tepat disampingnya.Sedikit be
Pov. AuthorDor!Suara tembakan memecah sunyinya hari itu. Mengagetkan semua orang yang mendengarnya. Warga yang ramai menunggu di depan rumah seketika berbondong-bondong ke arah belakang rumah, penasaran dengan apa yang terjadi.Tampaklah disitu seorang wanita yang mengaduh menahan sakit, namun tetap dipaksa untuk tetap berjalan. Wanita itu adalah Melly.Aksi pura-pura ke kamar mandi yang hanya dijadikan alasan untuk kaburnya justru menjadi awal dari kesakitannya.Dengan dipapah polisi tadi, dia berjalan pincang dengan darah yang membasahi sebelah kakinya.Huuuuu ….Sorak sorai dari para warga yang melihat kejadian itu. Melly hanya menundukkan kepala dan berjalan melewati warga menuju mobil polisi."Cepat masuk!" titah polisi itu dengan berang sambil mendorong tubuh Melly untuk masuk ke bangku belakang. Kemudian polisi wanitanya membuka pintu sebelahnya dan ikut duduk disebelah Melly. Menjaga kalau-kalau Melly berniat kabur lagi, walaupun itu tidak memungkinkan karena kaki sebelah k
Masih pov. Author ya!Tiga puluh menit kemudian mobil yang ditumpangi oleh Arka dan juga Bosnya tiba di halaman kantor polisi. Suasananya cukup lengang mengingat adzan magrib baru saja berkumandang. Mereka masuk dan langsung bertanya kepada petugas yang berjaga. Karena polisi yang menangani kasus Melly sedang tidak berada di tempat, mereka berdua diminta untuk menunggu."Memangnya selama ini kamu sama sekali tidak mengetahui kegiatan apa saja yang sudah istrimu lakukan, Pak Arka?" tanya Pak Hartono saat mereka sudah duduk di kursi tunggu yang telah disediakan."Tidak, Pak. Yang saya tahu istri saya itu tidak pernah neko-neko. Dia selalu berada di rumah saat saya menelponnya. Pun saat saya pulang dia juga selalu ada dirumah. Sesekali dia ijin keluar hanya untuk ke rumah saudaranya," jawab Arka menjelaskan."Lalu kenapa dia sampai bisa berurusan dengan polisi? Jika sudah sampai polisi, jelas ini tidak main-main," ujar Pak Hartono lagi, semakin menambah beban pikiran Arka."Entahlah, Pak
Pov. Arka"Syalan! Benar-benar sial!" ucapku ketika sudah berada di dalam mobilku. Aku jengkel dan kecewa pada tua bangka itu. Bisa-bisanya dia tidak membantuku.Aku terus memutar otak. Bagaimanapun caranya Melly harus segera keluar. Kasian dia disana. Lagi pula siapa yang akan mengurusku jika tak ada dia.Aku menepikan mobil di bawah sebuah pohon. Ku keluarkan ponsel dan melihat nomor pengacara yang disebut pak Hartono tadi cukup mumpuni. Sedikit ragu ku telpon dia. Setidaknya aku harus konsultasi dulu. Tuut! Tuut! Tuuut!Panggilan pertama hingga ketiga tidak juga di jawabnya. Aku melihat benda yang melingkar di tangan sebelah kiriku. Sudah hampir jam sepuluh malam. Pantas saja tidak diangkat. Mungkin sedang istirahat.Ku lajukan kembali kendaraanku. Ku putuskan untuk menemui Rada kembali. Waktu sudah malam, semoga saja tidak ada yang menemaninya. Sehingga aku bisa dengan mudah menekan agar dia mencabut laporannya pada Melly.Tidak membutuhkan waktu yang lama, kendaraanku sudah berb
Part. 52 pov Arka 2Maaf, Bu, kalau boleh saya tahu, ada keperluan apa ya, ibu dengan Melly," tanyaku hati-hati."Saya mau nagih hutang …!"Hah! Mulutku langsung ternganga kaget. Syok dengan semua kejutan di pagi hari ini. Baru saja aku menemukan surat perjanjian hutangnya dan kini di depan pintu sudah berdiri seseorang yang menagihnya."Hutang apa?""Ya hutang duitlah! Mana dia? Suruh keluar, jangan ngumpet terus! Melly … keluar kamu!" teriak ibu-ibu itu sambil matanya celingukan ke dalam rumah."Melly nya nggak ada, Bu, dia ada di penjara," ujarku ingin segera menyudahi drama pagi ini."Di penjara? Oh, kamu suaminya, bukan?" Ibu itu kini menatapku dari atas sampai bawah. Membuatku heran dengannya."Iya, dia ada di penjara sekarang. Kalau ibu mau menagih hutangnya, gih, sana ke penjara saja," aku mulai jengkel."Kamu 'kan suaminya, berarti kamu yang harus bertanggung jawab sekarang,""Memangnya berapa, sih, hutangnya Melly sama ibu?" tanyaku jengkel. Mereka membuatku semakin telat. J
Pagi ini aku sudah bersiap untuk bekerja kembali, setelah beberapa hari berada di rumah, kini aku sudah siap untuk membongkar semuanya. Bukti-bukti sudah ada padaku semua. Kali ini aku tidak akan lemah lagi, akan ku jebloskan komplotan mereka ke penjara.Ya, aku sudah mengantongi nama-nama yang terlibat dalam penggelapan dana kantor. Selain bukti yang diberikan Aldo, selama berada di rumah sakit aku terus memantau perkembangannya. Rupanya mas Arka memanfaatkan betul ketiadaanku di kantor.Tidak ada yang mengetahui jika aku akan masuk kantor hari ini. Sengaja, ingin membuat kejutan untuk mereka-mereka yang senang saat aku berada di rumah sakit. Dengan bantuan tongkat pada sisi bahu sebelah kiri, aku berjalan keluar dari dalam kamar menuju ruang makan. Kedatanganku membuat papa dan mama kaget. "Bunda sudah sembuh, ya?" gadis kecil yang sudah mengenakan seragam sekolahnya itu berjalan menyongsong dan membantuku untuk duduk dengan menarikan kursi."Terima kasih, Sayang," ucapku sambil m
Tiba di lantai tiga suasananya sangat sepi. Tentu saja karena hanya ada tiga ruangan di lantai ini. Aku mengajak Paman untuk langsung menuju ruangan pak Hartono setelah sebelumnya Lea kusuruh kembali ke tempatnya.Tok! Tok! Tok!"Permisi, Pak?" ucapku setelah mengetuk pintu."Masuk!" terdengar suara dari dalam. Paman pun mendorong pintunya lalu kami masuk."Loh, Bu Rada … Pak Agus? Silahkan duduk, silahkan duduk," seru Pak Hartono terkejut begitu kami masuk lalu menunjuk sofa di ruangan itu.Aku pun melangkah ke sofa dan duduk karena pundakku sudah terasa pegal jika sudah terlalu lama berdiri. Paman mengikutiku duduk dengan mengambil tempat di sebelahku. Sedangkan Pak Hartono di depanku dan hanya terhalang meja."Bagaimana kabarnya anda, Bu Rada? Apakah sudah benar-benar sehat sampai memaksakan diri untuk berangkat ke kantor?""Seperti yang anda lihat, Pak, saya sudah sehat dan hanya tinggal pemulihan bagian kaki saja,""Syukurlah kalau begitu. Maaf, ya, saya tidak sempat menjenguk ib