Home / Rumah Tangga / HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS / Bab 5. Agnes Dituduh Memakai Pelet

Share

Bab 5. Agnes Dituduh Memakai Pelet

Author: Trinagi
last update Huling Na-update: 2023-04-04 14:47:55

"Istri macam apa kamu ini, Nes? Suami sakit aja kau gak tau. Memang kamu ini istri yang gak becus ngurus suami. Heran aku lihat anak ini. Entah apa bisanya?"

 

"Manalah saya tau, Bu. Mas Rama saja tidurnya tadi malam entah dimana, entah sama siapa. Dia itu tidak pernah menganggap saya ini sebagai istri. Buat apa saya repot-repot ngurusin dia?" ujarku dan disambut dengan tatapan kesal dari mertua dan mata beliau melotot seakan bola mata akan keluar dari sarangnya.

 

Punya suami marah dikit dengan istri langsung minggat tidur dengan ibunya. Suami masih di bawah ketiak mamaknya sih emang begitu.

 

"Kasian kali lah anakku Rama. Nasib buruk dia ber jodohkan wanita seperti kamu, Nes. Sudah gak pandai masak gak perhatian terhadap suami. Cantik juga enggaknya kamu itu. Apa sih yang bikin anakku menjadikan kamu sebagai istrinya?"

 

"Mungkin kak Agnes memakai pelet, Bu. Percaya deh sama aku. Kawan sekelas aku begitu juga. Kakak iparnya jelek banget tetapi abangnya yang ganteng itu sangat menyayangi dan mencintainya. Padahal kalau kita lihat gak ada sedikitpun yang menarik dalam diri wanita itu. Ternyata dia itu memakai jasa dukun. Abangnya sampai lupa sama kedua orang tuanya." ucap Sinta mengompori mamaknya. Memang anak itu belum pernah merasakan seatap dengan mertua makanya bisa ngomong begitu. Nanti jika dia sudah merasakannya baru mereka akan menyesal telah berbuat zalim terhadap aku. Semoga saja ipar dan mertuanya tidak seperti ipar dan mertuaku. Biasanya sih hukum karma itu pasti ada.

 

"Bisa jadi. Ibu pun yakin mas Rama mu sudah makan jampi-jampi dari Agnes. Makanya dia seperti orang bodoh jadinya." ucap mertua ketus.

 

"Astagfirullah. Istighfar, Bu. Kamu lagi Sinta. Ngomong jangan asal jeplak. Kakak gak ada sedikitpun memakai jasa dukun. Kenal aja gak. Lagian gak pernah terpikirkan oleh ku sedikitpun untuk memakai jasa mereka, karena aku tidak pernah percaya yang namanya praktek dukun. Mereka tukang ngibul semua tuh." ujarku membela diri.

 

"Alah ... Maling mana mau ngaku, ya kan, Bu?" sergah Sinta. 

 

"Terserah saja kamu mau ngomong apa. Saya gak mau mencari pembenaran diri. Yang penting aku tidak melakukan perbuatan seperti yang kalian tuduhkan. Aku tau bagaimana dosa menduakan Tuhan. Terserah orang mau menuduh apa saja terhadapku. Toh dosanya  tanggung masing-masing." Sudah muak rasanya berbicara dengan mereka berdua.

 

Beginilah nasib jika tinggal seatap sama mertua dan ipar yang tidak pernah bisa bersahabat dengan menantu. Padahal apa kurangnya aku. Uang belanja untuk seluruh penghuni rumah ini aku yang tanggung.

 

Sementara suamiku setiap gajian selalu saja dia setor untuk ibunya. Seakan tidak berfikir jika aku juga kepingin menikmati hasil keringat suami sendiri.

 

Gajian aku buat belanja hari-hari, sementara gaji mas Rama buat ibu dan Sinta berfoya-foya. Lihat saja ditangan ibu dan anak tersebut. Penuh dengan perhiasan. Sementara aku jangankan emas satu gram buat beli celana dalam saja cuma bisa beli setahun sekali, itupun nunggu tunjangan hari raya.

 

"Bu ... " Terdengar suara teriakan dari dalam kamar ibu mertua. Seperti suara Mas Rama. Kami bertiga saling bertatapan dan langsung lari berhamburan ke kamar tempat Mas Rama beristirahat.

"Ada apa, Mas?" bergegas aku mendekati Mas Rama yang masih terbaring di ranjang kamar ibu mertuaku.

 

"Kenapa, Nak? Ada yang sakit, ya?" Rasanya antara sakit hati dan ingin tertawa rasanya mendengar perkataan ibu mertua. Rasa itu datang bersamaan dalam pikiranku ini. Suamiku Rama Pratama umurnya sudah diangka tiga puluh tahun tetapi masih saja diperlakukan layaknya anak kecil sama ibunya. 

 

"Kepala Rama sakit kali, Bu. Rasanya mau pecah?" keluh Mas Rama. 

 

"Mungkin kamu sedang banyak pikiran ya, Nak. Tidak usah terlalu dipikirkan masalah Sinta. Kalo gak ada uang buat dia belanja setelah pesta nanti, ya udah, gak apa-apa kok. Yang penting kamu dan Sinta tetap sehat-sehat selalu ya, sayang." ternyata Mas Rama sedang banyak pikiran toh. Tetapi yang dipikirkan bukan perkembangan anak kami atau masalah dalam rumah tangga kami, tetapi beliau sedang memikirkan kondisi keuangan ibunya.

Ini sudah biasa dalam rumah tangga kami berdua.

 

Jika keinginannya gak kesampaian pasti segala penyakitnya akan datang. Ya sakit lambung lah, sakit kepala dan ujung-ujungnya aku harus mengalah memberikan apa saja yang dia minta.

 

Aku sudah tau ujungnya kemana. Akhir cerita aku juga yang harus mengeluarkan semua gaji aku untuk kebutuhan anggota keluarga ini. Yang jelas sekarang akan bertambah satu orang lagi. Yaitu suami Sinta.

 

Ingin rasanya keluar saja dari rumah ini. Mengontrak rumah dekat sekolah tetapi apa daya aku. Uang tidak pernah terkumpul untuk sekedar mengontrak rumah. Orang pada heran. Suami istri Pegawai Negeri Sipil tetapi untuk ngontrak rumah saja kami gak sanggup.

 

"Nes, kau kok melamun saja disitu. Bukannya kamu pijit kepala suamimu. Gak ada rasa sayang sedikitpun kau terhadap suaminya. Heran aku," titah bu Lastri sang mertua arogan. Enggak bisakah dia ngomong baik-baik jika menyuruh aku? Layaknya seperti pembantu atau musuh yang gak sanggup dia lawan saja.

 

"Iya, Bu." jawabku dan tanpa basa-basi aku pun langsung naik ke atas ranjang untuk memijat Mas Rama. 

 

"Yang kuat kau mijatnya. Macam manusia tak bertulang aja ku tengok. Lemah kali." Ya Allah. Mertua macam apa yang aku punya. Bisanya menghina saja. Beliau hanya bisa menuntut aku harus begini dan begitu. Sementara anaknya sendiri menganggap aku sebagai istrinya aja gak. Seakan-akan aku ini hanya jadi benalu di rumah ini. Padahal yang menjadi benalu itu mereka.

 

"Tapi, bu. Agnes juga masih capek karena baru pulang mengajar. Emang Agnes di sekolah hanya tidur-tiduran aja kayak pengangguran? Kalau ibu sih enak. Dirumah cuma leha-leha dan setiap akhir bulan sudah dapat uang. Nah Agnes? Harus kerja keras dulu baru dapat uang, Bu." sindirku dengan kesal.

 

Aku bukan gak mau melayani Mas Rama. Malah aku sangat menyayanginya tetapi jangan main paksa gitu dong. Seakan-akan aku ini tidak pernah melayani Mas Rama. 

 

"Dek ??? Kamu jangan kurang ajar sama ibu. Kalau gak mau kusuk Mas juga gak apa-apa. Biar aja Mas begini. Toh ada istri sama aja gak ada istri." sergah Mas Rama. Tiba-tiba saja Mas Rama malah menyudutkan ku. Seolah-olah aku tidak pernah mengurus suami. Jadi yang aku kerjakan selama ini kok gak nampak di mata mereka.

 

"Kenapa Mas ngomong begitu? Maksud Mas, apa? Jadi selama ini Mas menganggap aku gak pernah ada?" tanyaku penuh amarah. Bukan maksud durhaka terhadap suami. Siapa yang tahan hidup begini terus. Mereka semua pada menyudutkan aku. Suami sendiri saja menganggap aku sebagai orang lain. Gak dibelanya sedikitpun istrinya. Entah kesalahan apa yang aku perbuat seakan mereka sangat membenci aku.

 

"Keluar saja kau dari kamar ku. Aku mau tidur. Ada kamu di kamar ini malah bikin aku tambah sakit."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
parah suami sm mertya kya gitumh tinggalin
goodnovel comment avatar
Lucky Ari
punya suami tak bertanggung jwb tinggalin aja pulang kampung tengok bpk udh ngga usah pamit biar tahu rasa drpd cerita bertele² mending sendiri khan udh punya penghasilan pisah rumah aja biar tahu suami ngga teriak² manja
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTASĀ Ā Ā Kasihan Mas Rama

    Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTASĀ Ā Ā Menyesal Tidak Ada Gunanya

    "Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTASĀ Ā Ā Bermain Dengan Niken

    "Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTASĀ Ā Ā Agnes melahirkan

    Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTASĀ Ā Ā Bahagia Bersama Putriku

    Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTASĀ Ā Ā Mantan Mertua Masuk Rumah Sakit Jiwa

    Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status