Share

Bab 5. Agnes Dituduh Memakai Pelet

"Istri macam apa kamu ini, Nes? Suami sakit aja kau gak tau. Memang kamu ini istri yang gak becus ngurus suami. Heran aku lihat anak ini. Entah apa bisanya?"

 

"Manalah saya tau, Bu. Mas Rama saja tidurnya tadi malam entah dimana, entah sama siapa. Dia itu tidak pernah menganggap saya ini sebagai istri. Buat apa saya repot-repot ngurusin dia?" ujarku dan disambut dengan tatapan kesal dari mertua dan mata beliau melotot seakan bola mata akan keluar dari sarangnya.

 

Punya suami marah dikit dengan istri langsung minggat tidur dengan ibunya. Suami masih di bawah ketiak mamaknya sih emang begitu.

 

"Kasian kali lah anakku Rama. Nasib buruk dia ber jodohkan wanita seperti kamu, Nes. Sudah gak pandai masak gak perhatian terhadap suami. Cantik juga enggaknya kamu itu. Apa sih yang bikin anakku menjadikan kamu sebagai istrinya?"

 

"Mungkin kak Agnes memakai pelet, Bu. Percaya deh sama aku. Kawan sekelas aku begitu juga. Kakak iparnya jelek banget tetapi abangnya yang ganteng itu sangat menyayangi dan mencintainya. Padahal kalau kita lihat gak ada sedikitpun yang menarik dalam diri wanita itu. Ternyata dia itu memakai jasa dukun. Abangnya sampai lupa sama kedua orang tuanya." ucap Sinta mengompori mamaknya. Memang anak itu belum pernah merasakan seatap dengan mertua makanya bisa ngomong begitu. Nanti jika dia sudah merasakannya baru mereka akan menyesal telah berbuat zalim terhadap aku. Semoga saja ipar dan mertuanya tidak seperti ipar dan mertuaku. Biasanya sih hukum karma itu pasti ada.

 

"Bisa jadi. Ibu pun yakin mas Rama mu sudah makan jampi-jampi dari Agnes. Makanya dia seperti orang bodoh jadinya." ucap mertua ketus.

 

"Astagfirullah. Istighfar, Bu. Kamu lagi Sinta. Ngomong jangan asal jeplak. Kakak gak ada sedikitpun memakai jasa dukun. Kenal aja gak. Lagian gak pernah terpikirkan oleh ku sedikitpun untuk memakai jasa mereka, karena aku tidak pernah percaya yang namanya praktek dukun. Mereka tukang ngibul semua tuh." ujarku membela diri.

 

"Alah ... Maling mana mau ngaku, ya kan, Bu?" sergah Sinta. 

 

"Terserah saja kamu mau ngomong apa. Saya gak mau mencari pembenaran diri. Yang penting aku tidak melakukan perbuatan seperti yang kalian tuduhkan. Aku tau bagaimana dosa menduakan Tuhan. Terserah orang mau menuduh apa saja terhadapku. Toh dosanya  tanggung masing-masing." Sudah muak rasanya berbicara dengan mereka berdua.

 

Beginilah nasib jika tinggal seatap sama mertua dan ipar yang tidak pernah bisa bersahabat dengan menantu. Padahal apa kurangnya aku. Uang belanja untuk seluruh penghuni rumah ini aku yang tanggung.

 

Sementara suamiku setiap gajian selalu saja dia setor untuk ibunya. Seakan tidak berfikir jika aku juga kepingin menikmati hasil keringat suami sendiri.

 

Gajian aku buat belanja hari-hari, sementara gaji mas Rama buat ibu dan Sinta berfoya-foya. Lihat saja ditangan ibu dan anak tersebut. Penuh dengan perhiasan. Sementara aku jangankan emas satu gram buat beli celana dalam saja cuma bisa beli setahun sekali, itupun nunggu tunjangan hari raya.

 

"Bu ... " Terdengar suara teriakan dari dalam kamar ibu mertua. Seperti suara Mas Rama. Kami bertiga saling bertatapan dan langsung lari berhamburan ke kamar tempat Mas Rama beristirahat.

"Ada apa, Mas?" bergegas aku mendekati Mas Rama yang masih terbaring di ranjang kamar ibu mertuaku.

 

"Kenapa, Nak? Ada yang sakit, ya?" Rasanya antara sakit hati dan ingin tertawa rasanya mendengar perkataan ibu mertua. Rasa itu datang bersamaan dalam pikiranku ini. Suamiku Rama Pratama umurnya sudah diangka tiga puluh tahun tetapi masih saja diperlakukan layaknya anak kecil sama ibunya. 

 

"Kepala Rama sakit kali, Bu. Rasanya mau pecah?" keluh Mas Rama. 

 

"Mungkin kamu sedang banyak pikiran ya, Nak. Tidak usah terlalu dipikirkan masalah Sinta. Kalo gak ada uang buat dia belanja setelah pesta nanti, ya udah, gak apa-apa kok. Yang penting kamu dan Sinta tetap sehat-sehat selalu ya, sayang." ternyata Mas Rama sedang banyak pikiran toh. Tetapi yang dipikirkan bukan perkembangan anak kami atau masalah dalam rumah tangga kami, tetapi beliau sedang memikirkan kondisi keuangan ibunya.

Ini sudah biasa dalam rumah tangga kami berdua.

 

Jika keinginannya gak kesampaian pasti segala penyakitnya akan datang. Ya sakit lambung lah, sakit kepala dan ujung-ujungnya aku harus mengalah memberikan apa saja yang dia minta.

 

Aku sudah tau ujungnya kemana. Akhir cerita aku juga yang harus mengeluarkan semua gaji aku untuk kebutuhan anggota keluarga ini. Yang jelas sekarang akan bertambah satu orang lagi. Yaitu suami Sinta.

 

Ingin rasanya keluar saja dari rumah ini. Mengontrak rumah dekat sekolah tetapi apa daya aku. Uang tidak pernah terkumpul untuk sekedar mengontrak rumah. Orang pada heran. Suami istri Pegawai Negeri Sipil tetapi untuk ngontrak rumah saja kami gak sanggup.

 

"Nes, kau kok melamun saja disitu. Bukannya kamu pijit kepala suamimu. Gak ada rasa sayang sedikitpun kau terhadap suaminya. Heran aku," titah bu Lastri sang mertua arogan. Enggak bisakah dia ngomong baik-baik jika menyuruh aku? Layaknya seperti pembantu atau musuh yang gak sanggup dia lawan saja.

 

"Iya, Bu." jawabku dan tanpa basa-basi aku pun langsung naik ke atas ranjang untuk memijat Mas Rama. 

 

"Yang kuat kau mijatnya. Macam manusia tak bertulang aja ku tengok. Lemah kali." Ya Allah. Mertua macam apa yang aku punya. Bisanya menghina saja. Beliau hanya bisa menuntut aku harus begini dan begitu. Sementara anaknya sendiri menganggap aku sebagai istrinya aja gak. Seakan-akan aku ini hanya jadi benalu di rumah ini. Padahal yang menjadi benalu itu mereka.

 

"Tapi, bu. Agnes juga masih capek karena baru pulang mengajar. Emang Agnes di sekolah hanya tidur-tiduran aja kayak pengangguran? Kalau ibu sih enak. Dirumah cuma leha-leha dan setiap akhir bulan sudah dapat uang. Nah Agnes? Harus kerja keras dulu baru dapat uang, Bu." sindirku dengan kesal.

 

Aku bukan gak mau melayani Mas Rama. Malah aku sangat menyayanginya tetapi jangan main paksa gitu dong. Seakan-akan aku ini tidak pernah melayani Mas Rama. 

 

"Dek ??? Kamu jangan kurang ajar sama ibu. Kalau gak mau kusuk Mas juga gak apa-apa. Biar aja Mas begini. Toh ada istri sama aja gak ada istri." sergah Mas Rama. Tiba-tiba saja Mas Rama malah menyudutkan ku. Seolah-olah aku tidak pernah mengurus suami. Jadi yang aku kerjakan selama ini kok gak nampak di mata mereka.

 

"Kenapa Mas ngomong begitu? Maksud Mas, apa? Jadi selama ini Mas menganggap aku gak pernah ada?" tanyaku penuh amarah. Bukan maksud durhaka terhadap suami. Siapa yang tahan hidup begini terus. Mereka semua pada menyudutkan aku. Suami sendiri saja menganggap aku sebagai orang lain. Gak dibelanya sedikitpun istrinya. Entah kesalahan apa yang aku perbuat seakan mereka sangat membenci aku.

 

"Keluar saja kau dari kamar ku. Aku mau tidur. Ada kamu di kamar ini malah bikin aku tambah sakit."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
parah suami sm mertya kya gitumh tinggalin
goodnovel comment avatar
Lucky Ari
punya suami tak bertanggung jwb tinggalin aja pulang kampung tengok bpk udh ngga usah pamit biar tahu rasa drpd cerita berteleĀ² mending sendiri khan udh punya penghasilan pisah rumah aja biar tahu suami ngga teriakĀ² manja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status