Share

Bab 4. Mas Rama Sakit

Penulis: Trinagi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-04 14:44:43

"Kenapa emang kalau belum Adek tarik semua uangnya? Mau mas pinjam?"

 

"Iya. Buat menutupi kekurangan uang belanja aneka pernak pernik souvenir dan biaya makan calon suami Sinta selama seminggu kedepan, Dek."

 

"Loh, biaya makan calon suami Sinta kenapa harus kita yang tanggung? Bukannya dia punya uang sendiri? Kata ibu, suami Sinta karyawan swasta yang duitnya berlimpah ruah? Kok aku semakin heran dengan cara berfikir keluarga Mas ini."

 

"Coba Adek pikir. Apa mungkin suaminya baru datang udah kita mintai uang belanja? Ibu pun ada perasaan."

 

"Adek tau, ibu memang orangnya sangat sensitif. Tapi jangan membebani aku juga dong, Mas. Aku juga ada keperluan. Mas tau sendiri, kan? Bapak sakit dan Adek harus pulang kampung segera untuk menjenguk bapak."

 

"Uangnya Mas pake sebentar saja kok. Hanya   beberapa hari saja. Nanti jika keluar bonus, Mas akan bayar deh."

 

"Mas akan membayar utang sama Adek? Mimpi apa Mas mau membayar utang sama istri Mas ini? Hahaha. Mas ... Mas ... Lucu banget lawak kamu, ya. Hahaha. Jangankan uang Adek yang notabene istri Mas. Uang Kak Ayu saja udah bertahun-tahun gak ada niat pun buat Mas bayarnya."

 

"Nanti sekalian Mas bayar uang Kak Ayu juga. Banyak kok bonus Mas menjelang ramadhan. Kamu tenang ajalah."

 

"Tenang bagaimana? Adek mau pulang kampung menjenguk orang tua malah Mas minta uang? Gak ... Gak mau Adek kasih. Nanti biaya hidup kami selama dikampung siapa yang biayai? Masak Adek mau membebani Ibu lagi? Kasian. Bukannya membantu malah membebani jadinya."

 

"Ya ampun, Dek. Minta pinjam aja susah sekali sama kamu. Sama suami aja pelitnya minta ampun."

 

"Dek, percayalah sama Mas. Mas janji uangnya nanti Mas bayar dua kali lipat. Ditambah uang kak Ayu juga."

 

"Kenapa dari dulu-dulu tidak pernah kepikiran buat bayarin uang kak Ayu. Padahal Mas sering mendapatkan bonus. Malah utang sama kak Ayu sampe bertahun-tahun tidak Mas bayar? Sekurang-kurangnya dicicil. Memang Adek lihat gak ada niat dari Mas untuk membayarnya."

 

"Ya gak gitu juga. Namanya kita banyak kebutuhan, Dek. Macam gak tau aja kebutuhan kita semakin hari semakin tinggi."

 

"Banyak kebutuhan Mas bilang? Kebutuhan yang mana? Belanja di rumah semua Adek yang tanggulangi. Kebutuhan yang mana lagi?"

 

"Adek perhitungan sekali, ya sama suami. Jangan terlalu pelit. Uang istri uang suami juga, begitu juga sebaliknya."

 

"Gak salah yang Mas katakan itu? Selama kita berumah tangga, Adek tidak pernah tau berapa gaji Mas. Dan Mas juga apa pernah memberikan Adek uang belanja? Enggak kan? Bukankah yang pantas dibilang pelit itu Mas? Kurang royal apalagi Adek terhadap keluarga Mas. Maunya Mas mungkin kalai saya kssih nyawa saya baru enggak pelit ya? Gitu maksud Mas?"

 

"Namanya juga gaji Mas cuma sedikit, Dek."

 

"Adek heran lihat Mas. Didepan Adek aja Mas menunjukkan seolah-olah Mas itu manusia paling susah. Seakan-akan aku ini mau meminta dan mengemis. Mas pikir Adek ini gila harta? Gak, Mas ... Aku gak mau meminta uang dari Mas sedikitpun. Tetapi Mas lepas dari tanggung jawab. Mas fikir dengan istri bekerja jadi Mas gak bertanggung jawab menafkahi? Mas salah besar."

 

"Adek mau minta pun gak apa-apa kok. Masalahnya Mas yang gak punya duit. Kalau duit Mas banyak pasti akan Mas kasih buat Adek selaku istri Mas."

 

"Tapi bonus yang setiap lebaran keluar itu kemana uang itu berlabuh, Mas? Apa pernah Mas kasihkan kepada Adek selaku istri Mas?"

 

"Alah Adek ... Masalah sepele begitu aja dipermasalahkan."

 

"Apa Mas bilang? Sepele?"

 

"Dan satu yang harus Mas ketahui, ya? Seorang istri itu juga punya hak terhadap gaji suaminya. Adek gak mengharapkan gaji kamu, Mas. Adek punya gaji sendiri. Adek hanya ingin Mas jujur sekali aja. Kemana Mas bawa uang Mas selama ini rupanya?" dengan berapi-api aku menanyakan pendapatan suamiku selama menikah. 

 

Menikah dengannya sudah menginjak di angka delapan tahun. Jangankan uang gaji. Buat kami makan sehari-hari saja Mas Rama tidak pernah sekalipun memberikan aku uang. Alasannya potongan bank. Katanya sebelum menikah dengan aku dia telah mengambil sejumlah uang buat mahar dan pesta pernikahan kami.

 

Kalau aku tau pesta pernikahan kami memakai uang kredit bank, lebih bagus gak usah dipestain pernikahan kami semewah itu. Cukup ijab kabul dan memanggil beberapa orang kerabat saja.

 

Untuk apa kelihatan kaya tetapi dari berutang? Bagus hidup sederhana saja tapi hidup tenang tanpa lilitan hutang riba yang mencekik leher.

 

"Kan sudah Mas bilang dari kemaren-kemaren, Dek. Uang gaji Mas banyak potongan bank. Jadi kamu yang sabar. Gak lama lagi akan lunas, kok."

 

"Bonus kemana Mas bawa?"

 

"Bonus dipegang ibu semua lah, Dek. Kasian beliau udah tua gak megang uang. Namanya juga orang tua, mana tau beliau kepingin beli jajan, mau meminta sama Mas beliau segan. Gak banyak kok Dek. Cuma sepuluh juta aja. Apa salahnya Mas kasih buat ibu uang segitu? Ya kan, Dek. Namanya juga untuk membahagiakan orang tua."

 

Bonus dan gaji gak ada lagi. Semua sudah ada penerima dan aku hanya sebagai korban yang ditakdirkan harus menderita terus mendampingi suami macam pak Raden dalam serial si unyil.

 

Dari hari pertama ijab kabul sampai detik ini aku tidak pernah merasakan yang namanya gaji Mas Rama. Semua biaya rumah tangga kami dari yang remeh temeh sampai keperluan yang mendadak selalu memakai uang gaji aku. Kadang aku berfikir buat apa menikah kalau tidak pernah di nafkahi.

 

"Udahlah, Dek. Mas malas berdebat hanya masalah uang dan uang. Kalau gak Adek kasih ya udah. Untuk apa berantem. Bikin hidup semakin ribet aja. Kamu memang istri yang selalu bikin ribet dan nyusahin suami." Ujar mas Rama dan beliau berlalu begitu saja dari kamar. Lebih sakitnya lagi dia membanting pintu dengan sekuat tenaga seakan disini akulah manusia yang paling bersalah.

 

Begitulah Mas Rama kalau marah. Pintu yang di banting. Barang apapun yang berada dihadapannya akan di tendang bahkan dia tidak perduli jadi perhatian orang di sekitarnya. Lama-lama bisa rusak semua isi rumah ini jika sifat Mas Rama itu tidak berubah.

 

Setelah marah-marah tak karuan Mas Rama tidak mau lagi bertegur sapa dengan aku. Dirumah ini sepertinya aku sangat merasa asing. Mereka memperlakukan aku seperti pembantu begitu juga dengan suamiku. Malah dia tidak mengajak aku berbicara sepatah katapun atau sekedar berberbasa-basi aja dia tidak mau.

 

Ternyata Mas Rama semalan gak tidur di kamar kami melainkan dia tidur bersama dengan ibu dan adiknya. Hanya gara-gara aku tidak mau meminjamkan uang buat pesta dan membiayai hidup calon suami Sinta. 

 

Satu keluarga sama saja. Sama-sama benalu dalam kehidupanku. Mempunyai suami seperti Mas Rama hanya berstatus diatas kertas saja. Karena selama menjadi istri dia aku tidak pernah di nafkahi. Dan aku hanya di jadikan kain lap oleh adik ipar dan ibu mertua.

 

Dan mereka hanya memanfaatkan aku karena diri ini mempunyai gaji bulanan yang bisa mereka harapkan. Jadi gaji aku, mereka memakai untuk biaya makan sehari-hari, sementara gaji suamiku buat biayai berfoya-foya mertua dan adik ipar.

 

Heran juga. Padahal mertua mempunyai gaji pensiun dari suaminya yang sudah lama meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.

 

Nah itu juga menjadi pertanyaanku. Kemana dia bawa gaji pensiun bapak mertua. Segitu besarkah kebutuhan hidup mereka?

Begitu pelitnya. Jangankan untuk orang lain untuk biaya makannya sendiri saja pelit. 

 

"Nes ... Agnes." suara ibu mertua dari luar. Segera aku beranjak bangun lalu membuka pintu kamar dengan malas.

 

"Ada apa, Bu?"

 

"Tidur kamu? Kok enak banget sih." kata wanita tua itu kesal melihat aku keluar dari kamar dengan rambut acak-acakan.

 

"Iya, Bu. Agnes capek seharian bekerja mengajar anak-anak yamg bandelnya minta ampun."

 

"Enak banget ya? Suamimu sakit di kamar malah kau serahkan dia untuk aku? Maksudmu apa?"

 

"Mas Rama sakit? Sakit apa, Bu?" Tanyaku khawatir.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
biarin z jgn peduliin biar tau rasa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Kasihan Mas Rama

    Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Menyesal Tidak Ada Gunanya

    "Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bermain Dengan Niken

    "Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Agnes melahirkan

    Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bahagia Bersama Putriku

    Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Mantan Mertua Masuk Rumah Sakit Jiwa

    Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status