Share

Bab 4. Mas Rama Sakit

"Kenapa emang kalau belum Adek tarik semua uangnya? Mau mas pinjam?"

 

"Iya. Buat menutupi kekurangan uang belanja aneka pernak pernik souvenir dan biaya makan calon suami Sinta selama seminggu kedepan, Dek."

 

"Loh, biaya makan calon suami Sinta kenapa harus kita yang tanggung? Bukannya dia punya uang sendiri? Kata ibu, suami Sinta karyawan swasta yang duitnya berlimpah ruah? Kok aku semakin heran dengan cara berfikir keluarga Mas ini."

 

"Coba Adek pikir. Apa mungkin suaminya baru datang udah kita mintai uang belanja? Ibu pun ada perasaan."

 

"Adek tau, ibu memang orangnya sangat sensitif. Tapi jangan membebani aku juga dong, Mas. Aku juga ada keperluan. Mas tau sendiri, kan? Bapak sakit dan Adek harus pulang kampung segera untuk menjenguk bapak."

 

"Uangnya Mas pake sebentar saja kok. Hanya   beberapa hari saja. Nanti jika keluar bonus, Mas akan bayar deh."

 

"Mas akan membayar utang sama Adek? Mimpi apa Mas mau membayar utang sama istri Mas ini? Hahaha. Mas ... Mas ... Lucu banget lawak kamu, ya. Hahaha. Jangankan uang Adek yang notabene istri Mas. Uang Kak Ayu saja udah bertahun-tahun gak ada niat pun buat Mas bayarnya."

 

"Nanti sekalian Mas bayar uang Kak Ayu juga. Banyak kok bonus Mas menjelang ramadhan. Kamu tenang ajalah."

 

"Tenang bagaimana? Adek mau pulang kampung menjenguk orang tua malah Mas minta uang? Gak ... Gak mau Adek kasih. Nanti biaya hidup kami selama dikampung siapa yang biayai? Masak Adek mau membebani Ibu lagi? Kasian. Bukannya membantu malah membebani jadinya."

 

"Ya ampun, Dek. Minta pinjam aja susah sekali sama kamu. Sama suami aja pelitnya minta ampun."

 

"Dek, percayalah sama Mas. Mas janji uangnya nanti Mas bayar dua kali lipat. Ditambah uang kak Ayu juga."

 

"Kenapa dari dulu-dulu tidak pernah kepikiran buat bayarin uang kak Ayu. Padahal Mas sering mendapatkan bonus. Malah utang sama kak Ayu sampe bertahun-tahun tidak Mas bayar? Sekurang-kurangnya dicicil. Memang Adek lihat gak ada niat dari Mas untuk membayarnya."

 

"Ya gak gitu juga. Namanya kita banyak kebutuhan, Dek. Macam gak tau aja kebutuhan kita semakin hari semakin tinggi."

 

"Banyak kebutuhan Mas bilang? Kebutuhan yang mana? Belanja di rumah semua Adek yang tanggulangi. Kebutuhan yang mana lagi?"

 

"Adek perhitungan sekali, ya sama suami. Jangan terlalu pelit. Uang istri uang suami juga, begitu juga sebaliknya."

 

"Gak salah yang Mas katakan itu? Selama kita berumah tangga, Adek tidak pernah tau berapa gaji Mas. Dan Mas juga apa pernah memberikan Adek uang belanja? Enggak kan? Bukankah yang pantas dibilang pelit itu Mas? Kurang royal apalagi Adek terhadap keluarga Mas. Maunya Mas mungkin kalai saya kssih nyawa saya baru enggak pelit ya? Gitu maksud Mas?"

 

"Namanya juga gaji Mas cuma sedikit, Dek."

 

"Adek heran lihat Mas. Didepan Adek aja Mas menunjukkan seolah-olah Mas itu manusia paling susah. Seakan-akan aku ini mau meminta dan mengemis. Mas pikir Adek ini gila harta? Gak, Mas ... Aku gak mau meminta uang dari Mas sedikitpun. Tetapi Mas lepas dari tanggung jawab. Mas fikir dengan istri bekerja jadi Mas gak bertanggung jawab menafkahi? Mas salah besar."

 

"Adek mau minta pun gak apa-apa kok. Masalahnya Mas yang gak punya duit. Kalau duit Mas banyak pasti akan Mas kasih buat Adek selaku istri Mas."

 

"Tapi bonus yang setiap lebaran keluar itu kemana uang itu berlabuh, Mas? Apa pernah Mas kasihkan kepada Adek selaku istri Mas?"

 

"Alah Adek ... Masalah sepele begitu aja dipermasalahkan."

 

"Apa Mas bilang? Sepele?"

 

"Dan satu yang harus Mas ketahui, ya? Seorang istri itu juga punya hak terhadap gaji suaminya. Adek gak mengharapkan gaji kamu, Mas. Adek punya gaji sendiri. Adek hanya ingin Mas jujur sekali aja. Kemana Mas bawa uang Mas selama ini rupanya?" dengan berapi-api aku menanyakan pendapatan suamiku selama menikah. 

 

Menikah dengannya sudah menginjak di angka delapan tahun. Jangankan uang gaji. Buat kami makan sehari-hari saja Mas Rama tidak pernah sekalipun memberikan aku uang. Alasannya potongan bank. Katanya sebelum menikah dengan aku dia telah mengambil sejumlah uang buat mahar dan pesta pernikahan kami.

 

Kalau aku tau pesta pernikahan kami memakai uang kredit bank, lebih bagus gak usah dipestain pernikahan kami semewah itu. Cukup ijab kabul dan memanggil beberapa orang kerabat saja.

 

Untuk apa kelihatan kaya tetapi dari berutang? Bagus hidup sederhana saja tapi hidup tenang tanpa lilitan hutang riba yang mencekik leher.

 

"Kan sudah Mas bilang dari kemaren-kemaren, Dek. Uang gaji Mas banyak potongan bank. Jadi kamu yang sabar. Gak lama lagi akan lunas, kok."

 

"Bonus kemana Mas bawa?"

 

"Bonus dipegang ibu semua lah, Dek. Kasian beliau udah tua gak megang uang. Namanya juga orang tua, mana tau beliau kepingin beli jajan, mau meminta sama Mas beliau segan. Gak banyak kok Dek. Cuma sepuluh juta aja. Apa salahnya Mas kasih buat ibu uang segitu? Ya kan, Dek. Namanya juga untuk membahagiakan orang tua."

 

Bonus dan gaji gak ada lagi. Semua sudah ada penerima dan aku hanya sebagai korban yang ditakdirkan harus menderita terus mendampingi suami macam pak Raden dalam serial si unyil.

 

Dari hari pertama ijab kabul sampai detik ini aku tidak pernah merasakan yang namanya gaji Mas Rama. Semua biaya rumah tangga kami dari yang remeh temeh sampai keperluan yang mendadak selalu memakai uang gaji aku. Kadang aku berfikir buat apa menikah kalau tidak pernah di nafkahi.

 

"Udahlah, Dek. Mas malas berdebat hanya masalah uang dan uang. Kalau gak Adek kasih ya udah. Untuk apa berantem. Bikin hidup semakin ribet aja. Kamu memang istri yang selalu bikin ribet dan nyusahin suami." Ujar mas Rama dan beliau berlalu begitu saja dari kamar. Lebih sakitnya lagi dia membanting pintu dengan sekuat tenaga seakan disini akulah manusia yang paling bersalah.

 

Begitulah Mas Rama kalau marah. Pintu yang di banting. Barang apapun yang berada dihadapannya akan di tendang bahkan dia tidak perduli jadi perhatian orang di sekitarnya. Lama-lama bisa rusak semua isi rumah ini jika sifat Mas Rama itu tidak berubah.

 

Setelah marah-marah tak karuan Mas Rama tidak mau lagi bertegur sapa dengan aku. Dirumah ini sepertinya aku sangat merasa asing. Mereka memperlakukan aku seperti pembantu begitu juga dengan suamiku. Malah dia tidak mengajak aku berbicara sepatah katapun atau sekedar berberbasa-basi aja dia tidak mau.

 

Ternyata Mas Rama semalan gak tidur di kamar kami melainkan dia tidur bersama dengan ibu dan adiknya. Hanya gara-gara aku tidak mau meminjamkan uang buat pesta dan membiayai hidup calon suami Sinta. 

 

Satu keluarga sama saja. Sama-sama benalu dalam kehidupanku. Mempunyai suami seperti Mas Rama hanya berstatus diatas kertas saja. Karena selama menjadi istri dia aku tidak pernah di nafkahi. Dan aku hanya di jadikan kain lap oleh adik ipar dan ibu mertua.

 

Dan mereka hanya memanfaatkan aku karena diri ini mempunyai gaji bulanan yang bisa mereka harapkan. Jadi gaji aku, mereka memakai untuk biaya makan sehari-hari, sementara gaji suamiku buat biayai berfoya-foya mertua dan adik ipar.

 

Heran juga. Padahal mertua mempunyai gaji pensiun dari suaminya yang sudah lama meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.

 

Nah itu juga menjadi pertanyaanku. Kemana dia bawa gaji pensiun bapak mertua. Segitu besarkah kebutuhan hidup mereka?

Begitu pelitnya. Jangankan untuk orang lain untuk biaya makannya sendiri saja pelit. 

 

"Nes ... Agnes." suara ibu mertua dari luar. Segera aku beranjak bangun lalu membuka pintu kamar dengan malas.

 

"Ada apa, Bu?"

 

"Tidur kamu? Kok enak banget sih." kata wanita tua itu kesal melihat aku keluar dari kamar dengan rambut acak-acakan.

 

"Iya, Bu. Agnes capek seharian bekerja mengajar anak-anak yamg bandelnya minta ampun."

 

"Enak banget ya? Suamimu sakit di kamar malah kau serahkan dia untuk aku? Maksudmu apa?"

 

"Mas Rama sakit? Sakit apa, Bu?" Tanyaku khawatir.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
biarin z jgn peduliin biar tau rasa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status