Beranda / Rumah Tangga / HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS / Bab 6. Niat Untuk Mencari Kontrakan

Share

Bab 6. Niat Untuk Mencari Kontrakan

Penulis: Trinagi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-17 12:36:00

"Keluar kau dari kamar Aku, Dek! Aku gak bisa tidur kalau ada kamu disini. Istri apaan cuma bisa bikin emosi aja. Tidak bisa menjadi istri yang bisa menenangkan hati suami!" Bentak Mas Rama dan seketika saja membuat diri ini syok. Bagaimana tidak. Didepan ibu mertua dan adik ipar aku diperlakukan seperti ini. Sungguh hina rasanya diri ini di depan mereka. Rasanya harga diriku sudah diinjak-injak sama keluarga lelaki yang sudah menikahi aku selama delapan tahun belakangan ini.

 

Banyak yang bertanya apa sih yang aku pertahankan tinggal disini. 

 

"Hanya karena memikirkan anak semata wayang kamu bertahan? Naif sekali kau, Nes," ujar Meisya sahabat kecilku. 

 

Saat itu kami sedang mengadakan reunian. Dan mereka menjemput aku di rumah mertua. Dan perlakuan mertua dan adik ipar sungguh tidak mengenakkan sedikitpun. Sehingga Meisya dan Putri sampai geleng-geleng kepala melihat ulah dua manusia tersebut.

 

"Kenapa gak ngontrak aja kau, Nes," saran Meisya waktu itu.

 

"Gak ada duit aku buat ngontrak. Gaji aku habis untuk biaya makan untuk suamiku dan keluarganya. Sementara gaji mas Rama setiap bulan diserahkan seratus persen buat ibunya semua. Tanpa ada sisa sedikitpun." ujarku waktu itu dan spontan saja membuat ketiga sahabat kaget atas semua yang aku alami saat ini

 

"Loh, kok gitu Rama. Gak bertanggung jawab sedikitpun terhadap istri dan anaknya. Jadi apa gunanya berumah tangga jika semua keperluan anak dan istri tidak pernah dipenuhinya? Kalau seandainya dia itu gak bekerja, aku sih, bisa memakluminya. Ini seorang pegawai negeri sipil dan anak masih satu. Sementara istri juga seorang pegawai negeri sipil juga tetapi gak sanggup ngontrak rumah. Ah ... Gak masuk akal banget, Nes." Meisya sangat emosi melihat nasib rumah tanggaku saat ini.

 

Aku tidak bisa berkutik mendengar ocehan dan amarah kedua sahabatku.

 

"Kau tinggalkan aja laki-laki macam gitu, Nes. Masak dia memperlakukan kamu hanya untuk teman tidur saja. Wanita dipinggir jalan aja dibayar mahal, Nes. Padahal mereka gak bersih. Semua lelaki pernah mencicipinya. Masak kalah sama mereka. Kamu wanita terhormat, punya penghasilan sendiri tetapi dibutuhkan hanya untuk menyalurkan hasratnya saja? Wih parah ni laki. Apa gunanya dipertahankan?" Kedua sahabatku tidak terima aku diperlakukan seperti pembantu gratis.

 

"Kalian mungkin heran melihat aku masih bertahan dengan perlakuan buruk suami dan mertuaku, ya, kan? Aku bertahan disini karena aku takut Niken kehilangan sosok bapaknya. Aku tidak ingin melihat dia stres jika tau bapak dan ibunya tidak harmonis. Jika bukan karena dia, mungkin aku

tidak berada di sini lagi," jelasku panjang lebar. 

 

"Dan yang lebih menakutkan bagi aku adalah menyandang status janda. Seorang janda selalu saja dihina dan dipandang sebelah mata. Mau ke mana-mana selalu saja jadi bahan olok-olokan apalagi seorang janda cerai. Pasti mereka akan memandang rendah diri ini. Pasti mereka menilai ada yang salah dengan diri ini. Dan satu lagi, Bapakku sudah tua dan tidak bisa banyak pikiran. Jadi susah atau senang terpaksa aku telan sendiri."

Jelasku panjang lebar. Aku juga sudah tidak tahan dengan rumah tangga toxic ini. Ingin mengakhiri, takut banyak hati yang akan tersakiti.

 

"Ya ... Gak gitu juga, Nes. Untuk apa kamu bertahan jika batinmu tersiksa? Punya suami seakan tidak mempunyai suami. Hanya status saja. Suami apa itu? Suami hanya diatas kertas. Gak punya tanggung jawab. Dan masih di bawah ketiak mamanya. Suruh menikah dengan mamanya aja kalo model begituan," ucap Siska penuh emosi.

 

"Sekarang gini aja, Nes. Ada uang gak ada uang kau paksakan aja kontrak rumah. Jangan lagi seatap dengan mertua. Dan ku tengok iparmu itu seperti benalu yang gak punya hati dan perasaan. Semoga dia nanti mendapatkan mertua lebih parah dari mertuamu. Biar adil,"  cerocos Putri.

 

Dia betul-betul emosi dan sakit hati sampai menyumpahi Sinta bernasib lebih buruk dari aku.

 

Dan sekarang semenjak reunian itu, aku mulai mendengarkan segala nasehat kedua sahabatku untuk memisahkan diri dari mertua. Aku sudah mulai menabung sedikit-sedikit untuk bisa melunasi rumah kontrakan supaya aku bisa terbebas dari manusia benalu di rumah ini. Dan aku tidak perduli Mas Rama mau ikut tinggal sama kami atau dia tetap bertahan di bawah ketiak ibunya.

 

***

 

Pagi sudah mulai menyapa. Sang rembulan kembali ke peraduannya dan memberikan kesempatan kepada sang Mentari menunjukkan keangkuhannya sebagai penguasa siang. 

 

Semalam suntuk aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan Mas Rama yang begitu tega mengusir aku dari kamarnya. Kalau tidur berbeda kamar seperti ini apa bedanya aku dengan pembantu? Dan apa gunanya aku bertahan disini? Toh tidak ada satupun penghuni di rumah ini yang memihak kepadaku.

 

Mungkin sekarang saatnya aku harus memikirkan untuk mencari kontrakan. Aku sadari uangku belum cukup untuk bayar setahun. Tapi tidak apalah, mungkin ada rumah yang bisa di bayar bulanan. 

 

Setelah menyiapkan sarapan aku segera bersiap-siap untuk ke sekolah. Nanti siang setelah pulang dari sekolah aku akan berkeliling untuk mencari rumah sewa. Niatku sudah bulat.

 

"Dek, mau kemana?" Tumben Mas Rama menegur aku padahal semalam suntuk dia mendiamkan aku. Dia tidak mau berbicara. Jangankan berbicara melihat wajahku saja dia enggan.

 

"Mau ke sekolah. Kenapa, Mas?" Aku balik bertanya. Aku ini masih sebagai istrinya jadi walau apapun yang terjadi aku harus menghargainya sebagai imamku.

 

"Dirumah mau pesta. Kamu malah mengajar, Dek? Apa kata orang nanti? Apa Adek belum minta ijin?"

 

"Adek minta ijin hanya untuk menjenguk bapak sakit nanti siap pesta, Mas. Kalau pesta juga Adek minta ijin gak enaklah, Mas. Kebanyakan minta ijin kasian juga anak-anak didik nanti banyak ketinggalan mata pelajaran." Aku berusaha menjelaskan panjang lebar dan aku juga berharap Mas Rama mau mengerti.

 

"Adek tega, ya. Pesta Sinta malah ditinggal pergi kerja. Siapa yang bantu nanti? Kadang mas berfikir isi kepala Adek ini ada gak, sih? Apa kosong atau bagaimana?" Mas Rama mulai lagi menghinaku hanya karena tidak membantu pesta.

 

"Isi kepala Adek kosong, Mas. Jadi harap maklum jika Adek agak rada-rada dikit, ya?" ucapku asal.

 

Bukan maksud aku untuk meninggalkan pesta. Bukan maksud aku ingin lari dari tugas yang sudah diberikan ibu mertua. Tetapi aku keluar sebentar saja. Hanya untuk mencari rumah kontrakan setelah mendapatkan rumah aku akan langsung pulang.

 

Aku berencana pokoknya sehari siap pesta diri ini beserta anakku sudah tidak berada lagi dirumah toxic ini.

 

"Adek mulai melawan suami sekarang? Merasa sudah hebat?" tantang Mas Rama.

 

"Aku gak ada niat mau melawan kamu, Mas. Aku tahu kamu itu Imam dalam rumah tangga kita. Dan aku sangat menghargai kamu sebagai suamiku." 

 

"Nah, kalau begitu, Mas minta kamu jangan mengajar hari ini, Dek. Kamu bantu ibu sebentar dibelakang."

 

"Sanak saudara kita rame, Mas. Kita serahkan pada mereka tidak apa-apa itu. Lagian kapan lagi kita bisa mempersatukan keluarga kalau gak di acara seperti ini?"

 

"Dek, Mas mohon. Dengar perkataan, Mas."

 

"Mas, Adek sebentar saja keluar, gak lama kok. Adek mau cari rumah kontrakan saja habis tu langsung pulang. Titip Niken sebentar ya?"

 

"Kenapa harus ngontrak, Dek. Rumah ibu lebar begini. Siapa lagi yang tempatin? Anak ibu hanya Mas sama Sinta. Jadi kami berencana akan menempati rumah ini sampai kapanpun supaya ibu gak kesepian." Jelas Mas Rama tapi jika seandainya mertua dan ipar aku gak cerewet dan baik hati mungkin aku tidak keberatan untuk tinggal disini.

 

Ini makan sehari-hari mereka aku yang tanggung,  mereka pula yang memusuhi aku. Bagai benalu. Manusia tidak tau diri namanya.

 

"Aku pengin mandiri, Mas." 

 

"Kan mubazir uang jika kita ngontrak."

 

"Gak apalah, Mas. Biar aja mubazir uang, yang penting hati tenang. Aku takut mati mendadak lama-lama tinggal disini."

 

"Apa maksud kamu, Dek? "

 

"Pernikahan macam apa yang kita jalani, Mas? Mempunyai suami hanya memikirkan dirinya sendiri dan keluarganya. Apa pernah Mas memikirkan bagaimana perkembangan mental anak kita? Sejauh mana kepandaiannya?"

 

"Diam ... Mulai ngelunjak kau sekarang, ya?" bentak mas Rama dan membuat aku diam seribu bahas.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Kasihan Mas Rama

    Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Menyesal Tidak Ada Gunanya

    "Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bermain Dengan Niken

    "Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Agnes melahirkan

    Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bahagia Bersama Putriku

    Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Mantan Mertua Masuk Rumah Sakit Jiwa

    Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status