LOGINKanya menarik napas dalam saat Adrian melepaskan tangannya, namun kehangatan jejak sentuhan itu masih tertinggal. Ia merasakan sedikit kebodohan karena membiarkan seorang pria yang baru ia temui selama sepuluh menit menembus tembok profesionalismenya.
"Sepuluh menit sudah berakhir, Nona Lawyer. Dan saya tidak ingin didenda karena melewati batas waktu Anda," ujar Adrian, bangkit dari kursinya dengan senyum misterius. Ia tidak menunggu jawaban Kanya, malah segera memberi isyarat kepada pelayan untuk memindahkan tagihan mereka ke konter pembayaran. Kanya buru-buru mengemasi laptop dan dokumennya, gerakan yang tiba-tiba terasa canggung di bawah pengawasan Adrian. Malam itu, ia merasa dirinya tidak lagi seperti corporate lawyer yang tegas, melainkan hanya seorang wanita muda yang tengah menghadapi pria yang lebih berbahaya dari gugatan hukum mana pun. Saat mereka berjalan menuju lift kaca yang akan membawa mereka turun dari lantai 45, Kanya akhirnya memecah keheningan.. "Adrian, Anda belum membayar dessert tiramisu saya. Jadi, saya anggap Anda masih berutang pada saya." Adrian tertawa kecil. "Benar. Tapi saya menawarkan Anda sesuatu yang lebih manis daripada tiramisu, Kanya. Saya menawarkan Anda waktu. Dan jika Anda bersedia menerima tawaran saya, maka kita akan memulai dessert itu sekarang." Lift turun dengan kecepatan penuh, pemandangan lampu Jakarta menyapu mata mereka seperti meteor yang jatuh. Di dalam kotak kaca itu, hanya ada Kanya, Adrian, dan pantulan diri mereka. Kanya memberanikan diri. "Oke. Saya ambil tawaran Anda. Tapi saya butuh kepastian. Siapa Anda sebenarnya, Adrian? Kenapa seorang investor sukses menghabiskan malam Jumatnya dengan membujuk seorang pengacara yang sibuk?" "Saya mencari rekan kerja, Kanya," jawab Adrian, suaranya kembali menjadi bisikan rendah yang privat, seolah seluruh kota di luar sana tidak boleh mendengarnya. "Saya akan membeli sebuah perusahaan yang akan segera bangkrut karena sengketa lahan. Itu akan jadi investasi terbesar saya tahun ini. Saya butuh pengacara yang cerdas, keras kepala, dan tahu bagaimana membaca celah di dalam kontrak sejelas Anda membaca orang." Kanya mengerutkan dahi. "Anda sedang mencari pengacara, bukan kencan. Anda bisa menghubungi kantor saya." "Saya tidak butuh firma Anda. Saya butuh Anda," Adrian menekankan kata itu, tatapannya menyelimuti Kanya. "Saya tidak suka birokrasi, Kanya. Saya suka efisiensi. Dan saya tahu, Anda adalah yang terbaik di antara yang terbaik, dan Anda tidak puas hanya menjadi roda penggerak di mesin besar itu. Anda ingin menjadi pembuat keputusan. Benar?" Lift terbuka di lantai dasar, dan mereka melangkah keluar menuju lobi marmer yang dingin, di mana bau hujan dan knalpot mobil menyambut mereka. Di luar, puluhan mobil mewah berjajar menunggu. Adrian segera menyentuh punggung Kanya, memandunya melewati keramaian. "Jadi, saya menawarkan Anda sesuatu yang lebih besar dari kenaikan gaji, kebebasan untuk mengambil keputusan. Dan sebagai permulaan, mari kita lanjutkan diskusi ini di tempat yang lebih tenang. Saya harus mengantar Anda pulang." Lanjut Adrian Adrian memandunya melewati keramaian lobi. Tangan di punggung Kanya adalah sentuhan singkat, namun cukup untuk mengarahkan Kanya ke sebuah sedan hitam mengilap yang sudah menunggu di pintu masuk. Pengemudi segera membuka pintu belakang, seolah sudah tahu betul ke mana bosnya akan pergi. Saat Kanya duduk, ia merasakan kemewahan jok kulit yang dingin. Di dalam mobil, suasana terasa lebih privat dan intim daripada di lantai 45 tadi. Kaca mobil kedap suara, menciptakan gelembung sunyi di tengah bisingnya klakson Jakarta. "Tolong antar Nona Kanya ke Apartemen Regent Park," perintah Adrian pada pengemudi tanpa melihat ke belakang. Kemudian, ia berbalik total menghadap Kanya. "Jadi," Kanya memulai, berusaha mengembalikan kendali. "Anda bilang Anda membeli perusahaan yang bangkrut karena sengketa lahan. Itu kasus yang sangat kotor, Adrian. Kenapa harus diinvestasikan?" Adrian menyandarkan bahunya dengan santai. "Semakin kotor, semakin murah harganya. Dan semakin rumit kasusnya, semakin besar untungnya ketika dibersihkan. Itu prinsip investasi, Kanya. Saya melihat sengketa sebagai peluang, bukan masalah." "Dan Anda ingin saya membersihkannya?" tanya Kanya, pandangannya tajam. "Saya ingin Anda menjadi otak hukum di belakang pembersihan itu. Kasus ini membutuhkan seseorang yang tanpa ampun, yang tidak takut melawan pemain lama di Jakarta. Seorang corporate lawyer muda yang ambisius, seseorang seperti Anda." Adrian mendekatkan wajahnya sedikit, mata tajamnya mencari reaksi Kanya. "Ini bukan pekerjaan yang bisa Anda diskusikan dengan partner senior Anda, Kanya. Ini adalah kesepakatan yang dibuat di balik tirai." Kanya merasakan dadanya berdebar. Bukan hanya karena kedekatan Adrian, tetapi juga karena adrenalin dari tawaran itu. Dia memang mendambakan otonomi penuh, tetapi tawaran ini terasa terlalu cepat, terlalu rahasia. "Dan apa yang saya dapatkan, selain kebebasan yang Anda janjikan? Kompensasi?" Tanya Kanya Sambil mengerutkan dahi "Tentu saja. Anda akan mendapatkan bagian persentase dari keuntungan, Kanya. Jumlahnya akan jauh lebih besar daripada gaji tahunan Anda di firma. Tapi yang paling penting," Adrian menyela, suaranya melunak, "Anda akan mendapatkan kepuasan. Kepuasan bahwa Anda tidak hanya memenangkan kasus untuk orang lain, tetapi Anda membangun kerajaan Anda sendiri." Kanya menoleh ke jendela, membiarkan pemandangan jalanan Jakarta yang basah memantul di matanya. Adrian tahu cara memancing ambisinya. Ia tahu cara membuat tawaran yang sulit ditolak. "Anda sangat persuasif, Adrian. Hampir berbahaya." Adrian tersenyum, menyentuh tepi rambut Kanya dengan jari telunjuknya. "Bahaya adalah bagian dari kesenangan, Kanya. Dan bagi saya, corporate lawyer ambisius yang bekerja sendirian di malam hari... itu adalah bahaya yang sangat menarik." Mobil itu perlahan berhenti di depan lobi mewah apartemen Kanya. Pengemudi membuka pintu. "Pikirkan tawaran saya. Saya akan menelepon Anda lusa untuk mendengar jawaban Anda," kata Adrian, pandangannya tidak pernah lepas dari mata Kanya. Ia tidak meminta nomor Kanya, ia tahu dia akan mendapatkannya. Saat Kanya melangkah keluar, ia berbalik. "Dan tiramisu-nya?" "Itu adalah janji untuk kencan resmi kita, Nona Lawyer. Pikirkan tawaran saya, dan saya akan memberikan kencan yang layak untuk seorang wanita yang ambisius," Adrian berbisik. Dia mengulurkan tangannya, dan Kanya merasakannya menyentuh lembut pipinya. Sentuhan itu sesaat, tapi cukup untuk meninggalkan jejak janji, atau peringatan, yang berlama-lama di kulitnya. Kanya mengangguk, lalu berbalik, merasakan tatapan Adrian menembus punggungnya. Ia tahu dia baru saja bertemu dengan pria yang akan mengubah seluruh alur hidupnya, bisa menjadi penyelamat terbesar, atau kehancuran paling manis.Perjalanan singkat dari hotel menuju penthouse Adrian terasa seperti perpindahan dimensi. Keheningan di dalam mobil mewah itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang mendidih. Kanya menyandarkan kepala ke jendela, menatap lampu-lampu jalan Jakarta yang melintas dengan cepat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berlebihan. Namun, setiap sentuhan Adrian—jari-jarinya yang sesekali melingkari pergelangan tangannya, atau ibu jarinya yang mengusap punggung tangannya—mengkhianati usahanya.Adrian mengemudi dengan santai, seolah ia sedang mengantar pulang seorang teman lama, bukan seorang pengacara yang baru saja ia cium, dan yang baru saja ia paksakan untuk masuk ke dalam permainan terlarangnya.“Kau terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja melanggar semua etika profesionalnya,” ujar Kanya, suaranya sedikit serak.Adrian tertawa kecil, suara baritonnya bergetar di ruang sempit mobil. “Aku tidak melanggar etika. Aku hanya mendefinis
Kanya menatap ponselnya, yang tergeletak di meja marmer ruang rapat yang kini kosong. Pemberitahuan pop-up di layar, hanya berupa satu kalimat tanpa emotikon, terasa lebih mengancam daripada seluruh berkas gugatan yang baru saja ia menangkan.A: Malam ini. Delphine Bar, 9 malam. Kau tahu aturannya. Tanpa blazer.Adrian menuntut pembayarannya. Tepat waktu, dan tanpa ruang negosiasi.Jantung Kanya berdetak dua kali lebih cepat. Kemenangan arbitrase beberapa jam lalu, dan janji promosi yang baru saja ia paksakan dari Pak Bram, terasa hambar. Bukti yang ia gunakan memang memberinya kekuasaan, tetapi hutang personal ini memberikannya rasa terikat yang mengerikan pada pria itu.Dia bangkit, merapikan setelannya yang kusut. Kanya tahu dia tidak bisa menolak. Bukan karena ancaman, tapi karena rasa ingin tahu yang membakar. Dia ingin tahu apakah Adrian akan menjadi musuh atau lover saat dinding kantor mereka runtuh. Dan yang lebih mengganggunya, dia ingin
Jari-jari Kanya bergetar saat dia mencolokkan flash drive ke port laptopnya. Bukan karena takut ketahuan—ruang kerjanya di lantai 38 ini sudah sepi, hanya ditemani dengungan AC sentral dan lampu darurat Jakarta yang tersisa—tapi karena realisasi dari apa yang dia pegang. Ini bukan sekadar bukti. Ini adalah garis batas. Adrian, dalam negosiasi berbahaya di Bab 10, telah memberikan ini sebagai tanda trust yang paling mematikan. Adrian menukar kelemahannya dengan kelemahan Kanya: ia tahu Kanya akan menggunakan bukti ini untuk menghancurkannya, tetapi dengan menggunakannya, Kanya secara resmi memasuki permainan kotor Adrian. Jantung Kanya berdegup di telinganya. Dia menghela napas, menatap pantulan dirinya di layar laptop. Matanya lelah, tetapi ada kilatan yang asing, haus akan kemenangan. Ini bukan hanya tentang kasus Dharma Kencana lagi. Ini tentang membuktikan bahwa dia tidak akan pernah bisa dimanipulasi, bahkan oleh pria yang berhasil membuatnya kehilangan kenda
Kanya tiba di speakeasy bar yang sama persis tempat mereka bertemu pertama kali. Malam ini, ia tidak mengenakan gaun. Sesuai instruksi Adrian, ia mengenakan setelan celana abu-abu terbaiknya—tajam, profesional, dan kejam. Ia tidak ingin terlihat sebagai wanita yang tergoda; ia ingin terlihat seperti lawan yang setara. Adrian sudah menunggunya di sudut yang sama, di bawah cahaya temaram lampu gantung kuno. Ia mengenakan setelan jas abu-abu arang, tampak santai namun mematikan. Di depannya, tidak ada whisky, hanya segelas air mineral dan, anehnya, sebuah papan catur yang sudah tersusun rapi. "Saya senang Anda menerima undangan saya, Kanya," sapa Adrian, matanya menelusuri Kanya dari atas ke bawah, menilai baju perang yang ia kenakan. "Saya suka pakaian Anda. Ini menunjukkan Anda menganggap pertemuan ini serius." Kanya tidak duduk. Ia berdiri tegak di samping meja. "Jangan buang waktu saya, Adrian. Saya hanya punya 30 jam. Anda mengatakan Anda punya bukti
Kanya kembali ke kantor Wibisono & Partners dengan tubuh terasa seperti dihantam truk dan kemenangan parsial yang menipis. Pagi itu, kantor sudah tampak lebih rapi, tetapi ketegangan masih menggantung tebal seperti kabut. Dia hanya memiliki 48 jam untuk mengubah penangguhan pembekuan aset menjadi kemenangan penuh. Ia segera mengumpulkan timnya, yang sama lelahnya. "Tunda perayaan," perintah Kanya, suaranya serak. "Adrian (ia berhasil menahan diri untuk tidak menyebut nama itu) telah memberi kita 48 jam untuk berburu. Kita harus menemukan titik lemah legal yang digunakan The Vanguard Group untuk mengajukan mosi. Serangan mereka sangat efektif karena mereka tidak menyerang lahan, mereka menyerang dana. Artinya, basis hukum mereka tidak kuat, tapi strateginya yang licik." Kanya menghabiskan delapan jam berikutnya dalam mode autopilot, menganalisis struktur Aether Holdings dan The Vanguard Group secara terbalik, mencari inkonsistensi dalam dokumen arbitrase mereka. D
Malam itu, kantor Wibisono & Partners terasa seperti bunker perang. Kanya tidak tidur. Rambutnya diikat asal, blazernya dilepas, dan kemeja putihnya ternoda kopi dingin. Lima junior lawyer yang ia pimpin tampak sama putus asanya, dikelilingi tumpukan berkas undang-undang arbitrase dan preseden yang menggunung. Pukul 03.00 pagi, Kanya bersandar ke kursi, memejamkan mata sejenak. Keheningan yang singkat itu segera dipenuhi suara Adrian di kepalanya, "Bahaya adalah bagian dari kesenangan, Kanya." Ia menggelengkan kepala, meraih map merahnya. Rasa lelahnya adalah konsekuensi dari ciuman itu, dan ia akan mengubah kelelahan itu menjadi kemenangan. Pukul 06.00 pagi, setelah berjam-jam menyusun argumen dan menemukan celah yang rapuh, mosi arbitrase darurat Kanya selesai. Ia telah menyusun argumennya tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan psikologi Adrian: Adrian akan berfokus pada efisiensi dan kerugian finansial, maka Kanya akan berfokus pada dampak reputasi







