LOGIN
Kanya (28), seorang Corporate Lawyer muda yang ambisius, fokusnya hanya pada karir.
SKYLITE Bistro, sebuah restoran fine dining di lantai 45 gedung perkantoran mewah di kawasan Sudirman, Jakarta, pada pukul 20:30 WIB. Hujan deras baru saja berhenti, meninggalkan pantulan lampu kota yang dramatis di jendela kaca. Dentuman jazz yang melankolis dari pianis di sudut ruangan terasa tenggelam oleh desahan kecil Kanya saat ia melempar pulpen emasnya ke atas meja marmer putih. Napasnya terembus kasar, menguapkan sisa aroma Earl Grey yang sudah mendingin di cangkirnya. Di luar, Jakarta malam berpendar dengan jutaan titik cahaya; sebuah mahakarya listrik yang ironisnya hanya menambah rasa hampa di dada Kanya. “Gugatan itu konyol, Mas. Benar-benar konyol. Mereka meminta ganti rugi $5 juta hanya karena klausul force majeure yang sudah jelas-jelas kita lampirkan dalam kontrak,” ujarnya tajam pada layar laptop yang menampilkan dokumen berwarna hijau. Di seberang meja, yang seharusnya diisi oleh rekan kencan atau teman makan malam, hanya ada tumpukan dokumen kasus merger PT. Adiyasa. Malam Jumat di lantai 45, di mana para profesional kelas atas merayakan akhir pekan mereka dengan cocktail mahal, Kanya justru memilih untuk merayakan produktivitas. Umurnya 28 tahun, dan ia tahu betul bahwa menjadi partner termuda di firma hukum top Jakarta butuh pengorbanan, termasuk mengorbankan setiap malam pribadinya. Ia menarik napas dalam, merapikan blazer custom-made miliknya, lalu memaksakan seulas senyum profesional saat seorang pelayan mendekat. “Nyonya Kanya, saya harap makan malamnya menyenangkan. Apakah Anda ingin mencoba dessert tiramisu kami?” “Tidak, terima kasih. Tagihannya saja,” jawab Kanya, cepat dan efisien. Saat pelayan itu beranjak, Kanya merasakan ada yang mengganjal. Bukan karena pekerjaannya, tapi karena pandangan-pandangan yang mengikutinya. Ia melirik ke sekeliling. Beberapa pasangan menatapnya, bukan dengan sinis, melainkan dengan tatapan iba, seorang wanita cantik dan sukses, tetapi sendirian di tengah keramaian. Ia benci tatapan itu. Itu membuatnya merasa seperti kegagalan dalam aspek yang tidak pernah ia prioritaskan, Cinta. Tepat ketika Kanya menutup laptopnya, ingin segera melarikan diri dari panggung kesendiriannya, ia mendengar suara berat dan tenang dari belakangnya, tepat di dekat piring porselennya yang kosong. “Maaf, Nona. Apakah Anda keberatan jika saya menukar sebotol Pinot Noir ini dengan, mungkin, sepuluh menit waktu Anda?” Kanya membeku. Suara itu begitu dekat, bernada rendah dan percaya diri, namun tidak agresif. Ia berbalik, jantungnya berdebar, siap meluncurkan tanggapan sinis yang sudah ia persiapkan untuk para pria sok akrab. Namun, di sana berdiri seorang pria, tinggi, dengan setelan jas abu-abu tua yang terlihat pas dan mahal. Wajahnya tegas dengan rahang kuat dan mata tajam yang sedikit menyeringai. Di tangannya, sebotol anggur merah yang harganya mungkin setara dengan gaji bulanan asistennya. “Saya tahu ini klise,” pria itu melanjutkan, tatapannya menyapu seluruh meja Kanya, dari laptop, dokumen, hingga pulpen emasnya, “tapi melihat Anda tenggelam di antara kertas-kertas itu di malam Jumat, saya merasa kasihan pada Pinot Noir yang tidak punya teman minum.” lanjutnya ucapan pria itu. Kanya menahan napas. Pria itu tidak terintimidasi oleh suasana profesionalnya. Justru, ia menggunakan suasana itu sebagai bahan ejekan yang lembut. “Dan siapa Anda?” tanya Kanya, mengukur pria itu dari ujung sepatu leather mengkilap hingga ujung rambutnya yang ditata rapi. “Nama saya Adrian. Dan saya adalah orang yang baru saja mempertaruhkan harga diri saya untuk menyelamatkan Anda dari malam yang didominasi oleh klausul hukum dan force majeure.” Adrian meletakkan botol anggur itu di meja, suaranya kini terdangkat menjadi bisikan yang privat. “Bagaimana, Nona Lawyer? Kesepakatan?” Kanya mencondongkan tubuhnya sedikit, membiarkan ujung blazernya bersentuhan dengan botol anggur yang diletakkan Adrian di meja. Matanya menyipit, menganalisis pria itu, gestur tubuh yang santai namun berwibawa, arloji yang melingkar di pergelangan tangannya bukan sekadar penunjuk waktu, tapi pernyataan. Adrian bukan tipe pria yang iseng. “Adrian,” Kanya mengulang nama itu, meresapi nadanya. “Anda tampaknya tahu betul tentang force majeure. Apakah Anda seorang pengacara, atau mantan klien yang bangkrut karena klausul tersebut?” Tanya kanya. Adrian tertawa kecil, suara baritonnya bergetar ringan. Itu bukan tawa terbahak-bahak, melainkan tawa pria yang terbiasa menangani situasi tanpa perlu banyak usaha. “Saya bukan keduanya. Saya hanya… seorang pengamat yang beruntung. Dan malam ini, saya mengamati seorang wanita yang terlalu berharga untuk menghabiskan malam Jumatnya dengan mendebat kompensasi.” “Saya dibayar mahal untuk mendebat kompensasi,” balas Kanya dingin. Ia mengambil pulpen emasnya dan mengetuk-ngetukkannya pelan di atas dokumen, menegaskan kembali tembok profesionalnya. “Saya yakin Anda dibayar sangat mahal. Namun, saya berani bertaruh, sebotol anggur ini bisa memberikan Anda nilai hiburan yang lebih tinggi daripada satu jam tambahan yang Anda habiskan untuk dokumen itu,” tantang Adrian, pandangan matanya tertuju langsung pada Kanya, tidak berkedip. “Jangan khawatir, saya tidak akan meminta Anda untuk mendiskusikan force majeure. Kita bisa bicara tentang hal-hal yang lebih menarik. Misalnya, apa yang membuat Kanya, sang Corporate Lawyer yang sukses, memutuskan untuk menghabiskan malamnya sendirian di sini?” Pertanyaan itu menusuk Kanya, tepat pada titik rentannya. Itu bukan tentang pekerjaan, tapi tentang kesendirian yang ia paksakan. Kanya membuang napas panjang. Mungkin ia memang butuh jeda, atau setidaknya, perlu membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia masih bisa menarik perhatian di luar ruang sidang. “Duduklah, Adrian,” kata Kanya, akhirnya menyerah, namun suaranya masih mengandung peringatan. “Sepuluh menit, tidak lebih. Dan anggurnya harus benar-benar enak.” Lanjutnya. Adrian tersenyum lebar. Senyum itu menghilangkan ketegasan di wajahnya, menggantinya dengan pesona yang halus. Ia menarik kursi di seberang Kanya dengan gerakan elegan, memberi isyarat kepada pelayan untuk membuka botol Pinot Noir yang ia bawa—labelnya menunjukkan tahun yang sangat langka. “Tentu saja, Kanya. Hanya sepuluh menit. Saya punya banyak hal untuk dipertaruhkan, jadi saya tidak akan membuang waktu Anda,” ujar Adrian, menuangkan cairan merah gelap itu ke dalam dua gelas kristal. “Jadi, mari kita mulai,” Kanya menyesap sedikit anggurnya. Rasanya kaya, dalam, dan benar-benar memanjakan. Ia harus mengakui, pilihan anggur Adrian sempurna. “Anda bilang Anda bukan pengacara. Lalu apa yang Anda lakukan di gedung pencakar langit ini di malam hari?” Adrian mengangkat gelasnya, menawarkannya pada Kanya untuk sebuah toast. Kanya membalasnya. Cring. Bunyi kristal beradu itu terasa seperti permulaan sebuah babak baru. “Saya mengamati peluang, Kanya. Ada banyak hal yang terjadi di lantai-lantai di bawah kita. Bisnis yang kolaps, perusahaan yang menjalin aliansi baru, dan beberapa ambisi yang diam-diam dihancurkan,” jelas Adrian, matanya kini berkaca pada pantulan lampu kota di anggurnya. “Saya mencari tempat untuk berinvestasi. Investasi yang besar, yang akan mengubah peta persaingan.” “Investor,” gumam Kanya, mengangguk. Setidaknya itu menjelaskan kepercayaan diri dan setelan mahal itu. “Lalu, kenapa Anda memilih untuk berinvestasi di meja saya? Saya bukan perusahaan.” Lanjut kanya Adrian meletakkan gelasnya. Pandangannya menjadi intens, seperti seorang negosiator yang siap memberikan penawaran finalnya. “Anda salah. Anda adalah aset paling berharga yang saya lihat malam ini. Seorang wanita yang bersedia memprioritaskan ambisinya, meskipun harus duduk sendirian. Itu integritas yang langka, dan itu sangat menarik,” bisiknya. Ia menyandarkan siku ke meja, mempersempit jarak di antara mereka. “Saya mencari rekan kerja yang tidak kenal lelah. Tapi malam ini, saya mencari teman minum yang bisa membuat saya melupakan angka-angka. Saya ingin tahu, Kanya, apa ambisi Anda yang sebenarnya? Bukan yang tertulis di CV, tapi yang Anda sembunyikan saat melihat ke luar jendela kaca ini.” Kanya merasakan panas menjalar di wajahnya. Bukan karena anggur, melainkan karena kedekatan dan keberanian Adrian menanyakan sesuatu yang begitu personal. “Ambisiku…” Kanya terdiam, menatap kilau tajam di mata Adrian. “Ambisiku adalah punya kehidupan yang tidak hanya berisi dokumen hukum.” Kanya akhirnya mengakui kerentanannya. Sebuah pengakuan yang terasa asing dan berbahaya. Adrian tidak membalas dengan kata-kata. Ia hanya mengangkat tangannya, melepaskan arloji mahalnya, dan menyimpannya di saku jas. Gerakan itu terasa final. Itu adalah penghormatan, menanggalkan profesionalisme untuk momen yang lebih intim. “Kalau begitu, Nona Lawyer, izinkan saya menjadi orang yang membantu Anda memulai ambisi itu.” Adrian mengambil tangan Kanya di atas meja. Jemarinya yang hangat dan kuat membalut tangan Kanya, memutus kontak Kanya dengan pulpen emas dan dokumen hukum. Di luar, lampu Jakarta seolah ikut meredup, membiarkan fokus hanya ada pada dua orang yang baru saja bertemu, terperangkap dalam bisikan janji yang terlalu berbahaya untuk dipercayai. Sepuluh menit sudah berakhir, tapi malam mereka, Kanya rasakan, baru saja dimulai. Bersambung.... Sekedar info, akan update bab setiap jam 6:00 WIB.Perjalanan singkat dari hotel menuju penthouse Adrian terasa seperti perpindahan dimensi. Keheningan di dalam mobil mewah itu bukanlah keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang mendidih. Kanya menyandarkan kepala ke jendela, menatap lampu-lampu jalan Jakarta yang melintas dengan cepat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berlebihan. Namun, setiap sentuhan Adrian—jari-jarinya yang sesekali melingkari pergelangan tangannya, atau ibu jarinya yang mengusap punggung tangannya—mengkhianati usahanya.Adrian mengemudi dengan santai, seolah ia sedang mengantar pulang seorang teman lama, bukan seorang pengacara yang baru saja ia cium, dan yang baru saja ia paksakan untuk masuk ke dalam permainan terlarangnya.“Kau terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja melanggar semua etika profesionalnya,” ujar Kanya, suaranya sedikit serak.Adrian tertawa kecil, suara baritonnya bergetar di ruang sempit mobil. “Aku tidak melanggar etika. Aku hanya mendefinis
Kanya menatap ponselnya, yang tergeletak di meja marmer ruang rapat yang kini kosong. Pemberitahuan pop-up di layar, hanya berupa satu kalimat tanpa emotikon, terasa lebih mengancam daripada seluruh berkas gugatan yang baru saja ia menangkan.A: Malam ini. Delphine Bar, 9 malam. Kau tahu aturannya. Tanpa blazer.Adrian menuntut pembayarannya. Tepat waktu, dan tanpa ruang negosiasi.Jantung Kanya berdetak dua kali lebih cepat. Kemenangan arbitrase beberapa jam lalu, dan janji promosi yang baru saja ia paksakan dari Pak Bram, terasa hambar. Bukti yang ia gunakan memang memberinya kekuasaan, tetapi hutang personal ini memberikannya rasa terikat yang mengerikan pada pria itu.Dia bangkit, merapikan setelannya yang kusut. Kanya tahu dia tidak bisa menolak. Bukan karena ancaman, tapi karena rasa ingin tahu yang membakar. Dia ingin tahu apakah Adrian akan menjadi musuh atau lover saat dinding kantor mereka runtuh. Dan yang lebih mengganggunya, dia ingin
Jari-jari Kanya bergetar saat dia mencolokkan flash drive ke port laptopnya. Bukan karena takut ketahuan—ruang kerjanya di lantai 38 ini sudah sepi, hanya ditemani dengungan AC sentral dan lampu darurat Jakarta yang tersisa—tapi karena realisasi dari apa yang dia pegang. Ini bukan sekadar bukti. Ini adalah garis batas. Adrian, dalam negosiasi berbahaya di Bab 10, telah memberikan ini sebagai tanda trust yang paling mematikan. Adrian menukar kelemahannya dengan kelemahan Kanya: ia tahu Kanya akan menggunakan bukti ini untuk menghancurkannya, tetapi dengan menggunakannya, Kanya secara resmi memasuki permainan kotor Adrian. Jantung Kanya berdegup di telinganya. Dia menghela napas, menatap pantulan dirinya di layar laptop. Matanya lelah, tetapi ada kilatan yang asing, haus akan kemenangan. Ini bukan hanya tentang kasus Dharma Kencana lagi. Ini tentang membuktikan bahwa dia tidak akan pernah bisa dimanipulasi, bahkan oleh pria yang berhasil membuatnya kehilangan kenda
Kanya tiba di speakeasy bar yang sama persis tempat mereka bertemu pertama kali. Malam ini, ia tidak mengenakan gaun. Sesuai instruksi Adrian, ia mengenakan setelan celana abu-abu terbaiknya—tajam, profesional, dan kejam. Ia tidak ingin terlihat sebagai wanita yang tergoda; ia ingin terlihat seperti lawan yang setara. Adrian sudah menunggunya di sudut yang sama, di bawah cahaya temaram lampu gantung kuno. Ia mengenakan setelan jas abu-abu arang, tampak santai namun mematikan. Di depannya, tidak ada whisky, hanya segelas air mineral dan, anehnya, sebuah papan catur yang sudah tersusun rapi. "Saya senang Anda menerima undangan saya, Kanya," sapa Adrian, matanya menelusuri Kanya dari atas ke bawah, menilai baju perang yang ia kenakan. "Saya suka pakaian Anda. Ini menunjukkan Anda menganggap pertemuan ini serius." Kanya tidak duduk. Ia berdiri tegak di samping meja. "Jangan buang waktu saya, Adrian. Saya hanya punya 30 jam. Anda mengatakan Anda punya bukti
Kanya kembali ke kantor Wibisono & Partners dengan tubuh terasa seperti dihantam truk dan kemenangan parsial yang menipis. Pagi itu, kantor sudah tampak lebih rapi, tetapi ketegangan masih menggantung tebal seperti kabut. Dia hanya memiliki 48 jam untuk mengubah penangguhan pembekuan aset menjadi kemenangan penuh. Ia segera mengumpulkan timnya, yang sama lelahnya. "Tunda perayaan," perintah Kanya, suaranya serak. "Adrian (ia berhasil menahan diri untuk tidak menyebut nama itu) telah memberi kita 48 jam untuk berburu. Kita harus menemukan titik lemah legal yang digunakan The Vanguard Group untuk mengajukan mosi. Serangan mereka sangat efektif karena mereka tidak menyerang lahan, mereka menyerang dana. Artinya, basis hukum mereka tidak kuat, tapi strateginya yang licik." Kanya menghabiskan delapan jam berikutnya dalam mode autopilot, menganalisis struktur Aether Holdings dan The Vanguard Group secara terbalik, mencari inkonsistensi dalam dokumen arbitrase mereka. D
Malam itu, kantor Wibisono & Partners terasa seperti bunker perang. Kanya tidak tidur. Rambutnya diikat asal, blazernya dilepas, dan kemeja putihnya ternoda kopi dingin. Lima junior lawyer yang ia pimpin tampak sama putus asanya, dikelilingi tumpukan berkas undang-undang arbitrase dan preseden yang menggunung. Pukul 03.00 pagi, Kanya bersandar ke kursi, memejamkan mata sejenak. Keheningan yang singkat itu segera dipenuhi suara Adrian di kepalanya, "Bahaya adalah bagian dari kesenangan, Kanya." Ia menggelengkan kepala, meraih map merahnya. Rasa lelahnya adalah konsekuensi dari ciuman itu, dan ia akan mengubah kelelahan itu menjadi kemenangan. Pukul 06.00 pagi, setelah berjam-jam menyusun argumen dan menemukan celah yang rapuh, mosi arbitrase darurat Kanya selesai. Ia telah menyusun argumennya tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan psikologi Adrian: Adrian akan berfokus pada efisiensi dan kerugian finansial, maka Kanya akan berfokus pada dampak reputasi







