Hari Selasa, Diana kembali tidak masuk bekerja, nyeri perut yang selalu dirasakannya saat tamu bulanannya datang, membuatnya malas melakukan aktivitas apapun. Pagi itu Ivan masih mampir sebentar untuk sarapan bersamanya. Bertemu dengan calon suaminya itu, membuat Diana melupakan rasa nyerinya.
Setelah Ivan berangkat ke kantor, Diana kembali malas-malasan. Ia merebahkan diri di sofa yang terdapat di kamarnya sendiri. Ia melewatkan waktu bermainnya bersama Kellan dan Jane yang sudah belajar berjalan kini di usia yang hampir satu tahun.Suara dering ponselnya sedikit mengagetkan Diana yang kini berbaring dengan mata terpejam sembari menikmati alunan musik yang disukainya.Ternyata yang menghubungi adalah ibunya.“Hallo, Bu ….”“Diana, kamu di kantor?”“Aku di rumah, Bu. Gak ke kantor hari ini, lagi datang bulan,” balas Diana sembari mematikan televisi.“Oh, gitu. Terus Pak Hartono jadi datanUdah sah sekarang, hajarrr😁
Pada hari Sabtu siang, Ivan menjamu seluruh keluarga inti Diana juga kedua orang tuanya untuk merayakan pernikahannya dengan Diana di sebuah restoran yang juga menyediakan ruangan khusus untuk acara-acara spesial. Hadir juga mantan mertua Ivan yang datang bersama putri kecil Ivan di acara itu. Keduanya juga ikut bahagia melihat mantan menantu yang mereka sayangi sudah menemukan istri lagi, menggantikan posisi putri mereka yang kini berada di Amerika bersama suami keduanya. Usai acara makan-makan dan berfoto bersama, Ivan dan Diana mengantar pulang keluarga mereka ke rumah masing-masing. Sekitar jam tujuh malam Ivan menjemput sang istri ke tempat tinggalnya, lalu keduanya melanjutkan acara mereka berdua, honeymoon di hotel Aston Samarinda, seperti yang sudah dijanjikan Ivan pada Diana kala pertamakali mereka berkencan. Orang tua Diana bersedia menjaga cucu-cucu mereka dengan menginap di rumah Diana, selama putri sulung mereka yang sedang b
Denny duduk di pelaminan dengan wajah tanpa ekspresi, meski di sampingnya ada Susana—pengantin wanitanya yang tampak cantik dengan baju pengantin muslimahnya. Wajah dokter spesialis anak itu sangat berbeda dengan ekspresi sang suami. Rona kebahagiaan jelas terlihat di wajah cantiknya. Bersanding dengan cinta pertamanya itu adalah impian terbesar dalam hidupnya. Ia tak peduli dengan Denny yang belum bisa menerima cinta dan dirinya. Susana berkeyakinan suatu hari nanti Denny akan menjadi suami yang mencintainya sebagai istri. Wajah Denny sedikit kaget kala melihat sepasang laki-laki dan perempuan berjalan ke arahnya sambil bergandengan tangan. Denny berdiri dari duduknya, begitu pasangan serasi itu tiba di hadapannya untuk memberi ucapan selamat. “Selamat ya, Den.” Diana mengulurkan tangannya ke hadapan Denny dengan senyum lembut di bibir ranumnya. Bibir yang sudah berkali-kali dinikmati Denny kala mereka berkencan dulu. Bahkan bulan lalu pun mer
Diana dan Ivan menghabiskan lagi waktu honeymoon mereka semalam di Balikpapan. Sore hari usai menghadiri pesta pernikahannya Denny, Ivan menuruti keinginan sang istri untuk bermain di pinggir pantai dekat hotel mereka menginap. Keduanya berlarian di pasir pantai bagaikan sepasang remaja yang sedang kasmaran. Saling bercanda dan tertawa bersama. Setelah sang mentari mulai condong ke barat, keduanya lalu kembali ke hotel. Membersihkan diri bersama di kamar mandi hotel yang berakhir dengan saling memberi kehangatan dalam bathtub yang bisa memuat dua orang dewasa yang terus saja menghabiskan waktu dengan bercinta, tak kenal lelah. Keesokan paginya sekitar pukul tujuh pagi, Ivan dan Diana meninggalkan hotel tersebut. Keduanya akan kembali ke Samarinda, langsung menuju ke kantor. “Mas, aku tinggal tidur lagi gak apa-apa, ya?” Diana menguap sembari menutup mulutnya. Matanya menatap sang suami dengan sorot kuyu.
Seharian ini Diana tiada lepas dari pandangan Willy. Ada saja hal-hal yang ia tanyakan ke mantan kakak iparnya itu. Diana tidak bisa mengabaikan karena yang ditanyakan Willy adalah hal yang berkaitan dengan perusahaan, maka mau tak mau Diana harus menjelaskan sebaik mungkin. Kesibukannya itu membuat Diana tiada sempat untuk menghubungi suaminya yang juga tak kalah sibuknya mengerjakan tugas yang diberikan oleh Willy. “Hm … sudah jam lima sore, ayo kita pulang, Diana. Rencananya selama di sini, aku akan menginap di rumahmu.” Ucapan Willy mengagetkan Diana yang memang sudah berapa kali melirik jam di ruangan itu. Ia sudah tak tahan lagi ingin segera bertemu dengan Ivan. Mereka harus segera membicarakan kelangsungan pekerjaan mereka di perusahaan keluarga Willy tersebut. “Apa? Menginap di rumahku?” tanya Diana tak percaya. “Iya, kenapa emang? Gak apa-apa ‘kan? Toh, rumah itu juga milik almarhum kakakku. Aku juga
Willy hampir saja berhasil menyeret Diana ke kamar tamu, tapi tiba-tiba suara ketukan di pintu ruang tamu yang cukup dekat ke pintu kamar tamu, menghentikan aksi pria yang sudah kehilangan akal sehatnya itu. Diana yang melihat Willy lengah, langsung cepat-cepat melepaskan tangannya dari cekalan Willy. Ia kemudian berlari menuju pintu depan dan membuka kuncinya dengan cepat. “Diana? Kok kamu gak jadi datang? Udah gitu Hp-mu gak diangkat-angkat,” tegur Ivan begitu melihat Diana membuka pintu. “Mas Ivan, syukurlah kamu datang, Mas. Ayo kita cepat pergi dari sini,” jawab Diana sambil menarik tangan Ivan agar segera beranjak pergi dari rumahnya. Ia tak peduli lagi dengan suara Willy yang memanggil-manggilnya. “Ada apa? Kamu kok buru-buru begitu? Willy ganggu kamu?” tanya Ivan heran, meski begitu ia tetap berjalan mengikuti Diana yang menyeret tangannya. “Nanti aja ceritanya, Mas.” Diana langsung masuk ke dalam mobil Ivan yang
Keesokan harinya sekitar pukul enam pagi, Ivan mengantarkan Diana pulang ke rumahnya. Sang istri ingin tiba di rumah sebelum anak-anaknya bangun. Apalagi Tian dan Kevin pasti akan mencarinya saat mereka akan bersiap-siap ke sekolah. Ketika tiba di rumahnya, Diana sempat melihat pintu kamar tamu yang masih tertutup rapat. Mungkin tamu yang sedang menginap di sana belum bangun. Diana meneruskan langkahnya menuju kamarnya untuk berganti pakaian rumah. Tidak lama kemudian ia sudah keluar lagi dari kamar dan menuju kamar anak pertama dan anak keduanya. Diana sedang menemani Tian dan Kevin sarapan, ketika Willy kemudian keluar dari kamar tamu. Pria yang sangat brutal memperlakukan mantan kakak iparnya tadi malam itu dengan wajah tak berdosa ikut duduk di meja makan. Terlihat wajah tampan itu baru saja bangun dari tidurnya. “Tian dan Kevin udah mau berangkat sekolah ya?” sapa Willy ramah kepada kedua keponakannya. Mata elangnya kemudi
“Maaf sebelumnya, tawaran bekerja di Berau tidak bisa saya terima karena dengan pertimbangan keluarga. Jadi saya mengajukan pengunduran diri dari perusahaan.” Ivan menyerahkan surat pengunduran dirinya ke hadapan Willy yang duduk di depannya. Pagi itu usai briefing dengan para bawahannya, pria yang sudah mantap untuk tetap tinggal bersama istri barunya serta anak-anak mereka di Kota Samarinda, mendatangi Willy ke ruangan direktur. Ivan sudah tahu, Diana tidak ada di ruangan itu karena istrinya sudah memilih berhenti bekerja demi kelangsungan rumah tangga mereka, tanpa ada lagi campur tangan dari keluarga mantan suaminya dulu. “Demi istri baru dan empat anak sambung, yakin bisa membahagiakan mereka dengan menjadi pengangguran?” tanya Willy sinis dengan ujung mata melirik amplop kecil yang diletakkan Ivan di hadapannya. “Sepertinya urusan rumah tangga saya bukan hal yang perlu dibahas antara kita berdua. Saya sudah menyampaikan surat
“Mas? Kok tidur di sini?” Susana mengusap lembut lengan sang suami yang meringkuk kedinginan di atas sofa dalam kamar mereka. Susana baru saja terbangun pukul dua dinihari itu, ia tidak menemukan sosok Denny di sampingnya. Malah terlihat sang suami memilih tidur di sofa dibanding tidur di sebelah dirinya. Denny bergeming. Usapan lembut sang istri tidak membuat pria itu bangun. Matanya terus saja terpejam. Sejak malam pertama mereka seminggu yang lalu, Denny belum pernah lagi menyentuh tubuh istrinya. Pria yang masih saja tidak mau melepaskan diri dari pesona wanita cinta pertamanya, meski dirinya dan Diana kini sudah memiliki pasangan hidup masing-masing. Susana menghela napas dan membuangnya kasar. Percuma membujuk sang suami yang melihatnya saja tidak tertarik, apalagi tidur bersama di ranjang mereka. Perempuan itu lalu berjalan ke ranjang dan mengambil selimut yang tadi dipakainya. Kemudian penuh kasih sayang selimut itu ditutupkan di