Share

Part 7 : Direktur yang Mempesona

 Hari-hari terus berjalan dan dilewati Diana tanpa terasa. Rasa kehilangannya terhadap sang suami juga sedikit demi sedikit bisa berkurang. Apalagi kesibukan barunya sebagai Direktur di perusahaan peninggalan suaminya itu, bisa mengalihkan kesedihan dan kedukaannya atas kepergian Reynaldi. Diana tidak terlalu mencampuri ke dalam operasional perusahaan, ia percaya Ivan mampu menangani semua yang berhubungan dengan pengembangan perusahaan baik di dalam perusahaan maupun di lapangan. Diana hanya mengawasi dari segi keuangan dan menanda-tangani semua surat-surat penting yang dibutuhkan oleh perusahaan. 

 Tiga bulan pun berlalu. Selama itulah Diana melewati malam-malam sepinya sendiri. Meskipun terlambat mengetahui bahwa suaminya ternyata juga milik wanita lain, tetapi Rey selama ini juga selalu ada di sisinya setiap malam. Alasan ke luar kota pun juga tidak pernah lama. Sekarang Diana baru sadar, mungkin ketika sang suami pamt ke luar kota adalah untuk mengunjungi anak dan istrinya yang lain.

 “Ah, untuk apa lagi aku harus mengingat-ngingat semua itu,” keluh Diana gusar. Ia kemudian berusaha memejamkan mata. Dipeluknya Kellan dan Jane yang sejak suaminya meninggal, kembali diajak tidur bersamanya. Ia memang selama ini membiasakan semua anak-anaknya belajar tidur di kamar masing-masing setelah memberi mereka ASI selama enam bulan. Tentu saja dengan babysitter mereka yang menjaga.

 Usaha Diana untuk tidur ternyata tidak berhasil, ia meraih ponsel di atas nakas dan melihat jam di sana, pukul 22.45. Pelan Diana bangkit dari ranjang dan berjalan ke sofa yang terdapat dalam kamarnya. Dibukanya layar ponsel. Terlihat banyak chat yang belum dibaca. Salah satunya dari sang mantan pacar yang terus berusaha mengejarnya lagi setelah Diana menjadi janda tiba-tiba.

 [Na, udah makan siang belum?]

 [Aku telepon kok gak diangkat sih?]

 [Na, kita ketemuan, ya? Aku ingin tahu kabarmu.]

 [Na?]

 [Ok, kalau kamu terus acuhkan aku, jangan salahkan kalau aku akan melanggar laranganmu.]

Diana menghela napas panjang, mengingat Denny yang tiada bosan mengiriminya pesan tiap hari. Laki-laki itu juga sudah tidak sabaran ingin bertemu. Diana memang meminta Denny jangan menemuinya dulu sekitar tiga bulan ini, karena ia butuh waktu untuk menata hatinya kembali usai ditinggal pergi selama-lamanya oleh Rey. Apalagi kesibukannya di kantor peninggalan suaminya, benar-benar membuat waktu Diana cukup tersita. 

 “Denny? Apa yang harus aku lakukan untuk menghindar dari dia. Aku tidak percaya diri dengan status janda beranak empat begini untuk memulai kembali berhubungan dengan laki-laki yang belum pernah menikah seperti Denny,” pikir Diana dengan hati resah. Jujur sebenarnya ia tidak kuat untuk hidup sendiri.

Sejak Rey meninggal, ia berusaha mati-matian untuk tidak memikirkan kehangatan-kehangatan malam yang dulu dilaluinya bersama sang suami. Ia kadang kesal sendiri akan hasratnya yang terlalu bergairah untuk itu. Dulu suaminya juga suka geleng-geleng kepala melihat Diana yang tiada bosan meminta nafkah batinnya. Laki-laki sedingin Rey pun jadi tidak berdaya jika istri cantik dan seksinya itu beraksi.

***

  Diana bangun di pagi hari itu dengan kepala sedikit pusing, baru sekitar pukul satu dinihari ia bisa tertidur. Bergegas ia bangkit menuju kamar mandi dan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Kesegaran kembali menghampirinya setelah itu.

 Wanita tiga puluh tahun itu kemudian memulai aktifitasnya sehari-hari. Sarapan bersama kedua anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Sejak mulai bekerja di kantor peninggalan suaminya, Diana sudah mempekerjakan seorang sopir untuk mengantar dan mengawasi kedua anaknya di sekolah. Leo—saudara sepupunya sendiri yang baru lulus SMA, kebetulan melanjutkan kuliahnya pada malam hari. Diana cukup merasa aman melepas pengawasan anak-anaknya pada saudaranya itu.

 Sebelum berangkat ke kantor, Diana masih menyempatkan waktu sekitar satu jam bermain bersama kedua anaknya, Kellan dan Jane. Sekitar pukul sembilan baru ia berangkat ke kantor dengan mobil yang dipakai suaminya dulu.

Kegiatan Diana di kantor hanya menanda tangani dan otorisasi semua pembayaran tagihan-tagihan yang diajukan oleh divisi keuangan. Juga memeriksa semua laporan kas dan bank yang rutin diserahkan setiap pagi kepadanya. Untuk itu Ia hanya butuh bertemu dengan beberapa orang saja di kantor. Yuli—Kepala Administrasi dan Keuangan, Yosep--Kepala bagian pajak serta Ivan tentunya.

 Ketika jam istirahat dan makan siang, Diana lebih memilih pulang ke rumah, sekalian mengecek semua anak-anaknya. Meskipun sejak Diana mulai bekerja, orang tuanya hampir tiap hari menyempatkan datang berkunjung ke rumahnya. Ayah dan ibunya yang merupakan pensiunan pegawai negeri cukup punya banyak waktu senggang untuk berkunjung dan bermain bersama para cucunya setiap hari. Apalagi jarak rumah mereka tidak terlalu berjauhan, hanya sekitar tiga kilometer saja.

Diana baru saja akan menjalankan mobil ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Terlihat di layar ponsel nama Denny. Sesaat Diana hanya membiarkan saja. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Denny yang terus mengejarnya. Akhirnya ponsel itu pun diam. Namun, kemudian terdengar notifikasi w******p-nya.

 [Aku OTW ke rumahmu.]

 Buru-buru Diana memencet panggilan untuk mantan kekasihnya itu, ia tidak ingin bertemu Denny di rumahnya. Ia seorang janda kini, ia tidak mau dulu menerima tamu laki-laki sementara ini.

 “Hallo, Na. Akhirnya Hp-mu bisa menghubungiku juga.”

 “Iya, hallo, Den.”

 “Kamu di rumah ‘kan?”

 “Nggak, aku sedang di luar rumah,” jawab Diana cepat.

 “Bagus kalau begitu, kita makan siang bareng, ya?”

 “Hm … lain kali gimana?” Diana masih mencoba menghindar.

 “Kenapa Diana? Kamu terus menghindariku?”

 “Bu-bukan begitu, Den. Aku benar-benar sibuk sekarang.” Diana mencoba mencari alasan.

 “Aku ingin bertemu kamu sekarang, ada yang ingin aku bicarakan. Aku tidak akan menghubungi dan menemuimu lagi setelah ini.”

 “Hm … baiklah, di mana kita bertemu?” Diana akhirnya mengalah. Ia berharap setelah ini Denny benar-benar berhenti mengejarnya.

 “Bagaimana kalau di rumahku saja, di Villa Tamara.”

 “Oke, kirimkan alamatnya.” Diana memutus panggilan dari Denny. Lokasi kantornya yang di jalan Juanda, cukup dekat ke alamat yang langsung dikirim Denny ke ponselnya. 

Hanya sekitar sepuluh menit Diana tiba di lokasi perumahannya Denny. Terlihat pagar rumah sudah terbuka dan ada mobil Denny yang dikenalnya terparkir di halaman. Diana memarkir mobilnya di depan pagar rumah. Sesaat ia menenangkan diri, lalu melangkah turun dari mobil. Degup jantungnya kian lama kian berpacu kencang saat langkahnya sudah berdiri di depan pintu rumah itu. Sungguh, Diana tak pernah segugup ini sebelumnya.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia memencet bel yang terpasang di pintu. Hanya sesaat Diana menunggu sampai pintu di depannya terbuka. Menampakkan Denny yang berdiri dengan segelas minuman di tangannya. 

“Masuklah!” suruh Denny dengan melebarkan daun pintu.

Diana melangkah masuk, kemudian duduk di kursi tamu. Pandangan Diana mengedar menyisiri seluruh ruangan. Isi rumah itu terlihat mewah. Meski warna hitam dan putih mendominasi penuh, namun tatanan yang begitu epic membuat tempat tersebut sangan apik untuk dilihat.

“Kamu mau minum apa, Na?” Denny menawarkan.

“Tidak, terima kasih.” Diana tidak ingin berlama-lama di tempat itu, meski harus ia akui tempat tersebut lebih dari menyenangkan. “Jadi katakan, apa tujuanmu menyuruhku kemari?”

Denny yang baru meneguk minuman cola-nya hingga tandas, menatap wanita cantik itu sekilas. Kemudian mengisinya kembali dari botol yang terletak di meja ruang tamu itu.

“Rupanya kamu sudah tidak sabar dengan apa yang akan aku katakan, Diana.”

Perempuan yang disebut namanya hanya bisa menatap si pria tak berkedip. 

“Katakan saja apa yang ingin kamu beritahu padaku, sebentar lagi aku harus kembali ke kantor!” 

 “Aku ingin melamarmu menjadi istriku.” Denny dengan tenang mengucapkan kata-kata itu, tetapi yang mendengar terperanjat dengan mata membola.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status