Hari-hari terus berjalan dan dilewati Diana tanpa terasa. Rasa kehilangannya terhadap sang suami juga sedikit demi sedikit bisa berkurang. Apalagi kesibukan barunya sebagai Direktur di perusahaan peninggalan suaminya itu, bisa mengalihkan kesedihan dan kedukaannya atas kepergian Reynaldi. Diana tidak terlalu mencampuri ke dalam operasional perusahaan, ia percaya Ivan mampu menangani semua yang berhubungan dengan pengembangan perusahaan baik di dalam perusahaan maupun di lapangan. Diana hanya mengawasi dari segi keuangan dan menanda-tangani semua surat-surat penting yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Tiga bulan pun berlalu. Selama itulah Diana melewati malam-malam sepinya sendiri. Meskipun terlambat mengetahui bahwa suaminya ternyata juga milik wanita lain, tetapi Rey selama ini juga selalu ada di sisinya setiap malam. Alasan ke luar kota pun juga tidak pernah lama. Sekarang Diana baru sadar, mungkin ketika sang suami pamt ke luar kota adalah untuk mengunjungi anak dan istrinya yang lain. “Ah, untuk apa lagi aku harus mengingat-ngingat semua itu,” keluh Diana gusar. Ia kemudian berusaha memejamkan mata. Dipeluknya Kellan dan Jane yang sejak suaminya meninggal, kembali diajak tidur bersamanya. Ia memang selama ini membiasakan semua anak-anaknya belajar tidur di kamar masing-masing setelah memberi mereka ASI selama enam bulan. Tentu saja dengan babysitter mereka yang menjaga. Usaha Diana untuk tidur ternyata tidak berhasil, ia meraih ponsel di atas nakas dan melihat jam di sana, pukul 22.45. Pelan Diana bangkit dari ranjang dan berjalan ke sofa yang terdapat dalam kamarnya. Dibukanya layar ponsel. Terlihat banyak chat yang belum dibaca. Salah satunya dari sang mantan pacar yang terus berusaha mengejarnya lagi setelah Diana menjadi janda tiba-tiba. [Na, udah makan siang belum?] [Aku telepon kok gak diangkat sih?] [Na, kita ketemuan, ya? Aku ingin tahu kabarmu.] [Na?] [Ok, kalau kamu terus acuhkan aku, jangan salahkan kalau aku akan melanggar laranganmu.]Diana menghela napas panjang, mengingat Denny yang tiada bosan mengiriminya pesan tiap hari. Laki-laki itu juga sudah tidak sabaran ingin bertemu. Diana memang meminta Denny jangan menemuinya dulu sekitar tiga bulan ini, karena ia butuh waktu untuk menata hatinya kembali usai ditinggal pergi selama-lamanya oleh Rey. Apalagi kesibukannya di kantor peninggalan suaminya, benar-benar membuat waktu Diana cukup tersita. “Denny? Apa yang harus aku lakukan untuk menghindar dari dia. Aku tidak percaya diri dengan status janda beranak empat begini untuk memulai kembali berhubungan dengan laki-laki yang belum pernah menikah seperti Denny,” pikir Diana dengan hati resah. Jujur sebenarnya ia tidak kuat untuk hidup sendiri.Sejak Rey meninggal, ia berusaha mati-matian untuk tidak memikirkan kehangatan-kehangatan malam yang dulu dilaluinya bersama sang suami. Ia kadang kesal sendiri akan hasratnya yang terlalu bergairah untuk itu. Dulu suaminya juga suka geleng-geleng kepala melihat Diana yang tiada bosan meminta nafkah batinnya. Laki-laki sedingin Rey pun jadi tidak berdaya jika istri cantik dan seksinya itu beraksi.
*** Diana bangun di pagi hari itu dengan kepala sedikit pusing, baru sekitar pukul satu dinihari ia bisa tertidur. Bergegas ia bangkit menuju kamar mandi dan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Kesegaran kembali menghampirinya setelah itu. Wanita tiga puluh tahun itu kemudian memulai aktifitasnya sehari-hari. Sarapan bersama kedua anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Sejak mulai bekerja di kantor peninggalan suaminya, Diana sudah mempekerjakan seorang sopir untuk mengantar dan mengawasi kedua anaknya di sekolah. Leo—saudara sepupunya sendiri yang baru lulus SMA, kebetulan melanjutkan kuliahnya pada malam hari. Diana cukup merasa aman melepas pengawasan anak-anaknya pada saudaranya itu. Sebelum berangkat ke kantor, Diana masih menyempatkan waktu sekitar satu jam bermain bersama kedua anaknya, Kellan dan Jane. Sekitar pukul sembilan baru ia berangkat ke kantor dengan mobil yang dipakai suaminya dulu.Kegiatan Diana di kantor hanya menanda tangani dan otorisasi semua pembayaran tagihan-tagihan yang diajukan oleh divisi keuangan. Juga memeriksa semua laporan kas dan bank yang rutin diserahkan setiap pagi kepadanya. Untuk itu Ia hanya butuh bertemu dengan beberapa orang saja di kantor. Yuli—Kepala Administrasi dan Keuangan, Yosep--Kepala bagian pajak serta Ivan tentunya. Ketika jam istirahat dan makan siang, Diana lebih memilih pulang ke rumah, sekalian mengecek semua anak-anaknya. Meskipun sejak Diana mulai bekerja, orang tuanya hampir tiap hari menyempatkan datang berkunjung ke rumahnya. Ayah dan ibunya yang merupakan pensiunan pegawai negeri cukup punya banyak waktu senggang untuk berkunjung dan bermain bersama para cucunya setiap hari. Apalagi jarak rumah mereka tidak terlalu berjauhan, hanya sekitar tiga kilometer saja. Diana baru saja akan menjalankan mobil ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Terlihat di layar ponsel nama Denny. Sesaat Diana hanya membiarkan saja. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Denny yang terus mengejarnya. Akhirnya ponsel itu pun diam. Namun, kemudian terdengar notifikasi w******p-nya. [Aku OTW ke rumahmu.] Buru-buru Diana memencet panggilan untuk mantan kekasihnya itu, ia tidak ingin bertemu Denny di rumahnya. Ia seorang janda kini, ia tidak mau dulu menerima tamu laki-laki sementara ini. “Hallo, Na. Akhirnya Hp-mu bisa menghubungiku juga.” “Iya, hallo, Den.” “Kamu di rumah ‘kan?” “Nggak, aku sedang di luar rumah,” jawab Diana cepat. “Bagus kalau begitu, kita makan siang bareng, ya?” “Hm … lain kali gimana?” Diana masih mencoba menghindar. “Kenapa Diana? Kamu terus menghindariku?” “Bu-bukan begitu, Den. Aku benar-benar sibuk sekarang.” Diana mencoba mencari alasan. “Aku ingin bertemu kamu sekarang, ada yang ingin aku bicarakan. Aku tidak akan menghubungi dan menemuimu lagi setelah ini.”“Hm … baiklah, di mana kita bertemu?” Diana akhirnya mengalah. Ia berharap setelah ini Denny benar-benar berhenti mengejarnya.
“Bagaimana kalau di rumahku saja, di Villa Tamara.” “Oke, kirimkan alamatnya.” Diana memutus panggilan dari Denny. Lokasi kantornya yang di jalan Juanda, cukup dekat ke alamat yang langsung dikirim Denny ke ponselnya. Hanya sekitar sepuluh menit Diana tiba di lokasi perumahannya Denny. Terlihat pagar rumah sudah terbuka dan ada mobil Denny yang dikenalnya terparkir di halaman. Diana memarkir mobilnya di depan pagar rumah. Sesaat ia menenangkan diri, lalu melangkah turun dari mobil. Degup jantungnya kian lama kian berpacu kencang saat langkahnya sudah berdiri di depan pintu rumah itu. Sungguh, Diana tak pernah segugup ini sebelumnya.Dengan tangan sedikit gemetar, ia memencet bel yang terpasang di pintu. Hanya sesaat Diana menunggu sampai pintu di depannya terbuka. Menampakkan Denny yang berdiri dengan segelas minuman di tangannya. “Masuklah!” suruh Denny dengan melebarkan daun pintu.Diana melangkah masuk, kemudian duduk di kursi tamu. Pandangan Diana mengedar menyisiri seluruh ruangan. Isi rumah itu terlihat mewah. Meski warna hitam dan putih mendominasi penuh, namun tatanan yang begitu epic membuat tempat tersebut sangan apik untuk dilihat.“Kamu mau minum apa, Na?” Denny menawarkan.“Tidak, terima kasih.” Diana tidak ingin berlama-lama di tempat itu, meski harus ia akui tempat tersebut lebih dari menyenangkan. “Jadi katakan, apa tujuanmu menyuruhku kemari?”Denny yang baru meneguk minuman cola-nya hingga tandas, menatap wanita cantik itu sekilas. Kemudian mengisinya kembali dari botol yang terletak di meja ruang tamu itu.“Rupanya kamu sudah tidak sabar dengan apa yang akan aku katakan, Diana.”Perempuan yang disebut namanya hanya bisa menatap si pria tak berkedip. “Katakan saja apa yang ingin kamu beritahu padaku, sebentar lagi aku harus kembali ke kantor!” “Aku ingin melamarmu menjadi istriku.” Denny dengan tenang mengucapkan kata-kata itu, tetapi yang mendengar terperanjat dengan mata membola.Beberapa saat Diana tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh tak disangkanya, Denny akan melamarnya seperti ini. Wanita yang baru menjanda selama tiga bulan itu hanya diam terpaku menatap lelaki yang juga tengah menatapnya tajam. Ia kemudian mengerjapkan mata dan menelan saliva yang tiba-tiba terasa seret di tenggorokan. “Sepertinya kamu butuh minum, Na.” Denny dengan tersenyum menuangkan coca cola soft drinks yang di atas meja ke dalam gelas kosong yang memang sudah disediakannya untuk sang pujaan hati. “Nih, minumlah,” ujar Denny sembari menyodorkan gelas bertangkai lancip itu.Diana menyambut gelas itu, kemudian meneguknya sedikit. “Hm … jadi bagaimana dengan lamaranku tadi? Masa iddahmu ‘kan sudah berakhir, aku ingin menjadi suamimu secepatnya,” lanjut Denny to the point. “Den … kamu sudah pikirkan masak-masak belum? Aku tuh janda dengan anak empat lho? Bagaimana dengan tanggapan orang tuamu nanti? Teman-temanmu?” ceca
Akhir pekan itu Denny pulang ke rumah orang tuanya di Balikpapan. Jaraknya hanya sekitar dua jam saja dari kota Samarinda. Dua atau tiga kali sebulan, Denny selalu mengunjungi ibu dan kedua adik perempuannya di kota kelahirannya itu. Denny tiba sekitar pukul tujuh malam di rumah orang tuanya. Sang ibu langsung mengajak putra kesayangannya itu makan malam berdua. Kedua adik perempuan Denny kebetulan sedang tidak berada di rumah pada saat itu. “Ma, ada yang ingin aku bicarakan sama Mama,” ucap Denny ketika mereka usai makan malam. Ia ingin segera meminta restu dari ibunya untuk menikahi Diana. “Wah, kebetulan nih, Den. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama kamu,” jawab Yanny—sang ibu dengan wajah berseri-seri. “Mengenai apa, Ma?” Denny balik bertanya begitu melihat ibunya yang lebih antusias ingin bicara sesuatu dengannya. “Kamu ingat gak sama Susana putrinya Tante Ning, tetangga kita dulu waktu tinggal di dekat Se
Diana menatap lagi ponselnya untuk ke sekian kalinya. Sudah tiga hari berlalu, tidak ada kabar berita dari Denny sama sekali. Padahal Denny berjanji akan segera mengabarinya hari Senin kemarin sepulang dari Balikpapan. Namun, sampai hari Selasa ini tidak ada juga kabar samasekali dari pria yang beberapa hari lalu begitu ngotot ingin menikahinya.“Apa Denny marah gara-gara penolakanku beberapa hari yang lalu?” pikir Diana galau. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di siang hari Jumat itu.Sebenarnya Diana sedikit menyesal dengan kejadian itu, serasa dirinya begitu murahan, tapi ia tetap harus mengakui bahwa aura memikat laki-laki itu begitu kuat. Ia tidak mampu menolaknya. Apalagi sudah tiga bulan ia tidak merasakan sentuhan yang memabukkan dari seorang laki-laki.Diana menghela napas sekali lagi. Ia menyandarkan tubuh pada sandaran kursi sambil menengadahkan kepala. Matanya terpejam. Kembali lagi, bayangan ti
Diana kembali ke ruangannya di kantor. Seulas senyum hadir di bibirnya kala mengusap perutnya yang sedikit menyembul. Makan siang bersama pertamakalinya hanya berdua Ivan, pria yang melahap makanannya dengan nikmatnya itu, membuat Diana tanpa sadar ikut menghabiskan menu makan siangnya tak bersisa. Gulai kepala ikan yang dimakannya tadi benar-benar enak, ditambah dengan sikap Ivan yang mengajaknya mengobrol ini itu. Sangat berbeda dengan sikap pria itu kala mereka berada di kantor. Diana tidak mengira teman suaminya itu begitu menarik di luar kantor. Ia pun merasa nyaman ketika bersama Ivan yang dewasa dan menyenangkan.Suara dering ponselnya dari dalam tas, menyadarkan Diana dari memikirkan sosok Ivan. Terlihat nama yang memanggilnya itu ‘Teman Lama’. Ia belum menggantinya dengan nama Denny, sejak menyimpan nomor itu ketika pertama kali bertemu lagi empat bulan yang lalu.“Hallo ….” Diana menjawab pelan.
Rumah orang tua Diana baru saja sepi dari para kerabat yang datang menghadiri acara arisan keluarga yang mereka adakan usai waktu Magrib tadi. “Ibu, Ayah. Ada yang ingin aku bicarakan,” pinta Diana begitu hanya mereka bertiga yang tersisa di ruang tengah rumah orang tuanya. “Mengenai apa, Diana? Ada masalah di kantormu kah?” tanya sang ibu sambil menatap putri sulungnya. “Bukan masalah di kantor, Bu. Hm … ini mengenai Denny. Ibu masih ingat ‘kan sama dia? Teman dekatku waktu kuliah dulu yang beberapa kali datang ke rumah ini.” “Oh, iya, Ibu ingat kok, apalagi pas kamu nikah sama Rey dulu, dia ‘kan yang datang mabuk-mabukan ke pesta kalian?” Ratih tertawa kecil mengingat pemuda yang datang ke pesta pernikahan anak sulungnya itu. “Iya, Bu, dulu aku memang meninggalkannya dan lebih memilih Mas Rey. Hm … empat bulan lalu aku ketemu Denny lagi pas acara reunian di kampus. Setelah Mas Rey meninggal, Denny jadi seri
“Denny! Aku tidak akan menghalangi apa yang kau inginkan saat ini, tapi setelah ini aku tidak akan pernah mau menemuimu lagi,” ancam Diana begitu ada kesempatan buatnya untuk bicara di tengah-tengah aksi Denny di atas tubuhnya. Denny tertegun mendengar ancaman wanita yang sudah dibuatnya tidak berdaya. Berlahan ia melonggarkan jepitan tangannya di tubuh langsing Diana yang sudah terlihat pasrah tidur di atas jok mobil yang sudah direbahkan oleh laki-laki itu tadi. Tangannya pun kemudian kembali menarik tuas jok untuk menegakkan kembali sandarannya. Diana diam saja melihat Denny yang kemudian mengancingkan kembali baju yang dilepas paksa oleh pria itu tadi. “Maafkan aku, Na. Tadi temanku mengajak minum sebelum ketemu kamu. Aku benar-benar minta maaf ya, gak bisa kontrol emosiku barusan.” Denny mencium tangan Diana lama dengan napas yang masih terlihat memburu. Ia benar-benar sedang berusaha untuk tenang. “Aku mau pulang dulu, Den,” j
Denny menemui ibunya ke kamar. Terlihat sang ibu sedang melipat mukenanya, sepertinya baru saja selesai melaksanakan salat Zuhur. “Denny? Kamu pulang? Tumben?” Yanny bertanya dengan heran, karena biasanya jarang sekali sang putra pulang ke Balikpapan setiap minggu. “Iya, Ma. Aku ngajak Diana ke sini, mau kuperkenalkan sama Mama,” jawab Denny sembari menyalami dan mencium tangan ibunya. “Mama ‘kan sudah bilang tidak mau dia jadi menantu mama, kenapa lagi kamu ajak dia ke sini sih, Den?” Yanny bertanya dengan malas, bahkan kemudian ia menuju ranjangnya, bersiap untuk istirahat siang. “Ma … jangan gitu dong, Ma. Tolong temui Diana sebentar. Kami udah jauh-jauh dari Samarinda ke sini lho, Ma,” bujuk Denny menyusul duduk di samping mamanya. Ia lalu meraih tangan sang ibu dengan tatapan memohon. “Baiklah, mama hanya sekedar menghormati tamu yang datang ke rumah ini, bukan berarti mama setuju dia menjadi calon
Begitu Diana turun dari mobil yang membawanya ke bandara, ia langsung berjalan menuju pintu keluar penumpang bandara. Sekitar lima meter wanita yang sedang kecewa itu bisa melihat Ivan yang berdiri menunggu tidak jauh dari pintu keluar. “Mas Ivan!” teriak Diana sembari melambaikan tangan. Ivan langsung melihatnya, segera pria tingi kekar itu berjalan menemui Diana sambil membawa koper kecilnya. “Ada acara apa ke Balikpapan, Bu?” tanya Ivan dengan tersenyum senang. Ia tidak menyangka akan bertemu Diana di Balikpapan dan akan pulang bersama dengan atasannya itu ke Samarinda. “Ibu-ibu! Kita bukan di lingkungan kantor lho, ya?” protes Diana dengan memanyunkan bibir seksinya. “Ya, deh. Hm … kenapa jauh-jauh menjemput aku ke sini? Belum juga sampe seminggu pisahnya?” goda Ivan lagi, membuat Diana yang sedang cemberut tersenyum lebar. “Mana mobilnya, Mas? Udah pesan ‘kan?” Diana mengalihkan pembica