Diana duduk termenung menatap bunga-bunga mawar yang bermekaran di depan jendela kamarnya. Sudah seminggu ia mengurung diri di kamar. Kepergian Rey begitu mengguncang perasaannya. Apalagi setelah mendengar semua rahasia yang disembunyikan dengan rapi oleh sang suami selama pernikahan mereka. Padahal tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Diana benar-benar mengutuk kebodohannya selama ini.
“Mas Rey … kenapa kau sakiti aku seperti ini, Mas ….” Air mata membasahi pipi mulusnya. Isak tangisnya kembali terdengar kala mengingat laki-laki yang sudah mengambil semua cinta yang ada di hatinya. Diana masih saja merasa tidak percaya akan semua kenyataan ini. Bagaimana pun juga ia mencoba untuk berdamai dengan apa yang sudah terjadi, tetapi hatinya masih saja terasa sakit, menyesak seluruh rongga di dadanya. Suara ketukan di pintu kamarnya tidak membuat Diana menoleh dari tatapannya yang masih terpaku pada kupu-kupu yang beterbangan di sekitar tumbuhan mawar kesayangannya. “Maaf, Bu, ada tamu mencari Ibu.” Suara Tuti—asisten rumah tangganya yang bicara dari balik pintu akhirnya membuat Diana menoleh. “Siapa?” tanyanya serak. “Katanya teman Ibu waktu kuliah.”Dengan malas Diana bangkit dari duduknya. Ia merapikan sedikit wajah sembabnya di depan kaca rias. Lalu melangkah dengan lunglai keluar kamar. Setibanya di ruang tamu, Diana terpaku menatap sesosok pria yang juga sedang menatapnya dengan senyum lembut di bibir tipisnya. “Denny? Kamu kok tahu rumahku di sini?” tanya Diana sembari duduk di kursi depan sang tamu yang tak diundang itu. “Kamu ‘kan pernah kasih tahu waktu itu, kalau rumahmu dekat dari jalan masuk depan sana.” “Oh ….”“Aku turut berduka cita ya, Na,” ucap Denny pelan setelah sesaat ruang tamu itu senyap tak ada suara.
“Kamu tahu darimana, Den?” Diana bertanya dengan mata sembabnya yang kembali mengembun. “Dari Riska. Kemarin kami bertemu di plaza mulia.” “Makasih ya, Den. Kamu sudah datang ke sini.” Diana menjawab pelan sembari mengusap matanya pelan. “Aku hanya ingin melihat kondisimu, Diana. Kamu sudah jauh lebih kurus dibanding dua minggu lalu kita bertemu.” Denny menatap iba wajah wanita yang terlihat pucat. Diana tidak menjawab, hanya airmatanya yang kemudian menetes kembali di pipinya yang pucat. “Sudah cukup kesedihanmu itu, Diana. Kamu harus kuat,” ujar Denny tidak tahan melihat wajah cantik itu terlihat layu dan pucat. Ingin rasanya ia memeluk tubuh wanita yang sedang berduka cita itu. “Seandainya kamu tahu apa yang sudah Mas Rey lakukan terhadapku, mungkin kau akan tertawa, Den,” ucap Diana dalam hati. Ia sangat malu terhadap pria yang sangat mencintai dan memujanya sejak dulu itu. Yang dengan teganya ia tinggalkan karena tertarik oleh Rey yang lebih dewasa dari mereka. “Kok sepi, Na. Anak-anakmu pada ke mana?” tanya Denny mengalihkan pembicaraan. “Mereka sedang di rumah ibuku sejak tadi pagi.” “Oh ya, gimana kabar orang tuamu, Na?” “Mereka baik-baik saja.” “Seandainya kamu bersedia, ingin rasanya aku mengajakmu keluar mencari udara segar, Na.” Denny menatap Diana penuh harap. Ia ingin menghibur hati wanita yang masih sangat ia sayangi hingga kini. “Maaf, Den. Aku hanya ingin istirahat di rumah.” “Oke … baiklah, kalau begitu aku pamit pulang dulu, ya?” Denny langsung berdiri dari duduknya.“Maaf, sekali lagi, Den. Aku tidak bermaksud mengusirmu,” ucap Diana tidak enak hati. “Aku tahu, Diana. Kebetulan aku juga ada janji sama teman sebentar lagi.” Denny melemparkan senyum menawannya. “Oh, kirain kamu buru-buru pulang karena ucapanku tadi.” Diana berusaha untuk tersenyum. “Gak kok, ya, udah. Kamu istirahat lagi deh, jangan lupa makan, nanti malah kamu sakit kalau terus menerus bersedih kayak gitu,” nasehat Denny. Diana menatap haru mantan kekasihnya yang tidak berubah sedikitpun perhatiannya. Diana mengantar Denny ke teras, ia melambaikan tangan begitu lelaki gagah itu berlalu dengan mobilnya.*** “Mas Ivan, kamu pasti tahu tentang Mbak Rinda, istri pertamanya Mas Rey ‘kan? Kalian sama-sama kuliah di Surabaya dulu,” tanya Diana begitu Ivan duduk di depan meja kerjanya kini. Ruangan kerja almarhum suaminya dulu. “Hm … maaf, Diana. Aku gak mau masuk dalam urusan rumah tangga kalian,” jawab Ivan pelan. “Apalagi sekarang Rey sudah gak ada, lebih baik kita lupakan saja yang sakit-sakit, kenang saja bagian yang indah-indah, agar kamu bisa kuat menghadapi masa depan nanti.” Diana terdiam mendengar ucapan sahabat sekaligus orang kepercayaan suaminya di perusahaan yang sekarang menjadi tanggung jawabnya kini. “Iya, Mas. Terima kasih atas nasehatnya. Aku harap Mas Ivan juga bisa membimbing aku untuk meneruskan perusahaan Mas Rey ini ke depannya.” Diana mengulas senyum manisnya untuk pria yang juga masih betah menduda setelah bercerai dengan istrinya setahun yang lalu. “Jangan khawatir, Diana. Aku juga tidak mau perusahaan yang kami rintis bersama ini akan hancur, perusahaan ini juga masa depan aku sendiri,” balas pria berwajah keturunan Arab itu dengan tersenyum lembut, menatap janda sahabatnya yang cantik jelita. “Oh iya, jam berapa Pak Bram mau datang ke sini?” Ivan mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak mau berlama-lama satu ruangan dengan wanita cantik yang duduk di hadapannya itu.“Hm … sekitar jam dua belas siang, Mas. Nanti sekalian saja kita makan siang bersama di luar, kalau Mas Bram datang.” “Oke deh, ada yang perlu ditanyakan lagi gak? Kalau gak ada aku permisi dulu, ada janjian sama buyer nih,” tanya Ivan sambil menegakkan tubuhnya dari sandaran kursi, bersiap-siap mau berdiri. “Udah gak ada sih, Mas. Makasih ya, sudah datang ke sini.” Diana mengulas senyum manisnya. “Sama-sama, Bu.” Ivan pun membalas dengan tersenyum tipis. “Eh, tetap panggil namaku aja deh, Mas,” protes Diana tertawa geli. Baru kali ini ia bisa tertawa setelah dua minggu hanya kedukaan yang dirasakannya. Hari ini memang hari pertama ia datang ke kantor peninggalan suaminya yang meninggal dua minggu yang lalu. “Kamu ‘kan atasanku sekarang.” Ivan ikut terkekeh. “Terserah kamu lah, Pak Ivan.” Diana menimpali dengan mamanggil Ivan dengan sebutan resmi di kantoran. “Nah, itu udah cocok, panggil Ibu dan Pak,” ucap Ivan sambil berdiri dari duduknya dengan tersenyum lebar.*** “Mulai hari ini jabatan Direktur di perusahaan ini dipegang oleh Ibu Diana Angelina dan Pak Ivan Sanjaya menempati posisi sebagai General Manager.” Bramantyo Yahya—kakak tertua dari almarhum Reynaldi menyampaikan di hadapan para manager dan kepala divisi yang bertempat di ruangan meeting yang diadakan sekitar pukul dua siang. “Kami dari jajaran Direksi mengharapkan semoga perusahaan ini tetap berjalan lancar dan berkembang seperti ketika masih dipimpin oleh almarhum adik saya dulu. Saya harap Bapak dan Ibu semua juga tetap terus bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh.” Bram melanjutkan pidatonya. Gayanya yang tegas sama persis seperti gayanya Rey kala memimpin meeting dengan para karyawannya. Diana pun kemudian memberikan salam perkenalannya kepada manager-manager perusahaan yang hadir di ruangan meeting tersebut. Penampilannya yang cantik dan keren membuat beberapa pria di ruangan itu menatap kagum. Ditambah lagi dengan gaya bicaranya yang pintar dan berkelas. Bram dan Ivan pun merasa puas akan performance dari penerus Direktur di perusahaan tersebut.Hari-hari terus berjalan dan dilewati Diana tanpa terasa. Rasa kehilangannya terhadap sang suami juga sedikit demi sedikit bisa berkurang. Apalagi kesibukan barunya sebagai Direktur di perusahaan peninggalan suaminya itu, bisa mengalihkan kesedihan dan kedukaannya atas kepergian Reynaldi. Diana tidak terlalu mencampuri ke dalam operasional perusahaan, ia percaya Ivan mampu menangani semua yang berhubungan dengan pengembangan perusahaan baik di dalam perusahaan maupun di lapangan. Diana hanya mengawasi dari segi keuangan dan menanda-tangani semua surat-surat penting yang dibutuhkan oleh perusahaan.Tiga bulan pun berlalu. Selama itulah Diana melewati malam-malam sepinya sendiri. Meskipun terlambat mengetahui bahwa suaminya ternyata juga milik wanita lain, tetapi Rey selama ini juga selalu ada di sisinya setiap malam. Alasan ke luar kota pun juga tidak pernah lama. Sekarang Diana baru sadar, mungkin ketika sang suami pamt ke luar kota adala
Beberapa saat Diana tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh tak disangkanya, Denny akan melamarnya seperti ini. Wanita yang baru menjanda selama tiga bulan itu hanya diam terpaku menatap lelaki yang juga tengah menatapnya tajam. Ia kemudian mengerjapkan mata dan menelan saliva yang tiba-tiba terasa seret di tenggorokan. “Sepertinya kamu butuh minum, Na.” Denny dengan tersenyum menuangkan coca cola soft drinks yang di atas meja ke dalam gelas kosong yang memang sudah disediakannya untuk sang pujaan hati. “Nih, minumlah,” ujar Denny sembari menyodorkan gelas bertangkai lancip itu.Diana menyambut gelas itu, kemudian meneguknya sedikit. “Hm … jadi bagaimana dengan lamaranku tadi? Masa iddahmu ‘kan sudah berakhir, aku ingin menjadi suamimu secepatnya,” lanjut Denny to the point. “Den … kamu sudah pikirkan masak-masak belum? Aku tuh janda dengan anak empat lho? Bagaimana dengan tanggapan orang tuamu nanti? Teman-temanmu?” ceca
Akhir pekan itu Denny pulang ke rumah orang tuanya di Balikpapan. Jaraknya hanya sekitar dua jam saja dari kota Samarinda. Dua atau tiga kali sebulan, Denny selalu mengunjungi ibu dan kedua adik perempuannya di kota kelahirannya itu. Denny tiba sekitar pukul tujuh malam di rumah orang tuanya. Sang ibu langsung mengajak putra kesayangannya itu makan malam berdua. Kedua adik perempuan Denny kebetulan sedang tidak berada di rumah pada saat itu. “Ma, ada yang ingin aku bicarakan sama Mama,” ucap Denny ketika mereka usai makan malam. Ia ingin segera meminta restu dari ibunya untuk menikahi Diana. “Wah, kebetulan nih, Den. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama kamu,” jawab Yanny—sang ibu dengan wajah berseri-seri. “Mengenai apa, Ma?” Denny balik bertanya begitu melihat ibunya yang lebih antusias ingin bicara sesuatu dengannya. “Kamu ingat gak sama Susana putrinya Tante Ning, tetangga kita dulu waktu tinggal di dekat Se
Diana menatap lagi ponselnya untuk ke sekian kalinya. Sudah tiga hari berlalu, tidak ada kabar berita dari Denny sama sekali. Padahal Denny berjanji akan segera mengabarinya hari Senin kemarin sepulang dari Balikpapan. Namun, sampai hari Selasa ini tidak ada juga kabar samasekali dari pria yang beberapa hari lalu begitu ngotot ingin menikahinya.“Apa Denny marah gara-gara penolakanku beberapa hari yang lalu?” pikir Diana galau. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di siang hari Jumat itu.Sebenarnya Diana sedikit menyesal dengan kejadian itu, serasa dirinya begitu murahan, tapi ia tetap harus mengakui bahwa aura memikat laki-laki itu begitu kuat. Ia tidak mampu menolaknya. Apalagi sudah tiga bulan ia tidak merasakan sentuhan yang memabukkan dari seorang laki-laki.Diana menghela napas sekali lagi. Ia menyandarkan tubuh pada sandaran kursi sambil menengadahkan kepala. Matanya terpejam. Kembali lagi, bayangan ti
Diana kembali ke ruangannya di kantor. Seulas senyum hadir di bibirnya kala mengusap perutnya yang sedikit menyembul. Makan siang bersama pertamakalinya hanya berdua Ivan, pria yang melahap makanannya dengan nikmatnya itu, membuat Diana tanpa sadar ikut menghabiskan menu makan siangnya tak bersisa. Gulai kepala ikan yang dimakannya tadi benar-benar enak, ditambah dengan sikap Ivan yang mengajaknya mengobrol ini itu. Sangat berbeda dengan sikap pria itu kala mereka berada di kantor. Diana tidak mengira teman suaminya itu begitu menarik di luar kantor. Ia pun merasa nyaman ketika bersama Ivan yang dewasa dan menyenangkan.Suara dering ponselnya dari dalam tas, menyadarkan Diana dari memikirkan sosok Ivan. Terlihat nama yang memanggilnya itu ‘Teman Lama’. Ia belum menggantinya dengan nama Denny, sejak menyimpan nomor itu ketika pertama kali bertemu lagi empat bulan yang lalu.“Hallo ….” Diana menjawab pelan.
Rumah orang tua Diana baru saja sepi dari para kerabat yang datang menghadiri acara arisan keluarga yang mereka adakan usai waktu Magrib tadi. “Ibu, Ayah. Ada yang ingin aku bicarakan,” pinta Diana begitu hanya mereka bertiga yang tersisa di ruang tengah rumah orang tuanya. “Mengenai apa, Diana? Ada masalah di kantormu kah?” tanya sang ibu sambil menatap putri sulungnya. “Bukan masalah di kantor, Bu. Hm … ini mengenai Denny. Ibu masih ingat ‘kan sama dia? Teman dekatku waktu kuliah dulu yang beberapa kali datang ke rumah ini.” “Oh, iya, Ibu ingat kok, apalagi pas kamu nikah sama Rey dulu, dia ‘kan yang datang mabuk-mabukan ke pesta kalian?” Ratih tertawa kecil mengingat pemuda yang datang ke pesta pernikahan anak sulungnya itu. “Iya, Bu, dulu aku memang meninggalkannya dan lebih memilih Mas Rey. Hm … empat bulan lalu aku ketemu Denny lagi pas acara reunian di kampus. Setelah Mas Rey meninggal, Denny jadi seri
“Denny! Aku tidak akan menghalangi apa yang kau inginkan saat ini, tapi setelah ini aku tidak akan pernah mau menemuimu lagi,” ancam Diana begitu ada kesempatan buatnya untuk bicara di tengah-tengah aksi Denny di atas tubuhnya. Denny tertegun mendengar ancaman wanita yang sudah dibuatnya tidak berdaya. Berlahan ia melonggarkan jepitan tangannya di tubuh langsing Diana yang sudah terlihat pasrah tidur di atas jok mobil yang sudah direbahkan oleh laki-laki itu tadi. Tangannya pun kemudian kembali menarik tuas jok untuk menegakkan kembali sandarannya. Diana diam saja melihat Denny yang kemudian mengancingkan kembali baju yang dilepas paksa oleh pria itu tadi. “Maafkan aku, Na. Tadi temanku mengajak minum sebelum ketemu kamu. Aku benar-benar minta maaf ya, gak bisa kontrol emosiku barusan.” Denny mencium tangan Diana lama dengan napas yang masih terlihat memburu. Ia benar-benar sedang berusaha untuk tenang. “Aku mau pulang dulu, Den,” j
Denny menemui ibunya ke kamar. Terlihat sang ibu sedang melipat mukenanya, sepertinya baru saja selesai melaksanakan salat Zuhur. “Denny? Kamu pulang? Tumben?” Yanny bertanya dengan heran, karena biasanya jarang sekali sang putra pulang ke Balikpapan setiap minggu. “Iya, Ma. Aku ngajak Diana ke sini, mau kuperkenalkan sama Mama,” jawab Denny sembari menyalami dan mencium tangan ibunya. “Mama ‘kan sudah bilang tidak mau dia jadi menantu mama, kenapa lagi kamu ajak dia ke sini sih, Den?” Yanny bertanya dengan malas, bahkan kemudian ia menuju ranjangnya, bersiap untuk istirahat siang. “Ma … jangan gitu dong, Ma. Tolong temui Diana sebentar. Kami udah jauh-jauh dari Samarinda ke sini lho, Ma,” bujuk Denny menyusul duduk di samping mamanya. Ia lalu meraih tangan sang ibu dengan tatapan memohon. “Baiklah, mama hanya sekedar menghormati tamu yang datang ke rumah ini, bukan berarti mama setuju dia menjadi calon