Share

Part 6 : Ternyata Jadi Istri Kedua

 Diana duduk termenung menatap bunga-bunga mawar yang bermekaran di depan jendela kamarnya. Sudah seminggu ia mengurung diri di kamar. Kepergian Rey begitu mengguncang perasaannya. Apalagi setelah mendengar semua rahasia yang disembunyikan dengan rapi oleh sang suami selama pernikahan mereka. Padahal tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Diana benar-benar mengutuk kebodohannya selama ini. 

 “Mas Rey … kenapa kau sakiti aku seperti ini, Mas ….” Air mata membasahi pipi mulusnya. Isak tangisnya kembali terdengar kala mengingat laki-laki yang sudah mengambil semua cinta yang ada di hatinya. Diana masih saja merasa tidak percaya akan semua kenyataan ini. Bagaimana pun juga ia mencoba untuk berdamai dengan apa yang sudah terjadi, tetapi hatinya masih saja terasa sakit, menyesak seluruh rongga di dadanya.

 Suara ketukan di pintu kamarnya tidak membuat Diana menoleh dari tatapannya yang masih terpaku pada kupu-kupu yang beterbangan di sekitar tumbuhan mawar kesayangannya.

 “Maaf, Bu, ada tamu mencari Ibu.” Suara Tuti—asisten rumah tangganya yang bicara dari balik pintu akhirnya membuat Diana menoleh.

 “Siapa?” tanyanya serak.

 “Katanya teman Ibu waktu kuliah.”

Dengan malas Diana bangkit dari duduknya. Ia merapikan sedikit wajah sembabnya di depan kaca rias. Lalu melangkah dengan lunglai keluar kamar. Setibanya di ruang tamu, Diana terpaku menatap sesosok pria yang juga sedang menatapnya dengan senyum lembut di bibir tipisnya.

 “Denny? Kamu kok tahu rumahku di sini?” tanya Diana sembari duduk di kursi depan sang tamu yang tak diundang itu.

 “Kamu ‘kan pernah kasih tahu waktu itu, kalau rumahmu dekat dari jalan masuk depan sana.”

 “Oh ….”

 “Aku turut berduka cita ya, Na,” ucap Denny pelan setelah sesaat ruang tamu itu senyap tak ada suara.

 “Kamu tahu darimana, Den?” Diana bertanya dengan mata sembabnya yang kembali mengembun.

 “Dari Riska. Kemarin kami bertemu di plaza mulia.”

 “Makasih ya, Den. Kamu sudah datang ke sini.” Diana menjawab pelan sembari mengusap matanya pelan.

 “Aku hanya ingin melihat kondisimu, Diana. Kamu sudah jauh lebih kurus dibanding dua minggu lalu kita bertemu.” Denny menatap iba wajah wanita yang terlihat pucat.

 Diana tidak menjawab, hanya airmatanya yang kemudian menetes kembali di pipinya yang pucat.

 “Sudah cukup kesedihanmu itu, Diana. Kamu harus kuat,” ujar Denny tidak tahan melihat wajah cantik itu terlihat layu dan pucat. Ingin rasanya ia memeluk tubuh wanita yang sedang berduka cita itu. 

 “Seandainya kamu tahu apa yang sudah Mas Rey lakukan terhadapku, mungkin kau akan tertawa, Den,” ucap Diana dalam hati. Ia sangat malu terhadap pria yang sangat mencintai dan memujanya sejak dulu itu. Yang dengan teganya ia tinggalkan karena tertarik oleh Rey yang lebih dewasa dari mereka.

 “Kok sepi, Na. Anak-anakmu pada ke mana?” tanya Denny mengalihkan pembicaraan.

 “Mereka sedang di rumah ibuku sejak tadi pagi.”

 “Oh ya, gimana kabar orang tuamu, Na?”

 “Mereka baik-baik saja.”

 “Seandainya kamu bersedia, ingin rasanya aku mengajakmu keluar mencari udara segar, Na.” Denny menatap Diana penuh harap. Ia ingin menghibur hati wanita yang masih sangat ia sayangi hingga kini.

 “Maaf, Den. Aku hanya ingin istirahat di rumah.”

 “Oke … baiklah, kalau begitu aku pamit pulang dulu, ya?” Denny langsung berdiri dari duduknya.

“Maaf, sekali lagi, Den. Aku tidak bermaksud mengusirmu,” ucap Diana tidak enak hati.

 “Aku tahu, Diana. Kebetulan aku juga ada janji sama teman sebentar lagi.” Denny melemparkan senyum menawannya.

 “Oh, kirain kamu buru-buru pulang karena ucapanku tadi.” Diana berusaha untuk tersenyum.

 “Gak kok, ya, udah. Kamu istirahat lagi deh, jangan lupa makan, nanti malah kamu sakit kalau terus menerus bersedih kayak gitu,” nasehat Denny. Diana menatap haru mantan kekasihnya yang tidak berubah sedikitpun perhatiannya.

 Diana mengantar Denny ke teras, ia melambaikan tangan begitu lelaki gagah itu berlalu dengan mobilnya.

***

 “Mas Ivan, kamu pasti tahu tentang Mbak Rinda, istri pertamanya Mas Rey ‘kan? Kalian sama-sama kuliah di Surabaya dulu,” tanya Diana begitu Ivan duduk di depan meja kerjanya kini. Ruangan kerja almarhum suaminya dulu.

 “Hm … maaf, Diana. Aku gak mau masuk dalam urusan rumah tangga kalian,” jawab Ivan pelan. “Apalagi sekarang Rey sudah gak ada, lebih baik kita lupakan saja yang sakit-sakit, kenang saja bagian yang indah-indah, agar kamu bisa kuat menghadapi masa depan nanti.”

 Diana terdiam mendengar ucapan sahabat sekaligus orang kepercayaan suaminya di perusahaan yang sekarang menjadi tanggung jawabnya kini.

 “Iya, Mas. Terima kasih atas nasehatnya. Aku harap Mas Ivan juga bisa membimbing aku untuk meneruskan perusahaan Mas Rey ini ke depannya.” Diana mengulas senyum manisnya untuk pria yang juga masih betah menduda setelah bercerai dengan istrinya setahun yang lalu.

 “Jangan khawatir, Diana. Aku juga tidak mau perusahaan yang kami rintis bersama ini akan hancur, perusahaan ini juga masa depan aku sendiri,” balas pria berwajah keturunan Arab itu dengan tersenyum lembut, menatap janda sahabatnya yang cantik jelita.

 “Oh iya, jam berapa Pak Bram mau datang ke sini?” Ivan mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak mau berlama-lama satu ruangan dengan wanita cantik yang duduk di hadapannya itu.

“Hm … sekitar jam dua belas siang, Mas. Nanti sekalian saja kita makan siang bersama di luar, kalau Mas Bram datang.”

 “Oke deh, ada yang perlu ditanyakan lagi gak? Kalau gak ada aku permisi dulu, ada janjian sama buyer nih,” tanya Ivan sambil menegakkan tubuhnya dari sandaran kursi, bersiap-siap mau berdiri.

 “Udah gak ada sih, Mas. Makasih ya, sudah datang ke sini.” Diana mengulas senyum manisnya.

 “Sama-sama, Bu.” Ivan pun membalas dengan tersenyum tipis.

 “Eh, tetap panggil namaku aja deh, Mas,” protes Diana tertawa geli. Baru kali ini ia bisa tertawa setelah dua minggu hanya kedukaan yang dirasakannya. Hari ini memang hari pertama ia datang ke kantor peninggalan suaminya yang meninggal dua minggu yang lalu.

 “Kamu ‘kan atasanku sekarang.” Ivan ikut terkekeh.

 “Terserah kamu lah, Pak Ivan.” Diana menimpali dengan mamanggil Ivan dengan sebutan resmi di kantoran.

 “Nah, itu udah cocok, panggil Ibu dan Pak,” ucap Ivan sambil berdiri dari duduknya dengan tersenyum lebar.

***

 “Mulai hari ini jabatan Direktur di perusahaan ini dipegang oleh Ibu Diana Angelina dan Pak Ivan Sanjaya menempati posisi sebagai General Manager.” Bramantyo Yahya—kakak tertua dari almarhum Reynaldi menyampaikan di hadapan para manager dan kepala divisi yang bertempat di ruangan meeting yang diadakan sekitar pukul dua siang.

 “Kami dari jajaran Direksi mengharapkan semoga perusahaan ini tetap berjalan lancar dan berkembang seperti ketika masih dipimpin oleh almarhum adik saya dulu. Saya harap Bapak dan Ibu semua juga tetap terus bekerja dengan baik dan bersungguh-sungguh.” Bram melanjutkan pidatonya. Gayanya yang tegas sama persis seperti gayanya Rey kala memimpin meeting dengan para karyawannya.

 Diana pun kemudian memberikan salam perkenalannya kepada manager-manager perusahaan yang hadir di ruangan meeting tersebut. Penampilannya yang cantik dan keren membuat beberapa pria di ruangan itu menatap kagum. Ditambah lagi dengan gaya bicaranya yang pintar dan berkelas. Bram dan Ivan pun merasa puas akan performance dari penerus Direktur di perusahaan tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status