Langit mulai menggelap di luar jendela kecil yang terpasang tinggi di ruangan itu. Michael berdiri di balik pintu, menatap jam tangan yang kini berdetak seperti detik menuju kehancuran. Ia menarik napas pelan, lalu mengenakan kembali jaket gelap dan topengnya. Kali ini, rencananya dimulai. Satu langkah kecil, namun berarti: membuat Lucas menderita, tanpa curiga.Beberapa jam sebelumnya, Michael diam-diam menyusup ke dapur bawah—tempat para penjaga biasa mengambil makanan. Ia berpura-pura sebagai bagian dari "pengamanan baru", dan tidak ada yang menyadari identitas aslinya. Lagipula, semua terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Ia menemukan apa yang ia cari: sebotol kecil cairan pencahar kuat. Hanya satu tetes saja cukup membuat perut menjerit. Michael menyelipkannya ke saku dalam, lalu menunggu saat yang tepat.Dan momen itu datang malam ini, saat Lucas memerintahkan seorang penjaga membawa makanan ke ruang istirahatnya. Michael menawarkan diri—dengan gaya merendah penuh ke
Sahira menyuap sesendok terakhir sup yang hangat itu dengan gerakan pelan dan hati-hati. Aroma kaldu yang menggoda telah menipiskan pertahanannya sejak awal, namun ia mencoba bertahan hingga tubuhnya sendiri tak kuasa menolak. Meskipun hatinya masih kalut, tubuhnya tetap membutuhkan asupan setelah sekian lama disiksa oleh kelaparan dan dingin yang menusuk tulang. Hangatnya sup itu seolah membungkus seisi perutnya, menciptakan perasaan lega yang samar—walau hanya sesaat.Di seberangnya, Michael duduk diam, menatapnya lekat-lekat. Tatapan pria itu seperti lautan dalam yang menyimpan badai emosi—kelegaan, belas kasih, dan ketakutan yang membuncah namun terkekang di balik wajah tenangnya. Napasnya tertahan ketika melihat wanita itu akhirnya menyerah pada rasa lapar, menyaksikan bagaimana Sahira mulai memulihkan sedikit kekuatannya, walau masih rapuh.Namun saat sendok itu diletakkan perlahan di atas mangkuk, Michael bergerak cepat. Ia mengeluarkan kain kecil dari saku jaket gelapnya, dan
“Akhhh ... ughh ... nikmatnya.”Suara desahan menggema lembut di dalam sebuah hotel mewah yang lampunya sengaja diredupkan. Tirai jendela ditutup rapat, mengurung keintiman dua tubuh yang saling membakar satu sama lain di atas ranjang. Sergio yang telanjang dengan napas memburu, menciumi leher Karin dengan rakus. Jemarinya menggenggam rambut gadis itu, sementara tubuh mereka melengkung dalam irama panas dan penuh hasrat.“Ahhh ... pelan-pelan, ughh Sergio ....”Karin mendesah pelan, tubuhnya melingkari Sergio seperti lilitan api yang tak ingin padam. Ciuman Sergio turun dari leher ke dada, membuat gadis itu menggeliat dan menyebut namanya dengan suara lirih namun penuh kenikmatan.“Akhhh, nikmat sekali.” Sergio memejamkan mata, menikmati setiap kali hentakkannya sendiri. Milik Karin menjepit miliknya.“Sergio …”“Diam sayang, sebentar lagi aku sampai ....”Namun di tengah desahan itu, tiba-tiba suara ponsel membelah suasana panas yang memabukkan. Nada dering nyaring membuat Sergio men
Lucas berhenti di depan pintu besi tebal yang memiliki dua gembok besar. Ia mengangguk pada dua anak buahnya yang berjaga di sisi pintu. Salah satunya segera membuka gembok, bunyinya nyaring, seolah menyayat udara malam yang sunyi.Kriet!Pintu terbuka.Cahaya dari lorong menyusup ke dalam ruangan sempit itu. Di sana, duduk seorang wanita dengan tangan terikat ke belakang dan kaki dirantai ke besi di lantai. Tubuhnya terlihat lelah, namun tatapannya masih menyala—menyala dengan amarah dan keteguhan. Itulah Sahira.Lucas melangkah masuk dengan langkah santai namun penuh kesombongan. Ia menghentikan langkah beberapa meter di depan Sahira dan menatap wanita itu dengan penuh selera, seperti seorang jagal memandangi hewan buruannya yang sedang sekarat tapi belum mati.“Hahaha,” tawa dinginnya membelah keheningan. “Lihat siapa yang masih bisa menatapku seperti itu. Tatapanmu masih tajam, Sahira or Alexa J. Tapi maaf, itu tak lagi membuatku gentar.”Sahira mengangkat wajahnya, rambut panjan
Malam hari. Di ruang rahasia lantai bawah mansion—yang kini dijadikan markas sementara—tampak beberapa peta berserakan di atas meja bundar, bercoret garis-garis merah dan lingkaran strategis. Michael berdiri dengan tangan bertolak pinggang, rahangnya mengeras, sementara David duduk di depannya, laptop terbuka menampilkan peta digital yang terus berkedip.“Kau sudah berhasil melacak keberadaannya, David?” tanya Michael dengan nada tegas namun tertahan, seperti api yang menunggu ledakan.David mengangguk, jarinya menunjuk pada satu titik merah yang berkedip di layar. “Sudah. Dia ada di wilayah ini—zona industri lama. Banyak bangunan kosong dan gedung-gedung tak terpakai. Aku curiga Sahira disembunyikan di salah satu dari gedung itu. Aku yakin Lucas tak punya dana cukup untuk menyewa tempat yang layak, apalagi setelah semua aset yang dia curi sudah kita rebut kembali.”Michael menyipitkan mata menatap layar. Ia tahu Lucas bukan orang bodoh. Tapi juga bukan seorang yang punya rencana jan
Mobil SUV hitam melaju cepat menembus gerbang mansion yang kini terbuka setengah, seolah ditinggalkan terburu-buru. Lampu depan kendaraan menyorot halaman yang tampak lengang dan ganjil. Tak ada satpam yang biasanya berdiri tegak di pos jaga. Tak ada yang membukakan pintu seperti biasa. Segalanya terasa sunyi dan janggal.Michael turun lebih dulu dari mobil, diikuti David yang memasang ekspresi siaga. Begitu kaki mereka menyentuh tanah, bau anyir bercampur udara lembap malam langsung menyambut. Insting Michael langsung menyadari—ada yang salah."Kenapa tidak ada yang menjaga pintu? Padahal aku sudah memerintahkan mereka untuk jangan lengah," gumamnya tajam. Ia melangkah cepat menuju anak tangga teras.Belum sempat tangan Michael menyentuh kenop pintu utama, David tiba-tiba menunjuk ke arah samping, nadanya waspada. “Bos, lihat itu!”Michael menoleh dan matanya langsung membelalak. Seorang anak buah mereka tergeletak di dekat pagar samping, tubuhnya tak bergerak, wajahnya pucat. Bebera