로그인Talia bangun pagi itu dengan rasa pegal di sekujur tubuhnya. Saat dia duduk di pinggir tempat tidur, matanya tertuju pada sepatu yang tergeletak di lantai. Ada bekas cipratan lumpur yang sudah mengering di sana. Padahal bajunya bersih, tapi sepatunya kotor sekali.Dia memegang pergelangan tangannya. Ada bekas memar tipis di sana, sisa dari genggaman kuat Kael semalam. Kejadian itu berputar lagi di kepalanya. Kael, pria dengan mata biru yang tajam itu, tiba-tiba menariknya sampai menjadikan tubuh pria itu tameng saat ada mobil ngebut yang menerjang genangan air di jalanan. Setelah memastikan Talia tidak basah kuyup, Kael pergi begitu saja tanpa bilang apa-apa.Siang harinya, saat Talia sedang bekerja, tiba-tiba seorang petugas pengantar makanan datang lagi ke tempatnya. Bau makanannya enak, tapi Talia merasa tidak mau menerima setelah memiliki kecurigaan mengenai pengirimnya."Pak, maaf, ini dari siapa ya?" tanya Talia sambil berdiri."Kurang tahu. Saya cuma disuruh antar ke sini," jaw
Dante tidak gentar, namun tuduhan Chloe menghantamnya tepat di ulu hati. Sesaat ada keretakan kecil di matanya, sebelum wajahnya kembali mengeras.Dengan gerakan cepat yang tidak terduga, wanita itu mendekatkan wajahnya. Bibirnya mendarat paksa di bibir Dante. Ciuman itu bukan ciuman lembut, melainkan sebuah penuntutan. Sebuah usaha untuk menembus keheningan Dante dan menariknya keluar dari pertahanan terakhirnya.Dante terkesiap, tubuhnya menegang kaku di bawah Chloe. Ia menolak untuk membalas, rahangnya terkunci.Ciuman itu hanya bertahan sesaat sebelum Chloe menarik diri. Napasnya memburu dan matanya menantang Dante.Reaksi Dante seketika meledak.Wajahnya yang tadinya kaku kini dipenuhi amarah yang meletup-letup dan rasa sakit yang dalam.“Kau tidak tahu apa-apa, Chloe! Jangan bicara seolah-olah kau mengerti!” Dante mendesis parau.Ia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendorong pinggul Chloe ke samping. Wanita itu terhuyung sampai harus menahan diri dengan tangan. Dante pun be
Chloe berdiri di ambang pintu kamar Dante. Jeda cukup lama hingga akhirnya ia memutar kenop pintu dingin itu.Di dalam, lampu hanya menyala redup. Dante berbaring miring membelakanginya. Punggungnya tampak naik-turun dalam ritme pernapasan yang pelan.“Kau sudah tidur?” tanya Chloe pelan.Namun tidak ada jawaban. Meskipun Dante sebenarnya masih terjaga. Ia hanya tidak mau menjawab.Chloe menghela napas tipis, lalu perlahan menurunkan tangannya dari gagang pintu.“Oke. Kalau begitu aku—”“Kenapa?” potong Dante cepat sebelum Chloe menutup pintu sepenuhnya.Chloe berhenti. Ia melangkah masuk setelah menutup pintu kayu itu pelan di belakangnya. Ia duduk di pinggiran kasur. Jarak itu cukup dekat hingga ia bisa merasakan sisa panas tubuh Dante, meskipun pria itu masih teguh membelakanginya. Pandangannya tidak lepas dari garis punggung yang kaku itu.“Kau kelihatan capek. Aku hanya mau tahu … kau sungguh baik-baik saja?”Dante terdiam. Keheningan yang singkat itu lebih mengkhianati perasaan
“Oh, Dante, kau sudah pulang. Sini, Nak.” Suara Sarah terdengar hangat begitu pintu depan terbuka.Dante berhenti di ambang dengan satu tangannya masih menggenggam gagang pintu. Pandangannya bergerak perlahan ke arah ruang keluarga.Di sana ada Chloe sedang duduk di lantai beralas karpet dan dikelilingi banyak kantong oleh-oleh. Richard berada di sofa dengan koran yang terlipat di pangkuannya, sementara Sarah membuka satu tas besar dan mengeluarkan isinya satu per satu. Suasana rumah penuh tawa kecil setelah kepulangan Sarah dan Richard dari pekerjaannya di luar kota.Namun di sana, Dante tetap diam.Melihat itu, lantas Chloe berdiri. Tanpa ragu, ia melangkah menghampiri Dante dan langsung meraih pergelangan tangannya.“Ayo, sini,” ajaknya ringan seolah tidak ada jarak yang mengganjal di antara mereka.Tarikan itu lembut tapi tegas. Dante tidak menolak, meski jelas tubuhnya kaku saat ia ditarik masuk ke ruang keluarga. Ia akhirnya duduk di dekat Chloe dengan canggung. Bahunya tegang,
Perpustakaan sudah hampir kosong. Lampu-lampu yang menyala setengah menciptakan suasana sunyi dan dingin.Jam dinding menunjukkan sudah hampir tengah malam. Sejak Mira berhenti bekerja, Talia harus mengambil giliran kerja penuh sendirian. Perutnya terasa lapar dan matanya berat menahan kantuk. Sambil merapikan buku-buku di rak, ia berusaha keras menahan menguap.Kepalanya sedikit pening karena ia belum sempat makan malam. Ia membuka botol air dan meneguknya beberapa kali. Perutnya berbunyi pelan. Suaranya terdengar memalukan karna nyaring di tengah keheningan.Ia bergumam pada dirinya sendiri, “Sedikit lagi, habis itu pulang.”Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja peminjaman. Notifikasi dari nomor tak dikenal.[Pesanan makanan Anda sudah diantar]Alis Talia mengernyit. Ia merasa curiga, lalu membalas cepat.[Maaf, tapi saya tidak memesan apa pun]Balasan segera masuk lagi.[Pesanan sudah dibayar. Saya di depan perpustakaan.]Jantung Talia berdetak tidak nyaman. Ia berpikir apakah ini
Malam sudah turun. Lampu ruang makan menyala hangat, tetapi rumah terasa kosong.Di meja makan, dua piring dan dua gelas telah tertata rapi. Masakan masih mengepul tipis, menunjukkan bahwa hidangan itu baru saja diangkat dari kompor. Chloe duduk tegak di kursinya, punggung lurus, dan tangan bertumpu di pangkuan. Ponselnya tergeletak di samping piring.Ia menunggu.Berkali-kali ia melirik jam dinding. Kini sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh. Ponselnya bergetar pelan, notifikasi dari pesan yang ia kirimkan beberapa jam lalu muncul di layar.[Aku masak makan malam. Kita makan bareng ya.]Namun tidak ada balasan.Meskipun begitu, Chloe tetap bertahan di kursinya.Waktu bergeser perlahan hingga jam menunjukkan pukul sebelas malam. Masakan di piring sudah mulai dingin. Perut Chloe berbunyi pelan. Ia menatap kursi kosong di seberangnya lebih lama dari yang seharusnya.Setelah menarik napas pelan, ia membuat keputusan kecil yang terasa berat. Ia mengangkat sendok. “Mungkin aku makan dulu







