Adik Suamiku 15 Meksipun Dandy sudah menjelaskan semuanya dan para tetangga berbalik membelaku, Ratih tetap tidak mau menerima kekalahannya. Hal ini membuat kepalaku pusing. "Ratih memang begitu, tidak usah dipikirkan," ucap Mas Arif tempo hari. "Kapan kira-kira dia akan berubah? Aku juga capek kalau harus seperti ini terus?" Sayangnya pertanyaanku melayang di udara karena Mas Arif sudah pergi ke bengkel. Aku memang tidak masalah dengan apa yang dilakukan adik-adiknya Mas Arif, tapi tidak jika mereka sudah menganggu kenyamanan anakku yang masih balita. Aku harus segera menyelesaikan permasalahannya. Bila perlu memberantasnya sampai ke akar. "Mbak!" teriak seorang wanita dari luar. Aku menyingkap gorden dari di jendela depan dan melihatnya. Ternyata Rina. Duh, kenapa mereka bertiga selalu membuat masalah sih? "Mbak jangan pura-pura tidak mendengar apa yang aku katakan, aku ke sini diminta Ibu agar Mbak segera datang ke rumah," jelasnya dengan suara yang membuat telingaku sakit
Adik Suamiku 16 Setelah kejadian di rumah Ibu waktu itu, aku langsung pulang sesuai perintah ibu-ibu yang ada di sana. Aku hanya bisa menurut, karena sebentar lagi Mas Arif akan pulang. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam warahmatullah, Mas." Aku langsung membuka pintu ketika Mas Arif mengucapkan salam dan membuatkan segelas teh manis hangat untuknya. "Tadi Rina meminta izin kepada Mas meminta kamu pergi ke rumah ibu. Katanya akan ada orang-orang arisan. Kalian masak bersama-sama, kan?" tanyanya dengan raut wajah yang cemas. "Iya. Memang untuk ibu-ibu arisan, Mas. Hanya saja ...." Aku menjeda perkataanku, ada rasa ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Apalagi menyangkut ibu, surga suamiku. "Kenapa, Dek? Gapapa, katakan saja." Mas Arif memegang kedua pipiku yang dingin. "Kok dingin, kamu sakit?" "Enggak, Mas. Aku tadi memang sempat dingin, tapi gak lagi setelah pergi ke pasar. Gak tahu kenapa sekarang dingin lagi," jawabku jujur. "Kamu ke pasar sendiri?" nadanya kembali
Adik Suamiku 17 Meksipun aku bisa mengeceknya sendiri, tetapi aku lebih memilih untuk membangunkan Mas Arif lebih dulu. Biar kita keluar berdua nanti. "Mas, sudah jam empat." Mas Arif hanya menggeliat. Matanya sempat terbuka sedikit, tetapi kembali tertidur. "Mas, ada orang yang berteriak di luar sambil menggedor-gedor pintu. Aku takut kalau keluar sendiri," bisikku di telinganya. Mas Arif kembali membuka mata. Kali ini langsung bangun dan duduk. Kelemahan Mas Arif memang kalau aku mengatakan takut. Karena semenjak gadis dan menjadi istrinya, aku memang mempunyai sikap yang penakut. Jangankan pergi ke warung, ke kamar mandi saja aku harus diantar, dan Mas Arif adalah orang yang selalu setia menemaniku. "Siapa kira-kira yang ada di luar?" tanyanya sambil mencoba untuk duduk. "Tidak tahu, Mas. Apa mungkin hantu?" tanyaku pura-pura takut. "Mana ada hantu jam empat begini, bentar lagi juga magrib. Mereka pasti langsung berlari ketika adzan subuh berkumandang," ucapnya tertawa ke
Adik Suamiku 18 Mas Arif menatap ibu dengan penuh amarah, tapi aku mencoba untuk membuatnya tetap tenang. Meskipun apa yang dikatakannya benar, tetap saja kita tidak boleh mengambil tindakan gegabah. Apalagi sampai menatap ibu dengan tajam, terkesan seolah kita adalah anak durhaka yang suka menghardik ibu kandungnya sendiri. Aku tidak terbiasa seperti ini. Meksipun dulu orang tua mendidikku tanpa kasih sayang, aku tidak pernah memberikan tatapan tajam. Aku cukup sadar kalau tugas kita berbakti kepada orang tua itu atas perintah Allah. Jadi jangan melihat bagaimana sifat orang terhadap kita. Begitupun ketika kita ingin berbagi kepada orang lain, jangan sampai hanya orang baik saja yang kita beri karena dia selalu memberikan apapun yang dia punya kepada kita. Tidak seperti itu. Jika kita ingin berbagi, niatkan karena Allah atau Tuhan. Jangan lihat bagaimana sifat orang tersebut, karena urusannya memang dengan Allah. Bukan manusia. "Sebaiknya kita sholat subuh dulu, Mas." Aku ber
Adik Suamiku 19 Via langsung keluar dari rumah ketika aku mengucapkan beberapa kata tadi. Sudahlah, lagipula apa yang aku katakan memang benar adanya, tuh. Kalau saja dia punya harga diri meskipun sedikit, dia tidak akan pernah mendekati laki-laki yang sudah menjadi suami orang lain. "Apa yang kau lakukan?" Ibu berteriak sambil berusaha untuk mendorongku, tapi Mas Arif langsung menahan serangannya. "Jangan bela dia, istrimu ini sudah keterlaluan!" teriaknya kepada Mas Arif. "Loh, apanya yang keterlaluan? Apa yang dilakukan istriku itu benar. Kalau bukan Ibu yang cari gara-gara lebih dulu, mana mungkin Lily bisa berbicara begitu." Mas Arif membalas kata-kata ibu dengan nada biasa. Alhamdulillah, jangan sampai kita terbawa emosi. Karena aku tidak mau perkataan atau perilaku kita menyakiti ibu. Apapun yang ibu lakukan, ya sudahlah. Kita tidak berhak mengeluarkan kata-kata yang membuat hatinya sakit. "Apanya kamu bilang? Sepertinya matamu sudah rabun. Apa kamu tidak lihat Via sampai
Adik Suamiku 20 Setelah kepergian mereka berdua, kini aku dan Salwa kembali bisa tenang. Namun, baru saja aku membantu Salwa untuk tidur, ketukan pintu kembali terdengar. "Mama ke sana sebentar, ya. Kakak tunggu di sini." Aku menaikkan selimutnya dan anakku hanya mengangguk. Aku berjalan ke arah pintu dan menyingkap sedikit gorden untuk melihat siapa yang datang. Ternyata teman-teman mengajinya Salwa. "Wa'alaikumussalam, ada apa, ya?" Aku membuka pintu sedikit. "Assalamu'alaikum, Mama Salwa. Kami mau pergi ke rumah neneknya Salwa. Salwanya mana?" Salah satu dari mereka bicara. Wah, bahaya ini. Cucianku masih di dalam mesin cuci dan lantai belum disapu pel. Tapi aku tidak mungkin juga meninggalkan Salwa sendirian di rumah itu. Meksipun bersama teman-temannya, tidak jadi jaminan Salwa aman. "Bentar, ya. Kalian tunggu saja dulu di rumah neneknya Salwa. Nanti Salwa nyusul," jawabku setelah berpikir cukup lama. Ketika anak-anak hendak pergi, mereka memanggil Salwa yang ternyata sud
Adik Suamiku 21 Salwa selalu menolak apapun yang mereka berikan. Jadi aku bisa bernapas lega. Bahkan teman-temannya Salwa tidak berhenti memujinya melebihi pujian anak Rina yang sedang ulang tahun. Akan tetapi karena anak-anak berteman dengan baik, jadi anaknya Rina sama sekali tidak masalah. Tidak seperti ibunya yang sudah seperti cacing kepanasan. Sebelum acara selesai, Salwa sudah meminta pulang. "Huh, dasar menantu yang pemalas. Bantu di rumah mertuanya saja gak mau." Ibu langsung mengeluarkan kata-kata sindiran. "Kenapa? Ibu mau aku bantu atau aku bayarkan orang untuk bantu?" Aku bertanya tanpa nada angkuh sama sekali karena aku sedang membawa motor keluar dari parkiran. "Kamu sombong banget, ya. Kamu pikir kami tidak bisa bayar pembantu, hah? kamu pikir yang kaya hanya kamu dan kami miskin?" Rina dan Ratih langsung mendekat ke arahku dan Salwa. Berhubung ada anak-anak yang melihat, tidak mungkin aku bertengkar di sini. "Oh, jadi kalian tidak terima dan mau menantangku?
Adik Suamiku 22 Seharian ini aku dan Salwa mulai hidup normal, tidak ada lagi yang mengganggu dari pagi sampai sore ini. Lebih tepatnya dari semalam. Meksipun kami sangat bersyukur, tapi kami juga heran dengan sikap orang-orang yang baru pertama kali membiarkan kami hidup dengan tenang. Andai saja dari dulu seperti ini, mungkin aku tidak akan selalu mengalami sakit kepala. Ah, mungkin aku terlalu serakah. Padahal aku hanya perlu menutup mata dan telinga saja. Hanya saja terkadang mereka memang berbuat hal yang membuatku kecewa, yaitu melibatkan Salwa, dan juga ibu mertua. Semenjak bapak nimbrung di grup keluarga waktu itu, tidak ada lagi yang mengirimkan pesan sampai sekarang. Alhamdulilah. "Assalamu'alaikum." Mas Arif langsung masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam. "Wa'alaikumussalam warahmatullah." "Hari ini aman?" Mas Arif bertanya dengan wajah berseri. "Aman, Mas." Aku menjawab cepat dengan wajah berseri juga. "Tadi Mas langsung minta Surya untuk antar motor, b