Pagi itu, Vina hanya berbaring di tempat tidurnya sambil menonton televisi. Dia merasa pusing. Morning sickness yang ia alami cukup membuatnya lelah. Romi memang setiap hari datang, tetapi itu tidak banyak membantu juga.Ditambah Vina yang sedikit lebih manja dari biasanya. Membuat Romi juga bingung. Untungnya Mamanya sudah tau dan tidak terlalu menentang. Dengan pertimbangan bayi yang ada di rahim Vina sekarang, adalah cucunya juga. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi, Vina pun segera mengangkatnya."Halo, Yang?" sapa Vina dengan suara parau."Kok suaranya begitu amat? Aku mau antar Mama belanja ke pasar, kamu ikut ya. Sekalian ketemu Mama," kata Romi. Sontak Vina terkejut. Ia langsung memaksakan diri untuk duduk."Aduh, sekarang?" tanyanya."Tahun depan ... ya iyalah sekarang, Sayang. Buruan gih, aku udah mau jalan, nggak usah mandi. Ganti baju aja, tapi jangan yang terlalu terbuka,ya. Celana panjang kamu tempo hari tu boleh, sama kaos biasa aja ya, buruan," kata Romi.
Sore itu, Lie Hwa, Romi dan Vina sudah berada di sebuah tempat prakter Dokter Kandungan. Sengaja Romi memilih Dokter Hanifah, karena tempat prakteknya memiliki alat USG 4 dimensi. Sehingga, bisa memeriksa dengan detail kondisi Vina dan Lie Hwa dengan baik. Pasien yang datang belum terlalu banyak. Mereka mendapat no antrian 3. Vina nampak sedikit tegang, namun rangkulan Romi di pundaknya membuatnya sedikit merasa nyaman."Udah makan belum tadi ?" Tanya Lie Hwa kepada Vina"Belum, Ii. Cium bau nasi tadi agak mual. Daripada muntah- muntah jadi nanti aja makannya." jawab Vina."Kalau mau makanan apa, bilang sama Romi, ya.""Iya, kamsia ya Ii," jawab Vina.Tak lama kemudian, nomor antrian mereka pun dipanggil masuk. Romi dan Vina serempak menggandeng Lie Hwa. Membuat beliau tersenyum melihat keduanya.Dokter Hanifah cukup ramah. Beliau tersenyum saat mereka memasuki ruang praktek."Vina aja dulu yang diperiksa," ujar Lie Hwa pada Romi."Selamat sore. Bapak, Ibu," sapa Dokter Hanifa
Vina menatap Romi yang sedang berusaha keras menahan tangisnya. Mereka sudah tiba kembali di kos an sejak sejam yang lalu. Namun, Romi masih terlihat seperti orang linglung.“Aku pikir, setelah operasi kemarin mama udah sehat. Ternyata malah kankernya udah menyebar ke mana-mana,” kata Romi. Vina menghela napas panjang, ia menepuk bahu Romi perlahan.“Kapan mama mau ke rumah sakit lagi?” tanyanya kepada Romi.“Besok malam kan harus rujuk ke rumah sakit Anisa untuk pemeriksaan lanjut. Kamu mau ikut?” Vina langsung menganggukkan kepalanya.“Mau.”“Ya udah besok kamu aku jemput ya.”Vina menarik napas panjang, dan memeluk Romi. Ia ingin sedikit mentransferkan rasa nyaman kepada kekasihnya itu."Nanti, kita punya anak jangan satu ya. Aku mau dua atau tiga gitu," sahut Romi."Loh, kok jadi ngomongin soal anak sih?Ini kan tadi lagi bahas mama. Kenapa jadi soal anak?" protes Vina. Romi menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan lalu menatap wajah kekas
Drrrt drrtt Romi meraih ponsel Vina yang kebetulan ada di dekatnya."Gladies ni yank, tumben amat itu anak telpon.""Halo, beeeb," sapa Gladies."Apaan," jawab Romi yang masih memegang ponsel Vina. Vina hanya geleng kepala saja melihat kelakuan Romi yang kadang memang ajaib itu."Iiiih, kok lo yang angkat sih, Panjul.""Suka – suka gue-lah.""Dodol, si Vina mana?""Lagi mabok dia kalo jam segini.""Ih ini bocah, serius guweeee," pekik Gladies di seberang sana. Gladies memang teman dekat Vina dan Romi."Ya serius, emang dia ngga cerita kalau dia lagi ngisi?""Ngisi apaan maksudnya?Eh, tunggu jangan bilang kalau ... oh my God, panjul! Lo apain si Vina? Gila lo ya, tanggung jawab lo!" pekik Gladies membuat Romi menjauhkan ponsel dari kupingnya, sebelum ia budeg gara-gara jeritan Gladies. Vina yang melihat hanya terkikik geli, lalu ia pun mengambil ponselnya dari Romi. Tanpa disuruh ia menyalakan loud speaker, supaya Romi juga bisa mendengar percakapan mereka. "Apaan sih beb, teri
Dengan berat hati, akhirnya Romi mengizinkan juga Vina untuk berangkat ke Palembang. "Aku udah bilang Mama kalau ayang mau ke Palembang," ujar Romi sambil membantu Vina memasukkan baju dan perlengkapan lainnya ke dalam koper kecil Vina."Trus, mama bilang apa?""Ngga banyak komentar sih, aku bilang tabungan kamu udah mulai menipis, jadi kamu ambil kerjaan ini untuk dua bulan ke depan.""Iya, lumayan kan dua belas juta selama dua bulan, itu lumayan banget buat bayar kos, sama keperluan kita.""Iya, nanti kalau kamu pulang, kamu ikut katakumen, ya,""Iya. Tapi, apa ga sebaiknya tunggu dede lahir dulu ya, baru kita siapin buat pemberkatan dan lainnya?""Kita liat situasi dan kondisi dulu, ya" Vina mengangguk."Kamu yakin, ngga akan pusing atau gimana gitu? Aku udah pesenin travel buat besok pagi kamu berangkat.""Udah ya? Dijemput ke sini?""Aku antar ke travelnya besok. Aku udah bilang Mama mau nginep sini nanti malam.""Boleh?""Ya boleh, masa kamu mau berangkat aku ngga temeni
Romi mengantar Vina sampai full travel Ratu Intan yang akan mengantar Vina sampai ke Palembang. "Kamu nanti naik Alphard, jadi tempat duduknya nyaman. Aku minta tempat duduk di belakang drivernya.""Kok, ngga pake mobil yang biasa aja, yang Avanza gitu kan lebih ekonomis?"Romi tersenyum. "Kamu kan lagi bawa dede, kasian kalau duduknya ngga nyaman. Lumayan loh, perjalanan jauh. Nanti, kalau lagi istirahat di jalan kamu makan, ya. Selama di sana juga jangan telat makan. Inget, kamu bawa anak aku "Vina menepuk dahinya."Astaga , kamu tuh ternyata bisa lebih bawel lagi dari aku ya." Vina menggerutu sambil mencebikkan bibirnya."Ya harus, kamu kan tanggung jawabku. Kalau kamu ada apa-apa, aku yang repot." Dalam hati Vina merasa begitu terharu mendengar pernyataan Romi. Seumur hidup baru kali ini ia merasa begitu dihargai dan dicintai oleh seorang pria."Ya udah, kami berangkat dulu ya Papa sayang," Vina pamit sambil mencium pipi Romi saat melihat penumpang travel yang lain sudah
Vina baru saja selesai mencuci mukanya, saat pintu kamar terbuka lebar. Nampak Gladies dan septy memapah Indry, sementara Ririn mengikuti dari belakang sambil membawakan barang- barang milik Indry."Kenapa ini?" Tanya Vina sambil membantu Gladies."Kebanyakan minum dia, Beb. Hadeh, ini anak ampunlah, udah tau ngga bisa minum red label murni dari botol, demi duit gope aja, dia tegak aja tu minuman," omel Gladies. Vina membantu membereskan tempat tidur Indry supaya bisa langsung dibaringkan."Uang aku mana kakak?" kata Indry setengah sadar ketika ia dibaringkan"Aman, udah aku simpen semua di tas kamu ni," jawab Ririn. Vina menggelengkan kepalanya. Tiba- tiba saja Indry menangis sambil meraung-raung.Orang kalau lagi mabuk, aneh- aneh bawaannya. Pikir Vina dalam hati. Namun, ia merasa iba. Ia pun segera menghampiri Indry dan memeluk gadis itu."Sttt ... udah jangan nangis, kamu tu kenapa?”"Hiks ... hiks, aku tu malu Kak, aku ngga mau kerja begini. Mama aku ngga tau aku kerja ja
Vina dan Gladies akhirnya mengobrol berdua, ditemani teh hangat dan cemilan. Mereka saling berbagi cerita tentang kejadian yang mereka alami selama setahun terakhir. Saat sedang asyik mengobrol, tiba- tiba Indry terbangun dan duduk di dekat mereka dengan matanya yang sayu dan rambutnya yang acak- acakan. "Astaga, kamu tu ngagetin aja dek," sahut Vina. "Kakak Vivi, kakak lagi hamil kan ya sekarang?" "Iya, kenapa ade?" "Aku tuh galau kakak." "Hubungannya kamu nanya Vina hamil sama kamu galau tu apa? Hadeh, masih mabuk ni anak, udah sana tidur lagi," omel Gladies. "Aku cuma nanya Kak. Tapi, aku tu intinya mau cerita." "Trus, sejak kapan kamu panggil Vina jadi Vivi?" "Ngga apa-apa, kan ya kakak Vivi?" "Udah sih Beb, kamu ni seneng banget ganggu dia." Gladies terkikik geli. Sementara Indry meleletkan lidah ke arahnya. Vina hanya menggelengkan kepalanya. "Ya udah, kamu mau cerita apaan?" tanya Vina. "Aku galau sama pacar aku kakak." "Dia di mana sekarang?" "Di Bekasi, aku tadi