Share

BAB 4

Author: shalunace
last update Huling Na-update: 2024-08-12 09:19:17

TATAPAN Arzan lurus memandang Rosa lamat-lamat. Ada sekelumit heran, cemas dan tanda tanya besar dalam benak si pemuda tatkala tidak sengaja menjumpai Rosa di pinggir jalan saat ini. Di cuaca pancaroba pula, apalagi bekas-bekas hujan yang bahkan masih di sertai angin kencang. Dinginnya saja membuat kulit Arzan tertusuk, apalagi Rosa hanya mengenakan sweater tipis, celana pendek dan sendal jepit saja. Arzan mengerjap beberapa kali memandang penampilan lawan sementara Rosa sudah berkali-kali menghembuskan napas panjang.

Tatapannya masih seperti biasa, sinis.

Mungkin saja kalau berbentuk pedas, Arzan sudah tewas di buatnya. 

Niatnya sore ini hanya pergi untuk membeli selusin pulpen karena stok di rumah benar-benar habis dan jalan-jalan singkat guna menghilangkan rasa bosan ketika habis di gasak laporan sekaligus tugas sekolah. Tetapi seakan mendapat jackpotㅡentah harus bagaimana Arzan menyebut berkah Tuhan-Nya iniㅡArzan malah bertemu Rosa di tepi jalan sekarang. Apalagi penampilan cewek itu, Arzan berkedip polos, masih cantik, jujur saja. Namun sejauh dari yang ia tahu, Rosa selalu tampil modis karena bagi cewek itu, berpenampilan baik itu termasuk etika sosial yang patut di lakukan sebagai manusia bermoral. 

Akan tetapi melihat sisi Rosa seperti ini, perasaan senang merambat di ulu hatinya.

Seperti, hanya dia yang bisa melihat penampilan sederhana gadis tersebut dari sekian banyak orang di sekolah mereka. Dia seorang. 

“Kita bakalan tatap-tatapan kayak gitu ... di sini?” tanya Rosa datar dan sukses memecah keheningan. Nada bicaranya terdengar jutek. "Kalau iya, mending gue cabut aja, deh. Males nontonin lo bengong begitu. Kek nggak ada kerjaan lain aja gue." dan menyambung bosan kemudian. 

Arzan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, rasa canggung perlahan merambat ke seluruh tubuh. Dia lantas tersenyum tipis. “Lo ngapain di sini, Rosa?”

“Ngejablay,” jawabnya malas.

“Heh! Mulut lo beneran mau gue cium?!” Intonasi Arzan naik satu oktaf, wajahnya memerah walau samar.

Rosa memicingkan matanya, Arzan tengah marah?

“Lo marah?” balas Rosa dengan tatapan polos. Cewek itu malah bertepuk tengan heboh, sesaat mereka menjadi pusat perhatian. Namun bukan itu poin pentingnya, melainkan kemarahan aenh nan tak berdasar itulah yang menjadi fokus utama. “Dua tahun kita kenal dan gue akhirnya bisa bikin lo marah, suatu pencapaian nggak sih? Wah, hebat banget gue. Gila!”

“Rosa, gue serius!” tukas Arzan dengan nada berat, cowok itu memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja berkedut. “Jangan ngomong hal rendah ke diri lo sendiri,” sambungnya tegas.

Rosa bersedekap tangan, bersikap menantang dengan pandangan seolah tidak gentar akan apa pun. “Nggak ada hubungannya sama lo.”

“Jelas ada!”

Alis Rosa naik sebelah, ia menatap Arzan sepenuhnya dalam ketidakpahaman absokut, “Apa? Karena lo suka gue?”

Arzan berdecak kecil kemudian menjawab pelan. “Iya.”

“Nggak punya malu atau lo beneran nggak ada harga diri sih?" balasnya tidak habis pikir. Ia betulan bosan mendengar hal-hal konyol begitu. "Lo udah gue tolak masih aja ngerecokin hidup gue,” ketus Rosa, ia sudah merasa betul-betul cukup untuk berurusan dengan Arzan. "Gue aja bosen mampus dengernya. Masa lo enggak, sih?"

“Sa, gue nggak penting pendapat lo tentang gue. Sementara dari yang gue tau, gue suka bahkan,” Arzan menggantung kalimatnya untuk menarik napas. Kilatan pada matanya berpendar serius sewaktu memandang lamat-lamat iris kecokelatan lawan bicaranya. “Falling love with you.

Rosa terdiam. Ia berhasil di buat bungkam tanpa aba-aba gencatan senjata.Tatapan mata Arzan memang selalu tampak tulus, jujur, Arzan juga merupakan cowok yang tahan banting. Bahkan setelah kalimat menghina, merendahkan dan acap kali sering melukai harga diri cowok itu, Arzan masih tetap bersikap baik padanya. Tetapi ketika Rosa menatap matanya, menyelam pada manik segelap malam itu, Rosa tak perlu lagi untuk merasa bersalah karena ucapannya. Apa yang ia lakukan selama ini sudah benar dan tepat. Tidak perlu mengasihani laki-laki itu, toh, hidupnya juga perlu di kasihani.

“Gue kehabisan kata kalau ngomong sama lo, Zan,” ujar Rosa, nadanya terdengar muak. Benar-benar lelah batin sekarang ini, sudah tak sanggup lagi rasanya menahan, setidaknya setelah pertengkaran dengan Julian, Rosa ingin tenang dan tertawa dulu sebelum menghadapi berbagai tantangan absurd dari benang merah takdir kehidupan. Tetapi kenapa Arzan tetapnya merecokinya, sih? Rosa sungguh-sungguh muak. Entah telah berapa kalinya ia mengatakan ini. 

Lebih tepatnya, kapan semuanya berhenti?

Rosa juga butuh jeda di hidupnya untuk bernapas. 

Rosa butuh ruang, tolong.

“Lo bisa diem,” balas Arzan dengan seulas senyum hangat di bibir.

“Terserah!”

Rosa berderap menjauh dari Arzan tetapi cowok itu malah terus mengikutinya. Dengan duduk di atas motor dan menyamakan kecepatan kaki Rosa dengan mesin motornya. Rosa makin di buat kesal dengan cara yang menjengkelkan tapi ia memilih untuk meredamnya saja. Ia masih punya malu untuk tidak berteriak menyuruh Arzan pergi di tempat umum begini. Situasi akan menjadi lebih berat dan rumit bila ada warga sekitar yang ikut campur. Jadinya ia hanya bisa diam.

Tiba-tiba angin berhembus kencang membawa dingin yang jauh lebih menusuk hingga ke tulang dan Rosa mendadak berhenti seraya memeluk tubuhnya sendiri. Astaga! Dinginnya bahkan sudah terasa membekukan darah. Bibir Rosa bergetar kecil. 

“Sa, lo mau kemana sebenarnya?” tanya Arzan ketika melihat Rosa yang tengah kedinginan.

“Nggak ada urusannya sama lo!” Rosa menjawab jutek. Dia mengibas-ngibaskan tangannya di udara, memberi kode bahwa laki-laki itu tidak perlu tahu akan kemana dan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Karena gadis itu juga sedang bertanya-tanya pada dirinya sendiri. "Hush-hush! Sana pergi, gue nggak mau liat lo lagi. Bikin emosi tau nggak! Dah, sono, minggat lo dari sini!" usirnya kemudian. 

Arzan selalu kewalahan dengan sifat keras kepala Rosa ini. Seolah-olah kepala sang gadis terbuat dari batu dan es. Keras dan dingin. Sulit sekali untuk di cairkan dengan sekali percobaan sahaja. Ia pun mematikan mesin motornya lalu meloncat turun, di dekatinya gadis itu dan mencengkeram lembut bahu Rosa sehingga mau tak mau gadis itu balas menatapnya walau keengganan dalam hati terpampang nyata pads raut wajahnya.

“Udah mau maghrib, Sa. Lo keluar pake baju kayak gini, mana tipis lagi, lo mau di godain preman-preman di jalan nanti?” Arzan hanya ingin gadis itu aman-aman saja. "Kalau di godain aja, masih aman. Kalau sampe mereka nekatan gimana? Lo bisa aja kenapa-napa di jalanan, Rosa. Tolong jangan keras kepala."

Rosa mendengus, ia menyahut sekenanya. “Gue tinggal nelpon Jessica.”

“Nyatanya, lo nggak bawa hp 'kan?” tembak Arzan tepat sasaran, yang mana langsung mendapat pelototan mata dari yang lebih pendek. Tebakannya benar rupanya. 

“Tau dari mana lo?!”

“Lo nggak mainin atau megang hp lo dari tadi,” terang Arzan lalu mengedikkan bahunya. “Ayo gue anterin pulang,” sambungnya. "Janji gue nggak akan ngomong macem-macem lagi yang bakalan bikin lo kesel. Serius berpangkat-pangkat. Gue cuma mau nganterin lo pulang aja, Sa. Please, ayo pulang."

Rosa menggeleng dua kali. “Gue nggak mau pulang,”

“Udah maghrib, Sa.”

Rosa mendelik tak terima, tatapannya menajam memandang ke arah Arzan. “Silakan lo pulang duluan. Gue nggak keberatan. Kan dari tadi gue juga udah nyuruh lo pergi.”

“Tapiㅡ”

“Zan!” sentak Rosa, nadanya meninggi. Kesabarannya makin menipis tiap sekon yang mereka habiskan bersama seperti sekarang ini. Rosa benar-benar tidak punya energi untuk menyalak seperti biasanya lagi. Tenaganya sudah habis di babat isi pikiran. Tatapannya pun menyorot sendu dengan bahu merosot. “Bisa kita berhenti debat, gue capek, Zan, capek,” sambungnya, suaranya memelan. "Tolonglah, ngerti. Please jangan bikin gue makin capek. Gue lelah banget ngadepin lo tau nggak, sih! Masa kudu gue dikte mulu, sih, Zan!"

Arzan panik seketika kala melihat mata Rosa berkaca-kaca, Rosa kembali bersuara dengan serak. “Gue beneran capek, Zan. Gue mohon sekali ini aja, ya,”

Arzan tertegun di tempat, baru pertama kali melihat Rosa berada di persentase suasana hati terburuk. Arzan menghela napas panjang, di bukanya jaket dan disampirkan pada bahu Rosa. Sementara si empunya menatap heran pada jaket sekaligus pemiliknya. Rosa menghela napas lelah, lagi.

“Zan?” panggilnya dengan nada memperingatkan.

Tatapan Arzan menghunus tepat pada iris mata Rosa, membuat perempuan itu terdiam untuk sesaat guna mendengarkan apa yang laki-laki ini akan katakan padanya.

“Sa,” panggilnya dengan suara memberat. “Gue nggak pernah sekalipun mau jadi hama di hidup lo. Dan buat sekali ini aja, nurut sama gue, Sa,” pintanya. "Ayo gue anter pulang. Lo bebas maki gue besok, gue nggak akan protes, tapi buat sekarang lo pulang dulu. Oke?"

Rosa buru-buru mengalihkan pandangannya, tak sanggup saling pandang lebih lama bila Arzan seperti ini. Di rematnya ujung jaket Arzan sembari menundukkan kepalanya.

Bohong besar jika selama ini Rosa tidak merasa spesial di perlakukan demikian oleh Arzan. Hatinya tidak sekeras itu. Rosa sadar, kadang ia keterlaluan. Tapi niatnya hanya untuk Arzan mengerti bahwa kata 'kita' mustahil bagi mereka. Rosa hanya ingin cowok itu menjauh dan menyukai perempuan yang juga menyukai Arzan dengan tulus. Tetapi Arzan tetap tak paham juga, masih saja mengejarnya tanpa mementingkan perasaannya sendiri. Itu jelas-jelas membuat dia yang buruk menjadi jauh lebih buruk lagi. 

Sebanyak itu perempuan di Bina Bangsa yang menyukai cowok itu, kenapa juga harus dirinya, Rosa pernah bertanya seperti itu pada dirinya. Dan lambat laun ia mengerti, bahwa tatapan Arzan dan tindak-tanduknya sudah menjelaskan semuanya.

Rosa membenci tatapan cowok itu. Sangat.

“Sa?”

“Gue bingung kenapa lo kayak gini ke gue,” tukas Rosa pelan, namun suaranya tersirat rasa sakit dan putus asa tidak tertahankan. “Zan, lo salah milih, Zan,” lirihnya dengan senyuman getir. "Jangan bersikap sembarangan gini. Bisa nggak, sih, lo? Nyadar diri dong sama perasaan sendiri."

Arzan tak mengerti maksud ucapan Rosa saat ini, dahinya berkerut dan membalas setengah frustasi. “Maksud lo apa sih, Sa?”

Rosa tak menjawab lagi dan hanya memalingkan wajahnya. Arzan mengacak rambutnya kasar, ia berdecak sebal. Kenapa suasananya mendadak berat begini, sih? Padahan dia hanya ingin mengantarkan gadis tersebut pulang dengan selamat.

“Sa, ayo pergi.”

Tak kunjung dapat jawaban setelah detik-detik berlalu.

Arzan kembali mencengkeram bahu Rosa dengan lembut, berharap Rosa dapat mengerti niat baiknya ini. “Udah maghrib. Bahaya cewek di luar sendirian, ayo gue anterin lo ke rumah salah satu sahabat lo, kalau lo beneran nggak mau pulang,”

Rosa memandang Arzan dengan sorot tak yakin. Namun tetap menolak dan di tinggal di sini juga bukan pilihan yang tepat.

Ia mengangguk kecil sambil mengenakan dengan benar jaket yang diberikan Arzan tadi. Rosa tercengang sesaat, baru sadar kalau jaket Arzan kebesaran untuk ukuran tubuhnya. Padahal tadi terlihat pas sekali di tubuh cowok itu.

Arzan yang melihat itupun terkekeh kecil,  “Badan lo emang kecil, Sa,” ujarnya.

“Gue baru tau badan gue sekecil itu sampe ke makan badan gue,” balasnya dengan nada tak percaya.

Arzan mengacak gemas puncak kepala Rosa dan meminta gadis itu naik sebelum hari makin malam. Dan setelah Rosa duduk kemudia usai di rasa aman, Arzan menginjak pedal gas dan melaju membelah jalanan basah.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • HOW BAD DO YOU WANT ME?   SPECIAL BAB #1

    BEBERAPA hal terkadang berlalu begitu cepat tanpa di sangka-sangka. Seperti, misalnya kau tengah menonton sebuah film tetapi ternyata eksekusi adegannya tidak membuatmu tertarik dan lekas mendatangkan bosan, namun karena masih penasaran dengan ujung cerita pada akhirnya kau akan memilih mempercepat laju jalannya film tersebut tanpa pikir panjang. Iya, seperti itu. Inti adegan dan juga sekelumit kisah yang coba sutradara sampaikan dapat sekilas di pahami dan di ingat. Begitu juga akan kehidupan. Memang saat menjalaninya terasa berat, ingin menyerah dan membuatmu terasa ingin meninggalkan dunia dengan sesegera mungkin. Sebab kewarasan tengah berada di ujung tanduk. Akal sehat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi hati juga hancur lebur di obrak-abrik takdir. Pada akhirnya, hanya kata menyerah dan putus asa yang keluar dari belah bibir. Kehidupan dan takdir memang begitu. Benang merahnya sangat rumit untuk di uraikan dengan rangkaian kata belaka. Namun percayalah. Ketika semua

  • HOW BAD DO YOU WANT ME?   EXTRA BAB #2

    “ROSA! Lo tau nggakㅡ”“ENGGAK! NGGAK TAU! NGGAK TAU! GUE IKAN SOALNYA!”Sementara Arzan mengulum senyum geli, gadis chipmunk tersebut mati-matian menahan gondok. Bukan karena apa, setelah kejadian di mana ia juga mati-matian menggombali Arzan dan ketahuan oleh pemuda itu bahwa Rosa tengah mengerjainya sebagai ajang balas dendam. Arzan marah seharian, mogon bicara dan tahu-tahu besoknya malah menggantikan Rosa dalam hal gombal menggombali.Jantung Rosa tidak kuat. Memang ya, balas dendam itu tidak baik. Rosa malah nyaris spot jantung setiap saat karena Arzan membalasnya dua kali lebih parah daripada apa yang dia lakukan. Bahkan tak ragu-ragu untuk mengejarnya sepanjang sekolah demi berkata :“MAKMUMKU! KAMU MAU KEMANA? KOK CALON IMAMMU INI DITINGGAL?!”Rosa malu. Rosa nyaris sinting. Nyaris mati karena detakan jantungnya tak keruan. Sial. Lihat saja senyum manis Arzan yang masih betah bertengger. Rosa ingin sekali mencakar wajah tampan itu tetapi sayang kalau memiliki goresan. Rosa hany

  • HOW BAD DO YOU WANT ME?   EXTRA BAB #1

    “ZAN, tau nggakㅡ”“Udah dong, Saaa!”Arzan tidak sanggup. Arzan tidak kuat lagi. Arzan sudah tidak bisa menanggungnya lagi. Arzan bisa-bisa stres plus diabetes jika diberi gula terus-menerus. Bukannya apa-apa, hanya saja memang Arzan menyukai perubahan sifat Rosa. Sangat malahan. Manisnya tak tanggung-tanggung membuat Arzan terkadang malu sendiri. Arzan malah seperti anak gadis sementara Rosa seperti cowok yang hobi menggombalinya seperti sekarang.Tingkah manis Rosa terkadang datang begitu saja tanpa permisi, langsung menyerang danㅡtok! Pas sekali mengenai hatinya. Arzan lama-lama bisa jantungan kalau begini caranya.Rosa nyengir, tidak merasa bersalah sama sekali. “Gue 'kan belum selesai ngomong, sayangku. Aduh! Gemoy sekali Anda!” Rosa terbahak.Arzan tersenyum tabah. Sabar sekali menghadapi Rosa.“Zan, lo tau nggakㅡ”“Kalau gue mirip calon imam lo?” sambar Arzan jengah, kalimat ini sering sekali dilontarkan Rosa padanya. Bahkan tak malu mengungkapkannya di depan umum sekalipun. Ben

  • HOW BAD DO YOU WANT ME?   EPILOG

    HARI ini adalah hari pertama Rosa memasuki sekolah setelah libur nyaris satu bulan lamanya. Tak banyak yang berubah. Di pagi hari Rosa sudah bangun lebih dulu untuk memasak sarapan. Membangunkan Jessica agar mau berangkat sekolah tepat waktu namun gadis itulah yang paling susah untuk di atur. Sementara Lion bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Iya, memang Jessica memilih tinggal bersama mereka meski kadang pulang juga. Rosa tak keberatan justru senang-senang saja.Rosa dan Lion tinggal di apartemen Jessicaㅡgadis itu yang memaksa. Rosa dan Lion tidak memiliki sanak saudara sehingga Demian menawarkan diri menjadi wali legal mereka. Setidaknya sampai Rosa lulus kuliah dan bekerja. Awalnya si gadis ragu namun setelah diyakinkan oleh ketiga sahabatnya, Rosa setuju. Hanya sampai ia mendapatkan pekerjaan tetap.Rosa berdecak sebal, masih mengenakan celemek bekas memasak dan saat kembali ke kamar Jessica masih dalam posisi sama persis saat ia tinggalkan tadi. “Jessica! Ih! Buruan mandi!

  • HOW BAD DO YOU WANT ME?   BAB 70

    ROSA kembali berduka. Di hari kepulangannya dari rumah sakit dan di hari yang sama pula Rosa melihat Julian terbaring lemah di atas ranjang. Penuh luka dan tak berdaya. Rosa tak merasakan apapun saat menatap Julian yang jangankan untuk kembali menyakitinya, bergerak saja sulit. Seorang polisi pun mendatanginya dengan sebuah kabar bernuansa gagak hitam. Bahkan Rosa belum betul-betul keluar dari rumah sakit tetapi hal-hal buruk sudah menunggu. Marie bunuh diri di rumah mereka dengan cara gantung diri di ruang tamu. Kematian sang ibu rupanya sudah berjalan selama empat hari dan baru terendus warga kemarin karena bau busuk yang menyengat. Lagi-lagi Rosa tidak bisa merasakan apapun. Gadis tersebut hanya diam, membiarkan polisi membawanya untuk mengidentifikasi mayat. Kemudian Marie dibawa pulang untuk dikebumikan dan Lion menangis di sisinya sepanjang hari pemakaman. Rosa tak menangis. Ia hanya menatap kosong pada tubuh Marie yang ditimbun tanah dengan raut datar. Banyak orang yang

  • HOW BAD DO YOU WANT ME?   BAB 69

    DI karenakan luka jahitan di perut maupun di kepala Rosa sudah mengering. Gadis tersebut diizinkan berjalan-jalan keluar kamar asal tetap pada pengawasan dan larangan yang seharusnya. Gadis chipmunk tersebut tentu senang akhirnya bisa keluar dari kamar super sumpek karena Jessica dengan kurang ajar membawa semua makanan yang di pantangkan untuknya. Rosa berdecih, mengumpat, melempar Jessica dengan vas bunga. Tetapi Jessica tetaplah Jessica. Kelakuannya tetap diulangi lagi ke esokannya. Hari inipun sama. Jessica dengan segenap hati dan baik sekali membawa pasta udang ke dalam kamarnya. Rosa mengumpat, berteriak histeris dan Jessica ngakak di tempat. Sahabat tidak ada akhlak. Rosa meremat kuat lengan Arzan sehingga pemuda tersebut meringis. “Kalau gue bisa, gue sleding kepalanya, Zan! Ih! Nyebelin banget, asli. Kuyang geblek, gue doain poninya hilang! Mampus!” gerutu Rosa, kesal pangkat seratus. “Cuih! Najis! Ishhh! Zaaaaan, mau pasta juga,” rengeknya. Arzan menghela napas berat,

  • HOW BAD DO YOU WANT ME?   BAB 68

    KAMAR inap Rosa ramai meski di isi hening, memperhatikan setiap gerak-gerik dokter yang kembali mengecek kondisi tubuh si gadis. Setelah Rosa sadar, Jessica seperti orang kerasukan menelepon semua orang, memberitahukan kabar gembira ini. Chelsie dan Jenna datang dengan napas terengah-engah dan mata membulat sempurna. Di susul Raffa, Revin dan Alvin kemudian. Lion pun juga datang setelahnya dengan masih mengenakan seragam basket. Jelas sekali kabur dari sesi latihan. Dokter tersebut berbalik dan membuat mereka menahan napas sejenak. Dokter tersebut tersenyum, “Pasien hanya butuh istirahat total untuk pemulihan. Jadi saya harap,” dokter tersebut menggantungkan kalimat dan tersenyum kecil. “Kalian tidak boleh terlalu memaksakan sesuatu hal pada pasien. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mereka serentak menghela napas lega. Tepat setelah pintu tertutup mereka semua langsung mengerubungi setiap sisi ranjang Rosa. Seolah mereka adalah lalat yang baru saja melihat kue lava yang lezat. Jessi

  • HOW BAD DO YOU WANT ME?   BAB 67

    DUA minggu berlalu. Kondisi Rosa makin memburuk. Arzan tidak tahu harus bagaimana mendefinisikannya namun ia rasa setiap melangkah menuju kamar si gadis. Lututnya melemas melihat banyak alat penopang kehidupan yang terpasang di tubub Rosa. Arzan seharusnya bersyukur saat gadis itu masih bisa bertahan, tetapi ia malah berpikir jika Rosa ingin pergi. Napasnya memberat. Tepat seminggu Rosa masih berdiam diri di ranjangnya, Arzan sudah dibolehkan untuk pulang. Menjalani aktifitasnya seperti biasa, bahkan Arzan tidak merasakan apapun saat Pak Harry memujinya terus-terusan atas kinerja mereka pada OS. Setiap hari yang Arzan lakukan hanya pulang sekolah dengan cepat agar menghabiskan sisa hari di sisi ranjang Rosa. Tangannya terjulur untuk menyelipkan anak rambut Rosa ke belakang telinga si gadis. Agar wajahnya tidak tertutupi lagi selain dengan alat pernapasan. “Kayaknya di sana enak ya, Sa? Sampai lo nggak mau bangun gini,” ujar Arzan sendu. Diusapnya punggung tangan Rosa yang makin d

  • HOW BAD DO YOU WANT ME?   BAB 66

    MUNGKIN mempertahankan kewarasan bagi seseorang seperti mempertahankan dirimu di medan perang. Sulit, mematikan, menyakitkan namun fisik dan mental dipaksa untuk terus bekerja secara spontan. Satu saja salah langkah, kamu bisa saja jatuh pada kubangan menyakitkan bernama depresiㅡgangguan mental lainnya atau bisa jadi lenyap dari muka bumiㅡmati. Barangkali opsi terakhir sering dipakai karena kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak bertahan.Apa Rosa akan begitu?Arzan tidak tahu dan tidak ingin menebak-nebak juga. Ia tidak ingin mendapatkan jawaban yang diluar dugaan nantinyaㅡnanti yang entah kapan. Tepat pukul sepuluh malam saat Krystal sudah terlelap di ranjang tambahan bersama laptop yang menyala. Alvin pun sudah pulang bersama Jessicaㅡkatanya. Arzan meloncat turun pelan-pelan dari ranjangnya. Meski dihantam pening, si pemuda tak goyah.Menarik tiang infus dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan Krystal, begitu pula saat membuka pintu. Lorong rumah sakit sudah agak

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status