JENNA menyodorkan secangkir teh hangat pada Rosa yang sedang terduduk lemas tanpa semangat tidak seperti biasanya. Kondisi sahabatnya itu terlihat benar-benar mengkhawatirkan. Barangkali memang tak mirip serupa gelandangan, tetapi sukses membuat gadis bermanik kucing tersebut di landa cemas ketika Arzan mengantar Rosa yang setengah menangisㅡtinggal sesegukan saja dengan motornya. Wajah sang sahabatan betulan memerah, bisa jadi gadis itu menahannya sepanjang perjalanan kemari. Jenna bertanya-tanya apa yang telah terjadi, akan tapi ia jauh lebih lebih penasaran lagi mengapa Arzan bisa bersama sahabatnya?
Mengambil selimut tamabahan di kamar tamu, Jenna pun membalut tubuh Rosa dengan selimut bermotif bunga anggrek. Baju yang tengah di pakai Rosa terlampau tipis padahal di luar angin sedang kencang-kencangnya berhembus. “Sa, feel better?” Rosa diam, belum mau menjawab. Setelah bertengkar dengan Julian mustahil ia merasa baik-baik saja. Apapun yang di lontarkan Julian seakan benar-benar membekas di hatinya. Bagaikan noda permanen pada kertas putih polos. Sukar di hilangkan dan membekas dalam relung hatinya. Rosa menunduk kecil, menggenggam erat cangkir teh hangatnya sementara sorot mata si empu lurus menatap ke dalam teh. “Nggak papa kalau lo ngerasa nggak baik-baik aja, Sa. Wajar, kok, lo manusia,” Jenna berujar lembut, berusaha menenangkan seperti seorang ibu. Tidak ayal hati Rosa langsung menghangat begitu mendengarnya. “Cerita kalau lo udah siap,” tambah Jenna seraya tersenyum halus dan gadis itu berlalu menuju dapur. Jenna agaknya mengerti dan berpikir memberi sang sahabat waktu sendiri di ruang tamu gadis itu merupakan tindakan tepat saat ini. Rasanya tidak etis kalau masih menyimpan semua kisahnya usai bertamu tanpa berita apa-apa ke rumah gadis kucing tersebut. Namun mau bagaimana lagi, Rosa juga sulit untuk menceritakannya, seolah tenggorokannya tercekat, lidahnya sempurna akan kelu. Sementara perasaan benci, sakit, hancur serta sedih bergumul hebat di hatinya. Seakan menjerat kedua tungkainya hingga jatuh ke dalam lubang hitam. Kepalanya makin pening. Bagai ada gada yang menghantam kepalanya. Kepingan-kepingan memori menyedihkan itu mulai menyeruak masuk ke dalam otaknya. Perlahan-lahan memunculkan buliran air mata di pelupuk mata yang siap jatuh kapan saja.Dadanya sesak luar biasa.
Rasanya sulit bernapas.Seolah ada benang-benang tak kasat mata nan tengah menjerat jantungnya dengan sekuat tenaga.
Rosa tak mengerti kenapa ia harus selemah ini. Umurnya sudah 17 tahun, selama itu pula ia sudah merasakan beragam tekanan dari Julian. Merasakan keasingan warnanya dalam keluarganya sendiri. Terkucilkan sendiri tanpa uluran tangan orang dewasa. Rosa harusnya sudah terbiasa. Tetapi mengapa masih tetap sakit baginya? Kenapa masih tetap terasa ngilu di lubuk hatinya? Kenapa? Padahal ia sudah menguatkan batinnya agar kebal. Padahal dia sudah berusaha menulikan telinga. Padahal ia sudah mati-matian mematikan perasaannya sendiri. Akan tetapi sakitnya benar-benar mendobrak kewarasan dan merusak dinding pertahanannya. Isakan kecil lolos dari bibir tebalnya. Ketika terbayang wajah ibunya yang tak dapat membantu, wajah Lion yang bergeming di tempat serta Julian dengan kejengkelan absolutnya. Semuanya bercampur aduk di dalam otaknya. Membuat ia merasa semakin kecil kian kemari. Rosa tak pernah minta di lahirkan di keluarga itu. Sekali pun tak pernah, bahkan setelah dia mengecap kehidupan selama belasan tahun tinggal di rumah nan tidak ada bedanya dengan neraka tersebut. Rosa berharap kalau ia lahir di keluarga yang sederhana. Ayah yang melindungi, ibu yang menyayangi dan saudara yang menemani hari-hari bersama ratusan lelucon murahan. Rosa pasti akan memilih itu. Tiap detik berlalu seakan kasih sayang mengalir deras untuknya. Tetap tidak, khayalannya benar-benar semu. Tidak akan pernah terjadi. Hanya karena perkara ia perempuan.Perempuan.Perempuan. Karena Rosa perempuan. Memangnya kenapa kalau perempuan?Perempuan itu aib. Perempuan itu aib. Malapetaka keluarga.Perempuan itu pembawa masalah, sial, harusnya mati saja. Menyusahkan.Aib. Aib. Aib. Aib. “ARRGGHH!” Kepalanya bagai dihantam batu, Rosa histeris bukan main usai teriakannya melengking keras. Cangkirnya ia lempar kasar ke lantai hingga pecah. Tangannya kemudian terangkat untuk memukuli kepalanya sendiri, sekeras mungkin, berusaha mengenyahkan suara-suara menyakitkan itu dari benaknya. Rosa tak ingin dengar. Ia tidak mau mendengar apa-apa lagi. Tidak. Tidak lagi. Ia bukan aib. Bukan. Bukan. Rosa terisak-isak dan matanya tertuju pada pecahan cangkir tadi. Jari-jemarinya segera buru-buru terjulur untuk menggapainya, tidak, ia tidak ingin merasakan sakit lagi. Sudah cukup.Ia ingin beristirahat tenang.
Benar. Dengan tenang.
Rosa mau ketenangan mutlak baginya.
Sebelum tangannya berhasil menggapai pecahan kaca itu, sebuah tangan menarik lengan Rosa menjauh dalam satu hentakan dan tidak menunggu lama langsung segera memeluknya erat-erat. Tangan itu mengelus punggungnya dengan gerakan lembut, berusaha menyalurkan perasaan aman pada gadis itu. Rosa terdiam untuk beberapa detik sembari memproses apa yang baru saja terjadi sebelum kembali menangis, lebih keras, lebih memilukan lagi, lebih menyayat hati lagi. Siapa pun yang mendengarnya serasa merasakan kesedihan gadis itu. Tangan Rosa lantas balas memeluk sosok itu tak kalah erat. Meraung-raung ingin sampaikan isi hatinya. “Capek, capek, Sica!” adunya seperti anak kecil di sela-sela tangisan kerasnya. “Capek banget.” Jessica mengangguk paham sebagai balasan, tangannya masih setia mengelus punggung Rosa. “Iya, tau.” “Gue bukan aib!” “Bukan, bukan aib.” “Kalau perempuan emangnya kenapa?!” tanyanya frustasi di telan amarah, walau terdengar putus asa bagi Jessica. “Gue manusia, gue berhak buat bahagia!” isaknya berteriak lantang. “Iya, lo berhak. Berhak banget.” “Tapi kenapa dia gitu?! Kenapa?!” Jessica tak menjawab, ia memilih menjauhkan diri dan menggenggam tangan Rosa erat-erat. Senyumannya yang lembut mampu membuat Rosa sedikit jauh lebih tenang. “Mereka salah, Sa, salah besar,” tutur Jessica lembut, sangat lembut bahkan seperti bukan dirinya yang biasa berteriak kesana-kemari menunjukkan eksistensi sangarnya tersebut. “Lo bukan aib. Nggak ada anak di dunia ini yang aib, nggak ada, Sa.” Air mata Rosa kembali jatuh, pendar cahaya matanya semakin redup. “Terus kenapa papa gitu?” “Bokap lo cuma belum ngerti seberapa berharganya lo.” Jessica membetulkan letak selimut yang membungkus tubuh Rosa tadi. Menariknya sampai pinggang kemudian melanjutkan. “Kalau bokap lo nggak anggep lo berharga. Jangan khawatir, Sa, jangan pernah khawatir. “Kita sayang lo, sayang banget. Gue, Jenna, Chelsie, semuanya sayang sama lo. Karena lo sahabat kita, kita bakalan selalu ada buat lo. Dari dulu, hari ini dan bahkan seterusnya, bakalan selalu gitu. Jangan takut.” Jessica kembali memeluk tubuh Rosa ketika sahabatnya itu kembali menangis terisak-isak dengan suara keras. Sementara otak sang gadis berponi tetap tak bisa mengenyahkan keterkejutan. Kalau saja ia telat datang tatkala Jenna mengabarinya tadi lewat telepon, mungkin Rosa sudah ... bersimbah darah. Tanpa sadar Jessica mengepalkan tangannya di belakang punggung Rosa dan menatap Jenna yang berdiri tak jauh dari mereka. Gadis itu juga sama terkejutnya dengan dia sampai-sampai mematung di posisinya sekarang. Sepuluh menit kemudian Rosa sudah tenang dan terlelap dalam mimpinya. Jenna pun meminta bantuan Revin untuk menggendong Rosa ke kamarnya. Revin sempat bertanya apa yang terjadi, namun belum sempat Jenna menjawab. Jessica melotot tajam dan cowok itu langsung terserang dejavu sesaat. Mendadak teringat kalau pernah di hajar Jessica habis-habisan waktu kecil. Setelah kepergian Revin, kedua gadis itu melihat Rosa dari daun pintu lewat tatapan yang sukar di artikan. “Dia mau bunuh diri kayaknya tadi,” ujar Jessica berat namun pelan, matanya masih menatap Rosa lekat-lekat. Jenna menahan napas. Ia menelan salivanya kasar sebelum menghela napas gundah. “Jangan bilang pake pecahan kaca tadi?” tanyanya menolak percaya dengan dugaan di kepala. Jessica mengangguk dua kali sebelum menghembuskan napas lelah. “Gue nggak tau apa yang tua bangka itu bilang sama Rosa. Tapi gue berani jamin, bukan kalimat manis kek tua bangka di rumah gue.” Jenna terdiam sejenak, perasaan menyesal mulai menggerogoti hatinya secara perlahan-lahan. “Harusnya gue nggak ninggalin Rosa sendirian tadi. Harusnya gue di samping dia dan nggak ke rumah Revin buat nanya bumbu dapur. Harusnya gue di sini aja. Nemenin dia apa pun yang terjadi. Maaf, gue nggak kepikiran dia bakal ngelakuin hal itu. Gue minta maaf.” “Na, lo nggak salah. Rosa juga nggak salah,” tegas Jessica, mata kini menatap serius Jenna. “Takdir aja yang lagi ngelucu sama kita.” “Seenggaknya dia nggak jadi ngelakuin tindakan bodoh,” tambah Jessica, nadanya tenang walaupun Jenna yakin ada kecemasan di dalam kalimatnya. “Gue kaget tadi pas Arzan nganterin Rosa ke sini. Bajunya tipis, bahkan nggak bawa hp juga. Kayaknya Rosa kabur selesai berantem sama bokapnya,” tutur Jenna sembari memeluk tubuhnya dengan gerakan pelan. “Kalau gue nggak mikirin harga diri Rosa yang bakalan jatoh,” Jessica menjeda dengan mata yang berkobar marah. "Udah gue hancurin perusahaan bokapnya lewat si tua bangka. Biar si tua bangka ada gunanya hidup.” Jenna dapat merasakan aura Jessica mulai meredup. Cahaya dan keceriannya saat siang hari benar-benar mulai hilang seperti pergantian siang dan malam. Jenna mengutuk dirinya sendiri. Di saat-saat seperti ini, dia tidak bisa membantu apa-apa. Tak berguna sebagai sahabat mereka. Jessica pemberani, tidak takut untuk membela mereka habis-habisan. Walaupun sering kali caranya salah. Namun begitulah cara sang puan menunjukkan kasih sayangnya kepada mereka. Sementara dirinya nyaris membuat Rosa kehilangan nyawa, kalau saja Jessica tidak cepat datang. “Na?” “Ah, iya?” Tatapan gadis itu lebih lunak daripada tadi, Jenna terkesiap sejenak. Jessica memeluknya erat-erat dari samping setelahnya, sempat heran untuk beberapa sekon namun ia tetap membalas pelukan sahabatnya itu. “Kalian semua. Lo, Chelsie dan Rosa penting banget buat gue. Jangan mikir kalau lo nggak berguna buat kita, Na. Lo rumah bagi kita, Na, lo harus tau dan inget itu.” Jenna mengerjap kemudian tersenyum tipis. Jessica benar, Jenna harusnya tidak sepesimis tadi. Benar, ia bisa jadi rumah bagi ketiga sahabatnya. ⓗⓞⓦ ⓑⓐⓓ ⓓⓞ ⓨⓞⓤ ⓦⓐⓝⓣ ⓜⓔ Esok paginya, ketika burung-burung mulai berkicau di angkasa dan matahari mulai menyembul malu-malu. Rosa terbangun, kepalanya sedikit pening dan tubuhnya bergetar pelan; kedinginan. Rosa menyamankan diri dalam selimut tebalnya, ia tidak lagi kedinginan seperti kemarin sore. Kamar Jenna benar-benar nyaman untuk di tempati. Tiba-tiba Rosa berhenti bergerak ketika ia mengingat kejadian kemarin.Dia mengerjap dengan satu tarikan napas lelah.
Ah, ia mengacau lagi. Rosa menghela napas berat dan mulai membetulkan posisi tidur guna menerawang ke langit-langit kamar. Pasti Jenna kesulitan membersihkan pecahan cangkir yang ia lempar begitu saja ke lantai. Harusnya ia bisa menahan diri sebaik mungkin dan tidak lepas kendali seperti kemarin malam. Sekurang-kurangnya tidak dalam jangkauan gadis itu. Rosa segera bangkit dari tidurnya dan turun ke bawah. Matanya mengerjap kala Jenna dan Chelsie sibuk menyiapkan sarapan, tetapi dalam jumlah banyak. Sementara Jessica yang tengah mengupas apel di meja makan. Jenna menatapnya dengan senyuman hangat, "Udah bangun ternyata, sono mandi terus kita sarapan bareng.” “Sana, nggak usah mandi pake tiga botol sabun lo,” tambah Jessica tanpa menatapnya. "Sabun mahal, plis.” Terdengar menyebalkan memang, tetapi entah kenapa hatinya senang dan menghangat. "Apaan sih anjir!” omel Chelsie pada Jessica, tak lupa dengan pelototan lalu berjalan menghampiri Rosa. Chelsie menyuapinya dengan satu potongan apel. “Sana mandi. Tadi pagi gue ke rumah lo ngambil hp, dompet terus sabun bentukannya kayak mawar gitu. Nggak tau, deh, gue, tapi gue bawa aja semuanya. Tas warna biru di meja kamar Jenna.” Jessica menatap kemusuhan pada kedua orang di depannya itu. “Pilih kasih, jingan! Dasar emak tiri lo!” murkanya. “Anal dakjal nggak usah bacot. Mingkem!” balas Chelsie tak kalah garang. “Jenna!” rengek Jessica tak terima. Jenna pun tergelak namun membalas kocak. Wajahnya pun sudah berubah sedihㅡmenghayati peran. “Tenang, Nak, kita orang susah sering di gituin.” “Tapi, Ma, aku nggak mau. Jambakin rambutnya, plissss!” rengek Jessica ikut dramatis. Mereka kontan terbahak-bahak mendengarnya, sudah seperti menonton ftv secara langsung. Rosa tersenyum lebar melihat pemandangan ini. “Heh, lo!” Jessica menunjuk Rosa dengan telunjuknya, wajahnya berubah garang. “Lo berharga buat gue, Jenna, Chelsie. Jadi jangan ngadi-ngadi lo di bathtub nanti atau gue bumi hanguskan makanan di seluruh penjuru dunia.” Rosa mengerjap beberapa kali, lamunannya pun buyar ketika Chelsie merangkulnya lembut sementara Jessica serta Jenna menatapnya hangat. Rosa tak dapat menyembunyikan air matanya lagi, bukan kesedihan lagi namun sebab terharu. Rosa mengelap air matanya dengan gerakan pelan. "Anjir! Terharu 'kan gue.” Kalimat pertama Rosa pagi ini, gadis itu tersenyum. Jessica ngakak, "Dih! Apaan deh, geli,” “Esie,” rengeknya pada Chelsie seraya memeluk cewek yang lebih pendek darinya itu. “JESSICA! NGGAK USAH MAKAN YA LO?!” "DIH! BENERAN JADI BAWANG PUTIH GUE.” “SIAPA YANG NGASIH MAKANAN KE BAWANG PUTIH?!” Jenna berteriak garang, menirukan vedio yang tengah viral kini. “AU DEH! AU DEH! DEH-DEH, JANGAN BIKIN GUE BANYAK PIKIRAN!” Jessica membalas dan kontan tergelak renyah juga. Rosa lega. Tidak seperti yang sudah-sudah. Ia hampir melupakan suatu hal, bahwa ia memiliki tiga sahabat yang menganggap dirinya berharga lebih dari apa pun. “Thanks.” Ketiganya balas tersenyum atas ucapan tulus dari Rosa.BEBERAPA hal terkadang berlalu begitu cepat tanpa di sangka-sangka. Seperti, misalnya kau tengah menonton sebuah film tetapi ternyata eksekusi adegannya tidak membuatmu tertarik dan lekas mendatangkan bosan, namun karena masih penasaran dengan ujung cerita pada akhirnya kau akan memilih mempercepat laju jalannya film tersebut tanpa pikir panjang. Iya, seperti itu. Inti adegan dan juga sekelumit kisah yang coba sutradara sampaikan dapat sekilas di pahami dan di ingat. Begitu juga akan kehidupan. Memang saat menjalaninya terasa berat, ingin menyerah dan membuatmu terasa ingin meninggalkan dunia dengan sesegera mungkin. Sebab kewarasan tengah berada di ujung tanduk. Akal sehat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi hati juga hancur lebur di obrak-abrik takdir. Pada akhirnya, hanya kata menyerah dan putus asa yang keluar dari belah bibir. Kehidupan dan takdir memang begitu. Benang merahnya sangat rumit untuk di uraikan dengan rangkaian kata belaka. Namun percayalah. Ketika semua
“ROSA! Lo tau nggakㅡ”“ENGGAK! NGGAK TAU! NGGAK TAU! GUE IKAN SOALNYA!”Sementara Arzan mengulum senyum geli, gadis chipmunk tersebut mati-matian menahan gondok. Bukan karena apa, setelah kejadian di mana ia juga mati-matian menggombali Arzan dan ketahuan oleh pemuda itu bahwa Rosa tengah mengerjainya sebagai ajang balas dendam. Arzan marah seharian, mogon bicara dan tahu-tahu besoknya malah menggantikan Rosa dalam hal gombal menggombali.Jantung Rosa tidak kuat. Memang ya, balas dendam itu tidak baik. Rosa malah nyaris spot jantung setiap saat karena Arzan membalasnya dua kali lebih parah daripada apa yang dia lakukan. Bahkan tak ragu-ragu untuk mengejarnya sepanjang sekolah demi berkata :“MAKMUMKU! KAMU MAU KEMANA? KOK CALON IMAMMU INI DITINGGAL?!”Rosa malu. Rosa nyaris sinting. Nyaris mati karena detakan jantungnya tak keruan. Sial. Lihat saja senyum manis Arzan yang masih betah bertengger. Rosa ingin sekali mencakar wajah tampan itu tetapi sayang kalau memiliki goresan. Rosa hany
“ZAN, tau nggakㅡ”“Udah dong, Saaa!”Arzan tidak sanggup. Arzan tidak kuat lagi. Arzan sudah tidak bisa menanggungnya lagi. Arzan bisa-bisa stres plus diabetes jika diberi gula terus-menerus. Bukannya apa-apa, hanya saja memang Arzan menyukai perubahan sifat Rosa. Sangat malahan. Manisnya tak tanggung-tanggung membuat Arzan terkadang malu sendiri. Arzan malah seperti anak gadis sementara Rosa seperti cowok yang hobi menggombalinya seperti sekarang.Tingkah manis Rosa terkadang datang begitu saja tanpa permisi, langsung menyerang danㅡtok! Pas sekali mengenai hatinya. Arzan lama-lama bisa jantungan kalau begini caranya.Rosa nyengir, tidak merasa bersalah sama sekali. “Gue 'kan belum selesai ngomong, sayangku. Aduh! Gemoy sekali Anda!” Rosa terbahak.Arzan tersenyum tabah. Sabar sekali menghadapi Rosa.“Zan, lo tau nggakㅡ”“Kalau gue mirip calon imam lo?” sambar Arzan jengah, kalimat ini sering sekali dilontarkan Rosa padanya. Bahkan tak malu mengungkapkannya di depan umum sekalipun. Ben
HARI ini adalah hari pertama Rosa memasuki sekolah setelah libur nyaris satu bulan lamanya. Tak banyak yang berubah. Di pagi hari Rosa sudah bangun lebih dulu untuk memasak sarapan. Membangunkan Jessica agar mau berangkat sekolah tepat waktu namun gadis itulah yang paling susah untuk di atur. Sementara Lion bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Iya, memang Jessica memilih tinggal bersama mereka meski kadang pulang juga. Rosa tak keberatan justru senang-senang saja.Rosa dan Lion tinggal di apartemen Jessicaㅡgadis itu yang memaksa. Rosa dan Lion tidak memiliki sanak saudara sehingga Demian menawarkan diri menjadi wali legal mereka. Setidaknya sampai Rosa lulus kuliah dan bekerja. Awalnya si gadis ragu namun setelah diyakinkan oleh ketiga sahabatnya, Rosa setuju. Hanya sampai ia mendapatkan pekerjaan tetap.Rosa berdecak sebal, masih mengenakan celemek bekas memasak dan saat kembali ke kamar Jessica masih dalam posisi sama persis saat ia tinggalkan tadi. “Jessica! Ih! Buruan mandi!
ROSA kembali berduka. Di hari kepulangannya dari rumah sakit dan di hari yang sama pula Rosa melihat Julian terbaring lemah di atas ranjang. Penuh luka dan tak berdaya. Rosa tak merasakan apapun saat menatap Julian yang jangankan untuk kembali menyakitinya, bergerak saja sulit. Seorang polisi pun mendatanginya dengan sebuah kabar bernuansa gagak hitam. Bahkan Rosa belum betul-betul keluar dari rumah sakit tetapi hal-hal buruk sudah menunggu. Marie bunuh diri di rumah mereka dengan cara gantung diri di ruang tamu. Kematian sang ibu rupanya sudah berjalan selama empat hari dan baru terendus warga kemarin karena bau busuk yang menyengat. Lagi-lagi Rosa tidak bisa merasakan apapun. Gadis tersebut hanya diam, membiarkan polisi membawanya untuk mengidentifikasi mayat. Kemudian Marie dibawa pulang untuk dikebumikan dan Lion menangis di sisinya sepanjang hari pemakaman. Rosa tak menangis. Ia hanya menatap kosong pada tubuh Marie yang ditimbun tanah dengan raut datar. Banyak orang yang
DI karenakan luka jahitan di perut maupun di kepala Rosa sudah mengering. Gadis tersebut diizinkan berjalan-jalan keluar kamar asal tetap pada pengawasan dan larangan yang seharusnya. Gadis chipmunk tersebut tentu senang akhirnya bisa keluar dari kamar super sumpek karena Jessica dengan kurang ajar membawa semua makanan yang di pantangkan untuknya. Rosa berdecih, mengumpat, melempar Jessica dengan vas bunga. Tetapi Jessica tetaplah Jessica. Kelakuannya tetap diulangi lagi ke esokannya. Hari inipun sama. Jessica dengan segenap hati dan baik sekali membawa pasta udang ke dalam kamarnya. Rosa mengumpat, berteriak histeris dan Jessica ngakak di tempat. Sahabat tidak ada akhlak. Rosa meremat kuat lengan Arzan sehingga pemuda tersebut meringis. “Kalau gue bisa, gue sleding kepalanya, Zan! Ih! Nyebelin banget, asli. Kuyang geblek, gue doain poninya hilang! Mampus!” gerutu Rosa, kesal pangkat seratus. “Cuih! Najis! Ishhh! Zaaaaan, mau pasta juga,” rengeknya. Arzan menghela napas berat,
KAMAR inap Rosa ramai meski di isi hening, memperhatikan setiap gerak-gerik dokter yang kembali mengecek kondisi tubuh si gadis. Setelah Rosa sadar, Jessica seperti orang kerasukan menelepon semua orang, memberitahukan kabar gembira ini. Chelsie dan Jenna datang dengan napas terengah-engah dan mata membulat sempurna. Di susul Raffa, Revin dan Alvin kemudian. Lion pun juga datang setelahnya dengan masih mengenakan seragam basket. Jelas sekali kabur dari sesi latihan. Dokter tersebut berbalik dan membuat mereka menahan napas sejenak. Dokter tersebut tersenyum, “Pasien hanya butuh istirahat total untuk pemulihan. Jadi saya harap,” dokter tersebut menggantungkan kalimat dan tersenyum kecil. “Kalian tidak boleh terlalu memaksakan sesuatu hal pada pasien. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mereka serentak menghela napas lega. Tepat setelah pintu tertutup mereka semua langsung mengerubungi setiap sisi ranjang Rosa. Seolah mereka adalah lalat yang baru saja melihat kue lava yang lezat. Jessi
DUA minggu berlalu. Kondisi Rosa makin memburuk. Arzan tidak tahu harus bagaimana mendefinisikannya namun ia rasa setiap melangkah menuju kamar si gadis. Lututnya melemas melihat banyak alat penopang kehidupan yang terpasang di tubub Rosa. Arzan seharusnya bersyukur saat gadis itu masih bisa bertahan, tetapi ia malah berpikir jika Rosa ingin pergi. Napasnya memberat. Tepat seminggu Rosa masih berdiam diri di ranjangnya, Arzan sudah dibolehkan untuk pulang. Menjalani aktifitasnya seperti biasa, bahkan Arzan tidak merasakan apapun saat Pak Harry memujinya terus-terusan atas kinerja mereka pada OS. Setiap hari yang Arzan lakukan hanya pulang sekolah dengan cepat agar menghabiskan sisa hari di sisi ranjang Rosa. Tangannya terjulur untuk menyelipkan anak rambut Rosa ke belakang telinga si gadis. Agar wajahnya tidak tertutupi lagi selain dengan alat pernapasan. “Kayaknya di sana enak ya, Sa? Sampai lo nggak mau bangun gini,” ujar Arzan sendu. Diusapnya punggung tangan Rosa yang makin d
MUNGKIN mempertahankan kewarasan bagi seseorang seperti mempertahankan dirimu di medan perang. Sulit, mematikan, menyakitkan namun fisik dan mental dipaksa untuk terus bekerja secara spontan. Satu saja salah langkah, kamu bisa saja jatuh pada kubangan menyakitkan bernama depresiㅡgangguan mental lainnya atau bisa jadi lenyap dari muka bumiㅡmati. Barangkali opsi terakhir sering dipakai karena kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak bertahan.Apa Rosa akan begitu?Arzan tidak tahu dan tidak ingin menebak-nebak juga. Ia tidak ingin mendapatkan jawaban yang diluar dugaan nantinyaㅡnanti yang entah kapan. Tepat pukul sepuluh malam saat Krystal sudah terlelap di ranjang tambahan bersama laptop yang menyala. Alvin pun sudah pulang bersama Jessicaㅡkatanya. Arzan meloncat turun pelan-pelan dari ranjangnya. Meski dihantam pening, si pemuda tak goyah.Menarik tiang infus dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan Krystal, begitu pula saat membuka pintu. Lorong rumah sakit sudah agak