(PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m
Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole
Aku merasa sedikit mual mencium bau obat-obatan yang bercampur dengan aroma pembersih lantai. Benar-benar aroma yang khas memenuhi udara di tiap ruangan rumah sakit. Sementara Mas Andra terlihat gelisah duduk di sampingku. Wajahnya sedikit pucat dan penuh dengan keringat. Ia baru saja menjalani pemeriksaan kesehatan. Saat ini kamu sedang menunggu hasil tes darahnya keluar.Seminggu yang lalu Mas Andra pulang setelah selama empat bulan mengerjakan proyek di pulau tetangga. Aku tak bisa ikut karena harus merawat ibu mertua dan putra kami satu-satunya. Sejak pulang, Mas Andra mengeluh tak enak badan yang tak kunjung membaik.Badannya terasa lemas, disertai sakit kepala yang sangat mengganggu. Belum lagi ia mengeluhkan rasa nyeri saat buang air kecil. Bukan itu saja, di beberapa bagian tubuhnya timbul ruam-ruam merah.Aku yang tadinya amat senang dengan kepulangan Mas Andra, malah menjadi khawatir. Setelah kondisinya semakin memburuk walaupun sudah meminum obat dari apotik, hari ini aku p
Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Mas Andra hanya diam tanpa bicara. Pikiranku berkecamuk. Mulut memang tak bersuara tapi di kepalaku penuh dengan pertanyaan dan perdebatan. Ada badai yang menghantam dan meluluhlantakkan kepercayaan yang selama ini aku bangun untuk Mas Andra.Aku ingin cepat sampai ke rumah, agar bisa mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada. Kepala terasa berdenyut seakan ingin pecah.“Pelan-pelan, Naira. Jangan ngebut! Di depan sana lampu merah!” tegur Mas Andra. Ia terlihat sedikit gemetar saat memegang sabuk pengaman dengan erat.Aku terkesiap saat tahu kalau tanpa sadar sudah memacu mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Untunglah aku masih sempat menurunkan kecepatan begitu mendekati lampu merah. Badan Mas Andra terhuyung ke depan saat kakiku menginjak rem sedikit mendadak.Terlintas lagi apa yang terjadi di rumah sakit tadi. Setelah melakukan pengecekan dan tes darah, tentu saja hasilnya keluar dan aku dinyatakan sehat. Mungkinkah ini salah satu cara Tuhan m
“Da-dari siapa? Maksud kamu apa sih, Nai? Kamu nuduh Mas macam-macam?!” Suara Mas Andra sedikit meninggi.Aku menghembuskan dan menghirup napas panjang berkali-kali. Tenang Naira, tenang.“Apa Mas pernah memakai jarum suntik sembarangan?” tanyaku, menatapnya lekat.Ia menggeleng cepat. “Ngapain mainan jarum suntik! Pertanyaan aneh!” Mas Andra melipat tangan ke dadanya.“Selama empat bulan di sana, Mas pernah terima transfusi darah tanpa sepengetahuanku?” Mataku menyelidik.“Nggak, lah! Untuk apa juga? Mas kan, gak pernah sakit!” serunya dengan wajah keheranan.Aku mengangguk takzim. “Berarti … kamu tidur dengan siapa, Mas? Kamu selingkuh?” Kali ini mataku tak berkedip. Setiap perubahan raut di wajahnya tampak jelas.Mulai dari mata yang sedikit melebar, mulut yang terbuka, sampai tangan yang terus-terusan mengusap rambut. Suamiku sedang gugup. Aku yakin detak jantungnya tak karuan sekarang.“Ka-kamu jangan asal tuduh, Nai! Bisa-bisanya kamu bicara gitu! Mas cari nafkah mati-matian di
“Nai, Naira! Heh, apa-apaan sih dia? Ndra, istri kamu kenapa sih? Ya ampun, gak sopan banget!” rutuk Mama terdengar samar di telingaku.Aku hiraukan saja ocehannya yang tak lagi terdengar setelah pintu kamar kututup. Momongan lagi katanya? Ya Tuhan, andai keadaan sekarang baik-baik saja seperti dulu, sudah pasti aku akan dengan senang hati menjawab permintaan Mama. Hanya saja, dengan kondisi Mas Andra yang mencurigakan seperti itu … aku menjadi mawas diri. Bahkan, rasa rindu padanya yang tadinya begitu besar di dalam dada, harus aku bunuh dengan tega.Nyatanya aku masihlah seorang wanita dewasa yang normal. Selama empat bulan sudah tak merasakan sentuhan cinta dari Mas Andra, rasanya seperti ada yang hilang. Aku haus, aku rindu, aku ingin, memuaskan hasrat yang lama terpendam.Meskipun dokter Budi mengatakan kalau penyakitnya takkan menular lewat keringat, sentuhan kulit, ataupun air liur, aku tetap saja enggan dan takut menyentuh Mas Andra. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan tenta
Widya menyambut kedatanganku dan Fadil dengan senang. Ia tampak bahagia setelah melewati tiga tahun menanti kehadiran sang buah hati. Tak lupa aku serahkan cake dan juga hampers bayi yang tadi aku beli di mall. Fadil terlihat senang melihat adik bayi yang imut dan juga montok. Putri kecil yang sehat dan cantik itu, diberi nama Sahara. “Maaf ya Wid, baru sempat jenguk sekarang. Soalnya kemarin-kemarin gak enak tinggalin Mama di rumah sendirian. Kalau sekarang Mas Andra udah pulang,” ucapku seraya memandangi wajah bayi mungil yang sangat mirip dengan Widya. “Santai aja, Beb. Gue juga paham kok. Alhamdulillah ni baby dah keluar dari perut gue. Kemarin mulesnya ya ampun, ampe sehari semalam!” ujar Widya sambil tertawa-tawa. Aku ikutan tertawa mendengar candaannya. Widya adalah teman dekatku semasa di SMA. Saat lulus kami terpisah karena Widya diterima sebagai mahasiswa kedokteran sedangkan aku mengambil jurusan akuntansi. Selama itu kami masih menjalin komunikasi walaupun jarang bertemu