Pernikahan Naira dan Andra yang sudah berjalan 6 tahun sedang diuji. Rumah tangga yang tadinya harmonis dan bahagia, berubah menjadi neraka dalam waktu singkat. Andra yang pergi bekerja di luar pulau selama 4 bulan, pulang dengan membawa penyakit menjijikkan. Satu persatu fakta mengejutkan terkuak, membuat Naira harus siap menerima kenyataan pahit.
View MoreAku merasa sedikit mual mencium bau obat-obatan yang bercampur dengan aroma pembersih lantai. Benar-benar aroma yang khas memenuhi udara di tiap ruangan rumah sakit. Sementara Mas Andra terlihat gelisah duduk di sampingku. Wajahnya sedikit pucat dan penuh dengan keringat. Ia baru saja menjalani pemeriksaan kesehatan. Saat ini kamu sedang menunggu hasil tes darahnya keluar.
Seminggu yang lalu Mas Andra pulang setelah selama empat bulan mengerjakan proyek di pulau tetangga. Aku tak bisa ikut karena harus merawat ibu mertua dan putra kami satu-satunya. Sejak pulang, Mas Andra mengeluh tak enak badan yang tak kunjung membaik.
Badannya terasa lemas, disertai sakit kepala yang sangat mengganggu. Belum lagi ia mengeluhkan rasa nyeri saat buang air kecil. Bukan itu saja, di beberapa bagian tubuhnya timbul ruam-ruam merah.
Aku yang tadinya amat senang dengan kepulangan Mas Andra, malah menjadi khawatir. Setelah kondisinya semakin memburuk walaupun sudah meminum obat dari apotik, hari ini aku putuskan untuk mengantarnya ke rumah sakit. Tadinya Mas Andra tak mau, tapi aku memaksa dengan sedikit mengancam.
“Nai, kepala Mas pusing sekali,” keluh Mas Andra dengan suara lemas. Ia menyandarkan kepala ke dinding rumah sakit yang putih dan dingin. Tangannya memijit pelipis yang tampak sedikit berkeringat.
Aku menghela napas panjang. “Mas mau aku carikan ranjang untuk istirahat? Aku bisa tanya petugas di depan,” tawarku, tak tega juga melihat keadaannya seperti itu.
Mata Mas Andra terpejam, napasnya sedikit terengah. “Nggak usah, Nai. Kita tunggu di sini aja. Moga hasil lab cepat keluar,” jawabnya.
“Ya udah, aku beli minum di depan dulu. Mas tunggu di sini, ya,” ucapku sembari mengusap pelan punggung tangannya yang terasa sedikit hangat.
Mas Andra tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan. Aku segera bangkit menuju ke mini market yang masih berada di area rumah sakit. Rasa cemas mendera di dalam dada. Sebenarnya sakit apa Mas Andra? Aku masih ingat dengan tatapan dokter yang berulang kali seperti mengasihaniku.
Dengan cepat aku raih dua botol air mineral dan sebungkus biskuit. Khawatir kalau ada apa-apa dengan Mas Andra selama aku tinggalkan. Langkahku terasa gontai, melalui lorong-lorong kamar yang berisi pasien dan tenaga medis yang lalu lalang.
Dahiku berkerut saat sosok Mas Andra sudah tak ada di bangku panjang tempat kami menunggu tadi. Aku edarkan pandangan, tapi tetap tak menemukan ia di mana-mana.
“Maaf, Pak. Apa tadi Bapak lihat suami saya yang pakai baju kaus biru duduk di sini?” tanyaku pada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di sana.
“Oh, suami Ibu pakai baju biru celana hitam?” Ia balik bertanya. Aku balas dengan anggukan.
“Tadi dipanggil ke ruangan dokter sana!” Bapak tersebut menunjuk ruangan Dokter Budi.
“Terima kasih, Pak! Saya permisi!”
Dengan langkah cepat aku menyusul Mas Andra. Rupanya saat aku membeli minuman tadi ia dipanggil menuju ke ruangan. Sedikit ragu aku melonggokkan kepala ke dalam. Mas Andra sudah duduk di hadapan Dokter Budi.
“Masuk, Bu Naira!” titah Dokter Budi.
Aku mengangguk dan segera duduk di kursi kosong di samping Mas Andra. Wajah suamiku semakin pucat saja. Apa Dokter Budi sudah menyampaikan penjelasan mengenai penyakitnya?
“Jadi … gimana dengan kondisi suami saya, Dok? Apa hasil tes darahnya sudah keluar?” tanyaku ragu-ragu.
Dokter Budi mengangguk meskipun tatapannya terfokus pada selembar kertas di meja.
“Baik, hasilnya sudah keluar. Saya sengaja menunggu Bu Naira untuk menyampaikan hasilnya. Karena ini berkaitan dengan status Ibu dan Bapak sebagai suami istri,” ucapnya Dokter Budi tenang.
Ia kembali memandangi aku dan Mas Andra bergantian. Perasaanku mulai tak karuan karena gelagat dokter yang sedikit aneh.
“Tadi saya sudah banyak bertanya di awal pada Pak Andra mengenai apa saja yang beliau rasakan selama sakit. Juga sudah dilakukan pengecekan fisik, lalu tes darah. Menurut hasil diagnosa dan juga tes darah, Pak Andra … positif menderita sifilis,” jelas Dokter Budi tenang.
Waktu bagaikan berhenti sejenak. Napasku tertahan, seirama dengan mata yang tak mampu berkedip. Mulutku ingin berkata tapi lidah bagaikan kelu. Apa aku salah dengar? Sifilis? S-I-F-I-L-I-S? Bukankah itu salah satu penyakit kelamin? Ah, tidak mungkin.
“Ma-maaf, Dokter. Apa saya tidak salah dengar?” Mas Andra tak kalah terkejutnya, sampai bertanya seperti itu.
Aku hanya bisa menatap Dokter Budi dengan rasa tak percaya. Dokter itu menggeleng lemah.
“Maaf, tapi Pak Andra betul-betul didiagnosa menderita penyakit sifilis,” ulangnya dengan nada datar dan tenang.
Aku terhenyak. Tanganku menggenggam erat ujung baju. Rasanya seperti mimpi mendengar penjelasan Dokter Andra.
“Ciri utamanya adalah nyeri saat buang air kecil, ruam di area mulut dan sekitar alat k*lamin. Dan yang terpenting, tes darah menunjukkan ciri-ciri penyakit yang dimaksud.”
Aku masih berusaha mencerna penjelasan Dokter Budi saat suara Mas Andra terdengar lagi.
“Ta-tapi, bagaimana mungkin, Dok? Bu-bukankah sifilis itu penyakit k*lamin? Bagaimana mungkin saya menderita penyakit seperti itu? Pasti hasil pemeriksaannya salah!” tegas Mas Andra dengan suara bergetar.
Dokter Budi menghela napas. “Justru itu yang ingin saya tanyakan. Bagaimana Bapak bisa mendapatkan penyakit ini? Maaf, Bapak hanya bisa tertular penyakit ini jika melakukan hubungan s*ksual dengan orang yang juga menderita infeksi sifilis. Bergonta-ganti pasangan, menggunakan jarum suntik yang tidak steril, dan transfusi darah dari orang yang terinfeksi. Satu lagi, sifilis juga bisa ditularkan dari ibu hamil yang terinfeksi ke anak yang dilahirkannya.”
Kali ini jantungku yang rasanya berhenti berdetak. Tidak, tidak mungkin! Apa benar yang dikatakan Dokter Budi? Aku menoleh dan menatap tajam ke arah Mas Andra. Kali ini, ia benar-benar berhutang penjelasan padaku. Dari mana ia mendapatkan penyakit menjijikkan ini? Mas Andra membalas tatapanku dengan mata melebar. Ia menelan ludah berkali-kali. Wajahnya tampak panik dan kalut.
“Sa-saya tidak terima dengan hasil diagnosa ini! Dokter pasti mengada-ada, benar-benar tidak kompeten!” protes Mas Andra, sembari menunjuk Dokter Budi.
Dokter Budi mendesah, alisnya terangkat. Kali ini tatapannya tertuju ke arahku, seperti ingin berkata sesuatu.
“Ayo, Nai! Kita berobat dan periksa ke rumah sakit lain! Mas tidak terima dituduh macam-macam!” Mas Andra menarik tanganku agar berdiri.
Aku bergeming, tak beranjak sedikit pun dari tempat duduk. “Mas … duduk!” titahku.
Mas Andra terdiam. Ia mematung di tempat. Wajahnya sudah pucat, hampir memutih seperti kapas. Keringat sebesar biji jagung membanjiri dahi dan pelipisnya.
“Duduk, Mas. Sekarang!” pintaku dengan wajah datar.
Dengan gerakan kikuk, Mas Andra akhirnya duduk kembali. Badannya sedikit gemetar. Entah apa yang ia takutkan. Jika tidak bersalah, lantas mengapa bertingkah gelisah?
“Apa penyakit ini bisa ditularkan lewat makanan atau pernafasan, Dok? Atau mungkin lewat keringat dan air liur?” tanyaku harap-harap cemas.
Dokter Budi menggeleng. “Umumnya hanya melalui aktivitas yang sudah saya sebutkan tadi,” jawabnya lugas.
Aku mengusap wajah. Belum siap dengan kenyataan kalau Mas Andra benar-benar menderita sifilis. Kutatap lagi wajahnya. Ruam-ruam merah itu tampak nyata di sekitar mulut suamiku. Belum lagi ruam-ruam yang timbul di area privatnya, yang aku lihat saat membantunya membersihkan badan saat demam sore kemarin.
“Apa Bu Naira memiliki keluhan yang sama?” tanya Dokter Budi hati-hati.
Aku segera menggeleng. “Tidak, Dok. Saya merasa sehat, tidak ada keluhan sedikit pun,” jawabku cepat. Nyatanya aku memang sehat-sehat saja. Tak merasakan keluhan sedikit pun, apalagi gejala seperti yang dimiliki Mas Andra.
“Dan satu lagi, maaf, saya harus bertanya. Kapan terakhir kali Bapak dan Ibu melakukan hubungan suami istri?” Kali ini Dokter Budi bertanya dengan sangat hati-hati.
“Benar-benar tidak sopan!” Mas Andra menggebrak meja.
Aku tersentak, terkejut dengan tindakan Mas Andra. Begitu juga dengan Dokter Budi. Biasanya Mas Andra tak pernah emosional seperti ini.
“Mas! Cukup! Tenanglah sedikit! Dokter Budi bukan asal bicara. Dia sudah bertahun-tahun menjadi tenaga medis! Kalau Mas tidak bisa tenang, tunggu di luar saja!” Aku sedikit meninggikan suara.
Mas Andra yang tadinya terlihat lemas, sekarang tampak garang. Ia bangkit dari kursi dan segera keluar ruangan.
“Maaf, Dok. Maafkan sikap suami saya,” ucapku sambil mengatur napas.
“Tidak masalah, saya mengerti. Jadi, apa Ibu bisa menjawab pertanyaan saya tadi?” ulangnya.
“I-iya, Dok. Terakhir kali kami berhubungan … sudah empat bulan yang lalu. Suami saya baru kembali ke rumah seminggu yang lalu setelah menyelesaikan proyek di luar pulau. Kami belum sempat melakukan itu lagi karena saya juga sedang haid,” jawabku dengan kepala tertunduk.
Sungguh, ada rasa malu dan nyeri di hati. Aku benar-benar tak siap dengan kenyataan yang menunggu untuk terkuak. Apakah mungkin kalau Mas Andra …? Ah, entahlah.
“Baik. Kalau begitu, apa Bu Naira bersedia untuk dites darah? Untuk berjaga-jaga. Atau kalau tidak, Bu Naira harap menjaga jarak dulu agar tidak bercampur dengan Pak Andra. Jika ada keluhan, segera konlustasi ke Puskesmas atau rumah sakit.”
Setelah menimbang dan berpikir sejenak, aku akhirnya setuju untuk melakukan tes darah. Ya, aku harus memastikan apakah aku juga sakit atau tidak.
***
Tak jauh dari sebuah losmen melati, mobil terparkir. Aku tak sendirian di sana, melainkan ditemani oleh Abah dan juga Mas Anton. Beberapa polisi yang mengenakan pakaian seperti preman pun sudah bersiap di depan sebuah pintu kamar yang diduga merupakan tempat persembunyian Mas Andra dan Mbak Della.Setelah berapa hari mencoba melacak keberadaannya, akhirnya semua semakin terang dan jelas saja. Penjaga losmen itu pun sudah mengaku kalau memang ada sepasang laki-laki yang ciri-cirinya sama seperti orang yang kami cari.Liciknya, untuk menginap di losmen itu, mereka tidak perlu memberikan jaminan kartu identitas. Cukup bayar dua kali lipat saja dan mereka sudah bisa menginap.“Gimana, Bah? Mereka udah bergerak?” tanyaku, dengan keringat di pelipis dan telapak tangan. Jujur saja aku gugup dengan rencana penangkapan ini.“Sepertinya sudah, Nai. Itu mereka mulai ketok-ketok pintunya, tapi gak dibukakan,” ucap Abah yang sampai sengaja membawa teropong kecil agar bisa menyaksikan semuanya.Ke
Mama harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya menderita stroke setelah pingsan mendengar apa yang terjadi pada anak kesayangannya kemarin. Perempuan itu terus meneteskan air mata walaupun mulutnya tidak berbicara sama sekali.Aku antara tega tak tega melihatnya, sebab sejujurnya hatiku jauh lebih sakit lagi. Sampai detik ini pun, dua hari setelah ketahuan dengan kelakuan bejatnya, laki-laki yang masih berstatus sebagai suamiku itu tidak juga menunjukkan itikad baik sama sekali.Akhirnya Mas Andra resmi berstatus menjadi buronan setelah kami memasukkan laporan ke pihak kepolisian. Nomor ponselnya dan mbak Della tidak bisa dihubungi sama sekali, mungkin mereka sengaja agar tidak bisa dilacak keberadaannya.Aku kembali mendesah, menatap Mama yang terus melihat ke arah plafon yang berwarna putih. Tubuhnya terbaring lemah, dengan mulut sebelah kiri yang timpang. Sejak kemarin dia tidak bersuara sama sekali. Hanya helaan nafasnya saja yang sesekali terdengar.Sebenarnya aku sangat enggan be
“Nai, Naira! Bangun, Nak!”Perlahan aku membuka mata di saat mendengar suara abah yang diiringi dengan tepukan pelan di pipi. Kepala ini terasa begitu berat seperti habis tertimpa benda yang besar.“A-abah …,” ucapku dengan suara parau.Abah mendesah pelan. “Syukurlah kamu udah sadar, Nai. Abah khawatir sekali pas datang tadi, lihat kamu terkapar di lantai. Hampir putus nyawa abah, Nai,” bisiknya.Ternyata kami tak hanya berdua saja di sana. Sudah ada Pak RT dan beberapa tetangga yang semuanya berkumpul di ruang tamu, sementara aku dibaringkan di atas sofa.Saat mencoba bangkit, aku mengernyit merasakan pedih di bagian pelipis. Entah sekeras apa Mas Andra menghantamku tadi. Bajing@n itu benar-benar tidak punya hati.“Berbaring aja kalau pusing, Nai. Gak usah dipaksakan duduk,” sergah Abah dengan suara bergetar. Aku yakin kalau dia pasti panik sekali di saat mendapati putrinya seperti sudah tidak bernyawa.“Gak apa-apa, Bah. Gak enak kalau Nai baring terus sementara banyak orang.”Deng
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole
Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]
(PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments