"Tau darimana gue wisuda hari ini?""Astaga Dinara! Lo kuliah di kampus besar! Jadwal wisuda lo bisa gue dapet dengan mudah, apalagi banyak juga temen- temen gue yang berasal dari kampus ini," ujar Kiran gemas sendiri. Dinara hampir melupakan fakta yang satu itu. Banyak sekali yang posting terkait persiapan wisuda dan semacamnya di media sosial. Kiran yang juga anak jebolan medsos pasti langsung paham akan adanya perhelatan ini. "Om sama tante belum dateng, Din?" Pertanyaan dari Viviane mendadak membuat Dinara sedikit lesu. Meski begitu, dia tetap berusaha untuk terlihat tetap tegar. "Papa masih ada urusan di Jepang, jadi mama juga ikut disana. Dikta masih ada ujian juga," jawabnya sembari memaksakan sedikit senyum. Viviane agaknya merasa bahwa dia keliru bertanya. Jadi dia pada akhirnya hanya bisa tertawa canggung. "Ya udah, anggap kehadiran kita disini penggantinya. Sebagai utusan keluarga lo, hari ini Kiran yang traktir makan!" Ujaran penuh semangat dari Kanaya langsung mendap
Mudah sekali menggoyahkan fokus manusia. Dinara merasa imannya lemah hanya karena terjebak dalam situasi cukup canggung dengan Sandi Arsena sekarang. Berada tepat disamping pengemudi tampan yang tengah memamerkan kedua tangannya akibat lengan kemeja digulung asal. Dua kancing kemeja teratas juga terbuka, seolah sengaja memamerkan kulit dan leher panjangnya. Bukan sesuatu yang luar biasa namun cukup membuat Dinara berusaha mati-matian untuk mempertahankan kewarasan dan kejernihan pikirannya. Panasnya cuaca ibukota hari ini memang harus diakui. Setelah keluar dari gedung wisuda, hampir semua orang yang dia temui mengeluhkan cuaca panas. Termasuk lelaki disebelahnya ini yang langsung tanpa aba- aba melonggarkan berbagai kancing di pakaiannya.Setelah makan bersama di resto dekat kampus, semuanya langsung menuju destinasi yang berbeda. Keluarga Dinara yang dijemput salah seorang staff papanya masih harus kembali ke sekolah Dikta karena mereka meninggalkan tas Dikta disana. Teman- teman
Dinara menghapus makeup di wajahnya dengan gosokan kasar. Seolah dengan gerakan gusarnya itu dia bisa mengembalikan kembali citranya yang sudah terlanjur bingung mau dia sembunyikan dimana. Insiden tadi mungkin berhasil menyelamatkan Sandi dari prasangka buruk temannya. Namun sekaligus juga menghancurkan image Dinara. Setelah menyadari tindakannya, Dinara benar- benar tidak tahu harus berkata apa. Dia benar- benar malu, apalagi kalau nanti menghadapi Sandi yang sedari tadi tak merespon atau membahas apapun juga. "Sayang? Sudah selesai belum?" Lagi- lagi mendengar kata 'sayang' membuat Dinara makin kasar menggosok wajahnya. Rasanya Dinara ingin bersembunyi di kutub paling jauh hanya agar tidak bertemu Sandi Arsena untuk sementara waktu ini. "Dinara?" Menyadari suara sang mama masih memanggilnya depan pintu, Dinara berdehem sebentar melegakan tenggorokannya yang terasa tercekat. Menepuk pipinya lagi untuk menyadarkan dan membawa kembali dirinya ke masa kini. "Masih hapus makeup
"Ngalah dong sama yang lebih muda!""Siniin, punya gue itu!""Eh-eh mati mati, eh woy!""Tolollll"Seperti hari- hari biasanya, Dikta menghabiskan waktu liburnya dengan Sean dan Sandi. Hari ini makin ramai karena sepupunya, Keenan juga ikut menambah keriuhan siang ini. Apalagi terkadang mulutnya memang suka bablas, dengan anak dibawah umur juga masih bisa mengeluarkan kalimat plus kebun binatangnya. Ini kalau Dinara dengar, sudah pasti Keenan didepak dengan tidak hormat karena telah menodai kosakata polos adiknya.Ya untung saja hari ini mereka berada di kediaman Sandi dan Sean yang memang sedang sepi. Ditengah keriuhan itu, Sandi kini sudah tak fokus pada games berkat chat dari dosen pembimbingnya yang baru masuk. Katanya mahasiswa tidak boleh menghubungi dosen di hari libur dan juga diluar jam kerja. Tapi kenapa dosen pembimbingnya ini justru balik suka sekali menghubunginya pada hari libur?Mau tak mau ia membuka bubble chat yang ternyata sudah menumpuk berisi aneka peringatan dan
Tadinya dua onggok manusia itu hendak menyelesaikan tulisan di rumah, namun suara bor dan mesin disebelah agaknya berhasil membuyarkan konsentrasi keduanya. Padahal komplek perumahan ini cukup elit, jarak antar rumah pun tak terlalu dekat. Namun tetap saja, sepertinya tetangga sebelah punya masalah cukup serius sehingga harus menggunakan beberapa alat yang suaranya cukup mengganggu.Mau pakai headset pun menurutnya tidak akan cukup membantu. Selain itu, mungkin akan lebih aman bagi mereka berada diluar rumah. Kondisi rumah kosong begini sangat rawan. Iman masih lemah, takut saja kalau- kalau setan lewat membuat Sandi bertindak diluar ambang sadar, hehehe. Awalnya Sandi hendak mengajak Dinara pergi ke sebuah cafe, namun entah kenapa pada akhirnya mereka berakhir di taman pinggir kota yang kebetulan cukup tenang. Taman tersebut punya pojok khusus semacam tempat belajar yang juga pastinya dilengkapi meja, kursi, wifi, dan steker. Biasanya akan ada beberapa kawula muda yang hinggap d
Langit yang tadinya cerah tiba- tiba makin mendung. Belum sempat Dinara dan Sandi beranjak menuju mobil, keduanya harus terjebak hujan sehingga belum bisa kemana-mana sekarang. Sebenarnya sih Sandi bisa saja menggunakan jaketnya lalu seperti adegan drama menggunakannya untuk melindungi Dinara. Tapi kalau dia pikir-pikir, jaket tipisnya itu tidak akan sanggup menghalau hujan. Apalagi mereka harus berlari sekitar beberapa ratus meter menuju tempat parkir. Ditambah ada laptop di dalam tas tidak waterproof yang Sandi gunakan hari ini. Sandi jelas mengurungkan niatnya. Dia tidak mau kelihatan bodoh pada akhirnya. Toh juga Dinara tidak menggesanya pulang, gadis itu mungkin punya pemikiran yang sama dengannya. Hujan mungkin tidak begitu deras, namun tetap saja mereka sangat malas kalau harus basah- basahan. Ini tidak akan menjadi adegan drama yang romantis. Hanya basah kuyup dan juga flu yang menanti kalau mereka nekat menerobos. Sembari menunggu hujan reda, Dinara kembali menarik foku
Dua pasang bola mata kelam itu menatap serius kearah layar yang tengah menayangkan film aksi. Duduk dengan tegak, bahkan tak mampu bersandar santai di sofa. Padahal ada banyak sekali tempat yang bisa dikuasai untuk rebahan. Namun Sandi memilih duduk di sofa tunggal, sementara Dinara duduk disebelah Dikta, adiknya yang menggunakan paha Dinara sebagai bantal. Sore tadi, keduanya memutuskan untuk kembali ke rumah Sandi, niatnya sih menjenguk bocah- bocah yang mereka terlantarkan sebelumnya. Meskipun sebenarnya tiga onggok bocah laki- laki itu jelas jauh dari kata terlantar. Ada beragam makanan yang tersaji dan mereka masing- masing juga punya uang jajan kalau memang hendak membeli kudapan diluar.Setelah dipaksa ikut menonton film action yang baru didownload Keenan, Dinara dan Sandi harus kembali menghadapi suasana canggung. Pasalnya bocah- bocah itu dengan santainya kompak tertidur di depan televisi. Niatnya menonton film, tapi kenapa sekarang justru film yang menonton mereka?Ini puk
Sepertinya yang namanya overthinking di jam rawan tak dapat dihindari. Dinara harus membolak-balikkan bantal bahkan tubuhnya terus bergerak resah karena pikiran- pikiran random terus mengusiknya. Ini sudah lewat lebih dari delapan jam sejak kejadian tadi. Namun siapa yang bisa Dinara salahkan untuk keributan yang terjadi dalam pikirannya sekarang? Divisi berpikirnya mungkin tengah dalam mode operasi brutal, semuanya bekerja hingga terlalu riuh. Mendadak Dinara dihinggapi perasaan tak tenang. Menyesal karena memotong omongan Sandi tanpa mendengarkan dulu apa yang hendak laki- laki itu bicarakan. Bagaimana jika sebenarnya lelaki itu hanya hendak membahas pasal skripsi yang telah dia bantu itu? Bisa- bisanya Dinara tanpa pikir panjang langsung menyimpulkan bahwa lelaki itu hendak membahas insiden terakhir di taman sebelum mereka pulang. Kalau benar, Dinara sudah tidak tahu lagi mau meletakkan wajahnya dimana. Dia pasti dianggap terlalu percaya diri atau GR duluan. Dinara tidak bisa