Langit yang tadinya cerah tiba- tiba makin mendung. Belum sempat Dinara dan Sandi beranjak menuju mobil, keduanya harus terjebak hujan sehingga belum bisa kemana-mana sekarang. Sebenarnya sih Sandi bisa saja menggunakan jaketnya lalu seperti adegan drama menggunakannya untuk melindungi Dinara. Tapi kalau dia pikir-pikir, jaket tipisnya itu tidak akan sanggup menghalau hujan. Apalagi mereka harus berlari sekitar beberapa ratus meter menuju tempat parkir. Ditambah ada laptop di dalam tas tidak waterproof yang Sandi gunakan hari ini. Sandi jelas mengurungkan niatnya. Dia tidak mau kelihatan bodoh pada akhirnya. Toh juga Dinara tidak menggesanya pulang, gadis itu mungkin punya pemikiran yang sama dengannya. Hujan mungkin tidak begitu deras, namun tetap saja mereka sangat malas kalau harus basah- basahan. Ini tidak akan menjadi adegan drama yang romantis. Hanya basah kuyup dan juga flu yang menanti kalau mereka nekat menerobos. Sembari menunggu hujan reda, Dinara kembali menarik foku
Dua pasang bola mata kelam itu menatap serius kearah layar yang tengah menayangkan film aksi. Duduk dengan tegak, bahkan tak mampu bersandar santai di sofa. Padahal ada banyak sekali tempat yang bisa dikuasai untuk rebahan. Namun Sandi memilih duduk di sofa tunggal, sementara Dinara duduk disebelah Dikta, adiknya yang menggunakan paha Dinara sebagai bantal. Sore tadi, keduanya memutuskan untuk kembali ke rumah Sandi, niatnya sih menjenguk bocah- bocah yang mereka terlantarkan sebelumnya. Meskipun sebenarnya tiga onggok bocah laki- laki itu jelas jauh dari kata terlantar. Ada beragam makanan yang tersaji dan mereka masing- masing juga punya uang jajan kalau memang hendak membeli kudapan diluar.Setelah dipaksa ikut menonton film action yang baru didownload Keenan, Dinara dan Sandi harus kembali menghadapi suasana canggung. Pasalnya bocah- bocah itu dengan santainya kompak tertidur di depan televisi. Niatnya menonton film, tapi kenapa sekarang justru film yang menonton mereka?Ini puk
Sepertinya yang namanya overthinking di jam rawan tak dapat dihindari. Dinara harus membolak-balikkan bantal bahkan tubuhnya terus bergerak resah karena pikiran- pikiran random terus mengusiknya. Ini sudah lewat lebih dari delapan jam sejak kejadian tadi. Namun siapa yang bisa Dinara salahkan untuk keributan yang terjadi dalam pikirannya sekarang? Divisi berpikirnya mungkin tengah dalam mode operasi brutal, semuanya bekerja hingga terlalu riuh. Mendadak Dinara dihinggapi perasaan tak tenang. Menyesal karena memotong omongan Sandi tanpa mendengarkan dulu apa yang hendak laki- laki itu bicarakan. Bagaimana jika sebenarnya lelaki itu hanya hendak membahas pasal skripsi yang telah dia bantu itu? Bisa- bisanya Dinara tanpa pikir panjang langsung menyimpulkan bahwa lelaki itu hendak membahas insiden terakhir di taman sebelum mereka pulang. Kalau benar, Dinara sudah tidak tahu lagi mau meletakkan wajahnya dimana. Dia pasti dianggap terlalu percaya diri atau GR duluan. Dinara tidak bisa
Senin pagi memang selalu bikin pusing. Dinara duduk lemas di kursinya sebab belum sarapan, sementara masih banyak daftar tulisan yang harus dia kerjakan. Apalagi dia baru saja keluar dari ruangan rapat setelah ikut meeting mingguan yang cukup menguras energi dan pikirannya. Tidur pukul tiga pagi membuat Dinara harus lagi-lagi grasa-grusu menghadapi pagi. Bagaimana tidak? Gadis itu baru bangun pukul tujuh lebih lima menit, sementara dia harus berada di kantor jam delapan teng. Belum mandi, dandan, dan perjalanan, semua butuh waktu, kan? Untung saja jalanan hari itu cukup lenggang sehingga Dinara masih bisa sampai tepat waktu. Tapi sayang sekali konsekuensinya dia jadi tidak sempat sarapan. Padahal sang mama sepertinya telah menyiapkan nasi goreng yang aromanya merebak luar biasa satu ruangan. Dia sedikit menyesal kenapa tidak membungkusnya sedikit sebagai bekal makan di kantor. Satu kotak susu coklat dan roti isi hinggap di meja kerja Dinara tepat waktu. Gadis itu mendongak dan te
Sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan kediaman Dinara. Sandi yang tengah asyik memetik gitar di balkon kamar langsung menghentikan aktivitasnya. Satu linting gulungan tembakau yang tadi bertengger di bibirnya juga langsung ia padamkan.Seketika bibirnya mengulum senyum kecil saat menemukan Dinara turun dari mobil dengan raut lelah yang cukup kentara. Gadis itu masih cantik seperti biasa. Dia mengenakan kemeja biru langit dengan beberapa garis putih, rambutnya digulung tinggi dengan banyak anak rambut yang menjuntai. Bahkan masih ada lanyard yang tergantung manis di lehernya. Sanyum tipis yang Dinara sampirkan melengkapi polesan makeup samar yang dia gunakan.Entah sejak kapan Sandi berubah jadi pengamat detail seorang Dinara Jeandra. Dia dengan jujur mengakui bahwa gadis itu punya pesona yang luar biasa. Dia mungkin tidak terlalu mengikuti mode seperti gadis-gadis sebayanya, tapi dia tetap terlihat menawan dengan gayanya sendiri. Tetangganya itu akhirnya kembali setelah
Tak sampai lima menit setelah Sandi menyentuh dapur, Dinara sigap menggulung lengan kemejanya dan mengambil alih pekerjaan. Dia tidak bisa diam saja setelah melihat tahap demi tahap yang dicurigai justru akan menghancurkan keseluruhan rumahnya itu. Sandi mungkin hanya perlu menjentikkan jarinya untuk membuat wajan yang sudah nangkring sopan diatas kompor justru melayang. Dia hanya perlu sedikit menggeser tangannya untuk menjatuhkan beberapa peralatan. Aksi memotong sayuran dengan pisau terbalik yang luar biasa butuh otot. Dinara menyerah—bahkan hanya sekadar menyaksikannya pun rasanya tak akan sanggup.Tangan terampil Dinara hanya perlu waktu beberapa menit untuk membalik keadaan. Dia bisa memotong sayuran dan sosis dengan cepat lalu lanjut menggoreng telur dan bumbu serta menyiapkan nasi serta semua bahan yang akan dituang. Bahkan Dinara masih sempat mengusap beberapa titik minyak dan merapikan kembali peralatan. Kali ini Sandi kembali menyaksikan bagaimana manajemen waktu dan orga
Guyuran hujan deras membasahi pemuda yang baru saja berhasil memarkirkan kendaraannya di garasi. Ia menatap spot kosong di garasi yang menandakan keluarganya masih belum tiba di kediaman mereka. Keluarganya memang sedang pergi ke rumah tua sang papa karena salah satu tantenya menikah hari ini. Sandi terpaksa tidak bisa ikut karena masih harus bolak-balik kampus mengurus persiapan sidang. Dia baru saja kembali usai membeli beberapa cemilan di minimarket depan komplek. Tak ada tanda- tanda akan turun hujan sebelumnya, makanya Sandi dengan santai tadi keluar menggunakan motor. Dia berdecak pelan menyadari tubuhnya bahkan hampir basah seluruhnya, padahal hanya dua menit menerobos hujan. Lelaki itu mengibaskan rambut basahnya yang mulai panjang. Dengan langkah seribu bergegas masuk kedalam rumah. Namun baru saja hendak merogoh kunci di sakunya, seluruh penerangan tiba-tiba padam. Sekitarnya super gelap, sepertinya terjadi pemadaman karena efek hujan deras. Mati listrik dan sialnya Sand
Sandi membuka matanya ketika seberkas cahaya mulai mengusik tidurnya. Hal pertama yang ia rasakan ialah pegal luar biasa di bagian leher. Perlahan ia mengumpulkan seluruh nyawanya, mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Ia menyapukan pandangannya ke sekeliling. Mendapati sebuah selimut telah melingkar manis di tubuhnya. Ia bangkit perlahan lalu meregangkan tubuhnya yang pegal luar biasa. Apalagi setelah semalaman tidur dengan posisi terduduk. Ah dia baru ingat. Mata elangnya kembali memandang ke segala arah dan menyadari bahwa dia masih berada di kediaman milik keluarga Dinara. Tapi dimana gadis itu? Bau masakan dan sedikit kebisingan yang berasal dari dapur mulai memberinya titik terang. Benar saja, gadis itu sudah sibuk disana bersama dengan alat tempurnya. Sandi mendekat diiringi sebuah senyuman. Entah karena memang langkahnya tak bersuara atau Dinara yang terlalu fokus pada kegiatannya, gadis dengan rambut tergulung asal itu tak menyadari bahwa Sandi kini sudah berdi